ALQURAN DAN SAINS

ALQURAN DAN SAINS (STUDI TENTANG TITIK TEMU ALQURAN DENGAN SAINS)

Abstrak
Alquran merupakan kitab suci yang sempurna dan petunjuk bagi kaum muslimin dan umat manusia. Kandungan isinya bukan hanya mencakup aspek akhirat tapi juga aspek dunia bahkan Alquran juga berbicara tentang isyarat ilmiah ilmu pengetahuan (sains) modern. Banyak ayat Alquran yang menyuruh pada penggunaan nalar untuk pengembangan ilmu pengetahuan (sains). Penemuan sains kontemporer yang sudah teruji dan diakui kebenarannya menurut komunitas ilmuan adalah ternyata mempunyai titik temu dengan isyarat ilmiah yang terdapat dalam Alquran, sehingga Alquran adalah benar sebagai wahyu. Kata kunci: Isyarat, nalar, teruji, titik temu.


A. Pendahuluan
Allah telah menurunkan Alquran untuk semua manusia sebagai petunjuk. Oleh karena itu, memikirkan setiap ayat Alquran dan menjalani hidup sesuai Alquran dengan mengambil pelajaran dan peringatan dari setiap ayatnya adalah satu cara untuk mendapatkan keridhaan, kasih sayang dan surga Allah.[1] Seperti dalam surat an-Naml ayat 9 berikut, “Dan katakanlah, segala puji bagi Allah, dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan”. (Q.S. an-Naml: 93)[2] Alquran harus dijadikan sebagai qur’anan atau bacaan, sebagai hudan atau petunjuk dan sebagai furqan atau pemerjelas yang hak dan yang batil. Alquran harus menjelma dalam hidup secara utuh.[3] Masyarakat zaman sekarang memperlakukan Alquran berbeda dengan tujuan penurunan Alquran sebenarnya. Di dunia Islam secara umum, sedikit sekali orang yang mengetahui isi Alquran. Sebagian di antara mereka sering menyampul Alquran dengan bagus dan menggantungnya pada dinding rumah. Mereka beranggapan bahwa Alquran melindungi pembacanya dari kemalangan dan kesengsaraan. Menurut kepercayaan ini, Alquran dianggap semacam jimat penangkal bala. Padahal, ayat-ayat Alquran menyatakan bahwa tujuannya diwahyukan sama sekali berbeda dengan yang tersebut di atas. Misalnya, dalam surat Ibrahim ayat ke 52, Allah menyatakan: “(Alquran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Alah Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran”. (Q.S. Ibrahim: 52)[4] Dalam ayat-ayat lain, Allah juga menegaskan bahwa salah satu tujuan utama diturunkannya Alquran adalah untuk mengajak manusia bertafakur. Manusia harus memikirkan bagaimana ia menjadi ada, apa tujuan hidupnya, mengapa ia akan mati dan apa yang terjadi setelah setelah kematian. Ia hendaknya mempertanyakan bagaimana dirinya dan seluruh alam semesta ini menjadi ada dan bagaimana keduanya terus-menerus ada.[5] Dalam Alquran, manusia didorong untuk merenungi berbagai kejadian dan benda alam, yang dengan jelas memberikan kesaksian akan keberadaan dan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam Alquran, segala sesuatu yang memberikan kesaksian ini disebut tanda-tanda, yang berarti bukti yang teruji kebenarannya, pengetahuan mutlak, dan pernyataan kebenaran. Jadi, tanda-tanda kebesaran Allah terdiri atas segala sesuatu di alam semesta ini yang memperlihatkan dan menyampaikan keberadaan dan sifat-sifat Allah. Orang-orang yang dapat mengamati dan senantiasa ingat akan hal ini akan memahami bahwa seluruh jagad raya tersusun hanya dari tanda-tanda kebesaran Allah. Pada saatnya manusia mampu mengintegrasikan potensi hati dan pikirannya untuk memikirkan hal tersebut.[6] Segala sesuatu, tarikan napas manusia, perkembangan politik dan sosial, keserasian kosmis di alam semesta, atom yang merupakan materi terkecil, semuanya adalah tanda-tanda kebesaran Allah, dan semuanya berjalan di bawah kendali dan pengetahuan-Nya, menaati hukum-hukum-Nya. Menemukan dan mengenal tanda-tanda (ayat-ayat) Allah memerlukan upaya pribadi. Setiap orang akan menemukan dan memahami ayat-ayat Allah sesuai dengan tingkat pemahaman dan nalarnya masing-masing. Tentu saja, ada panduan yang mungkin dapat membantunya. Pertama-tama, orang dapat mempelajari uraian- uraian tertentu yang ditekankan dalam Alquran, agar ia memperoleh mentalitas berpikir yang menjadikan dirinya dapat merasakan seluruh alam semesta ini sebagai penjelmaan dari segala ciptaan Allah.[7] Alquran telah membicarakan tentang isyarat sains[8] atau mengenai ayat kauniah tersebut. Isyarat sains adalah salah satu aspek dari keseluruhan isi kitab suci Alquran. Oleh karena itu akan dikaji bagaimana isyarat sains dalam Alquran akan menemukan titik temu dengan sains hasil penemuan manusia yang akan membuktikan kebenaran Alquran. B. Alquran Mengajak Manusia Untuk Menggunakan Nalar Bagi Pengembangan Sains Alquran selalu menekankan akan pentingnya penggunaan nalar manusia bagi pengembangan sains, di antaranya: “Dan Kami turunkan kepadamu Adz-Dzikr (Alquran), agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”. (Q.S. an-Nahl: 44).[9] Sebagaimana dalam ayat di atas dan banyak ayat-Nya yang lain, Allah mengajak manusia untuk merenung dan memikirkan apa saja yang telah diperintahkan-Nya kepada kita untuk dipikirkan, serta melihat makna yang tersembunyi dan keajaiban ciptaan-Nya. Hal itu juga merupakan salah satu bentuk ibadah. Sebab, setiap hal yang kita renungkan akan membantu kita untuk lebih mengetahui dan mengakui akan kekuasaan, kebijaksanaan, ilmu, dan sifat-­sifat Allah yang lain.[10] “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Alquran? Kalau kiranya Alquran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (Q.S. an-Nisa’: 82)[11] Masih banyak ayat selain yang telah disebutkan di atas misalnya, Q.S. al-Mu’minuun ayat 68, Q.S. Shaad ayat 29, Q.S. ad-Dukhaan ayat 58, Q.S. al-Muddatstsir ayat 54-55, Q.S. Thaahaa ayat 113, dan lain-lain, yang esensinya memberikan dorongan untuk ber-tadabbur Alquran dan menalar alam semesta. Ayat-ayat tersebut bagaikan seberkas sinar terang yang masih kecil dan menunggu kita untuk menghidupkannya lebih besar lagi melalui serangkaian penalaran dan penghayatan. Berangkat dari sinilah manusia seharusnya mulai menyadari bahwa semua ini telah diserukan dan diajarkan oleh Rabb-nya melalui Alquran dan tentunya alam semesta yang terhampar luas dengan lautan ilmu dan hikmah yang terselip di dalamnya. Sesungguhnya sebuah ayat Alquran saja dapat disintesis dengan berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi secara tersirat dan tersimpan melalui ketajaman hati nurani yang penuh dengan cahaya keimanan dan akal pikiran yang integral dan universal. Nalar pikiran mendalam yang dipadu secara integral dengan kekuatan hati nurani yang penuh cahaya keimanan akan membuahkan mahakarya berupa ilmu pengetahuan dan teknologi yang Islami dan bermanfaat bagi umat. Tanpa dua potensi tersebut manusia akan menjadi terbelakang dan kesulitan hidup akan berakhir tanpa harapan, karena ilmu pengetahuan bagaikan bahtera yang akan menghantarkan kita dengan cepat dan selamat ke dermaga, sementara sinar keimanan akan membuat hidup kita terasa berarti dan penuh dengan harapan.[12] Banyak yang beranggapan bahwa untuk “berpikir secara mendalam”, seseorang perlu memegang kepala dengan kedua telapak tangannya, dan menyendiri di sebuah ruangan yang sunyi, jauh dari keramaian dan segala urusan yang ada. Sungguh, banyak dari orang yang tidak peduli dan menghiraukan keutamaan berpikir menganggap berpikir secara mendalam sebagai sesuatu yang memberatkan dan menyusahkan. Mereka berkesimpulan bahwa pekerjaan ini hanyalah untuk kalangan “filosof”.[13] Allah mewajibkan manusia untuk berpikir secara mendalam. Allah berfirman bahwa Alquran diturunkan kepada manusia untuk dipikirkan atau direnungkan: “Inilah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan (merenungkan) ayat-ayatnya dan orang-orang yang mempunyai pikiran yang selalu mengingat-ingat”. (Q.S. Shaad: 29).[14] Dalam hal ini, penekanannya ialah bahwa setiap orang hendaknya berusaha sekuat tenaga dalam meningkatkan kemampuan dan kedalaman berpikir. Sebaliknya, orang-orang yang tidak mau berusaha untuk berpikir mendalam akan terus-menerus hidup dalam kelalaian luar biasa. Kata kelalaian mengandung arti “ketidakpedulian (tetapi bukan melupakan), meninggalkan, dalam kekeliruan, tidak menghiraukan, dalam kecerobohan”. Kelalaian manusia yang tidak berpikir adalah akibat melupakan atau secara sengaja tidak menghiraukan tujuan penciptaan diri mereka serta kebenaran ajaran agama.[15] Nalar alam Qurani sesungguhnya adalah sebuah metode berpikir dan bernalar secara filosofis, sistematis, argumentatif dan faktual yang berangkat dari dua serangkai yang simetris dan integral, yakni ayat-ayat Alquran sebagai ayat-ayat qauliah dan alam semesta yang terhampar luas sebagai ayat-ayat kauniah. Sinergisme yang terpadu antara kedua potensi tersebut akan lebih berdampak positif bagi kemaslahatan hidup umat manusia dan makhluk lainnya yang terlibat dalam ekosistem dan rantai kehidupan. Dominasi yang ekstrim oleh rasio dengan melemahkan potensi cahaya keimanan dalam hati akan menjerumuskan manusia ke dalam lorong kelam yang kian jauh tak berujung sampai pada akhirnya kehilangan eksistensinya sendiri sebagai manusia yang memiliki rabb. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak seimbang dengan kekuatan spiritual akan berakhir dengan kemajuan yang memabukkan bahkan menghancurkan sisi-sisi kehidupan, seperti yang pernah diungkapkan Albert Einstein bahwa ilmu tanpa agama akan buta dan agama tanpa ilmu akan lumpuh.[16] Pada waktu kejayaan umat Islam, mereka selalu berusaha untuk menggali sains. Usaha-usaha itu dapat kita maklumi, karena manusia ditunjuk Allah Swt. menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana tercantum di antaranya dalam ayat 165 surah al-An’am, yang artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di muka bumi dan meninggikan sebagian dari kamu atas sebagian yang lain beberapa tingkat, untuk mengujimu atas apa yang telah diberikanNya kepadamu”. (Q.S. al-An’am: 165).[17] Sebagai penguasa yang mempunyai rasa tanggung jawab, manusia tak dapat berbuat lain, kecuali harus mengalihkan diri dalam mengelola alam sekitarnya, sedangkan untuk memperoleh kemampuan itu ia harus mengenal alam lingkungannya dengan sebaik-baiknya.[18] Sehubungan dengan keharusan manusia untuk mengenal alam sekelilingnya dengan baik, maka Allah Swt. memerintahkan dalam ayat 101 surah Yunus, yang artinya: قُلِ انْظُرُوا مَاذَا فِي السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضِ. (يونس: 101) “Katakanlah perhatikanlah (periksalah dengan nazhar) apa-apa yang ada di langit dan di bumi”. (Q.S. Yunus: 101)[19] Agar manusia mengetahui sifat-sifat dan kelakuan alam di sekitarnya, yang akan menjadi tempat tinggal dan sumber bahan serta makanan selama hidupnya. Penggunaan kata memeriksa dengan nazhar atau intizhar untuk kata-­kata unzhuru pengertian akan kata tersebut ialah bahwa perintah untuk melihat itu tidaklah hanya sekedar melihat dengan pikiran kosong, tetapi dengan perhatian pada kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang Maha Esa, dan makna tersembunyi dari gejala yang teramati, melakukan pengamatan, analisis, penelitian, dan tidak sekedar melihat dengan mata telanjang. Hal ini akan tampak lebih jelas lagi jika kita ikuti teguran-teguran Allah Swt. dalam ayat 17-21 surah al-Ghasyiyah: أَفَلاَ يَنْظُرُونَ إِلَى اْلإِبِلِ كَيْفَ خُلِـقَتْ, وَإِلَى السَّمَاءِ كَـيْفَ رُفِعَتْ, وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ, وَإِلَى اْلأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ. (الغاشية: 17-20) “Maka apakah mereka tidak melakukan nazhar dan memperhatikan unta, bagaimana diciptakan, dan langit bagaimana diangkat, dan gunung-gunung, bagaimana ditegakkan, dan bumi bagaimana dibentangkan”. (Q.S. al-Ghasyiyah: 17-21)[20] Dari ayat-ayat yang telah disebutkan, dapat diketahui bahwa Allah Swt. telah memberikan bimbingan bagaimana cara manusia dapat memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan alam semesta, yang secara garis besarnya melukiskan proses-proses alamiah yang terjadi di dalamnya. Inilah pula yang dilakukan orang dalam fisika, atau pengembangan sains pada umumnya. Dalam Alquran sendiri, kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali. Kata ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan dan sekitar 750 ayat dengan berbagai bentuk ragamnya tentang pengembangan sains.[21] Dengan demikian Alquran telah memberikan dorongan untuk melakukan penelitian, pengamatan, untuk dapat mengetahui bagaimana proses segala sesuatu itu terjadi, membaca alam semesta yang melahirkan bidang sains. C. Titik Temu Alquran dan Sains Berikut ini akan dikemukakan beberapa titik temu antara isyarat ilmiah Alquran dengan temuan ilmiah sains modern dalam mengungkapkan kebenaran Alquran. 1. Relativitas waktu Relativitas waktu ialah fakta ilmiah yang juga terbukti dengan metode ilmiah. Teori Relativitas Umum, Einstein pun berpendapat bahwa kecepatan waktu berubah tergantung pada kecepatan obyek dan posisinya di medan gravitasi. Bila kecepatan terus bertambah, waktu disingkatkan dan dipadatkan: waktu melambat seolah-olah sampai ke titik “berhenti”. Mari kita jelaskan hal ini dengan suatu contoh yang diberikan oleh Einsten. Mari kita bayangkan, ada seorang ayah yang bepergian di ruang angkasa sedangkan anaknya diam di bumi. Jika si ayah berusia dua puluh tujuh tahun ketika berangkat, sedangkan si anak tiga tahun; ketika ayahnya kembali ke bumi tiga puluh tahun kemudian (waktu bumi), anaknya akan berusia tiga puluh tiga tahun sementara ayahnya hanya tiga puluh tahun.[22] Jika kita melihat bintang dan bintang yang kita lihat itu berjarak 1 juta tahun cahaya dari bumi, sesungguhnya pemandangan yang kita lihat pada saat itu adalah pemandangan 1 juta tahun yang lalu. Begitu pula, kalau kita melihat bintang berjarak 1 miliar tahun cahaya, yang terlihat pada saat itu adalah bintang 1 miliar tahun yang lalu. Bagi mereka yang naik pesawat ruang angkasa - dengan kecepatan tinggi - maka waktu yang dia alami juga akan mengikuti pesawat ruang angkasanya. Semakin cepat gerakan pesawat itu, maka waktu yang berlaku bagi penumpangnya akan semakin mulur. Bisa-bisa, bagi dia cuma 1 jam, tetapi bagi manusia yang di bumi, waktu sudah berjalan ratusan atau ribuan tahun.[23] Relativitas waktu adalah fakta ilmiah yang terbukti saat ini. Akan tetapi, hingga Einstein mengetengahkan “teori relativitas” pada awal abad ke-20, tak seorang pun mengira bahwa waktu bisa relatif dan bergantung pada kecepatan dan massa. Dan Alquran telah mengeluarkan informasi tentang relativitas waktu. Di antara ayat mengenai hal ini ialah: “Mereka meminta kepadamu supaya azab dipercepat, tetapi Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Sungguh, satu hari menurut Allah seperti seribu tahun dalam perhitungan kamu”. (Q.S. al-Hajj: 47).[24] Ayat ini merupakan ungkapan yang jelas tentang relativitas waktu. Bahwa hasil yang baru saja dipahami oleh ilmuwan abad ke-20, dikomunikasikan kepada manusia 1.400 tahun lalu dalam Alquran, dan ini merupakan suatu indikasi perwahyuan Alquran oleh Allah, yang meliputi seluruh waktu dan ruang.[25] Jadi dengan demikian relativitas waktu membuktikan kebenaran ayat Alquran. 2. Kemunculan alam semesta Pendapat kaum materialis yang berlaku selama beberapa abad hingga awal abad ke-20 menyatakan, bahwa alam semesta memiliki dimensi tak terbatas, tidak memiliki awal, dan akan tetap ada untuk selamanya. Dengan memberikan dasar bagi filosofi materialis, pandangan ini menyangkal adanya Sang Pencipta, dengan menyatakan bahwa alam semesta ini adalah kumpulan materi yang konstan, stabil, dan tidak berubah-ubah. Namun, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi abad ke-20 menghancurkan konsep-konsep primitif seperti model alam semesta yang statis, bahwa alam semesta memiliki awal, bahwa alam diciptakan dari ketiadaan dan dimulai oleh suatu ledakan besar. Selain itu, berlawanan dengan pendapat kaum materialis, kesimpulan ini menyatakan bahwa alam semesta tidaklah stabil atau konstan, tetapi senantiasa bergerak, berubah, dan memuai. Saat ini, fakta-fakta tersebut telah diakui oleh dunia ilmu pengetahuan. Apa arti mengembangnya alam semesta? ­Mengembangnya alam semesta berarti bahwa jika alam semesta dapat bergerak mundur ke masa lampau, maka ia akan terbukti berasal dari satu titik tunggal. Perhitungan menunjukkan bahwa ‘titik tunggal’ ini yang berisi semua materi alam semesta haruslah memiliki ‘volume nol’, dan ‘kepadatan tak hingga’. Alam semesta telah terbentuk melalui ledakan titik tunggal bervolume nol ini. Ledakan raksasa yang menandai permulaan alam semesta ini dinamakan Big Bang, dan teorinya dikenal dengan nama teori Big Bang pula.[26] Ilmu pengetahuan dapat mendefinisikan konsep ‘ketiadaan’, yang berada di luar batas pemahaman manusia, hanya dengan menyatakannya sebagai ‘titik bervolume nol’. Sebenarnya, ‘sebuah titik tak bervolume’ berarti ‘ketiadaan’. Demikianlah alam semesta muncul menjadi ada dari ketiadaan. Dengan kata lain, ia telah diciptakan. Fakta bahwa alam ini diciptakan, yang baru ditemukan fisika modern pada abad ke-20, telah dinyatakan dalam Alquran 14 abad lampau:[27] “Dia pencipta langit dan bumi, Dia tidak punya anak dan saudara. Dia-lah yang menciptakan segala sesuatu”. (Q.S. al-An’am: 101)[28] Teori Big Bang menunjukkan bahwa semua benda di alam semesta pada awalnya adalah satu wujud, dan kemudian terpisah-pisah. Big Bang merupakan petunjuk nyata bahwa alam semesta telah ‘diciptakan dari ketiadaan’, dengan kata lain ia diciptakan oleh Allah. Model Big Bang adalah titik terakhir yang dicapai ilmu pengetahuan tentang asal muasal alam semesta. Begitulah, alam semesta ini telah diciptakan oleh Allah Yang Maha Perkasa dengan sempurna tanpa cacat dari ketiadaan.[29] Jadi dengan demikian teori Big Bang menjustifikasi kebenaran ayat Alquran. 3. Keseimbangan alam semesta “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu tidak melihat sesuatu yang tidak seimbang. Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah”. (Q.S. al-Mulk: 3-4).[30] Di alam semesta, milyaran bintang dan galaksi yang tak terhitung jumlahnya bergerak dalam orbit yang terpisah. Meskipun demikian, semuanya berada dalam keserasian. Bintang, planet, dan bulan beredar pada sumbunya masing-masing dan dalam sistem yang ditempatinya masing-masing. Terkadang galaksi yang terdiri atas 200-300 miliar bintang bergerak melalui satu sama lain. Selama masa peralihan dalam beberapa contoh yang sangat terkenal yang diamati oleh para astronom, tidak terjadi tabrakan yang menyebabkan kekacauan pada keteraturan alam semesta.[31] Kecepatan yang luar biasa ini menunjukkan bahwa hidup kita berada di ujung tanduk. Biasanya, pada suatu sistem yang sangat rumit, kecelakaan besar sangat sering terjadi. Namun, seperti diungkapkan Allah dalam ayat di atas, sistem ini tidak memiliki “cacat/tidak seimbang”. Alam semesta, dan juga segala sesuatu yang ada di dalamnya, tidak dibiarkan “sendiri” dan sistem ini bekerja sesuai dengan keseimbangan yang telah ditentukan Allah. Hal terpenting di semua rincian ini adalah bahwa tak satu pun dari bintang, planet, dan benda-benda lainnya di angkasa bergerak secara tak terkendali, memotong orbit lain, ataupun saling berbenturan. Alquran mengisyaratkan pergerakan benda-benda secara serasi ini sebagai berikut: “Demi langit yang penuh jalan-jalan”. (Q.S. adz-Dzaariyaat: 7)[32] Bila pergerakan benda angkasa melenceng 1 milimeter saja dari orbitnya, maka akan terjadi kehancuran sistem, sekaligus kehancuran alam semesta. Ini menunjukkan bahwa keteraturan alam semesta menunjukkan adanya Sang Pencipta.[33] 4. Atmosfer: selimut bumi Biasanya tidak pernah kita sadari bahwa banyak meteorit jatuh ke bumi seperti pada planet lain. Meteorit, yang membentuk kawah besar jika jatuh di planet lain, tidak merusak bumi karena bumi memiliki atmosfer yang menghasilkan gesekan kuat pada meteor yang jatuh. Me­teor tidak dapat bertahan melawan gesekan ini terlalu lama dan kehilangan sejumlah besar massanya akibat terbakar. Keberadaan atmosfer mencegah kerusakan yang bisa disebabkan oleh meteorit. Di dalam Alquran, sifat dalam penciptaan atmosfer ini dijelaskan: “Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedang mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya”. (Q.S. al-Anbiya: 32)[34] Lapisan ozon yang menyelimuti bumi mencegah sinar ultraviolet matahari yang sangat berbahaya mencapai bumi. Sinar ultraviolet matahari begitu tinggi kandungan energinya, sehingga dapat membunuh semua kehidupan yang ada di bumi. Oleh karena itu, untuk memungkinkan terjadinya kehidupan di bumi. lapisan ozon adalah bagian dari langit sebagai “atap yang terpelihara” yang diciptakan secara khusus.[35] Alquran menarik perhatian kita dengan pernyataan air hujan adalah “tawar” sebagaimana disebutkan dalam surat berikut: “... dan Kami beri minum kamu dengan air yang tawar”. (Q.S. al-Mursalat: 27).[36] “Dia lah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu”. (Q.S. an-Nahl: 10)[37] Seperti telah kita ketahui, air hujan berasal dari penguapan air dan 97% merupakan penguapan air laut yang asin. Namun, air hujan adalah tawar. Air hujan bersifat tawar karena adanya hukum fisika yang telah ditetapkan Allah. Berdasarkan hukum ini, dari mana pun asalnya penguapan air ini, baik dari laut yang asin, dari danau yang mengandung mineral, atau dari dalam lumpur, air yang menguap tidak pernah mengandung bahan lain. Air hujan akan jatuh ke tanah dalam keadaan murni dan bersih, sesuai dengan ketentuan Allah.[38] “... Kami turunkan dari langit air yang amat bersih”. (Q.S. al-Furqan: 48)[39] 5. Rona matahari dan bulan Ada banyak ayat dalam Alquran menyebut yang matahari dan bulan. Bila kata-kata Arab ini diselidiki, terungkaplah sifat yang menarik. Pada ayat-ayat ini, kata “siraj” (lampu) dan “wahhaj” (terang-membara) dipakai untuk matahari. Untuk bulan, kata “munir” (cerah berbinar-­binar) digunakan. Sungguh, manakala matahari menghasilkan panas dan cahaya yang amat besar sebagai akibat dari reaksi nuklir di dalam, bulan hanya memantul­kan cahaya yang diterimanya dari matahari.[40] Ayat-ayat yang menunjukkan perbedaan ini adalah: أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللهُ سَبْعَ سَمَوَاتٍ طِبَاقًا. وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا. (نوح: 15-16) “Tidakkah kamu lihat bagaimana Allah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, dan membuat bulan yang bercahaya di antaranya, dan membuat matahari sebagai pelita (yang cemerlang)?” (Q.S. Nuh: 15-16)[41] وَبَنَيْنَا فَوْقَكُمْ سَبْعًا شِدَادًا. وَجَعَلْنَا سِرَاجًا وَهَّاجًا. (النبأ: 12-13) “Telah Kami bangun di atas kamu tujuh cakrawala dan menempatkan (di situ) cahaya yang cemerlang”. (Q.S. an-­Nabaa’: 12-13)[42] تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيرًا. (الفرقان: 61) “Mahasuci Dia yang telah menjadikan gugusan bintang di langit dan menempatkan sebuah pelita (yang cemerlang) dan sebuah bulan yang memberi penerangan”. (Q.S. al-Furqan: 61)[43] Perbedaan antara matahari dan bulan itu sungguh merupakan bukti keberadaan dan kebesaran Allah. Yang satu dilukiskan sebagai sumber cahaya dan yang lain sebagai pemantul cahaya. Mustahil rincian seperti itu telah diketahui pada waktu itu. 6. Gunung paku bumi “Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan dun gunung-gunung sebagai pasak?” (Q.S. an-­Naba’: 6-7).[44] Informasi yang diperoleh melalui penelitian geologi tentang gunung sangatlah sesuai dengan ayat Alquran. Salah satu sifat gunung yang paling signifikan adalah kemunculannya pada titik pertemuan lempengan-­lempengan bumi, yang saling menekan saat saling mendekat, dan gunung ini “mengikat” lempengan-­lempengan tersebut. Dengan sifat tersebut, pegunungan dapat disamakan seperti paku yang menyatukan kayu. Selain itu, tekanan pegunungan pada kerak bumi ternyata mencegah pengaruh aktivitas magma di pusat bumi agar tidak mencapai permukaan bumi, sehingga mencegah magma menghancurkan kerak bumi.[45] Inilah sebagian kecil informasi mengenai aspek isyarat sains yang terdapat dalam Alquran. Dan bahwa masih banyak contoh lain yang tidak dikemukakan di sini. Hal ini menunjukkan kebenaran Alquran sebagai ayat qauliah dan titik temu dengan sains alam semesta sebagai ayat kauniah. Berikut ini secara global dapat dilihat kandungan Alquran mengenai isyarat sains dan hal lainnya. Kalau dikalkulasikan bahwa isi Alquran dikelompokkan menjadi beberapa topik penting, yaitu: 1. Budi pekerti dan akhlak, 221 ayat. 2 Sejarah, 203 ayat. 3. Sains dan teknologi, 161 ayat. 4. Iman dan amal, 114 ayat. 5. Ibadah, 88 ayat. 6. Ekonomi, 78 ayat. 7. Alquran, 56 ayat. 8. Kemasyarakatan dan kenegaraan, 54 ayat. 9. Perkawinan, 46 ayat. 10. Kesehatan, 30 ayat. Bila dijumlahkan ayat-ayat yang menerang­kan urusan utama yang banyak kita masuki tersebut, jumlahnya 1.051 ayat, padahal jumlah seluruh ayat dalam seluruh surat berjumlah 6.236 ayat. Jadi baru 16,8% ayat-ayat yang menerangkan dengan jelas urusan keduniaan, sedangkan 5.193 ayat atau 83,2% adalah ayat-ayat yang secara langsung Allah telah menerangkan yang gaib dan ayat-­ayat yang dalam sekali artinya, termasuk doa, suruhan dan larangan Tuhan, sehingga tepatnya Allahlah yang akan tahu arti sebenarnya dan tentu akan diberikan kepada manusia pengertiannya bila Allah berkenan.[46] Ayat-ayat yang menerangkan Ilmu Alam sekitar 322 ayat terdiri atas ayat-ayat yang menerangkan masalah penciptaan, yaitu: 1. Langit – bumi – matahari – bulan – bintang – perubahan musim – guruh halilintar, dan yang lain-lain yang berhubungan dengan Ilmu Falak dan Ilmu Alam terdapat sekitar 77 ayat. 2. Gunung-gunung – sungai-sungai – mata air – laut – api – hujan – salju – hasil bumi – hasil laut, dan lain-lain yang berhubungan dengan Ilmu Bumi sekitar 57 ayat. 3. Binatang ternak – binatang melata – serangga, dan lain-lain yang berhubungan dengan Ilmu Hewan terdapat sekitar 28 ayat. 4. Tumbuh-tumbuhan – bunga-bunga – buah-­buahan, dan rumput-rumputan yang ber­hubungan dengan Ilmu Tumbuh-tumbuhan terdapat sekitar 44 ayat. 5. Kejadian manusia pertama (Adam) hingga manusia-manusia yang kemudian itu yang berhubungan dengan Ilmu Tubuh Manusia terdapat sekitar 116 ayat.[47] Dari fakta di atas dapat diketahui bahwa Alquran mengandung isyarat sains dari segala aspek kehidupan lainnya. Dapat dikemukakan bahwa kebenaran Alquran berangkat dari keimanan dan bersifat kebenaran absolut. Sedangkan kebenaran sains berangkat dari keraguan dan bersifat kebenaran relatif, sebagaimana tafsir Alquran, khususnya tafsir tentang ayat-ayat sains yang juga relatif. Sains merupakan proses penemuan yang bersifat empirik, relatif, dan terus berubah menuju penyempurnaan. Pada kasus awal penciptaan alam semesta sebenarnya banyak teori yang dikemukakan untuk menjelaskannya, bahkan ada yang saling bertentangan. Namun pada akhirnya dengan berbagai bukti ilmiah komunitas ilmuan sepakat bahwa teori Big Bang yang dianggap sebagai kebenaran final yang tak diragukan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa kebenaran sains pada akhirnya harus tunduk kepada kebenaran Alquran. Atau dengan kata lain sains menjustifikasi kebenaran Alquran bukan sebaliknya. Agama dan ilmu pengetahuan selalu dipandang sebagai saudara kembar oleh Islam. Pada waktu ini ketika ilmu telah mengalami kemajuan pesat, keduanya pun tetap seiring dan sejalan lebih dari itu lagi, data ilmiah tertentu dapat digunakan untuk memahami nash-nash Alquran secara lebih baik. Tambahan lagi, pada abad modern ini kebenaran ilmiah telah memberikan sebuah pukulan hebat terhadap keyakinan agama. Dalam mengadakan penelitian yang obyektif terhadap Islam, ternyata temuan-temuan ilmiah merupakan usaha yang tepat dalam rangka mengagungkan unsur-unsur tertentu dari wahyu Islam yang supernatural. Singkat kata, pengetahuan ilmiah bahkan membuat orang akan mengatakan bahwa itu semua mempertinggi pengabdian dalam meyakini adanya Tuhan.[48] Banyak ayat Alquran yang menganjurkan kepada kita agar memikirkan gejala-gejala kehidupan ini. Malah kitab suci ini juga banyak memuat data tepat berkenaan dengan fakta-fakta yang ditemukan oleh ilmu modern, dan ini semua merupakan pengalaman yang benar-benar menarik bagi para ilmuwan. Untuk beberapa abad lamanya, manusia tidak bisa mengkaji gejala-gejala itu karena mereka belum memiliki sarana dan perlengkapan ilmiah yang memadai. Barulah sekarang sejumlah ayat Alquran­ yang berisi fenomena alam dapat dipahami. Tafsir-tafsir Alquran yang klasik dan juga tafsir-tafsir kontemporer masih dirasakan ada yang belum atau tidak mencukupi untuk menjelaskan makna ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan fenomena-fenomena tersebut. Di dalam Aquran juga terdapat beberapa ayat yang berisi pernyataan-pernyataan yang belum bisa diberikan kejelasannya oleh sains modern, misalnya terlepas dari perbedaan pendapat bahwa ketika Nabi Muhammad Saw. Isra dan Mi’raj dengan ruh dan jasad (al - Isra : 1, An-Najm 13-18).Tidak hancurnya jasad Nabi Muhammad Saw. ketika Isra Mi’raj, padahal beliau melewati hampa udara dan ruang bebas atmosfir serta kecepatan sangat tinggi adalah peristiwa luar biasa, yang menurut pengetahuan manusia sampai saat ini bahwa suatu jasad pasti hancur kalau mengalami peristiwa di atas tadi. Semua dalil ayat itu seharusnya oleh para ilmuwan dipandang sebagai suatu yang memiliki peluang kebenaran ilmiah. Sebagai contoh, bahwa kehidupan ini berawal dari air, juga pernyataan bahwa di jagad raya ini ada bumi selain bumi kita ini. (Hal ini mulai diketahui tapi masih dalam perdebatan ilmiah, pen.) Pertimbangan-pertimbangan ilmiah ini seyogyanya tidak mem­buat kita lupa bahwa Alquran adalah kitab suci agama. Itulah yang pokok dan karena itu, tentu saja, ia tidak dimaksudkan untuk misi ilmiah. Kapan pun manusia diseru untuk memikirkan penciptaan ini serta dengan sejumlah gejala alam yang bisa diamati, ia punya tujuan tegas, dan pemberian contoh semacam ini dimaksudkan untuk me­negaskan kemahakuasaan Tuhan. Dengan pemikiran ini kita sesungguh­nya bisa menemukan data yang berhubungan dengan pengetahuan il­miah, dan itu sebenarnya merupakan karunia Tuhan yang nilainya mestinya bisa menyinari abad pemikiran ilmiah yang cenderung materialistis-atheistis yang berusaha hendak menundukkan keyakinan akan adanya Tuhan. Akan tetapi Alquran tidak menempuh cara-cara yang tidak wajar untuk memaksa agar kesupernaturalannya diyakini.[49] Penyelidikan Alquran secara obyektif di bawah sinar sains modern membuat kita mengakui kesamaan titik temu antara Alquran dengan sains modern Ini membuat kita tidak mungkin menganggap bahwa Nabi Muhammad Saw. yang hidup saat itu, adalah pencipta ide-ide ilmiah semacam itu mengingat suasana keilmuan pada saat itu. Pertimbangan-pertimbangan semacam ini membuat kedudukan istimewa Alquran serta membuat para ilmuwan yang jujur mengakui ketidakmampuannya memberikan penjelasan dengan sudut pandangan yang melulu didasarkan atas alasan materi.[50] Pada umumnya selama ini ada dikotomi yang menyatakan bahwa ulama hanyalah orang-orang yang berpenge­tahuan bahasa Arab, Alquran dan hadis atau tamat sekolah agama saja. Pola pemisahan ini harus diubah. Pemahaman ulama yang hanya ditujukan pada kelompok tertentu telah memisahkan pendidikan agama dan umum. Beda paradigma maka tertutuplah kejayaan Islam berabad-abad lamanya. Pola pemikiran berikut yang menyebabkan Islam menjadi lemah dalam masyarakat, adalah disebabkan pemikiran orientalis Barat yang memisahkan antara agama (Islam) dengan negara yang akhirnya melahirkan hukum-hukum yang dicari-cari oleh akal manusia saja seperti Code Sipil, Code Penal, dan Code Commers yang disponsori oleh Napoleon Bonaparte. Inilah titik tolak lahirnya deviasi atau kondisi menyimpangnya kepastian hukum yang sebe­narnya tidak perlu terjadi sekaligus menjarakkan antara sasaran kebahagiaan dunia akhirat. Perlu kita fahami bahwa berpikir logis,[51] di­mulai dari rasa ragu, kemudian timbul perhatian atau minat akan hal yang diragukan itu, kemu­dian diikuti oleh sikap kreatif atau ijtihad dan akhirnya dilakukan penelitian. Sikap ini membimbing ke arah metode empiris dan analisis. Para cendikiawan Islam dituntut untuk meningkatkan jalan berpikir yang bersifat logis atau sistematis dalam memahami ayat-ayat suci Alquran sesuai dengan kenyataan alamiah dalam kehidupan umat manusia, yang bersifat berpikir logis.[52] Untuk mencapai masa depan dunia Islam yang lebih baik, perlu diadakan pembaharuan pendidikan Islam. Umat Islam tidak saja harus menguasai ilmu-ilmu warisan Islam, tetapi juga harus mampu menguasai disiplin-disiplin ilmu modern sesuai dengan tuntutan peradaban. Oleh karena itu perlunya penghilangan dikotomi keilmuan Islam dan Islamisasi ilmu pengetahuan yang menekankan perlunya perencanaan yang praktis, dalam melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan.[53] Ayat pertama اِقْرَأْ yang diulang Jibril 3 kali mengandung makna: 1. Bacalah ayat qauliah (Alquran). 2. Bacalah diri sendiri (mikro) 3. Bacalah ayat kauniah atau alam semesta (makro) Ayat الَّذِي خَلَقَ berisi arahan pada membaca apa yang diciptakan yakni alam semesta, tetapi kalimat sebelumnya بِاسْمِ رَبِّكَ mengandung makna bahwa sains harus berlandaskan nilai Ilahiyah, bertujuan kepada Ilahi, mengenal Ilahi, dan mengabdikannya pada Ilahi. Islamisasi ilmu pengetahuan mutlak dilakukan umat Islam dalam mencapai kejayaan Islam di masa depan. Oleh karena itu usaha-usaha Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilakukan sepanjang masa. Umat Islam sangat perlu melakukan integrasi pengetahuan-pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan penghilangan, perubahan, penafsiran kembali, dan adaptasi komponennya, sehingga sesuai dengan pandangan Islam.[54] Dengan Islamisasi sains diharapkan adanya kemurnian tauhid, keseimbangan keilmuan Islam atau tidak dikotomi, bermakna baik dari segi obyek materi sainsnya maupun subyek pelakunya, dalam rangka kejayaan Islam dan umatnya. Apalagi Alquran sebagai kitabnya umat Islam adalah kitab sempurna yang kebenarannya dapat dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. D. Penutup Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Alquran sebagai wahyu Tuhan bukan hanya membicarakan aspek keagamaan dalam makna khusus, melainkan juga mengandung berbagai isyarat sains yang dapat dibuktikan secara ilmiah pada zaman modern ini. Hal ini bukan berarti bahwa Alquran adalah buku sains. Hal tersebut menunjukkan bahwa berbagai aspek kehidupan baik dunia maupun akhirat pada dasarnya dikandung oleh Alquran di mana salah satu fungsinya adalah sebagai petunjuk. Penemuan sains pada akhirnya menjustifikasi kebenaran Alquran. Kebenaran Alquran yang bersifat absolut dan kebenaran sains yang bersifat relatif, pada akhirnya menunjukkan bahwa isyarat sains dalam Alquran mempunyai titik temu dengan kebenaran sains yang sudah berulangkali teruji dan diakui komunitas ilmuwan sebagai kebenaran final. Daftar Pustaka Azhar, Syamsul. Sains Membuka Tabir Al-Qur’an, Jakarta, Kalam Mulia, 2001. Baiquni, Ahmad. Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta, Dana Bakti Wakaf, 1995. Bucaille, Maurice. Pengetahuan Modern dalam Qur’an, terj. Khozin Afandi, Surabaya, Al-Ikhlas, 1995. Buseri, Kamrani. Nilai-nilai Ilahiah Remaja Pelajar Telaah Phenomelogis dan Strategi Pendidikannya, Yogyakarta, UII Press, 2004. Corey, Michael A., New Cosmology. Maryland, Little Field Publishers, 1993. Einstein, Albert. Letters to Maurice Solovine, t.t.: t.p., 1956. Firdaus, Feris. Alam Semesta Sumber Ilmu, Hukum dan Informasi Ketiga setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, Yogyakarta, Insama Cita Press, 2004. Halim, Andreas. Kamus Lengkap Inggris Indonesia ; Indonesia Inggris, Surabaya , Sulita Jaya, 2003. Muhaimin. “Islamisasi Iptek”, dalam Al-Muslimun, No. 110 Edisi 411, 1424 H./ 2004 M. Mustofa, Agus. Terpesona di Sidratul Muntaha, Jawa Timur, Padma, 2004. Rahman, Afzalur. Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Rineka Cipta, 2000. Yahya, Harun. Bagaimana Seorang Muslim Berpikir, Jakarta, Rabbani Press, 2000. Yahya, Harun. Pesona Al-Qur’an, Jakarta, Rabbani Press, 2003.Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, CV. Toha Putra, 1989. *Penulis adalah dosen IAIN Antasari dipekerjakan pada Fakultas Ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, menyelesaikan S.2 IAIN Antasari Banjarmasin tahun 2004. [1]Feris Firdaus, Alam Semesta Sumber Ilmu, Hukum dan Informasi Ketiga Setelah Al-Qur’an dan As-Sunnah, (Yogyakarta: Insanie Cita Press, 2004), h. 32. [2]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), h. 605. [3]Kamrani Buseri, Nilai-nilai Ilahiah Remaja Pelajar Telaah Phenomelogis dan Strategi Pendidikannya, (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 52. [4]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/ Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 388. [5]Feris Firdaus, op. cit., h. 34. [6]Harun Yahya, Bagaimana Seorang Muslim Berpikir, (Jakarta: Rabbani Press, 2000), h. 56. [7]Feris Firdaus, op. cit., h. 63. [8]Sains berarti bidang ilmu yang punya disiplin dan peraturan sendiri (punya karakter sendiri, berbeda dengan knowledge yang belum punya karakter). Sains berasal dari bahasa Inggris science berarti ilmu pengetahuan. Lihat Andreas Him, Kamus Lengkap Inggris Indonesia; Indonesia Inggris, (Surabaya: Sulita Jaya, 2003) h. 257. [9]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 408. [10]Feris Firdaus, op. cit., h. 17. [11]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Quran Departemen Agama RI, op. cit., h. 132. [12]Feris Firdaus, op. cit., h. 19. [13]Harun Yahya, op. cit., h. 10. [14]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 736. [15]Harun Yahya, op. cit., h. 12. [16]Feris Firdaus, op. cit., h. 40. [17]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 217. [18]Ahmad Baiquni, Al-Qur’an Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Jakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), h. 18. [19]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/ Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 322. [20]Ibid., h. 1055. [21]Ahmad Baiquni, op. cit., h. 20. [22]Albert Einstein, Letters to Maurice Solovine, (t.t.: t.p., 1956), h.115. [23]Agus Mustofa, Terpesona di Sidratul Muntaha, (Jawa Timur: Padma, 2004), h. 62. [24]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/ Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 519. [25]Afzalur Rahman, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 76. [26]Feris Firdaus, op. cit., h. 69. [27]Harun Yahya, Pesona Al-Qur’an, (Jakarta: Rabbani Press, 2003), h. 7. [28]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/ Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 204. [29]Feris Firdaus, op. cit., h. 72. [30]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/ Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 955. [31]Michael A. Corey, New Cosmology, (Maryland: Little Field Publishers, 1993), p. 259. [32]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 858. [33]Afzalur Rahman, op. cit., h. 50. [34]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 999. [35]Feris Firdaus, op. cit., h. 106. Lihat juga Harun Yahya, op. cit., h.21. [36]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/Lajnah Pentashih Mushaf al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 1010. [37]Ibid., h. 403. [38]Feris Firdaus, op. cit., h. 115. Lihat juga Harun Yahya, op. cit., h.44. [39]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an/ Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 566. [40]Maurice Bucaille, Pengetahuan Modern dalam Qur’an, terj. Khozin Afandi, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), h. 24. [41]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an /Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., h. 979. [42]Ibid., h. 1015. [43]Ibid., h. 568. [44]Ibid., h. 1014. [45]Afzalur Rahman, op. cit., h. 154. [46]Syamsul Azhar, Sains Membuka Tabir Al-Qur’an, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 78. [47]Ibid., h. 79. [48]Maurice Bucaille, op. cit., h. 15. [49]Ibid., h. 16-17. [50]Ibid., h. 37. [51]Logis berasal dari kata “logos” berarti masuk akal, analisis dan objektif. [52]Syamsul Azhar, op. cit., h. 5. [53] Muhaimin,“Islamisasi Iptek”, dalam Al-Muslimun, No. 110 Edisi 411, 1424 H./ 2004 M., h. 79. [54]Ibid., h. 80.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)