ISLAM REVOLUSIONER-LIBERATIF
(Telaah atas Metode Berpikir Ali Syari'ati)
But, in his view, the normative approach to Islam will make moslems be "imprisoned by the text", so he projected a revolutionary understanding of Islam in the sense that he sought to reconcile or synthesize the normative approaches with the western ones, such as sociological and anthropological studies. Therefore, the textual sources—according to him—must be understood figuratively for the shake of a revolution and sociological criticism must be implemented to adjust or to correct some mistakes of religious establishments in historical Islam.
A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan pemikiran (history of thought) Islam, baik periode klasik maupun tengah, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan yang mengesankan dalam bidang intelektual, terutama tradisi filsafat dan mistisisme di Iran. Nama-nama semisal Mulla Shadra dan Suhrawardi al-Maqtul merepresentasikan secara jelas vitalitas negeri ini dalam konteks sejarah pemikiran Islam klasik. Selanjutnya, meletusnya revolusi Iran pada 1979 dalam perspektif sejarah pemikiran sesungguhnya tidak hanya menunjukkan puncak pertarungan politik Islam vis a vis regim Pahlavi, tapi juga pergumulan dan perkembangan wacana pemikiran Islam. Oleh karena itu, adalah wajar kemudian jika revolusi yang disebut sebagai revolution en messre itu dihubungkan dengan kebangkitan dua kelompok: ulama (religious scholars) dan kalangan intelektual "awam" (lay intellectuals). Ayatullah Murtadha Mutahhari dan Ayatullah Ruhullah Khomeini adalah yang paling menonjol dari kelompok pertama. Sedangkan, yang paling berpengaruh bagi kebangunan revolusi tersebut dari kelompok kedua adalah Ali Syari'ati, Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr.
Ali Syari'ati (1933-1977) yang oleh Abdulaziz Sachedina dalam Voices of Ressurgent Islam, dan oleh Hamid Dabashi disebut sebagai the ideologist of the revolt, di samping telah berhasil menggoncangkan sendi-sendi ilmu sosial Barat, serta memaksa mereka meninjau ulang asumsi-asumsi dasar mereka, pemikiran-pemikirannya juga berimplikasi pada perkembangan yang sangat mengejutkan dalam wacana pemikiran Islam modern. Style "pembacaan" yang unik atas Islam yang terefleksi dalam tulisan-tulisan dan kuliah-kuliahnya, telah menyembulkan penyikapan yang beragam.
Tulisan ini mengeksplor pemikiran Ali Syari'ati dari segi stting sosio-historis yang melingkupinya, struktur fundamental metode berpikir, dan pokok-pokok pemikirannya dengan melakukan telaah kritis.
B. Biografi dan Setting Sosio-historis
Ali Syari'ati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah desa kecil di pesisir gurun di Propinsi Khurasan (timur laut Iran). Pandangan dunia Syari'ati sangat dipengaruhi oleh iklim pedesaannya, sebagaimana diungkapkan dalam otobiografinya, Kavir (desert, gurun). Ayahnya, Muhammad Mazinani Taqi Syari'ati, adalah seorang ulama yang aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di Masyhad, tempat di mana imam Syi'ah kedelapan, Ali al-Ridha (w. 818), dimakamkan. Setelah menyelesaikan studi teologi dasarnya (moqaddamah) dan mulai studi menengah (sath), Muhammad Taqi Syari'ati meninggalkan perguruan tinggi dan mengajar di sistem pendidikan nasional. Sifatnya yang reformis dan kontroversial menjadikannya sebagai unconventional cleric. Problematika sosio-politis, seperti pengekangan atas kegiatan keagamaan dan politik publik di satu sisi, dan problematika pemahaman keagamaan di sisi lain mendorongnya aktif dalam Kanoun-e Nashr-e Haqayeq-e Eslami (Pusat Dakwah Kebenaran Islam) pada 1941 untuk menyuarakan "semangat Islam progressif". Pada pertengahan 1940-an ia membentuk Nezhat-e Khodaparastan-e Sosiyalist (Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan) dan mendukung gerakan Mosaddeq dan Front Nasional. Pada 1940-an and 1950-an, ia terlibat dalam diskusi intensif dengan beberapa pemikir, termasuk Ahmad Kasravi, sejarahwan Iran terkenal dan sosialis yang menyebabkan beredar romur bahwa Muhammad Taqi adalah seorang sunni dan wahhabi. Syari'ati muda menggambarkan Syari'ati tua sebagai the first real teacher. Dalam karyanya, Psukh bi badi az sualat, Syari'ati menjelaskan, "My father fashioned the early dimensions of my spirit, It was he who first taught me the art of thinking and the art of being human".
Kondisi sosio-historis intelektual itulah yang mengkristal dalam kesadaran intelektual Syari'ati, terlebih pemaknaan ayahnya terhadap Islam lebih sebagai doktrin sosial dan filosofis yang relevan dengan zaman modern dibanding sebagai keyakinan masa lalu yang bersifat individual. Pada 1941, Syari'ati masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin. Minat intelektualnya lebih tertarik pada literatur-literatur di luar sekolah, seperti Les Miserabes, karya Victor Hugo yang diterjemahkan ke bahasa Persia. Mistisisme dan filsafat lebih disukainya ketika ia menempuh pendidikan menengah. Pada 1953, ia berhasil menyelesaikan studinya di the Teachers College dan mengajar di Masyhad. Selama kurun waktu ini, ia berhasil menerjemahkan sebuah karya, Abu Zarr, Khodaparast-e Sosiyalist (Abu Zarr, Sosialis Penyembah Tuhan) yang kemudian menjadi biografi fiksi melalui tangan novelis Mesir, Abdol Hamid Jawdat. Buku tersebut mengklaim bahwa Abu Zarr adalah seorang sosialis paling awal di dunia. Pada 1956, Syari'ati melanjutkan studinya di Fakultas Sastera Universitas Masyhad untuk studi bahasa-bahasa asing, terutama Perancis dan Arab, selabjutnya memperoleh gelar MA.-nya tiga tahun kemudian. Ia sempat menerjemahkan dua buku dalam bahasa Perancis, Khish (Diri) dan Niayesh (Pendoa) yang ditulis oleh Alexis Carrel, pemenang hadiah nobel bidang kedokteran yang mencoba mengembangkan "humanisme Kristen" versinya untuk mengcounter materialisme Marxist. Akan tetapi, menurut Ervand Abrahamian, tidak jelas apakah Syari'ati mengetahui bahwa Alexis Carrel telah berkolaborasi dengan rezim petain sebelum kembali ke Kristen.
Pada 1959 (1960?) Syari'ati memperoleh kesempatan melanjutkan studinya di Sorbonne dalam bidang filologi dan menyelesaikan studi doktornya dengan disertasi Les Merites de Balkh (Fadhâ'il al-Balkh) pada 1963. Di Paris, ketika revolusi Aljazair memuncak, ia aktif dalam kegiatan politik dengan bergabung dalam Federasi Mahasiswa Iran, Cabang Front Nasional, dan Gerakan Pembebasan (Liberation Movement). Di samping itu, ia juga aktif dalam penerbitan periodik: Nameh-e Pars (journal empat bulanan) dan Iran-e Azad, menulis kolom di Non de Plume, artikel-artikel di El Mojahed, dan penerjemahan-penerjemahan: What is Poetry? karya Jean Paul Sartre, Guerilla Warfare karya Che Guevara, dan mulai menerjemahkan Wretched of the Earth dan Five Years of the Algerian War karya Franz Fanon, dan Le Meilleur Combat karya Ouzegan, sebagai perhargaan Syari'ati terhadap penulis terakhir ini sebagai " muslim marxist ".
Selama di Paris, Syari'ati sangat tertarik dengan studi orientalisme, sosiologi Perancis, dan teologi Kristen radikal, terutama teologi pembebasan. Kuliah-kuliah Louis bMassignon dan Henri Corbin yang diikutinya sangat berpengaruh terhadap spiritualitas Syari'ati. Di tahun-tahun terakhirnya, ia menulis bahwa Massignon adalah sosok satu-satunya yang paling berpengaruh pada dirinya. Ia menerjemahkan karya Massignon tentang al-Hallaj dan Salman Pak (al-Farisi), dua mistikus yang dieksekusi karena pandangan esoteriknya yang un-ortodoks. Cakrawala intelektual Syari'ati juga dibentuk oleh kuliah Raymond Aron, Roger Garaudy (intelektual komunis Perancis yang berupaya mendialogkan Marxisme dengan Kristen), Georges Politzer (filsuf Marxist ortodoks), dan intelektual yang paling penting bagi Syari'ati, Georges Gurvitch (sosiolog terkemuka Perancis dan pencetus apa yang disebut sebagai "sosiologi dialektis". Syari'ati menyukai gaya hidup dan teori sosiologi émigré Rusia militan ini yang berselisih paham dengan Stalin dan menyelamatkan diri dari kaum Fasis dan Stalinis. Di samping teori sosiologinya, catatan panjang perjuangannya melawan ketidakadilan membuat Syari'ati semakin mengaguminya dan menganggapnya sebagai "Abu Zarr versi Barat". Syari'ati sendiri pernah menulis bahwa ia sangat giat mengikuti kuliah Gurvitch ketika di Sorbonne, meski hanya mempunyai pengaruh kedua atas dirinya setelah Massignon. Tak hanya menyediakan kehangatan spiritual yang dalam bagi Syari'ati di tengah hiruk-pikuk kota Sorbonne, seperti halnya Masnawi Jalal al-Din al-Rumi yang menyelamatkannya dari niat bunuh diri karena kegoncangan fondasi keagamaannya ketika di Iran, melalui Massignon, Syari'ati diekspose di Esprit, sebuah journal Katolik radikal yang diprakarsai oleh Emmanuel Mounier, seorang penganut Katolik sosialis untuk mendukung gerakan sayap kiri dalam rangka pembebasan nasional di dunia ketiga. Jika keterlibatannya di journal Iran-I Azad dan El Mojahed menjadikannya akrab dengan ide-ide pembebasan di dunia ketiga, seperti Franz Fanon (w. 1961), Aime Cesaire, dan Amilcar Cabral (w. 1973), maka Esprit memperkenalkannya ide-ide semisal Michel Foucault, Corbin, Berque, dan Henri Lefebvre. Lebih dari itu, Esprit mengetengahkan dialog Marxist-Kristen, Katolik Kiri, sosialisme religius Jaure, revolusionerisme Kristen, serta ide-ide egalitarian.
Selain melalui tulisannya, Jacques Berque melalui kuliah-kuliahnya membentuk pandangan sosiologis Syari'ati tentang agama. Dari Jean Paul Sartre (eksistensialis), Syari'ati memperoleh prinsip kebebasan manusia untuk bangkit melawan penindasan. Jean Cocteau menunjukinya bagaimana atau sejauh mana jiwa dapat berkembang. Persentuhan Syari'ati dengan pemikiran Alexis Carrel terjadi terutama tentang mungkinnya meletakkan sikap ilmiah di atas keyakinan metafisis yang tidak dijelaskan secara ilmiah sekalipun. Man, the Unknown dan Prayers karya Carrel (yang diterjemahkan ke bahasa Persia) dengan ditopang oleh ide Max Planck agaknya cukup dominan mempengaruhi pemikiran Syari'ati dalam hal ini.
Setelah berhasil mempertahankan disertasi doktornya, Les Merites de Balkh (Fadhâ'il al-Balkh), sebuah kajian filologis tentang sejarah Islam abad pertengahan (Histoire de l'Islam Medieval), sebagaimana tercantum dalam ijazahnya, atas bimbingan Prof. Gilbert Lazard dengan predikat passable (predikat terendah) pada 1963, Syari'ati dan keluarga kembali ke Iran. Di perbatasan Iran-Turki, Syari'ati ditahan dan dipenjara selama enam bulan karena kegiatan-kegiatan politiknya di Perancis. Setelah dibebaskan, ia mengajar di sekolah menengah di Masyhad, kemudian di fakultas sastera. Pada 1969, ia aktif di Hosaynieh Ersyad. Tiga bulan berikutnya merupakan masa-masa produktifnya dalam berkarya. Di antara karya-karyanya adalah Darsha-ye Islamshenasi (Islamologi), Syahadat (Martirdom), Mazhab 'alayieh Mazhab (Agama versus Agama), Hajj, Jabr-e Tarikhi (Determinisme Sejarah), dan Resalat-e Rawshanfekr Bara-ye Sakhtan-e Jam'eh (Tugas Cendekiawan dalam Membentuk Masyarakat). Masa-masa selanjutnya merupakan masa pergumulan Syari'ati yang sangat intens dalam bidang intelektual dan politik, termasuk aktivitasnya bersama Ayatullah Murtadha Mutahhari dan Mehdi Bazargan. Ali Syari'ati meninaggal di London dengan sebab kematian yang masih misterius. Karena kuatnya pergesekan politiknya vis a vis pemerintahan Iran, agen polisi rahasia (SAVAK) dicurigai sebagai yang paling bertanggung jawab atas kematiannya.
Secara psiko-intelektual, pelbagai elemen yang membentuk struktur bangun pemikiran (system of thought) Syari'ati, sebagaimana dikemukakan, bisa direduksi di sini kepada: (1) Pendidikannya di Iran—formal dan non-formal—hingga di Perancis (dari Massignon yang pakar sufisme, sosiolog Gurevitch, sejarahwan Berque, hingga Sartyre yang eksistensialis) menjadi faktor yang dominan yang menghembuskan dimensi "pembebasan" agama yang kemudian diberikan tempat oleh tradisi berpikir Syai'ahnya; (2) Kondisi sosio-politis yang meniscayakan pembebasan dari segala bentuk oppressi; dan (3) Meski belum tentu dominan, dari segi geo-intelektual, sebagaimana pernah dijelaskan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, guru pasir tandis Mazinan, tempat kelahiran Syari'ati, menyediakan baginya kepekaan akan adanya penindasan, pertentangan, atau konflik (yang kemudian memberikan ruang bagi sosiologi dialektis Gurevitch).
C. Struktur Bangun Pemikiran Ali Syari'ati
Tidak hanya kesulitan sehubungan dengan kehidupannya yang informasinya yang kadang-kadang tak lengkap, kontradiktif, dan hagiografikal, tegas Shahrough Akhavi. Menganalisis karya-karya seorang ideolog par excellence, dalam istilah Dabashi, yang eklektik (eltegatigar) dan multidimensional dalam pemikiran dan tindakan, tapi fasih sekaligus emosional dan kontroversial, juga sangat problematis. Sifat eklektiknya mebnjadikannya mampu dengan satu tarikan napas menyebut Imam ali, Imam Husayn, Abu Zarr, Jean Paul Sartre, Franz Fanon, Massignon, weber, dan Karl Marx. Obskurantis statement-statementnya, menurut Ervand Abrahamian, disebabkan oleh kritiknya yang menggebu-gebu terhadap Syi'ah ortodoks dengan bahasa allegorikal, menggunakan double entendres, dan tanpa merujuk ke isu-isunya secara langsung. Oleh karena itu, Abrahamian menemukan tiga Syari'ati: (1) Syari'ati sebagai seorang sosiolog yang tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktik, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, dan antara kesadaran (consciousness) dan eksistensi kemanusiaan; (2) Syari'ati sebagai seorang penganut Syi'ah yang fanatik yang percaya bahwa Syi'ah revolusioner—berbeda dengan ideologi radikal lainnya—tidak akan tunduk kepada hukum besi (iron law) tentang peragian birokratik; dan (3) Syari'ati sebagai seorang penceramah umum (public speaker) yang bersemangat, artikulatif, dan oratorik yang sering menggunakan jargon, simplikasi, generalisasi, dan sinkretisme yang tajam terhadap institusi-institusi mapan religious estableishment.
Meskipun karya-karyanya yang multidimensional tampak kontradiktif, ada benang merah secara koheren dan konsisten menghubungkannya.
(1). Kerangka Teori (Theoritical Frame-work)
Ali Syari'ati dengan bertolak dari perspektif sosiologi membuat distingsi sebagai berikut. Pertama, dimensi statis dari masyarakat dan agama (static dimension of society/religion). Yang sentral di sini adalah bahwa agama merupakan seperangkat nilai yang karena terikat denganb dimensi partikularitas ajaran yang melingkupinya merupakan sesuatu yang statis. Kedua, dimensi dinamis dari masyarakat dan agama (dynamic dimension of society/religion). Dengan kategori kedua ini, Syari'ati "memotret" dengan analisis sosiologisnya bahwa ada dua dimensi dari dinamika tersebut: (1) perubahan-perubahan historis yang meniscayakan agama dan masyarakat berubah juga; (2) dengan kaca mata yang sama Syari'ati mengamati perkembangan yang terjadi pada iklim politik Iran.
Contoh-contoh Penerapan Kerangka teori:
Jika ide sentral ini sebagai sebuah kerangka berpikir ditarik ke pinggir (perifer), penerapannya terlihat jelas. Atas dasar kerangka berpikir seperti itu, Syari'ati melakukan kritik-kritik tajam terhadap: (a) agama, baik agama statis. Pertama, agama sebagai tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol keagamaan yang kaku yang dikondisikan oleh pemeluk dan pemimpinnya (spiritual leader). Dasar pijakan pemikiran inilah yang menjadikan Syuari'ati geram terhadap doktrin-doktrin kaku Syi'ah dan simbol-simbol keagamaannya, semisal gelar formalistik keagamaan ruhullah, ayatullah, dan sebagainya jika hal itu, menurutnya, tidak dilihat sebagai simbol revolusioner dan keberpihakan terhadap keadilan dan pembelaan al-mustadh'afîn. Image tokoh Syi'ah tradisional tentang Syari'ati sebagai tokoh intelektual anticlerical bertolak dari sini. Kedua, agama sebagai "ideologi" seperti elaborasi intelektualnya dalam Mazhab 'alayeih Mazhab (Agama versus Agama), di mana Syari'ati membangun tesisnya bahwa sepanjang sejarah (demikian analisis sejarahnya, dan Syari'ati di samping sebagai doktor dalam kajian sejarah Islam, pernah menyatakan bahwa wilayah kajiannya adalah sosiologi agama), agama tidak bergerak secara evolutif melawan non-agama, melainkan agama bertarung melawan "agama". Agama dalam pengertian pertama, menurutnya, adalah agama kebenaran yang disampaikan oleh para penggembala kambing (Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw.) yang berpihak pada kalangan lemah (al-mustadh'afîn). Misi kenabian selalu merupakan pertarungan melawan "agama" (agama yang diselewengkan) berupa multiteisme (syirk) dengan "pengebiran" agama oleh para aristokrat kaya (malâ' atau mutrafîn) dan penguasa untuk melegitimasi posisi mereka. Kritik Syari'ati terhadap agama yang menyusup sebagai ideologi penguasa yang mereduksi pesan-pesan transendental hanya menjadi justifikasi politis, sebagaimana terjadi pada regim Pahlevi ketika itu, mendasarkan diri atas analisis "sosiologi syrik" (the sociology of shirk) sebagaimana dimaknai yang sama oleh Ashgar Ali Engineer dalam Islam and Liberation. Pemaknaan teologis konvensional syirk yang berkutat pada "ketidakseimbangan hubungan personal-individual" hamba dan Tuhan ditarik oleh Syari'ati secara ekstensif; secara sosiologi syirk adalah "penyembahan" (multiteisme) terhadap realitas di luar Tuhan dan sekularisasi aspek-aspek sosial tindakan manusia dalam pengertian pemisahan kesalehan personal dan kesalehan sosial. Manifestasi syirk sosial adalah ketidakberpihakan terhadap yang lemah (al-mustadh'afîn) dan yang tertindas secara politis, korupsi, dan penggunaan kekerasan politik atas nama agama. Dalam karyanya, Hajj, Syari'ati melakukan reinterpretasi simbolik atas ritual-ritual dalam haji serta melakukan pembongkaran kebekuan pemahaman doktrinal dan mentransformasikan interpretasi simbolik dan revolusioner tersebut kepada gerak dan "kesadaran diskursif", meminjam istilah Anthony Giddens, dengan membuat distansi "kesadaran praktis" dan kesadaran regim. Atas dasar riset-risetnya terhadap evolusi historis setiap agama dalam lapangan sejarah agama, haji, menurutnya, secara esensial adalah evolusi manusia menuju Allah swt yang memuat simbol-simbol dari filsafat penciptaan Adam, sebuah skenario-ilahi tentang "konfrontasi Allah-syetan", yang berisi filosofi tawhîd, îtsâr, jihâd, dan syahâdat (martyrdom). Karena titik-tolak haji ke konfrontasi/dialektika hingga misi pembebasan adalah cukup argumentatif jika Steven R. Benson menganggap karyanya, Hajj, sebagai a mystical handboook for revolutioneries".
Dengan kerangka berpikir itu, kritik sosiologis Syari'ati tidak hanya ditujukan kepada dimensi statis agama dalam bentuk konsep-konsep, doktrin atau ajaran yang kaku (tradisi dan ideologi). Kritik internal yang sangat sistematis dan bersemangat, yang kemudian menimbulkan tuduhan atasnya sebagai seorang Sunni, justeru diarahkan kepada dimensi dinamis agama yang dihadapi, yaitu Syi'ah sebagai regim yang justeru secara faktual menyebabkan rakyat Iran tertindas dan menderita.
(2). Metode dan Pendekatan
Dari setting sosial dan biografinya, Syari'ati mengalami internalisasi ke dalam dirinya pelbagai tradisi berpikir (sufisme, filsafat eksistensialisme, historis-sosiologis model dialektis, ide keagamaan Katolik yang leftist, serta doktrin Syi'ah yang kental). Di samping kiprah intelektualnya, Syari'ah merupakan sosok seorang idealog dan kritikus sosial. Dari latar belakang keilmuannya sebagai sejarahwan, sosiolog, dan aktivis yang melakukan kritik tajam terhadap regim, Syari'ati membangun struktur berpikirnya dengan pendekatan "kritik sosiologis" (sociological criticism).
Pendekatan "kritik sosiologis" sesungguhnya dibangun atas dasar pandangan berikut. Pertama, bahwa selalu terjadi dialektika, pertarungan (constant warfare antara Qâbil dan Hâbil dalam istilah Syari'ati). Jadi, dengan model dialektika Hegelian, Syari'ati melakukan kritik atas pelbagai wacana dan realitas keagamaan, sosial, dan politik bahwa harus ada proses dialektika; ada proses negasi (nafy, rekonstruksi, pembongkaran, atau kritik) dan diikuti oleh proses affirmasi (itsbât, penegasan, pembangunan visi dan proyeksi tentang realitas yang seharusnya). Syari'ati secara sosiologis melakukan kritik sekaligus melakukan pendasaran baru. Dialektika yang sesungguhnya berinterkoneksi dengan materialisme historis Karl Marx (dengan pemaknaan Syari'ati) itu secara eksplisit dijelaskannya dalam On the Sociology of Islam, ketika merumuskan filsafat Islam tentang sejarah berikut:
According to the Islamic school of thought, the philosophy of history is based on a certain kind of historical determinism. History represents an unbroken flow of events that, like man himselft, is dominated by a dialectical contradiction, a constant warfare between two hostile and contradictory elements that began with the creation of humanity and has been waged at all places and at all times, and the sum total of which constitutes history."
Kedua, bahwa bahasa teks-teks dilihat sebagai bahasa simbolik yang selalu hidup, polyinterpretable, dan memberikan pesan-pesan yang baru dan revolusioner yang hanya merupakan representasi pemikiran, ide, atau gagasan, melainkan teks yang selalu memberikan pesan baru. Teks, bagi Syari'ati, selalu memberikan makna baru untuk kritik konteks atau realitas yang sedang dihadapi.
Dalam konteks pengkajian Islam, Syari'ati mengandaikan penerapan perangkat metodologi Barat—sebatas tidak "gharbzabeh" (westernisasi)—seperti tampak dalam kutipan berikut:
The question now arise, what is the correct method? In order to learn and to know Islam, we must not imitate and make use of European methods-the naturalistic, psycological or sosiological methods. We must be innovative in the choice of method. We must of course learn the scientific methods of Europe, but we do not necessarily need to follow them.
Dengan demikian, Syari'ati menerapkan metode sintesis (doktrinal dan saintifik) atas setiap wacana pemikiran yang dielaborasinya, baik sosiologis, historis, antropologis, kebahasaan, filosofis (terutama eksistensialisme), yang selalu terfokus pada misi sentral: "pembebasan", sehingga selalu bercorak "menggerakkan". Namun, Syari'ati juga bersikap kritis dan inovatif dalam pemilihan metode-metode Barat tersebut. Oleh karena itu, pendangan sufistiknya, misalnya, menyediakan analisis atas doktrin semisal syahâdah (martyrdom) sebagai landasan spiritual bagi pembebasan. Demikian pula, pendekatan filsafat model eksistensialisme digunakan dalam humanismenya, sekaligus menjembatani bagi penyadaran akan konflik yang konstan, sebagaimana dijelaskan melalui perspektif sosiologi dialektis. Dengan demikian, analisis dan kritik Syari'ati bergerak sesungguhnya bolak-balik antara analisis doktrinal (teks-teks keagamaan) dan analisis saintifik (metode-metode ilmiah).
Atas dasar pembedaan dua tradisi berpikir yang dialami Syari'ati, yaitu tradisi berpikir Barat di satu sisi dan ikatan kuat tradisi berpikir Syi'ahnya, maka terjadi fusi atau peleburan identitas kedua pendekatan tersebut, jika tidak—seperti dinyatakan Rob Fisher bahwa "having many different homes or contexts makes the crisis one of identity". Oleh karena itu, pembacaan eksistensialisme Sartre, setelah mengalami internalisasi dan fusi dengan doktrin Syi'ah, melahirkan eksistensialime theistik Syari'ati. Sambil mengakui "delassement" (left on its own) Jean Paul Sartre (1905-1980), kesempurnaan manusia (insan, bukan basyar yang hanya bersifat fisik), menurut Syari'ati, tidak hanya ditentukan oleh kemampuan pilihan dan berontak, tapi juga menentukan pilihan melalui doa. Dengan skema berpikir model itu pulalah, misalnya, dijelaskan hubungan cinta-benci (love-hate relationship), demikian Dabashi, antara Syari'ati dan Marx. Syari'ati membedakan pemikiran Marx: (1) Marx muda sebagai seorang filsuf atheistik, pengembang materialisme dialekstis yang menolak eksistensi tuhan, (2) Marx dewasa sebagai seorang ilmuwan sosial yang menjelaskan bagaimana penguasa mengeksploitasi yang dikuasai (the ruled) yang sebenarnya menjelaskan "determinisme sejarah", bukan determinisme ekonomi, dan (3) Marx tua yang pemikirannya terdistorsi (distorted Marxism) melalui vulgarisasi, birokratisasi, dan iron law of oligarchy di tangan Engels, Kautsky, dan stalin, sehingga menjadi dogma ketimbang ilmiah (scientific Marxism). Syari'ati menolak Marx tua yang vulgar dan Marx muda yang atheis, dan menerima Marx dewasa.
Fusi atau peleburan antara dua tradisi berpikir tersebut juga berimplikasi pada "mencairnya" doktrin Syi'ah Syari'ati. Perangkat metodologis keilmuan Barat, sosiologi dan sejarah dialektis yang sangat bernuansa neo-Marxisme dan leftist-liberatif menarik doktrin Syi'ah, dalam tafsiran Syari'ati atas simbol-simbolnya, ke "Syi'ah merah" yang liberatif. Dalam konteks itu, netralitas ilmu-ilmu soail bahea sosiologi hanyalah menjadi perangkat analisis atas realitas (masyarakat) tanpa menawarkan pemecahan masalah, sebagaimana dianut beberapa ilmuwan sosial, agaknya, menurutnya, harus "dilebur" dalam konteks (ideologi atau agama). Dengan metode sintesis Barat-Syi'ah tersebut, Syari'ati melakukan kritik ganda dari dua arah: (1) kritik ke dalam, di mana Syari'ati melakukan reinterpretasi dan kritik atas pelbagai doktrin kaku Syi'ah, seperti taqiyyah dan panjang-pendek jenggot. Penggunaan literatur sunni oleh Syari'ati, suatu hal yang ditabukan di kalangan ulama Syi'ah, dan begitu sebaliknya, menyebabkan ulama Syi'ah menuduhnya sebagai sunni, sebagaimana terjadi pada ayahnya. Pelabelan oleh Haidar Bagir terhadap Syari'ati sebagai "Syi'ah yang sunni" karena alasan ini; (2) kritik ke luar, di mana is tidak hanya melakukan pembongkaran atas religious establishments, juga ideologi-ideologi Barat mapan, seperti Marxisme, liberalisme, eksistensialisme, maupun kapitalisme, termasuk kritik tajamnya terhadap humanisme Marxist, sebagaimana diartikulasikannya dengan sistematis dalam Marxism and Other Western Fallacies, an Islamic Critique.
Metode sintesis Barat-Syi'ah (saintifik-doktrinal) terhadap isu-isu keagamaan dan kemanusiaan dimungkinkan fusinya, karena, menurutnya, dibangun di atas apa yang idsebutnya sebagai "pandangan dunia tawhid" (world-view of tawhid) atau "sosiologi syirk". Hasilnya sebagai peragian pelbagai elemen dan kristalisasi pemikiran beberapa tokoh, serta sosio-historis yang melingkupinya adalah "Islam Syi'ah yang liberatif", "humanisme Islam yang liberatif", "dialog Islam—neo-Marxisme", dan yang semaknanya. Dengan demikian, pembacaan Syari'ati atas pelbagai fenomena dan isu menerapkan metode sintesis Barat-Islam dengan bolak-balik antara keduanya dengan aplikasi secara spesifik sociological criticism (kritik sosiologis), dan bertolak dari pembedaan atau gradasi antara yang dinamis dan statis dari entitas-entitas (sosial keagamaan maupun politik) sebagai karangka teori (lihat skema dalam lampiran).
D. Humanisme Islam Versi Ali Syari'ati
Pandangan humanisme Syari'ati bertolak dari tesisnya "My basic theses is that today's humankind is generally incarcerated within several prisons, and naturally it becomes a true human being only if it can liberate itself from these deterministic conditions." Manusia adalah makhluk yang terpenjara dalam determinisme-determinisme yang mengungkungnya. Eksistensi manusia harus diisi dengan esensi melalui proses perkembangan dari "being" (al-Qur'an menunjuk realitas fisik ini [misalnya, Qs. 18; 110 dan 17: 11 sebagaimana dikutip Syari'ati] dengan istilah basyar) ke "becoming" (insân). Kebagaimanaan dan kesiapaan (how-ness and who-ness) manusia secara substansial dilihat oleh Syari'ati dari dua sisi. Pertama, kesiapaan manusia dibentuk oleh tiga karakter: (1) kesadaran diri (self-consciousness) yang didefinisikannya dengan unsur triadik, yaitu "perceiving one's quality and nature, perceiving the quality and the nature of the universe, and perceiving one's relationship with the universe"; (2) kemampuan untuk menetukan pilihan, yaitu kemampuan untuk tidak hanya berontak melawan nature dan tatanan yang menguasainya, tapi juga melawan keinginan alami, fisik, atau psikologisnya sendiri. Syari'ati menarik bentangan hakikat manusia dari "berpikir" cogito ergo sum (I think, therefore I am) Rene Descartes (filsuf Perancis, 1569-1650), "merasa" (I feel, therefore I am) Andre Gide (intelektual Perancis, 1869-1951) hingga "berontak" (I revolt, therefore I am) Albert Camus (Perancis, 1913-1960); dan (3) Manusia adalah makhluk yang kreatif (mencipta). Kedua, kebagaimanaan manusia mensicayakan untuk menerobos batas-batas penjara yang mengungkungnya, yaitu: (1) materialisme yang telah memenjarakan manusia kerangka evolusionernya hanya terbatas pada materi, (2) naturalisme yang karena melihat manusia sebagai bagian dari produk alam telah mencerabut dimensi kesadarannya (consciousness) untuk bebas, memilih, dan merasa; dan (3) eksistensialisme. Meski eksistensialisme Sartre, Heidegger, Dan Soren Kierkrgaard (1813-1855), menurut Syari'ati, khususnya eksistensialisme Sartre, telah membedakan secara tepat antara manusia dan hewan atas dasar bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi sehingga insaniyyah manusia hakikatnya adalah mengisi eksistensi dengan esensi. Namun, karena mendasarkan diri atas materi dan alam, eksistensialisme non-theistik, akhirnya, menurut Syari'ati, menempatkan how-ness dan who-ness manusia di atas fondasi yang rapuh.
"Penjara-penjara" lainnya, menurutnya, adalah pantheisme, historisisme, sosiologisme (determinisme sosiologis), biologisme, dan "penjara" diri sendiri. Syari'ati sebenarnya tidak menafikan sama sekali naturalisme, sosiologisme, atau historisisme. Ia hanya menjelaskan determinisme-determinisme yang mungkin mengkondisikan "kesadaran praktis" manusia untuk selanjutnya mentransformasikan being-basyar ke becoming-insan melalui "kesadaran diskursif" untuk menembus penjara sejarah. Penjelasan Syari'ati tentang determinisme-determinisme yang "memenjarakan" manusia tersebut paralel dengan penjelasannya tentang determinisme historis yang justeru dalam rangka "against stream" atau "against history".
E. Catatan Kritis
(1). Catatan Perbandingan
Jika pemikiran Ali Syari'ati diperhadapkan dengan pemikiran hasan Hanafi, setidaknya ada dua kesadaran yang menghubungkan keduanya, namun berangkat dari titik-tolak yang berbeda. Pertama, kesadaran akan keniscayaan "pembebasan" umat Islam dari keterbelakangan kultural dan oppressi politik. Kedua, kesadaran akan kungkungan hegemoni Barat atas Timur. Berbeda dengan Syari'ati yang bertolak dari analisis historis-sosiologis (bukan teologis, meski bersentuhan dengan ide-ide pembebasan teologi Kristen), Hasan Hanafi menarik "analisis teks" (dogma) ke "analisis tindakan" (revolusi) atas dasar kerangka konseptual bahwa ada pergeseran dari abad ke abad (dari yang hampir "tak ada" ke "segala sesuatu" (from almost nothing to everything) dari keyakinan yang fideisme murni atas dasar otoritas teks ke teologi yang spekulatif filosofis murni, Hasan Hanafi mencoba melakukan rekonstruksi teologi "dogmatis" ke teologi "revolusioner-liberatif", sebagaimana dielaborasi dengan jelas dalan Min al-'Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Muhâwalah li I'âdat Binâ' 'Ilm Ushûl al-Dîn. Pembebasan model Syari'ati bertolak dari analisis historis sosiologis dialektis yang, karenanya, ke dalam hanya berupa reinterpretasi umum doktrin (Islam Syi'ah). Hasan Hanafi dalam proyek pembebasannya, karena bertolak dari analisis teologis, masuk ke jantung Islam. Di sisi lain, jika kesadaran akan hegemoni Barat membawa Syari'ati kepada kritik-kritik tajam dan sistematis atas pelbagai konsep Barat dalam wacana sosiologi dan sejarah, seperti kritiknya terhadap humanisme Marxist dan ekonomi kapitalis, maka dalam konteks yang sama Hasan Hanafi menggelar proyek besar untuk menggeser orientalisme ke oksidentalisme, seperti tertuang dalam karyanya, Muqaddimah fi 'Ilm al-Istigrâb, dalam rangka counter-balance sentralisasi Barat dan marginalisasi Timur dalam sejarah sain dan peradaban.
Jika eksistensialisme theistik Iqbal terpusat pada kebangkitan kesadaran kedirian dari penjara "ego" secara individual sehingga lebih bersifat murni filosofis, Syari'ati "mengislamkan" eksistensialisme Sartre untuk dipadukan dalam gerakan sosial liberatif, sehingga menyusup dalam dimensi-dimensi politis (paralel dengan pandangan neo-Marxismenya). Kuatnya kecenderungan aktivitas sosial-politik dan keagamaan ini pulalah yang membedakannya dengan Murtada Mutahhari atau Muhammad Baqir al-Sadr yang—meski aktif dalam hal yang sama—lebih hidup dalam tradisi pemikiran (filsafat atau mistisisme), meski sama-sama menunjukkan sikap kritisnya terhadap warisan intelektual Barat. Di sisi lain, meski sama-sama lebur dalam aktivitas sosial-politik keagamaan, berbeda dengan Syari'ati, Sayid Quthb hampir tidak melakukan kritik wacana keagamaan.
(2) Implikasi Paradoksal
Shahrough Akhavi dalam tulisannya, "Shari'ati's Social Thought" menemukan beberapa implikasi paradoksal pemikiran Syari'ati, yang bisa menggoncangkan proyek pemikiran Islam modern yang ingin dibangunnya. Pertama, dilihat dari perspektif epistemologi, apakah konflik atau pertentangan kelas yang dimaksud Syari'ati tersebut hanya merupakan penampakan dari suatu realitas (appearance of a reality) yang lebih mendasar dan yang tak dapat kita ketahui? Jika Syari'ati menganggap dunia ini sebagai realitas yang begitu kompleks sehingga kita hanya bisa berharap mengetahui aspek-aspek tertentu saja, kita dapat mengidentifikasinya dengan metodologi Husserl, Weber, dan Schute yang menyatakan ketidakmungkinan adanya hukum alam yang dapat mengcover dan menjelaskan kekuatan atau hubungan kausal di dalamnya. Absennya jawaban Syari'ati tentang manusia sebagai wujud otonom atau ketergantungan pengetahuan manusia pada Tuhan, sebenarnya menarik Syari'ati kembali kepada "wa Allâh ya'lam wa antum lâ ta'lamûn" (Tuhan Mahatahu, sedangkan kamu tidak tahu). Dua horizon pemikiran (Barat-Islam [Syi'ah]) adakalanya tidak mungkin lebut secara sempurna. Adalah konsekuensi yang logis dalam proses tarik-menarik antara dua kekuatan tersebut, Syari'ati, akhirnya, terseret ke salah satunya dalam konteks-konteks tertentu, tapi tidak bersifat umum. Inkonsistensi karena pergeseran pemikiran tersebut berimplikasi paradoksal dengan kerangka umumnya untuk membangun kesadaran eksistensialis manusia untuk tujuan revolusi. Kedua, dari perspektif filsafat sejarah, pergeseran-pergeseran terjadi sangat mencolok. Gerak sejarah yang ditandai dengan bangun dan jatuhnya peradaban, menurutnya, kadang-kadang disebabkan oleh adanya konflik dan pertentangan, yang pada tulisannya yang lain, disebabkan oleh konfigurasi antarunsur: manusia, tokoh sejarah, moment, dan tradisi. Dalam konteks itu, penjelasan Syari'ati tentang kebebasan berkehendak tampak kabur karena adanya keterputusan hubungan yang seharusnya dihubungkannya antara kehendak manusia, konflik sosial, kekuasaan Tuhan, alam, manusia, dan apa yang disebutnya sebagai "esensi yang tersembunyi" (dzât) yang, menurutnya, menjadi realitas utama. Kegagalan Syari'ati menjelaskan hal ini menyebabkan pandangannya tentang humanisme Islam yang mengasumsikan pembebasan manusia yang berada dalam konflik-konflik dari penjara determinisme-determinisme tampak juga problematis. Di sisi lain, sosiolog barangkali menuntut penjelasan Syari'ati tentang formulasinya bahwa pertentangan kelas tidak akan dapat terjadi pada komunitas Syi'ah sejati dalam sejarah. Jawaban Syari'ati bahwa hal itu pada level by definition tetap tidak dapat menghilangkan kesan kuatnya tarikan loyalitas Syi'ahnya yang ditanamkann secara mendalam oleh ayahnya, Muhammad Taqi Syari'ati.
E. Penutup
Fokus tulisan ini sesungguhnya adalah menjelaskan struktur fundamental berpikir Syari'ati. Ambiguitas-ambiguitas yang tampak pada contoh-contoh spesifik pemikirannya harus "diangkat" ke tingkat struktur fundamental tersebut yang dapat menjelaskan benang-merah (koherensi atau konsistensi). Dengan pemahaman bolak-balik antara universal dan partikular, pembacaan terhadap Syari'ati akan mendekati posisi sesungguhnya. Satu hal yang bisa dipastikan adalah bahwa Syari'ati adalah produk zamannya (ibn zamânihi) yang bersentuhan dan dipengaruhi oleh pembebasan di dunia ketiga, baik pada tingkat wacana maupun pada tingkat praksisnya.[]
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamian, Ervand. Radical Islam, the Iranian Mojahedin. London: I.B. Tauris Publishers, 1989.
Akhavi, Shahrough. "Ali Shari'ati", John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopaedia of Islamic World. Oxford: Oxford University Press, 1995. Vol. IV.
Algar, Hamid. "Ali Shari'ati", Reeva S. Simon, Philip Mattar, dan Richard W. Bulliet (eds.). Encyclopaedia of Modern Middle East. New York: Macmillan Refference & Simon dan Schuster Macmillan, 1996. Vol. 4.
Ali Rahnema, "Ali Shari'ati, Teacher, Preacher, Rebel", Ali Rahnema (ed.). Pioneers of Islamic Revival. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996.
Ali Syari'ati, "Humanity and Islam", Charles Kurzman (ed.). Liberal Islam, an Sourcebook. Oxford: Oxford University Press, 1998.
------------------. Hajj. Terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1997.
------------------. Religion Against Religion. Terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
------------------. Ummat dan Imamah. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989.
Azra, Azyumardi. "Akar-akar Revolusi Iran, Filsafat Pergerakan Ali Syari'ati", M. Deden Ridwan (ed.). Melawan Hegemoni Barat, Ali Syari'ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia. Jakarta: Penerbit Lentera, 1999.
Cottam, Richard W. "The Iranian Revolution", Juan R.I. Cole dan Nikki R. Keddie (eds.). Shi'ism and Social Protest. New Haven dan London: Yale University Press, 1986.
Dabashi, Hamid. "Ali Shari'ati's Islam: Revolutionary Uses of Faith in a Post-traditional Society". The Islamic Quarterly: a Review of Islamic Culture. Ed. A.A. Mughram, vol. XXVII, nomor 4, fourth quarter, 1983.
Fisher, Rob. "Philosophical Approaches", Peter Connolly (ed.). Approaches to the Study of Religion. London & New York: Cassel, 1999.
Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World. Cairo: The Anglo-Egyptian Bookshop, 1995, vol. II.
Hanson, Brad. "The 'Wetoxication' of Iran: Depictions and Reactions of Behrangi, Ale Ahmed, and Shari'ati". International Journal of Middle East Studies, Cambridge University Press, 1980.
Ibnu Khaldun. al-Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Islam: Mazhab Pemikiran dan Aksi. Terj. M.S. Nasrullah dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan, 1995.
Lee, Robert D. Overcoming Tradition and Modernity. Terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, 2000.
Sachedina, Abdulaziz. "Ali Shari'ati: Ideologue of the Iranian Revolution", John L. Esposito (ed.). Voices of Ressurgent Islam. Oxford: Oxford University Press, Inc., 1983.
Schulze, Reinhard. A Modern History of Islamic World. London & New York: I.B. Tauris Publishers, 2000.
Skema: Metode Berpikir Ali Syari'ati
This article will explore Ali Shari'ati's approach to revolutionary Islam. The discussion on his thoughts is important because of his decisive role as ideologue behind Iran revolution in 1970s. Educated in traditional millieu before his study in Sorbonne, his thoughts rooted deeply in textual sources.
But, in his view, the normative approach to Islam will make moslems be "imprisoned by the text", so he projected a revolutionary understanding of Islam in the sense that he sought to reconcile or synthesize the normative approaches with the western ones, such as sociological and anthropological studies. Therefore, the textual sources—according to him—must be understood figuratively for the shake of a revolution and sociological criticism must be implemented to adjust or to correct some mistakes of religious establishments in historical Islam.
A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan pemikiran (history of thought) Islam, baik periode klasik maupun tengah, tidak dapat dipisahkan dari perkembangan yang mengesankan dalam bidang intelektual, terutama tradisi filsafat dan mistisisme di Iran. Nama-nama semisal Mulla Shadra dan Suhrawardi al-Maqtul merepresentasikan secara jelas vitalitas negeri ini dalam konteks sejarah pemikiran Islam klasik. Selanjutnya, meletusnya revolusi Iran pada 1979 dalam perspektif sejarah pemikiran sesungguhnya tidak hanya menunjukkan puncak pertarungan politik Islam vis a vis regim Pahlavi, tapi juga pergumulan dan perkembangan wacana pemikiran Islam. Oleh karena itu, adalah wajar kemudian jika revolusi yang disebut sebagai revolution en messre itu dihubungkan dengan kebangkitan dua kelompok: ulama (religious scholars) dan kalangan intelektual "awam" (lay intellectuals). Ayatullah Murtadha Mutahhari dan Ayatullah Ruhullah Khomeini adalah yang paling menonjol dari kelompok pertama. Sedangkan, yang paling berpengaruh bagi kebangunan revolusi tersebut dari kelompok kedua adalah Ali Syari'ati, Mehdi Bazargan, dan Bani Sadr.
Ali Syari'ati (1933-1977) yang oleh Abdulaziz Sachedina dalam Voices of Ressurgent Islam, dan oleh Hamid Dabashi disebut sebagai the ideologist of the revolt, di samping telah berhasil menggoncangkan sendi-sendi ilmu sosial Barat, serta memaksa mereka meninjau ulang asumsi-asumsi dasar mereka, pemikiran-pemikirannya juga berimplikasi pada perkembangan yang sangat mengejutkan dalam wacana pemikiran Islam modern. Style "pembacaan" yang unik atas Islam yang terefleksi dalam tulisan-tulisan dan kuliah-kuliahnya, telah menyembulkan penyikapan yang beragam.
Tulisan ini mengeksplor pemikiran Ali Syari'ati dari segi stting sosio-historis yang melingkupinya, struktur fundamental metode berpikir, dan pokok-pokok pemikirannya dengan melakukan telaah kritis.
B. Biografi dan Setting Sosio-historis
Ali Syari'ati dilahirkan pada 1933 di Mazinan, sebuah desa kecil di pesisir gurun di Propinsi Khurasan (timur laut Iran). Pandangan dunia Syari'ati sangat dipengaruhi oleh iklim pedesaannya, sebagaimana diungkapkan dalam otobiografinya, Kavir (desert, gurun). Ayahnya, Muhammad Mazinani Taqi Syari'ati, adalah seorang ulama yang aktif dalam kegiatan-kegiatan keagamaan di Masyhad, tempat di mana imam Syi'ah kedelapan, Ali al-Ridha (w. 818), dimakamkan. Setelah menyelesaikan studi teologi dasarnya (moqaddamah) dan mulai studi menengah (sath), Muhammad Taqi Syari'ati meninggalkan perguruan tinggi dan mengajar di sistem pendidikan nasional. Sifatnya yang reformis dan kontroversial menjadikannya sebagai unconventional cleric. Problematika sosio-politis, seperti pengekangan atas kegiatan keagamaan dan politik publik di satu sisi, dan problematika pemahaman keagamaan di sisi lain mendorongnya aktif dalam Kanoun-e Nashr-e Haqayeq-e Eslami (Pusat Dakwah Kebenaran Islam) pada 1941 untuk menyuarakan "semangat Islam progressif". Pada pertengahan 1940-an ia membentuk Nezhat-e Khodaparastan-e Sosiyalist (Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan) dan mendukung gerakan Mosaddeq dan Front Nasional. Pada 1940-an and 1950-an, ia terlibat dalam diskusi intensif dengan beberapa pemikir, termasuk Ahmad Kasravi, sejarahwan Iran terkenal dan sosialis yang menyebabkan beredar romur bahwa Muhammad Taqi adalah seorang sunni dan wahhabi. Syari'ati muda menggambarkan Syari'ati tua sebagai the first real teacher. Dalam karyanya, Psukh bi badi az sualat, Syari'ati menjelaskan, "My father fashioned the early dimensions of my spirit, It was he who first taught me the art of thinking and the art of being human".
Kondisi sosio-historis intelektual itulah yang mengkristal dalam kesadaran intelektual Syari'ati, terlebih pemaknaan ayahnya terhadap Islam lebih sebagai doktrin sosial dan filosofis yang relevan dengan zaman modern dibanding sebagai keyakinan masa lalu yang bersifat individual. Pada 1941, Syari'ati masuk tingkat pertama sekolah swasta Ibn Yamin. Minat intelektualnya lebih tertarik pada literatur-literatur di luar sekolah, seperti Les Miserabes, karya Victor Hugo yang diterjemahkan ke bahasa Persia. Mistisisme dan filsafat lebih disukainya ketika ia menempuh pendidikan menengah. Pada 1953, ia berhasil menyelesaikan studinya di the Teachers College dan mengajar di Masyhad. Selama kurun waktu ini, ia berhasil menerjemahkan sebuah karya, Abu Zarr, Khodaparast-e Sosiyalist (Abu Zarr, Sosialis Penyembah Tuhan) yang kemudian menjadi biografi fiksi melalui tangan novelis Mesir, Abdol Hamid Jawdat. Buku tersebut mengklaim bahwa Abu Zarr adalah seorang sosialis paling awal di dunia. Pada 1956, Syari'ati melanjutkan studinya di Fakultas Sastera Universitas Masyhad untuk studi bahasa-bahasa asing, terutama Perancis dan Arab, selabjutnya memperoleh gelar MA.-nya tiga tahun kemudian. Ia sempat menerjemahkan dua buku dalam bahasa Perancis, Khish (Diri) dan Niayesh (Pendoa) yang ditulis oleh Alexis Carrel, pemenang hadiah nobel bidang kedokteran yang mencoba mengembangkan "humanisme Kristen" versinya untuk mengcounter materialisme Marxist. Akan tetapi, menurut Ervand Abrahamian, tidak jelas apakah Syari'ati mengetahui bahwa Alexis Carrel telah berkolaborasi dengan rezim petain sebelum kembali ke Kristen.
Pada 1959 (1960?) Syari'ati memperoleh kesempatan melanjutkan studinya di Sorbonne dalam bidang filologi dan menyelesaikan studi doktornya dengan disertasi Les Merites de Balkh (Fadhâ'il al-Balkh) pada 1963. Di Paris, ketika revolusi Aljazair memuncak, ia aktif dalam kegiatan politik dengan bergabung dalam Federasi Mahasiswa Iran, Cabang Front Nasional, dan Gerakan Pembebasan (Liberation Movement). Di samping itu, ia juga aktif dalam penerbitan periodik: Nameh-e Pars (journal empat bulanan) dan Iran-e Azad, menulis kolom di Non de Plume, artikel-artikel di El Mojahed, dan penerjemahan-penerjemahan: What is Poetry? karya Jean Paul Sartre, Guerilla Warfare karya Che Guevara, dan mulai menerjemahkan Wretched of the Earth dan Five Years of the Algerian War karya Franz Fanon, dan Le Meilleur Combat karya Ouzegan, sebagai perhargaan Syari'ati terhadap penulis terakhir ini sebagai " muslim marxist ".
Selama di Paris, Syari'ati sangat tertarik dengan studi orientalisme, sosiologi Perancis, dan teologi Kristen radikal, terutama teologi pembebasan. Kuliah-kuliah Louis bMassignon dan Henri Corbin yang diikutinya sangat berpengaruh terhadap spiritualitas Syari'ati. Di tahun-tahun terakhirnya, ia menulis bahwa Massignon adalah sosok satu-satunya yang paling berpengaruh pada dirinya. Ia menerjemahkan karya Massignon tentang al-Hallaj dan Salman Pak (al-Farisi), dua mistikus yang dieksekusi karena pandangan esoteriknya yang un-ortodoks. Cakrawala intelektual Syari'ati juga dibentuk oleh kuliah Raymond Aron, Roger Garaudy (intelektual komunis Perancis yang berupaya mendialogkan Marxisme dengan Kristen), Georges Politzer (filsuf Marxist ortodoks), dan intelektual yang paling penting bagi Syari'ati, Georges Gurvitch (sosiolog terkemuka Perancis dan pencetus apa yang disebut sebagai "sosiologi dialektis". Syari'ati menyukai gaya hidup dan teori sosiologi émigré Rusia militan ini yang berselisih paham dengan Stalin dan menyelamatkan diri dari kaum Fasis dan Stalinis. Di samping teori sosiologinya, catatan panjang perjuangannya melawan ketidakadilan membuat Syari'ati semakin mengaguminya dan menganggapnya sebagai "Abu Zarr versi Barat". Syari'ati sendiri pernah menulis bahwa ia sangat giat mengikuti kuliah Gurvitch ketika di Sorbonne, meski hanya mempunyai pengaruh kedua atas dirinya setelah Massignon. Tak hanya menyediakan kehangatan spiritual yang dalam bagi Syari'ati di tengah hiruk-pikuk kota Sorbonne, seperti halnya Masnawi Jalal al-Din al-Rumi yang menyelamatkannya dari niat bunuh diri karena kegoncangan fondasi keagamaannya ketika di Iran, melalui Massignon, Syari'ati diekspose di Esprit, sebuah journal Katolik radikal yang diprakarsai oleh Emmanuel Mounier, seorang penganut Katolik sosialis untuk mendukung gerakan sayap kiri dalam rangka pembebasan nasional di dunia ketiga. Jika keterlibatannya di journal Iran-I Azad dan El Mojahed menjadikannya akrab dengan ide-ide pembebasan di dunia ketiga, seperti Franz Fanon (w. 1961), Aime Cesaire, dan Amilcar Cabral (w. 1973), maka Esprit memperkenalkannya ide-ide semisal Michel Foucault, Corbin, Berque, dan Henri Lefebvre. Lebih dari itu, Esprit mengetengahkan dialog Marxist-Kristen, Katolik Kiri, sosialisme religius Jaure, revolusionerisme Kristen, serta ide-ide egalitarian.
Selain melalui tulisannya, Jacques Berque melalui kuliah-kuliahnya membentuk pandangan sosiologis Syari'ati tentang agama. Dari Jean Paul Sartre (eksistensialis), Syari'ati memperoleh prinsip kebebasan manusia untuk bangkit melawan penindasan. Jean Cocteau menunjukinya bagaimana atau sejauh mana jiwa dapat berkembang. Persentuhan Syari'ati dengan pemikiran Alexis Carrel terjadi terutama tentang mungkinnya meletakkan sikap ilmiah di atas keyakinan metafisis yang tidak dijelaskan secara ilmiah sekalipun. Man, the Unknown dan Prayers karya Carrel (yang diterjemahkan ke bahasa Persia) dengan ditopang oleh ide Max Planck agaknya cukup dominan mempengaruhi pemikiran Syari'ati dalam hal ini.
Setelah berhasil mempertahankan disertasi doktornya, Les Merites de Balkh (Fadhâ'il al-Balkh), sebuah kajian filologis tentang sejarah Islam abad pertengahan (Histoire de l'Islam Medieval), sebagaimana tercantum dalam ijazahnya, atas bimbingan Prof. Gilbert Lazard dengan predikat passable (predikat terendah) pada 1963, Syari'ati dan keluarga kembali ke Iran. Di perbatasan Iran-Turki, Syari'ati ditahan dan dipenjara selama enam bulan karena kegiatan-kegiatan politiknya di Perancis. Setelah dibebaskan, ia mengajar di sekolah menengah di Masyhad, kemudian di fakultas sastera. Pada 1969, ia aktif di Hosaynieh Ersyad. Tiga bulan berikutnya merupakan masa-masa produktifnya dalam berkarya. Di antara karya-karyanya adalah Darsha-ye Islamshenasi (Islamologi), Syahadat (Martirdom), Mazhab 'alayieh Mazhab (Agama versus Agama), Hajj, Jabr-e Tarikhi (Determinisme Sejarah), dan Resalat-e Rawshanfekr Bara-ye Sakhtan-e Jam'eh (Tugas Cendekiawan dalam Membentuk Masyarakat). Masa-masa selanjutnya merupakan masa pergumulan Syari'ati yang sangat intens dalam bidang intelektual dan politik, termasuk aktivitasnya bersama Ayatullah Murtadha Mutahhari dan Mehdi Bazargan. Ali Syari'ati meninaggal di London dengan sebab kematian yang masih misterius. Karena kuatnya pergesekan politiknya vis a vis pemerintahan Iran, agen polisi rahasia (SAVAK) dicurigai sebagai yang paling bertanggung jawab atas kematiannya.
Secara psiko-intelektual, pelbagai elemen yang membentuk struktur bangun pemikiran (system of thought) Syari'ati, sebagaimana dikemukakan, bisa direduksi di sini kepada: (1) Pendidikannya di Iran—formal dan non-formal—hingga di Perancis (dari Massignon yang pakar sufisme, sosiolog Gurevitch, sejarahwan Berque, hingga Sartyre yang eksistensialis) menjadi faktor yang dominan yang menghembuskan dimensi "pembebasan" agama yang kemudian diberikan tempat oleh tradisi berpikir Syai'ahnya; (2) Kondisi sosio-politis yang meniscayakan pembebasan dari segala bentuk oppressi; dan (3) Meski belum tentu dominan, dari segi geo-intelektual, sebagaimana pernah dijelaskan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah, guru pasir tandis Mazinan, tempat kelahiran Syari'ati, menyediakan baginya kepekaan akan adanya penindasan, pertentangan, atau konflik (yang kemudian memberikan ruang bagi sosiologi dialektis Gurevitch).
C. Struktur Bangun Pemikiran Ali Syari'ati
Tidak hanya kesulitan sehubungan dengan kehidupannya yang informasinya yang kadang-kadang tak lengkap, kontradiktif, dan hagiografikal, tegas Shahrough Akhavi. Menganalisis karya-karya seorang ideolog par excellence, dalam istilah Dabashi, yang eklektik (eltegatigar) dan multidimensional dalam pemikiran dan tindakan, tapi fasih sekaligus emosional dan kontroversial, juga sangat problematis. Sifat eklektiknya mebnjadikannya mampu dengan satu tarikan napas menyebut Imam ali, Imam Husayn, Abu Zarr, Jean Paul Sartre, Franz Fanon, Massignon, weber, dan Karl Marx. Obskurantis statement-statementnya, menurut Ervand Abrahamian, disebabkan oleh kritiknya yang menggebu-gebu terhadap Syi'ah ortodoks dengan bahasa allegorikal, menggunakan double entendres, dan tanpa merujuk ke isu-isunya secara langsung. Oleh karena itu, Abrahamian menemukan tiga Syari'ati: (1) Syari'ati sebagai seorang sosiolog yang tertarik pada hubungan dialektis antara teori dan praktik, antara ide dan kekuatan-kekuatan sosial, dan antara kesadaran (consciousness) dan eksistensi kemanusiaan; (2) Syari'ati sebagai seorang penganut Syi'ah yang fanatik yang percaya bahwa Syi'ah revolusioner—berbeda dengan ideologi radikal lainnya—tidak akan tunduk kepada hukum besi (iron law) tentang peragian birokratik; dan (3) Syari'ati sebagai seorang penceramah umum (public speaker) yang bersemangat, artikulatif, dan oratorik yang sering menggunakan jargon, simplikasi, generalisasi, dan sinkretisme yang tajam terhadap institusi-institusi mapan religious estableishment.
Meskipun karya-karyanya yang multidimensional tampak kontradiktif, ada benang merah secara koheren dan konsisten menghubungkannya.
(1). Kerangka Teori (Theoritical Frame-work)
Ali Syari'ati dengan bertolak dari perspektif sosiologi membuat distingsi sebagai berikut. Pertama, dimensi statis dari masyarakat dan agama (static dimension of society/religion). Yang sentral di sini adalah bahwa agama merupakan seperangkat nilai yang karena terikat denganb dimensi partikularitas ajaran yang melingkupinya merupakan sesuatu yang statis. Kedua, dimensi dinamis dari masyarakat dan agama (dynamic dimension of society/religion). Dengan kategori kedua ini, Syari'ati "memotret" dengan analisis sosiologisnya bahwa ada dua dimensi dari dinamika tersebut: (1) perubahan-perubahan historis yang meniscayakan agama dan masyarakat berubah juga; (2) dengan kaca mata yang sama Syari'ati mengamati perkembangan yang terjadi pada iklim politik Iran.
Contoh-contoh Penerapan Kerangka teori:
Jika ide sentral ini sebagai sebuah kerangka berpikir ditarik ke pinggir (perifer), penerapannya terlihat jelas. Atas dasar kerangka berpikir seperti itu, Syari'ati melakukan kritik-kritik tajam terhadap: (a) agama, baik agama statis. Pertama, agama sebagai tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol keagamaan yang kaku yang dikondisikan oleh pemeluk dan pemimpinnya (spiritual leader). Dasar pijakan pemikiran inilah yang menjadikan Syuari'ati geram terhadap doktrin-doktrin kaku Syi'ah dan simbol-simbol keagamaannya, semisal gelar formalistik keagamaan ruhullah, ayatullah, dan sebagainya jika hal itu, menurutnya, tidak dilihat sebagai simbol revolusioner dan keberpihakan terhadap keadilan dan pembelaan al-mustadh'afîn. Image tokoh Syi'ah tradisional tentang Syari'ati sebagai tokoh intelektual anticlerical bertolak dari sini. Kedua, agama sebagai "ideologi" seperti elaborasi intelektualnya dalam Mazhab 'alayeih Mazhab (Agama versus Agama), di mana Syari'ati membangun tesisnya bahwa sepanjang sejarah (demikian analisis sejarahnya, dan Syari'ati di samping sebagai doktor dalam kajian sejarah Islam, pernah menyatakan bahwa wilayah kajiannya adalah sosiologi agama), agama tidak bergerak secara evolutif melawan non-agama, melainkan agama bertarung melawan "agama". Agama dalam pengertian pertama, menurutnya, adalah agama kebenaran yang disampaikan oleh para penggembala kambing (Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad saw.) yang berpihak pada kalangan lemah (al-mustadh'afîn). Misi kenabian selalu merupakan pertarungan melawan "agama" (agama yang diselewengkan) berupa multiteisme (syirk) dengan "pengebiran" agama oleh para aristokrat kaya (malâ' atau mutrafîn) dan penguasa untuk melegitimasi posisi mereka. Kritik Syari'ati terhadap agama yang menyusup sebagai ideologi penguasa yang mereduksi pesan-pesan transendental hanya menjadi justifikasi politis, sebagaimana terjadi pada regim Pahlevi ketika itu, mendasarkan diri atas analisis "sosiologi syrik" (the sociology of shirk) sebagaimana dimaknai yang sama oleh Ashgar Ali Engineer dalam Islam and Liberation. Pemaknaan teologis konvensional syirk yang berkutat pada "ketidakseimbangan hubungan personal-individual" hamba dan Tuhan ditarik oleh Syari'ati secara ekstensif; secara sosiologi syirk adalah "penyembahan" (multiteisme) terhadap realitas di luar Tuhan dan sekularisasi aspek-aspek sosial tindakan manusia dalam pengertian pemisahan kesalehan personal dan kesalehan sosial. Manifestasi syirk sosial adalah ketidakberpihakan terhadap yang lemah (al-mustadh'afîn) dan yang tertindas secara politis, korupsi, dan penggunaan kekerasan politik atas nama agama. Dalam karyanya, Hajj, Syari'ati melakukan reinterpretasi simbolik atas ritual-ritual dalam haji serta melakukan pembongkaran kebekuan pemahaman doktrinal dan mentransformasikan interpretasi simbolik dan revolusioner tersebut kepada gerak dan "kesadaran diskursif", meminjam istilah Anthony Giddens, dengan membuat distansi "kesadaran praktis" dan kesadaran regim. Atas dasar riset-risetnya terhadap evolusi historis setiap agama dalam lapangan sejarah agama, haji, menurutnya, secara esensial adalah evolusi manusia menuju Allah swt yang memuat simbol-simbol dari filsafat penciptaan Adam, sebuah skenario-ilahi tentang "konfrontasi Allah-syetan", yang berisi filosofi tawhîd, îtsâr, jihâd, dan syahâdat (martyrdom). Karena titik-tolak haji ke konfrontasi/dialektika hingga misi pembebasan adalah cukup argumentatif jika Steven R. Benson menganggap karyanya, Hajj, sebagai a mystical handboook for revolutioneries".
Dengan kerangka berpikir itu, kritik sosiologis Syari'ati tidak hanya ditujukan kepada dimensi statis agama dalam bentuk konsep-konsep, doktrin atau ajaran yang kaku (tradisi dan ideologi). Kritik internal yang sangat sistematis dan bersemangat, yang kemudian menimbulkan tuduhan atasnya sebagai seorang Sunni, justeru diarahkan kepada dimensi dinamis agama yang dihadapi, yaitu Syi'ah sebagai regim yang justeru secara faktual menyebabkan rakyat Iran tertindas dan menderita.
(2). Metode dan Pendekatan
Dari setting sosial dan biografinya, Syari'ati mengalami internalisasi ke dalam dirinya pelbagai tradisi berpikir (sufisme, filsafat eksistensialisme, historis-sosiologis model dialektis, ide keagamaan Katolik yang leftist, serta doktrin Syi'ah yang kental). Di samping kiprah intelektualnya, Syari'ah merupakan sosok seorang idealog dan kritikus sosial. Dari latar belakang keilmuannya sebagai sejarahwan, sosiolog, dan aktivis yang melakukan kritik tajam terhadap regim, Syari'ati membangun struktur berpikirnya dengan pendekatan "kritik sosiologis" (sociological criticism).
Pendekatan "kritik sosiologis" sesungguhnya dibangun atas dasar pandangan berikut. Pertama, bahwa selalu terjadi dialektika, pertarungan (constant warfare antara Qâbil dan Hâbil dalam istilah Syari'ati). Jadi, dengan model dialektika Hegelian, Syari'ati melakukan kritik atas pelbagai wacana dan realitas keagamaan, sosial, dan politik bahwa harus ada proses dialektika; ada proses negasi (nafy, rekonstruksi, pembongkaran, atau kritik) dan diikuti oleh proses affirmasi (itsbât, penegasan, pembangunan visi dan proyeksi tentang realitas yang seharusnya). Syari'ati secara sosiologis melakukan kritik sekaligus melakukan pendasaran baru. Dialektika yang sesungguhnya berinterkoneksi dengan materialisme historis Karl Marx (dengan pemaknaan Syari'ati) itu secara eksplisit dijelaskannya dalam On the Sociology of Islam, ketika merumuskan filsafat Islam tentang sejarah berikut:
According to the Islamic school of thought, the philosophy of history is based on a certain kind of historical determinism. History represents an unbroken flow of events that, like man himselft, is dominated by a dialectical contradiction, a constant warfare between two hostile and contradictory elements that began with the creation of humanity and has been waged at all places and at all times, and the sum total of which constitutes history."
Kedua, bahwa bahasa teks-teks dilihat sebagai bahasa simbolik yang selalu hidup, polyinterpretable, dan memberikan pesan-pesan yang baru dan revolusioner yang hanya merupakan representasi pemikiran, ide, atau gagasan, melainkan teks yang selalu memberikan pesan baru. Teks, bagi Syari'ati, selalu memberikan makna baru untuk kritik konteks atau realitas yang sedang dihadapi.
Dalam konteks pengkajian Islam, Syari'ati mengandaikan penerapan perangkat metodologi Barat—sebatas tidak "gharbzabeh" (westernisasi)—seperti tampak dalam kutipan berikut:
The question now arise, what is the correct method? In order to learn and to know Islam, we must not imitate and make use of European methods-the naturalistic, psycological or sosiological methods. We must be innovative in the choice of method. We must of course learn the scientific methods of Europe, but we do not necessarily need to follow them.
Dengan demikian, Syari'ati menerapkan metode sintesis (doktrinal dan saintifik) atas setiap wacana pemikiran yang dielaborasinya, baik sosiologis, historis, antropologis, kebahasaan, filosofis (terutama eksistensialisme), yang selalu terfokus pada misi sentral: "pembebasan", sehingga selalu bercorak "menggerakkan". Namun, Syari'ati juga bersikap kritis dan inovatif dalam pemilihan metode-metode Barat tersebut. Oleh karena itu, pendangan sufistiknya, misalnya, menyediakan analisis atas doktrin semisal syahâdah (martyrdom) sebagai landasan spiritual bagi pembebasan. Demikian pula, pendekatan filsafat model eksistensialisme digunakan dalam humanismenya, sekaligus menjembatani bagi penyadaran akan konflik yang konstan, sebagaimana dijelaskan melalui perspektif sosiologi dialektis. Dengan demikian, analisis dan kritik Syari'ati bergerak sesungguhnya bolak-balik antara analisis doktrinal (teks-teks keagamaan) dan analisis saintifik (metode-metode ilmiah).
Atas dasar pembedaan dua tradisi berpikir yang dialami Syari'ati, yaitu tradisi berpikir Barat di satu sisi dan ikatan kuat tradisi berpikir Syi'ahnya, maka terjadi fusi atau peleburan identitas kedua pendekatan tersebut, jika tidak—seperti dinyatakan Rob Fisher bahwa "having many different homes or contexts makes the crisis one of identity". Oleh karena itu, pembacaan eksistensialisme Sartre, setelah mengalami internalisasi dan fusi dengan doktrin Syi'ah, melahirkan eksistensialime theistik Syari'ati. Sambil mengakui "delassement" (left on its own) Jean Paul Sartre (1905-1980), kesempurnaan manusia (insan, bukan basyar yang hanya bersifat fisik), menurut Syari'ati, tidak hanya ditentukan oleh kemampuan pilihan dan berontak, tapi juga menentukan pilihan melalui doa. Dengan skema berpikir model itu pulalah, misalnya, dijelaskan hubungan cinta-benci (love-hate relationship), demikian Dabashi, antara Syari'ati dan Marx. Syari'ati membedakan pemikiran Marx: (1) Marx muda sebagai seorang filsuf atheistik, pengembang materialisme dialekstis yang menolak eksistensi tuhan, (2) Marx dewasa sebagai seorang ilmuwan sosial yang menjelaskan bagaimana penguasa mengeksploitasi yang dikuasai (the ruled) yang sebenarnya menjelaskan "determinisme sejarah", bukan determinisme ekonomi, dan (3) Marx tua yang pemikirannya terdistorsi (distorted Marxism) melalui vulgarisasi, birokratisasi, dan iron law of oligarchy di tangan Engels, Kautsky, dan stalin, sehingga menjadi dogma ketimbang ilmiah (scientific Marxism). Syari'ati menolak Marx tua yang vulgar dan Marx muda yang atheis, dan menerima Marx dewasa.
Fusi atau peleburan antara dua tradisi berpikir tersebut juga berimplikasi pada "mencairnya" doktrin Syi'ah Syari'ati. Perangkat metodologis keilmuan Barat, sosiologi dan sejarah dialektis yang sangat bernuansa neo-Marxisme dan leftist-liberatif menarik doktrin Syi'ah, dalam tafsiran Syari'ati atas simbol-simbolnya, ke "Syi'ah merah" yang liberatif. Dalam konteks itu, netralitas ilmu-ilmu soail bahea sosiologi hanyalah menjadi perangkat analisis atas realitas (masyarakat) tanpa menawarkan pemecahan masalah, sebagaimana dianut beberapa ilmuwan sosial, agaknya, menurutnya, harus "dilebur" dalam konteks (ideologi atau agama). Dengan metode sintesis Barat-Syi'ah tersebut, Syari'ati melakukan kritik ganda dari dua arah: (1) kritik ke dalam, di mana Syari'ati melakukan reinterpretasi dan kritik atas pelbagai doktrin kaku Syi'ah, seperti taqiyyah dan panjang-pendek jenggot. Penggunaan literatur sunni oleh Syari'ati, suatu hal yang ditabukan di kalangan ulama Syi'ah, dan begitu sebaliknya, menyebabkan ulama Syi'ah menuduhnya sebagai sunni, sebagaimana terjadi pada ayahnya. Pelabelan oleh Haidar Bagir terhadap Syari'ati sebagai "Syi'ah yang sunni" karena alasan ini; (2) kritik ke luar, di mana is tidak hanya melakukan pembongkaran atas religious establishments, juga ideologi-ideologi Barat mapan, seperti Marxisme, liberalisme, eksistensialisme, maupun kapitalisme, termasuk kritik tajamnya terhadap humanisme Marxist, sebagaimana diartikulasikannya dengan sistematis dalam Marxism and Other Western Fallacies, an Islamic Critique.
Metode sintesis Barat-Syi'ah (saintifik-doktrinal) terhadap isu-isu keagamaan dan kemanusiaan dimungkinkan fusinya, karena, menurutnya, dibangun di atas apa yang idsebutnya sebagai "pandangan dunia tawhid" (world-view of tawhid) atau "sosiologi syirk". Hasilnya sebagai peragian pelbagai elemen dan kristalisasi pemikiran beberapa tokoh, serta sosio-historis yang melingkupinya adalah "Islam Syi'ah yang liberatif", "humanisme Islam yang liberatif", "dialog Islam—neo-Marxisme", dan yang semaknanya. Dengan demikian, pembacaan Syari'ati atas pelbagai fenomena dan isu menerapkan metode sintesis Barat-Islam dengan bolak-balik antara keduanya dengan aplikasi secara spesifik sociological criticism (kritik sosiologis), dan bertolak dari pembedaan atau gradasi antara yang dinamis dan statis dari entitas-entitas (sosial keagamaan maupun politik) sebagai karangka teori (lihat skema dalam lampiran).
D. Humanisme Islam Versi Ali Syari'ati
Pandangan humanisme Syari'ati bertolak dari tesisnya "My basic theses is that today's humankind is generally incarcerated within several prisons, and naturally it becomes a true human being only if it can liberate itself from these deterministic conditions." Manusia adalah makhluk yang terpenjara dalam determinisme-determinisme yang mengungkungnya. Eksistensi manusia harus diisi dengan esensi melalui proses perkembangan dari "being" (al-Qur'an menunjuk realitas fisik ini [misalnya, Qs. 18; 110 dan 17: 11 sebagaimana dikutip Syari'ati] dengan istilah basyar) ke "becoming" (insân). Kebagaimanaan dan kesiapaan (how-ness and who-ness) manusia secara substansial dilihat oleh Syari'ati dari dua sisi. Pertama, kesiapaan manusia dibentuk oleh tiga karakter: (1) kesadaran diri (self-consciousness) yang didefinisikannya dengan unsur triadik, yaitu "perceiving one's quality and nature, perceiving the quality and the nature of the universe, and perceiving one's relationship with the universe"; (2) kemampuan untuk menetukan pilihan, yaitu kemampuan untuk tidak hanya berontak melawan nature dan tatanan yang menguasainya, tapi juga melawan keinginan alami, fisik, atau psikologisnya sendiri. Syari'ati menarik bentangan hakikat manusia dari "berpikir" cogito ergo sum (I think, therefore I am) Rene Descartes (filsuf Perancis, 1569-1650), "merasa" (I feel, therefore I am) Andre Gide (intelektual Perancis, 1869-1951) hingga "berontak" (I revolt, therefore I am) Albert Camus (Perancis, 1913-1960); dan (3) Manusia adalah makhluk yang kreatif (mencipta). Kedua, kebagaimanaan manusia mensicayakan untuk menerobos batas-batas penjara yang mengungkungnya, yaitu: (1) materialisme yang telah memenjarakan manusia kerangka evolusionernya hanya terbatas pada materi, (2) naturalisme yang karena melihat manusia sebagai bagian dari produk alam telah mencerabut dimensi kesadarannya (consciousness) untuk bebas, memilih, dan merasa; dan (3) eksistensialisme. Meski eksistensialisme Sartre, Heidegger, Dan Soren Kierkrgaard (1813-1855), menurut Syari'ati, khususnya eksistensialisme Sartre, telah membedakan secara tepat antara manusia dan hewan atas dasar bahwa pada manusia, eksistensi mendahului esensi sehingga insaniyyah manusia hakikatnya adalah mengisi eksistensi dengan esensi. Namun, karena mendasarkan diri atas materi dan alam, eksistensialisme non-theistik, akhirnya, menurut Syari'ati, menempatkan how-ness dan who-ness manusia di atas fondasi yang rapuh.
"Penjara-penjara" lainnya, menurutnya, adalah pantheisme, historisisme, sosiologisme (determinisme sosiologis), biologisme, dan "penjara" diri sendiri. Syari'ati sebenarnya tidak menafikan sama sekali naturalisme, sosiologisme, atau historisisme. Ia hanya menjelaskan determinisme-determinisme yang mungkin mengkondisikan "kesadaran praktis" manusia untuk selanjutnya mentransformasikan being-basyar ke becoming-insan melalui "kesadaran diskursif" untuk menembus penjara sejarah. Penjelasan Syari'ati tentang determinisme-determinisme yang "memenjarakan" manusia tersebut paralel dengan penjelasannya tentang determinisme historis yang justeru dalam rangka "against stream" atau "against history".
E. Catatan Kritis
(1). Catatan Perbandingan
Jika pemikiran Ali Syari'ati diperhadapkan dengan pemikiran hasan Hanafi, setidaknya ada dua kesadaran yang menghubungkan keduanya, namun berangkat dari titik-tolak yang berbeda. Pertama, kesadaran akan keniscayaan "pembebasan" umat Islam dari keterbelakangan kultural dan oppressi politik. Kedua, kesadaran akan kungkungan hegemoni Barat atas Timur. Berbeda dengan Syari'ati yang bertolak dari analisis historis-sosiologis (bukan teologis, meski bersentuhan dengan ide-ide pembebasan teologi Kristen), Hasan Hanafi menarik "analisis teks" (dogma) ke "analisis tindakan" (revolusi) atas dasar kerangka konseptual bahwa ada pergeseran dari abad ke abad (dari yang hampir "tak ada" ke "segala sesuatu" (from almost nothing to everything) dari keyakinan yang fideisme murni atas dasar otoritas teks ke teologi yang spekulatif filosofis murni, Hasan Hanafi mencoba melakukan rekonstruksi teologi "dogmatis" ke teologi "revolusioner-liberatif", sebagaimana dielaborasi dengan jelas dalan Min al-'Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Muhâwalah li I'âdat Binâ' 'Ilm Ushûl al-Dîn. Pembebasan model Syari'ati bertolak dari analisis historis sosiologis dialektis yang, karenanya, ke dalam hanya berupa reinterpretasi umum doktrin (Islam Syi'ah). Hasan Hanafi dalam proyek pembebasannya, karena bertolak dari analisis teologis, masuk ke jantung Islam. Di sisi lain, jika kesadaran akan hegemoni Barat membawa Syari'ati kepada kritik-kritik tajam dan sistematis atas pelbagai konsep Barat dalam wacana sosiologi dan sejarah, seperti kritiknya terhadap humanisme Marxist dan ekonomi kapitalis, maka dalam konteks yang sama Hasan Hanafi menggelar proyek besar untuk menggeser orientalisme ke oksidentalisme, seperti tertuang dalam karyanya, Muqaddimah fi 'Ilm al-Istigrâb, dalam rangka counter-balance sentralisasi Barat dan marginalisasi Timur dalam sejarah sain dan peradaban.
Jika eksistensialisme theistik Iqbal terpusat pada kebangkitan kesadaran kedirian dari penjara "ego" secara individual sehingga lebih bersifat murni filosofis, Syari'ati "mengislamkan" eksistensialisme Sartre untuk dipadukan dalam gerakan sosial liberatif, sehingga menyusup dalam dimensi-dimensi politis (paralel dengan pandangan neo-Marxismenya). Kuatnya kecenderungan aktivitas sosial-politik dan keagamaan ini pulalah yang membedakannya dengan Murtada Mutahhari atau Muhammad Baqir al-Sadr yang—meski aktif dalam hal yang sama—lebih hidup dalam tradisi pemikiran (filsafat atau mistisisme), meski sama-sama menunjukkan sikap kritisnya terhadap warisan intelektual Barat. Di sisi lain, meski sama-sama lebur dalam aktivitas sosial-politik keagamaan, berbeda dengan Syari'ati, Sayid Quthb hampir tidak melakukan kritik wacana keagamaan.
(2) Implikasi Paradoksal
Shahrough Akhavi dalam tulisannya, "Shari'ati's Social Thought" menemukan beberapa implikasi paradoksal pemikiran Syari'ati, yang bisa menggoncangkan proyek pemikiran Islam modern yang ingin dibangunnya. Pertama, dilihat dari perspektif epistemologi, apakah konflik atau pertentangan kelas yang dimaksud Syari'ati tersebut hanya merupakan penampakan dari suatu realitas (appearance of a reality) yang lebih mendasar dan yang tak dapat kita ketahui? Jika Syari'ati menganggap dunia ini sebagai realitas yang begitu kompleks sehingga kita hanya bisa berharap mengetahui aspek-aspek tertentu saja, kita dapat mengidentifikasinya dengan metodologi Husserl, Weber, dan Schute yang menyatakan ketidakmungkinan adanya hukum alam yang dapat mengcover dan menjelaskan kekuatan atau hubungan kausal di dalamnya. Absennya jawaban Syari'ati tentang manusia sebagai wujud otonom atau ketergantungan pengetahuan manusia pada Tuhan, sebenarnya menarik Syari'ati kembali kepada "wa Allâh ya'lam wa antum lâ ta'lamûn" (Tuhan Mahatahu, sedangkan kamu tidak tahu). Dua horizon pemikiran (Barat-Islam [Syi'ah]) adakalanya tidak mungkin lebut secara sempurna. Adalah konsekuensi yang logis dalam proses tarik-menarik antara dua kekuatan tersebut, Syari'ati, akhirnya, terseret ke salah satunya dalam konteks-konteks tertentu, tapi tidak bersifat umum. Inkonsistensi karena pergeseran pemikiran tersebut berimplikasi paradoksal dengan kerangka umumnya untuk membangun kesadaran eksistensialis manusia untuk tujuan revolusi. Kedua, dari perspektif filsafat sejarah, pergeseran-pergeseran terjadi sangat mencolok. Gerak sejarah yang ditandai dengan bangun dan jatuhnya peradaban, menurutnya, kadang-kadang disebabkan oleh adanya konflik dan pertentangan, yang pada tulisannya yang lain, disebabkan oleh konfigurasi antarunsur: manusia, tokoh sejarah, moment, dan tradisi. Dalam konteks itu, penjelasan Syari'ati tentang kebebasan berkehendak tampak kabur karena adanya keterputusan hubungan yang seharusnya dihubungkannya antara kehendak manusia, konflik sosial, kekuasaan Tuhan, alam, manusia, dan apa yang disebutnya sebagai "esensi yang tersembunyi" (dzât) yang, menurutnya, menjadi realitas utama. Kegagalan Syari'ati menjelaskan hal ini menyebabkan pandangannya tentang humanisme Islam yang mengasumsikan pembebasan manusia yang berada dalam konflik-konflik dari penjara determinisme-determinisme tampak juga problematis. Di sisi lain, sosiolog barangkali menuntut penjelasan Syari'ati tentang formulasinya bahwa pertentangan kelas tidak akan dapat terjadi pada komunitas Syi'ah sejati dalam sejarah. Jawaban Syari'ati bahwa hal itu pada level by definition tetap tidak dapat menghilangkan kesan kuatnya tarikan loyalitas Syi'ahnya yang ditanamkann secara mendalam oleh ayahnya, Muhammad Taqi Syari'ati.
E. Penutup
Fokus tulisan ini sesungguhnya adalah menjelaskan struktur fundamental berpikir Syari'ati. Ambiguitas-ambiguitas yang tampak pada contoh-contoh spesifik pemikirannya harus "diangkat" ke tingkat struktur fundamental tersebut yang dapat menjelaskan benang-merah (koherensi atau konsistensi). Dengan pemahaman bolak-balik antara universal dan partikular, pembacaan terhadap Syari'ati akan mendekati posisi sesungguhnya. Satu hal yang bisa dipastikan adalah bahwa Syari'ati adalah produk zamannya (ibn zamânihi) yang bersentuhan dan dipengaruhi oleh pembebasan di dunia ketiga, baik pada tingkat wacana maupun pada tingkat praksisnya.[]
DAFTAR PUSTAKA
Abrahamian, Ervand. Radical Islam, the Iranian Mojahedin. London: I.B. Tauris Publishers, 1989.
Akhavi, Shahrough. "Ali Shari'ati", John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopaedia of Islamic World. Oxford: Oxford University Press, 1995. Vol. IV.
Algar, Hamid. "Ali Shari'ati", Reeva S. Simon, Philip Mattar, dan Richard W. Bulliet (eds.). Encyclopaedia of Modern Middle East. New York: Macmillan Refference & Simon dan Schuster Macmillan, 1996. Vol. 4.
Ali Rahnema, "Ali Shari'ati, Teacher, Preacher, Rebel", Ali Rahnema (ed.). Pioneers of Islamic Revival. Terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1996.
Ali Syari'ati, "Humanity and Islam", Charles Kurzman (ed.). Liberal Islam, an Sourcebook. Oxford: Oxford University Press, 1998.
------------------. Hajj. Terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka, 1997.
------------------. Religion Against Religion. Terj. Afif Muhammad dan Abdul Syukur. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.
------------------. Ummat dan Imamah. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989.
Azra, Azyumardi. "Akar-akar Revolusi Iran, Filsafat Pergerakan Ali Syari'ati", M. Deden Ridwan (ed.). Melawan Hegemoni Barat, Ali Syari'ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia. Jakarta: Penerbit Lentera, 1999.
Cottam, Richard W. "The Iranian Revolution", Juan R.I. Cole dan Nikki R. Keddie (eds.). Shi'ism and Social Protest. New Haven dan London: Yale University Press, 1986.
Dabashi, Hamid. "Ali Shari'ati's Islam: Revolutionary Uses of Faith in a Post-traditional Society". The Islamic Quarterly: a Review of Islamic Culture. Ed. A.A. Mughram, vol. XXVII, nomor 4, fourth quarter, 1983.
Fisher, Rob. "Philosophical Approaches", Peter Connolly (ed.). Approaches to the Study of Religion. London & New York: Cassel, 1999.
Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World. Cairo: The Anglo-Egyptian Bookshop, 1995, vol. II.
Hanson, Brad. "The 'Wetoxication' of Iran: Depictions and Reactions of Behrangi, Ale Ahmed, and Shari'ati". International Journal of Middle East Studies, Cambridge University Press, 1980.
Ibnu Khaldun. al-Muqaddimah. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Islam: Mazhab Pemikiran dan Aksi. Terj. M.S. Nasrullah dan Afif Muhammad. Bandung: Mizan, 1995.
Lee, Robert D. Overcoming Tradition and Modernity. Terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, 2000.
Sachedina, Abdulaziz. "Ali Shari'ati: Ideologue of the Iranian Revolution", John L. Esposito (ed.). Voices of Ressurgent Islam. Oxford: Oxford University Press, Inc., 1983.
Schulze, Reinhard. A Modern History of Islamic World. London & New York: I.B. Tauris Publishers, 2000.
Skema: Metode Berpikir Ali Syari'ati
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI