IBNU QAYYIM AL-JAWZIYAH TENTANG RIBA
KONSEP IBNU QAYYIM AL-JAWZIYAH TENTANG RIBA
(Telaah atas Kitab I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin)
(Telaah atas Kitab I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin)
Abstrak Studi ini berusaha mengungkapkan konsep Ibnu Qayyim al-Jawziyah tentang riba. Penelitian ini perlu dilakukan karena terdapat perbedaan yang prinsip antara konsep riba Ibnu Qayyim al-Jawziyah dengan konsep riba menurut para ulama sebelumnya.
Berdasarkan hasil studi ditemukan bahwa menurut Ibnu al-Qayyim riba ada dua bentuk, pertama jali dan kedua khafi. Keduanya merupakan istilah yang orisinil dari Ibnu al-Qayyim, tidak ditemukan riwayat lain yang menggunakan kedua istilah tersebut selain oleh Ibnu al-Qayyim.
Ungkapan jali menunjukkan sangat populernya jenis riba ini baik di kalangan orang Yahudi maupun orang Islam saat itu. Selain itu, secara kuantitatif riba jenis ini lebih jelas keuntungan (bunga)-nya dan secara kualitatif juga lebih jelas kebobrokan dan kebusukannya. Sedangkan istilah khafi menunjukkan kurang populernya jenis riba ini jika dibandingkan dengan riba jali, di kalangan orang Arab Jahiliyah saat itu. Di sisi lain, ada ulama yang meragukan eksistensi riba jenis ini. Menurut mereka, mustahil orang yang berakal menukarkan barang yang sama jenis dan kualitasnya tanpa ada kelebihan, padahal kelebihan itulah hakekat riba khafi (fadl). Kata kunci: Konsep, riba, jali, khafi. A. Pendahuluan Pro dan kontra sekitar hukum bunga bank yang terkait dengan riba bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim. Tetapi juga di kalangan pemikir nonmuslim. Sebab ada beberapa ilmuan, ahli filsafat, yang juga mengharamkan riba. Plato misalnya, dalam bukunya The Law of Plato, menulis bahwa orang tidak boleh meminjamkan uang dengan rente. Aristoteles juga menyatakan hal yang sama. Di dalam bukunya Politik, ia menyebutkan, uang adalah alat untuk jual beli, sementara hutang merupakan hasil dari jual beli itu. Sedang bunga adalah uang yang lahir dari uang. Menurutnya, orang yang meminjamkan uang dengan rente adalah hina.[1] Charles Gide menyebutkan, bahwa semua agama termasuk Islam, telah mengharamkan riba. Menurutnya sudah sewajarnya riba diharamkan, sebab ketika itu orang berhutang semata-mata untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari, bukan untuk modal usaha sebagaimana sekarang yang dilakukan oleh para pengusaha.[2] Di kalangan ulama, baik sahabat maupun ahli fikih sesudahnya, umumnya mereka membagi riba kepada dua bentuk; pertama, riba nasi’ah dan kedua, riba fadl. Riba bentuk pertama, yakni riba nasi’ah, mereka sepakat keharamannya,[3] sedang riba bentuk kedua yakni riba fadl, mereka berbeda pendapat.[4] Tokoh sahabat dan tabi’in yang membolehkan riba fadl adalah Ibn Abbas (W. 68 H), Ibn Umar (salah satu riwayat mengatakan beliau telah menarik fatwanya), Ikrimah (W. 105 H), al-Dhahhaq (W. 105 H), Sa’id ibn al-Musayyab, Usamah bin Zaid, Ibnu Zubair, dan Zaid bin Arqam.[5] Mereka berpegang pada hadis berikut: إنما الرباء فى النسيئة [6] Artinya: “Bahwa riba hanya pada nasi’ah.” Sementara di antara pakar tafsir yang membolehkan riba fadl adalah al-Thabari (w. 310 H.). Menurutnya, riba yang diharamkan adalah riba yang mengandung tambahan karena adanya penundaan waktu (nasi’ah). Riba inilah menurut al-Thabari yang sering dipraktekkan oleh orang Arab pra-Islam (masa jahiliyah).[7] Senada dengan al-Thabari adalah Muhammad Abduh (w.1905 M.), bahwa kata riba yang berbentuk ma’rifat, definite, dalam surah al-Baqarah (2: 275, merujuk kepada riba adh’afan mudha’afah. Riba inilah yang diharamkan Alquran yang dipraktekkan orang pra Islam (riba jahiliyah), yakni berupa tambahan jumlah hutang karena penundaan pembayarannya. Riba ini diharamkan menurut Abduh karena mengandung eksploitasi. Adapun riba yang lain tidak termasuk kategori yang diharamkan.[8] Sedangkan tokoh ahli tafsir seperti al-Jashshash (w. 370 H), al-Qurthubi (w. 671 H), al-Syaukani (w. 1250 H) dan Jamaluddin al-Qasimy (w. 1322 H), mereka mengharamkan semua jenis riba, baik riba nasi’ah maupun riba fadl. Menurut mereka, sifat berlipat ganda, adl’afan mudla’afah, pada ayat 130-131 surah Ali Imran bukan menunjukkan syarat keharaman riba dan sebaliknya membolehkan yang lain.[9] Tetapi seperti dikatakan oleh al-Syaukani, kalimat tersebut lebih berfungsi sebagai informasi gambaran praktek riba yang ada di masyarakat Arab pra Islam. Menurutnya semua bentuk riba, baik sedikit maupun banyak, hukumnya haram.[10] Berbeda dengan pandangan para ulama tersebut, adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w.751 H), seorang pemikir muslim dengan kapasitas keilmuan multidimensi, ia mengatakan bahwa riba ada dua macam, pertama riba jali dan kedua riba khafi. Riba jali menurutnya, adalah riba yang mengandung kemudlaratan besar, sedangkan riba khafi adalah riba yang bila dikerjakan akan membawa kepada praktek riba jali.[11] Selanjutnya Ibn al-Qayyim menjelaskan, bahwa pada dasarnya riba diharamkan, tetapi dalam kondisi tertentu menurutnya bias ditolerir. Pentoleriran ini terjadi: 1. Untuk riba jali dibolehkan dalam kondisi sangat darurat, sebagaimana dibolehkan mengkonsumsi binatang yang diharamkan oleh Alquran ketika darurat ; 2. Untuk riba khafi dibolehkan ketika dalam kondisi membutuhkan (hajat).[12] Apa yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim tersebut jelas sangat berbeda dengan para ulama pendahulunya maupun sesudahnya, yang tidak membuka peluang pengecualian praktik riba, mereka mengatakan, sedikit atau banyak riba tetap diharamkan.[13] Pemikiran Ibnu al-Qayyim yang demikian perlu dicermati, lebih lagi jika dikomunikasikan dengan institusi perbankan, baik konvensional maupun Islam, terutama perdebatan mengenai boleh tidaknya bertransaksi dengan perbankan konvensional, yang menurut Murtadla Mutahhari perdebatan tersebut hingga sekarang belum terselesaikan.[14] Dengan mengangkat pemikiran Ibnu al-Qayyim tersebut diharapkan akan mampu, paling tidak menjembatani perdebatan hukum mengenai perbankan yang terjadi selama ini. Artinya alternatif hukum yang jelas tentang boleh tidaknya bertransaksi dengan institusi perbankan dapat ditentukan. Bahkan diharapkan dengan mengkaji konsep riba Ibn al-Qayyim tersebut akan ditemukan sisi lain pemikirannya mengenai format ekonomi Islam/ ekonomi syari’ah. Karena itu, bagaimana riba khafi dan riba jali menurut pandangan Ibn al-Qayyim, mengapa ada pentoleriran praktik riba, bagaimana relevansinya ke depan, semua itu menarik untuk dikaji lebih mendalam. Dalam rangka untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai konsep riba Ibn al-Qayyim dan relevansinya ke depan, maka membandingkan konsep pemikirannya dengan pemikiran ulama lain juga sesuatu yang harus dilakukan.[15] B. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah library research dengan pendekatan kualitatif. Untuk mendapatkan data, penulis mengkaji sejumlah literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan, baik yang ditulis olah Ibnu Qayyim al-Jauziyah sendiri maupun oleh ulama lainnya. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah survey kepustakaan. Setelah data terkumpul, kemudian data tersebut dianalitis dengan metode analitis kritis.[16] Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode analitis kritis adalah: Pertama, mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini adalah gagasan Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengenai konsep riba. Kedua, membahas gagasan primer tersebut yang pada hakekatnya memberikan penafsiran peneliti terhadap gagasan yang telah dideskripsikan. Ketiga, melakukan kritik terhadap gagasan primer yang telah ditafsirkan tersebut. Caranya dengan melihat kelebihan dan kekurangan gagasan primer tersebut setelah dikomparasikan dengan gagasan para ahli lainnya. Kelebihan dan kekurangan tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti keorisinalan, fungsi dan waktunya.[17] Keempat, melakukan studi analitik, yakni studi terhadap serangkaian serangkaian gagasan primer dalam bentuk perbandingan, hubungan, pengembangan model rasional dan historis. Studi perbandingan adalah upaya untuk menemukan perbedaan antara dua atau lebih obyek penelitian. Perbedaan yang dicari bisa bersifat metodologis atau materi. Sedangkan studi hubungan adalah mengkaji hubungan berupa pengaruh atau bentuk lainnya dari suatu gagasan primer terhadap gagasan orang lain, atau sebaliknya. Apakah gagasan Ibnu al-Qayyim tentang konsep riba telah mempengaruhi gagasan ulama sesudahnya dalam hal yang sama ataukah sebaliknya, yakni gagasan primer Ibnu al-Qayyim tersebut telah dipengaruhi oleh gagasan ulama pendahulunya. Kelima, menyimpulkan hasil penelitian. Tujuan semua penelitian akademik adalah menyimpulkan sebuah kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan ini sering disebut dengan “tesis.” C. Hasil Temuan dan Analisis 1. Formulasi riba Ibnu al-Qayyim mengatakan, riba terbagi kepada dua macam: Pertama, jali (jelas), dan kedua, khafi (samar, tersembunyi). Riba jali adalah riba nasi'h, sedangkan riba khafi adalah riba fadl. Riba jali diharamkan karena mengandung kemudharatan besar, sementara riba khafi diharamkan karena ia merupakan jalan menuju praktek riba jali. Atau diharamkan yang pertama sebagai qasd, pokok, dan diharamkan yang kedua sebagai Zari’ah, langkah antisipatif.[18] a. Al-Jali Adapun al-Jali, istilah lain disebut sebagai riba al-nasi’ah, adalah riba yang biasa dipraktekkan pada masa jahiliyah, di mana seorang kreditor bersedia menunda waktu pembayaran hutang kepada debitor dengan syarat debitor juga bersedia memberikan tambahan, bunga atau interest terhadap pokok pinjaman, setiap kali penjadualan hutang diberikan kepada debitor, setiap kali itu pula debitor memberikan bunga pokok pinjaman, sehingga pinjaman yang semula berjumlah seratus dirham misalnya, akan berlipat ganda diterima kreditor.[19] Praktek pinjam meminjam demikian seringkali menjadikan debitor tidak mampu melunasi utang-utangnya, bahkan tidak jarang semua harta debitor diambil-alih oleh kreditor hanya akibat pinjaman yang sedikit. Ini berarti kreditor telah mengambil harta saudaranya dengan cara yang batil, padahal pada saat yang sama kondisi debitor berada dalam keterpurukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka Allah dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Ia haramkan riba, mengutuk para pelakunya, penulis, dan dua orang saksinya,[20] serta menegaskan barangsiapa yang tidak berhenti melakukannya, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mereka dan mengancamnya dengan siksa yang berat. Hal ini karena riba termasuk salah satu dosa yang terbesar di antara dosa-dosa besar lainnya, akbar al-kabâir. Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati sehubungan dengan uraian Ibnu al-Qayyim tersebut. Pertama, istilah jali dan khafi yang digunakan oleh Ibnu al-Qayyim dalam mengkategorisasikan riba merupakan ungkapan yang baru pada saat itu. Tidak ditemukan satu riwayat pun yang menggunakan kedua istilah tersebut selain oleh Ibnu al-Qayyim sendiri. Mengapa Ibnu al-Qayyim menggunakan ungkapan jali untuk riba nasi’ah, dan khafi untuk riba fadl? Pertanyaan ini tentu menarik untuk dicermati lebih dalam, karena seorang ulama sekeliber Ibnu al-Qayyim tidak mungkin menggunakan sebuah ungkapan, jika tidak mempunyai maksud dan tujuan tertentu serta alasan yang kuat. Apa yang dilakukan oleh Ibnu al-Qayyim tersebut merupakan salah satu langkah dan bukti nyata adanya penyegaran dan pembaharuan pemikiran yang ia lakukan, sekalipun hanya menyangkut sebuah istilah, dalam rangka ingin mendobrak kejumudan dan kebekuan berpikir yang melanda umat pada saat itu. Ia ingin memberikan nuansa-nuansa baru kepada umat dalam memahami ajaran agama, bukan sebaliknya hanya menerima apa yang datang dari para pendahulu mereka. Dengan kata lain, Ibnu al-Qayyim ingin mengajak umat Islam saat itu untuk membudayakan berpikir dan berijtihad, sekalipun hanya dalam masalah yang dipandang kecil. Di sisi lain, walaupun secara substantif makna jali sama dengan riba nasi’ah dan makna khafi sama dengan riba fadl, namun penggunaan istilah jali oleh Ibnu al-Qayyim untuk riba nasi’ah lebih ditujukan sebagai ungkapan membudayanya praktek jenis riba tersebut, baik di kalangan orang Yahudi maupun di kalangan orang Islam saat itu. Di samping itu, riba jenis ini secara kuantitatif lebih nyata, jelas, keuntungannya (bunganya) dan secara kualitatif juga lebih nyata kebobrokan dan kebusukannya. Sementara itu, penggunaan istilah khafi untuk riba fadl dimaksudkan sebagai ungkapan kurang populernya praktik riba jenis ini pada masa itu, jika dibandingkan dengan praktik al-jali, karena di samping tidak memberikan keuntungan yang signifikan secara materi pada satu sisi, di sisi lain ada sebagian ulama yang meragukan eksistensi riba jenis ini dalam praktik sehari-hari.[21] Menurut kelompok ini, tidak logis seorang yang mempunyai akal menukarkan antara dua jenis barang yang kualitasnya sama dengan nilai dan harga yang sama pula, tanpa menuntut kelebihan (tafadul) salah satu di antara keduanya. Padahal kelebihan (tafadul) itulah hakikat riba fadl. Walaupun demikian, seperti dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim, syara’ melarang jenis transaksi ini sebagai langkah antisipatif menuju praktek riba jali. Ibnu al-Qayyim sangat hati-hati dalam mengemuka-kan definisi riba jali. Hal ini terlihat ketika menjelaskan pengertian jenis riba tersebut, ia kemudian mengutip pandangan Imam Ahmad bin Hanbal sewaktu ditanya seseorang tentang riba, beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang yang memiliki hutang lalu dikatakan kepadanya: Apakah akan melunasi atau membayar lebih? Maka jika tidak mampu melunasi, ia harus memberikan tambahan (al-ziyâdah) pada pokok harta karena penundaan waktu yang diberikan kepadanya.[22] Allah menjadikan riba sebagai lawan dari sadaqah, karena itu al-murâbi (pelaku riba) lawan dari al-mutasaddiq (orang yang bersedekah). Selanjutnya untuk melegalisasi pandangannya, Ibnu al-Qayyim mengemu-kakan nash-nash Alquran berikut: Pertama, surat al-Baqarah (2): 276; Kedua, al-Rum (30): 39; Ketiga, Ali ‘Imran (3): 130, 131. Kemudian pada ayat berikutnya Allah Swt. menyebutkan surga yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa, yakni yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, mereka itulah lawan dari para pelaku riba. Allah melarang riba karena ia merupakan perbuatan zalim kepada manusia, sebaliknya, Allah memerintahkan perbuatan sadaqah karena ia adalah perbuatan ihsan, baik, kepada mereka. Dan hadis Nabi Saw. berikut:[23] عن ابن عباس عن اسامة ابن زيد ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: انما الربا في النسيئة. Dari Ibnu Abbas, dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi Saw. bersabda: “Bahwa riba itu hanya ada pada nasi’ah”. Menurut Ibnu al-Qayyim, shigat hasr yakni “innamâ” pada hadis tersebut menunjukkan hasr al-kamil yang berarti bahwa riba yang sempurna hanyalah riba nasi’ah. Makna ini sama seperti perkataan Ibnu Mas’ud: انما العالم الذي يخشى الله Maksudnya: Orang yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah orang yang berilmu pengetahuan. b. Al-Khafi Adapun al-khafi, istilah lain disebut riba al-fadl, maka pengharamannya sebagai langkah antisipatif (sadd al-zari’ah), yakni untuk menutup jalan ke arah praktek riba al-nasi’ah. Untuk memperkuat pernyataannya tersebut, Ibnu al-Qayyim mengutip hadis Abi Sa’id al-Khudri r.a, dari Nabi Saw. berikut: لآ تبيعوا الدرهم بالدرهمين فإني أخاف عليكم الرما.و الرما هو الربا “Janganlah kalian melakukan transaksi satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku khawatir kalian akan melakukan al-rimâ,” yakni al-ribâ.[24] Jadi pelarangan riba al-fadl karena ada kekhawatiran akan terjerumus kepada riba al-nasi’ah. Hal tersebut bisa terjadi apabila satu dirham ditukarkan dengan dua dirham. Muslehuddin ketika mengomentari hadis tersebut, ia berkata: Kalimat “akhâfu” yakni saya khawatir, merupakan dalil yang jelas mengenai fakta bahwa Nabi Saw mengharamkan cara dagang seperti yang disebutkan dalam hadis tersebut karena dikhawatirkan akan menuju kepada praktek riba nasi’ah.[25] Selanjutnya menurut Ibnu al-Qayyim, al-Syâri’ menetapkan keharaman riba al-fadl pada enam jenis komoditi, yakni: Emas, perak, biji gandum (al-burr), al-sya’ir, tamar, dan garam (al-milh). Ahli fikih katanya, sepakat mengharamkan kelebihan (al-tafâdul) dalam transaksi enam komoditi tersebut pada satu jenis, tetapi mereka berbeda pendapat selain enam komoditas itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengharaman hanya terbatas pada enam jenis tersebut. Di antara ulama salaf yang meriwayatkan pendapat ini adalah Qatadah dari mazhab ahl al-zâhir. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu ‘Uqail dalam beberapa karyanya yang terakhir ketika membahas masalah qiyas, ia berkata: Sesungguhnya ‘illat qiyas dalam masalah riba adalah ‘illat yang lemah, karena itu tidak bisa dilakukan analogi. Kelompok lain seperti mazhab ‘Ammar, Ahmad dalam salah satu riwayat, dan Abu Hanifah, mereka mengharamkan tambahan pada seluruh jenis barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Sedangkan menurut Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat yang lain, mengatakan bahwa pengharaman hanya berlaku pada jenis makanan, sekalipun tidak dapat ditakar dan ditimbang. Kelompok lain seperti Sa’id bin al-Musayyib, satu riwayat dari Ahmad dan al-Syafi’i, berpendapat bahwa peng-haraman hanya terjadi pada barang makanan yang dapat ditakar dan ditimbang. Sementara imam Maliki hanya mengkhususkan pada makanan pokok dan dapat disimpan. Menurut Ibnu al-Qayyim, pendapat inilah yang paling kuat.[26] Adapun transaksi dirham dengan dinar, maka menurut mazhab Ahmad dalam satu riwayat dan mazhab Abu Hanifah, bahwa ‘illat kedua jenis barang tersebut adalah dapat ditimbang. Sedangkan menurut al-Syafi’i, Maliki, dan Ahmad dalam satu riwayat yang lain, ‘illatnya adalah nilai atau harga. Inilah, menurut Ibnu al-Qayyim pendapat yang sahih, karena itu mereka sepakat membolehkan transaksi keduanya (dirham dan dinar) dengan barang-barang yang dapat ditimbang seperti tembaga dan besi, dan selain keduanya. Sekiranya tembaga dan besi termasuk benda ribawi, tentu tidak dibolehkan mentransaksikannya kepada batas waktu tertentu dengan dirham sekalipun tunai; maka barang atau benda ribawi apabila berbeda jenisnya boleh ditransaksikan secara berlebih (al-tafâdul) dengan syarat tanpa penundaan.[27] Dari keseluruhan pokok pikiran seputar al-khafi atau riba fadl yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim tersebut, yang menarik untuk dicermati adalah enam jenis komoditi yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. sebagai barang yang terkait dengan riba fadl. Kalau diamati lebih jauh, maka dua macam yang pertama dari enam komoditi tersebut menyangkut komoditi uang, sedangkan empat macam yang terakhir terkait dengan komoditi makanan. Perdebatan seputar penganalogian terhadap keenam komoditi tersebut telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Terlepas dari persoalan ini, pertanyaan prinsip yang muncul adalah “mengapa untuk menghindari praktek riba antar jenis yang sama bagi enam komoditi tersebut, transaksi harus dilakukan sama nilai dan bobotnya serta dilakukan secara tunai?” Persoalan ini tidak hanya sulit untuk dijawab, tetapi juga secara logika sukar dipahami mengapa seorang yang punya akal ingin menukarkan barang, baik berupa emas, perak, maupun jenis komoditi lainnya dengan barang atau benda yang sama jenis dan kualitasnya, apalagi jika itu dilakukan dengan cara memberi kelebihan (al-tafadul) bagi salah satu benda yang ditransaksikan tersebut dan dilakukan secara langsung (tunai). Dalam konteks ini, analisis Chapra menarik untuk disimak. Ia mengatakan bahwa substansi pelarangan praktek riba fadl terhadap enam jenis komoditi yang disebutkan dalam hadis, lebih menekankan prinsip keadilan dan ‘permainan yang bersih’ dalam setiap transaksi langsung; harga dan nilai tukar harus adil dalam setiap transaksi yang dilakukan secara tunai oleh satu pihak, sementara pihak lain memberikan komoditi atau jasa secara timbal balik.[28] Jadi, keadilan hanya dapat diperoleh jika kedua bobot timbangan barang atau benda tersebut mempunyai nilai yang sama. Inilah yang dicontohkan oleh perilaku Nabi Saw ketika beliau menyebut enam jenis komoditi penting dan menekankan bahwa ukuran yang berlaku pada salah satu dari keenam komoditi tersebut juga berlaku bagi komoditi dagangan lain yang sama. Untuk meyakinkan adanya keadilan, Nabi Saw. bahkan tidak menganjurkan transaksi dengan cara barter dan memerintahkan agar suatu komoditi dijual dulu secara tunai kemudian uang hasil penjualannya dibelikan barang yang dibutuhkan.[29] Hal ini karena dalam transaksi barter sukar dilakukan penimbangan nilai suatu barang dengan barang lain dengan benar-benar setara kecuali oleh mereka yang sudah profesional. Dari sini, perbandingan hanya dapat dilakukan dengan cara yang mendekati dan oleh karena itu berpeluang terjadinya ketidakadilan bagi pihak tertentu. Penggunaan uang, dengan demikian, dapat meminimalisasi kemungkinan terjadinya kecura-ngan dalam tukar-menukar barang. Larangan riba al-fadl dimaksudkan untuk meyakin-kan adanya keadilan, yang menurut Naqvi, ia merupakan salah satu aspek dari hukum universal, ia tidak hanya merupakan sendi sistem ekonomi Islam, tapi juga merupakan sendi semua aspek kehidupan manusia.[30] Bahkan Rahman mengatakan, keadilan sosial-ekonomi adalah salah satu dari dua misi utama risalah kenabian yang diperjuangkan pertama kali, di samping menegakkan keesaan Tuhan.[31] Keadilan juga akan menghilangkan semua bentuk eksploitasi dan monopoli melalui tukar-menukar barang yang adil serta menutup semua jalan ke arah praktek riba al-nasi’ah. Dan bukankah dalam Islam, segala sesuatu yang menjadi sarana bagi terjadinya pelanggaran juga dikategorikan sebagai pelanggaran itu sendiri. Apa yang dikatakan Ibnu al-Qayyim bahwa larangan melakukan riba al-khafi (al-fadl) sebagai langkah antisipatif (sadd li al-zari’ah) bagi terjadinya riba al-jali (al-nasi’ah), dalam hal ini, sangat beralasan. 2. Perbedaan dan persamaan pemikiran riba Ibnu al-Qayyim dengan para ulama sebelumnya Kata “al-ribâ” dalam Alquran telah melahirkan berbagai ragam penafsiran. Mencermati latarbelakang turunnya ayat-ayat yang melarang praktek riba, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan riba dalam ayat tersebut adalah riba yang dipraktekkan pada masa Jahiliyah. Menurut Al-Jassas (w. 370 H), riba yang dibicarakan dalam surat al-Baqarah: 275, mempunyai pengertian tertentu, yang sangat berbeda dengan makna etimologi. Setelah menerangkan riba dari segi bahasa yang berarti al-ziyâdah (bertambah), Al-Jassas menyebutkan bahwa riba termasuk kata-kata mujmal yang memerlukan bayan (penjelasan) tertentu seperti istilah salat, puasa dan zakat. Kata-kata ini baru dapat dipahami dan dilaksanakan setelah diberikan penjelasan. Menurutnya, orang Arab tidak tahu bahwa jual beli emas dengan emas, perak dengan perak dengan tambahan karena penundaan waktu adalah riba dalam pandangan syara’.[32] Dengan ungkapan lain, riba sebagai istilah bahasa yang berpindah pengertiannya menjadi istilah syara’, tidak dapat dipahami dengan baik dan benar tanpa penjelasan dari syari’. Pandangan al-Jassas tersebut didasarkan pada riwayat Umar bin Khattab yang mengatakan: “Bahwa ayat riba termasuk salah satu ayat yang terakhir diturunkan, dan Nabi Saw. wafat sebelum menjelaskannya kepada kita, karena itu, tinggalkanlah riba dan keraguan. Dalam pandangan Al-Jassas, berdasarkan riwayat ini, belum dijelaskannya ayat riba oleh Rasulullah Saw. mengindikasikan bahwa kata riba yang terdapat dalam Alquran masih bersifat mujmal, ia memerlukan penjelasan yang konkret.[33] Berbeda dengan Al-Jassas adalah Ibn al-Arabi (468-543 H). Setelah menjelaskan riba dari segi bahasa yang berarti al-ziyâdah (bertambah), ia mengatakan, bahwa yang benar istilah riba tersebut sudah jelas dan dikenal oleh orang-orang Arab masa Jahiliyah, bahkan mereka telah mempraktekkannya. Di kalangan mereka sudah biasa melakukan transaksi dengan penundaan waktu. Apabila jatuh tempo, kreditor berkata kepada debitor: Apakah membayar lunas atau menambah bunga?[34] Yakni memberikan kelebihan terhadap pokok harta yang dipinjamkan. Riba inilah yang diharamkan. Dalam pandangan Ibn al-Arabi, diturunkannya ayat-ayat riba justru ingin menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah riba yang harus ditinggalkan. Jadi, Ibn al-Arabi membedakan kata ribâ dengan istilah salat, siyâm dan zakat dari segi perlu dan tidaknya penjelasan. Tiga istilah yang terakhir tidak mungkin dapat dipahami dan diamalkan dengan benar tanpa ada penjelasan, tidak demikian halnya dengan riba. Terlepas dari metoda dan pendekatan apa yang digunakan, kedua pakar tafsir ini sepakat bahwa riba yang disinggung oleh Alquran tersebut adalah riba yang formulasinya seperti yang dipraktekkan oleh orang Arab masa Jahiliyah. Yakni pinjaman berjangka dengan tambahan yang disyaratkan, tambahan tersebut sebagai ganti penundaan waktu yang diberikan. [35] Pakar tafsir yang lain seperti al-Tabari (w. 310 H), Fakhr al-Din al-Razi (544-604 H), al-Qurtubi, al-Khazin (w. 741 H), dan Ibnu Kasir (w. 744 H), dalam menafsirkan ayat riba lebih banyak mengutip riwayat dari sahabat yang berkenaan dengan praktek riba masa Jahiliyah daripada komentar mereka sendiri, kecuali al-Razi yang banyak memberikan komentar dan analisis. Di samping itu secara eksplisit mereka juga tidak mengemukakan definisi riba, mereka hanya mengemukakan perilaku tertentu mengenai riba. Al-Razi misalnya, dalam tafsirnya hanya menunjukkan perilaku orang-orang Arab masa Jahiliyah yang terkait dengan riba. Dimulai dengan menjelaskan riba dari segi etimologi yang berarti tambahan, sebagaimana ulama lain, ia kemudian membagi riba kepada dua macam. Pertama, riba al-nasi’ah, kedua, riba al-fadl. Al-Razi mengidentifikasi riba al-nasi’ah sebagai riba yang dikenal pada masa Jahiliyah. Gambarannya, mereka menyerahkan sejumlah harta kepada orang lain (debitor) dengan mengambil sejumlah tambahan tertentu setiap bulan, sementara pokok harta yang dipinjamkan tetap utuh. Apabila jatuh tempo, mereka menagih. Jika debitor berhalangan melunasinya, mereka menambah “hak” dan “penjadualan utang.” Inilah praktek riba Jahiliyah. Adapun riba al-naqd, istilah lain dari al-fadl, maka gambarannya, seseorang saling menukar al-hintah (biji gandum), atau barang lain yang sejenis dengan memberikan tambahan kepada salah satunya.[36] Al-Razi menegaskan, jumhur mujtahid sepakat mengharamkan kedua bentuk riba tersebut. Yang pertama diharamkan berdasarkan Alquran, dan yang kedua diharamkan berdasarkan hadis. Sebagaimana ditunjukkan oleh hadis, keharaman riba al-naqd (fadl) terjadi pada enam jenis komoditas, yakni emas, perak, gandum, al-sya’ir, tamar, dan garam.[37] Tetapi katanya, para ulama berbeda pendapat, apakah keharaman riba fadl terbatas pada enam komiditi yang disebutkan ataukah melebar ke komiditi lain berdasarkan analogi persamaan jenis dan sifat yang melekat pada enam komiditi tersebut. Al-Razi juga berusaha mengungkapkan hakekat riba dalam Alquran dengan melakukan analisis yang mendalam terhadap sebab-sebab dilarangnya riba dari perspektif ekonomi. Menurutnya, sebab-sebab tersebut adalah: 1. Riba adalah mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan (pengganti). Jika dikatakan, mengapa tidak dibolehkan mengambil tambahan terhadap pokok harta yang ada di tangan debitor berdasarkan jangka waktu tertentu. Bukankah jika harta tersebut tetap berada di tangan pemiliknya (kreditor) dan dijadikan modal usaha akan menghasilkan keuntungan. Bukankah dengan menyerahkan harta kepada debitor itu menghilangkan kesempatan kreditor untuk memperoleh keuntungan seperti yang didapat debitor, sehingga kreditor berhak memperoleh keuntungan atas pengorbanan tersebut. Al-Razi menjawab, bahwa keuntungan yang akan diperoleh debitor masih bersifat spekulatif, sedangkan tambahan yang diperoleh kreditor dari debitor bersifat pasti, dan tanpa resiko.[38] 2. Riba menyebabkan kreditor malas berusaha. Melalui media akad riba, kreditor selaku pemilik modal dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, ia tidak berminat untuk berusaha, berkarya, dan melakukan apa saja yang memerlukan keahlian yang sifatnya memberatkan dirinya. 3. Riba akan menghilangkan momentum perbuatan baik di antara kreditor dan debitor. 4. Riba biasanya menjadikan kreditor semakin kaya, sebaliknya debitor semakin miskin. 5. Larangan riba telah ditetapkan oleh nash, di mana tidak harus semua rahasia pembebanan hukumnya diketahui manusia. Keharamannya bersifat qat’i, sekalipun orang tidak mengetahui persis sisi pelarangannya.[39] Analisis al-Razi tersebut dapat disimpulkan bahwa riba diharamkan karena mengandung unsur ketidakadilan (butir 1), menyuburkan sifat malas, menghilangkan kreativitas dan momentum berbuat baik (butir 2 dan 3), eksploitasi (butir 4), dan pertimbangan normatif (butir 5). Butir 1 hingga 4 didasarkan pada analisis ta’aqquli (rasional), sedangkan butir 5 analisis ta’abbudi. Tidak ditemukan riwayat dan alasan yang menjelaskan, mengapa para pakar tafsir tersebut ketika menafsirkan ayat-ayat riba, secara eksplisit, tidak merumuskan definisinya. Namun seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah, yang dikutip oleh Zuhri, bahwa definisi bukan faktor penting dalam memahami hakikat sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu dapat diperoleh melalui pengalaman empirik tanpa didefinisikan terlebih dahulu.[40] Dari uraian yang mereka kemukakan, maka praktek riba masa Jahiliyah dapat diiidentifikasi sebagai berikut: Pertama, riba terjadi melalui transaksi utang-piutang. Kedua, terjadi kesepakatan untuk memberikan tambahan (bunga) di awal transaksi. Ketiga, bunga akan selalu diperhitungkan sesuai dengan lama atau seringnya penundaan waktu yang diberikan kreditor kepada debitor. Inilah unsur-unsur utama praktek riba nasi’ah atau riba Jahiliyah sebagai riba yang diharamkan Alquran. Dari uraian tersebut, jelas terlihat beberapa perbedaan dan persamaan konsep riba Ibnu al-Qayyim dengan konsep riba para ulama sebelumnya. Perbedaan yang dimaksud antara lain: Pertama, Ibnu al-Qayyim menggunakan istilah “jali” untuk riba nasi’ah atau riba jahiliyah, dan istilah “khafi” untuk riba fadl. Kedua istilah tersebut orisinil dari Ibnu al-Qayyim. Tidak ditemukan riwayat yang menggunakan kedua istilah tersebut selain oleh Ibnu al-Qayyim. Sementara istilah “nasi’ah/jahiliyah” dan “fadl”, merupakan dua istilah yang sudah biasa dan populer digunakan oleh ulama sebelum Ibnu al-Qayyim dalam melihat klasifikasi riba. Kedua, menurut Ibnu al-Qayyim, riba khafi, yang dilarang berdasarkan hadis, pengharamannya sebagai langkah antisipatif (sadd al-zari’ah), sedangkan riba jali, yang diharamkan berdasarkan Alquran, pelarangannya sebagai tujuan (al-maqâsid). Yang pertama dapat dibolehkan dalam kondisi membutuhkan (al-hâjjah), sedangkan yang kedua harus benar-benar dalam kondisi darurat (al-darûrah al-mulji’ah) untuk bisa melanggarnya.[41] Sementara bagi ulama sebelum Ibnu al-Qayyim, tidak ada pentoleriran dalam praktek riba. Sedikit atau banyak riba tetap diharamkan. Riba nasi’ah atau riba jahiliyah diharamkan berdasarkan Alquran, sedangkan riba fadl dilarang berdasarkan hadis. Bagi mereka, pelarangan kedua bentuk riba tersebut tidak ada hubungannya dengan prinsip sadd al-zari’ah dan al-maqâsid. Ketiga, Pemikiran riba Ibnu al-Qayyim tidak hanya didasarkan pada aspek legal formal (nash), tetapi juga mengacu kepada al-qawâ’id al-fiqhiyah, terutama teori al-hâjjah dan al-darûrah. Tidak demikian halnya dengan ulama sebelumnya, yang kelihatannya hanya terfokus pada aspek legal formal (nash) semata. Inilah beberapa perbedaan prinsip pemikiran riba Ibnu al-Qayyim dengan pemikiran riba menurut ulama sebelumnya. Perbedaan tersebut juga sekaligus menjadi ciri dan karakter pemikiran riba Ibnu Qayyim al-Jawziyah. Sedangkan persamaannya adalah: Pertama, sebagaimana ulama sebelumnya, Ibnu al-Qayyim secara eksplisit, juga tidak mengemukakan definisi riba, baik jali maupun khafi. Ia hanya menggambarkan perilaku orang-orang Arab masa Jahiliyah dalam melakukan riba jali dan khafi. Kedua, secara substantif, identifikasi riba yang dikemukakan Ibnu al-Qayyim tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ulama sebelumnya. Hanya sanya Ibnu al-Qayyim lebih menekankan pada aspek yang menjadi sebab pelarangan riba. Menurutnya, riba dilarang karena bertentangan dengan nilai-nilai keadilan; mengandung unsur eksploitasi; dan monopoli. Dengan demikian, ketiga hal tersebut juga menjadi ciri dan karakter pemikiran riba Ibnu al-Qayyim. Wallahu A’lam ! D. Kesimpulan Riba dalam pandangan Ibnu al-Qayyim terbagi kepada dua macam: pertama, jali, dan kedua, khafi. Jali, istilah ulama lain disebut riba nasi’ah, sedang khafi disebut riba fadl. Menurutnya, riba jali diharamkan karena mengandung kemudaratan besar, sementara riba khafi diharamkan karena ia merupakan media menuju praktek riba jali. Diharamkan yang pertama sebagai qasd (maksud/tujuan), dan diharamkan yang kedua sebagai sadd al-zari’ah, langkah antisipatif. Selanjutnya ia menyatakan, apa yang diharamkan sebagai langkah antisipatif (sadd al-zari’ah) suatu saat bisa dibolehkan bila ada kemaslahatan yang kuat atau keharusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan apa yang dilarang sebagai al-maqâsid, harus benar-benar dalam kondisi darurat (al-darûrah al-mulji’ah) untuk bisa melanggarnya. Ditemukan beberapa perbedaan yang prinsip antara konsep riba Ibnu al-Qayyim dengan konsep riba menurut ulama sebelumnya. Perbedaan tersebut adalah: Pertama, istilah jali dan khafi untuk penyebutan kedua bentuk riba merupakan istilah baru dan orisinil dari Ibnu al-Qayyim. Tidak ditemukan ada riwayat yang menggunakan kedua istilah tersebut selain oleh Ibnu al-Qayyim. Sedangkan ulama sebelum Ibnu al-Qayyim menggunakan ungkapan “nasi’ah/jahiliyah” dan “naqd/fadl” untuk menyebut klasifikasi riba. Kedua, menurut pandangan Ibnu al-Qayyim, dalam kondisi tertentu riba bisa ditolerir. Sementara menurut pandangan ulama sebelumnya tidak ada pentoleriran dalam praktek riba, bahkan mereka menegaskan, sedikit atau banyak riba tetap diharamkan. Ketiga, Pemikiran tentang riba Ibnu al-Qayyim tidak hanya didasarkan pada aspek legal formal (nash), tetapi juga mengacu kepada teori al-hâjjah dan teori al-darûrah. Sementara ulama sebelumnya, hanya terfokus pada aspek legal formal (nash) semata. Sedangkan persamaannya antara lain: Pertama, sebagaimana ulama sebelumnya, Ibnu al-Qayyim, secara eksplesit, juga tidak mengemukakan definisi riba, baik jali maupun khafi. Ia hanya mengemukakan perilaku orang Arab Jahiliyah dalam melakukan riba jali dan khafi. Kedua, secara substantif, identifikasi riba yang dikemukakan Ibnu al-Qayyim tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh ulama sebelumnya. Hanya saja Ibnu al-Qayyim lebih menekankan aspek yang menjadi sebab pelarangan riba. Menurutnya, riba dilarang karena bertentangan dengan nilai-nilai keadilan; mengandung unsur eksploitasi; dan monopoli. Daftar Pustaka Abdullah, Muhammad bin. Ahkâm al-Qur’an, Juz I, Bairut, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996. Arifin, Zainul. Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek, Jakarta, Alphabet, 1999. Bukhari, Muhammad bin Ismail al-. Shahih al-Bukhari. Al-Qahirah, Dar al-Syu’ab, t.th. Chapra, M. Umer. Towards a Just Monetary System Bibliografy, edisi Indonesia, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Djojohadikusumo,Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori dalam Ekonomi Umum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991. Hanafi, A.A. dan Hamid Sallam. Business Ethics: An Islamic Perspective, (Ed.) F.R. Faridi, New Delhi, Hazrat Nizamuddin West, 1995. Hatta, Mohammad. Bank dalam Masyarakat Indonesia, t.t., Bank Indonesia, 1942. Jassas al-.Abu Bakar, Ahkam al-Qur’an, Beirut,: Dar al-Fikr, t.th. Jauziyah, Ibnu Qayyim, al-. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Beirut, Dar al-Fikr, t.th. Khan, Abd al-Jabbar. Divine Banking System, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, t.t., Winter, 1984. Khatib, A., Bank dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1962. Kirmâni, al-. Al-Bukhari li Syarh al-Kirmâni, t.t.: Dâr al-Fikr, t.th. Kuran,Timur. The Economic System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment, dalam Int. J. Middle East Studies 18, 1996. Maududi, Abu al-A’la al-. Al-Riba, t.t.., Dar al-Fikr, t.th. Misri, Rafiq Yunus, al-. Al-Jami’ fi Ushul al-Riba, Beirut: al-Syamiyah, 1991. Mohammad, Mahathir. Islam as a Religion of Justice, dalam Islam and Justice, (Ed.) Aidit bin Hj. Ghazali, Kuala Lumpur, Institute of Islamic Understanding Malaysia, 1993. Muslehuddin, Muhammad. Banking and Islamic Law, edisi Indonesia, Sistem Perbankan dalam Islam, terj. Aswin Simamora, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994. Mutahhhari, Murtada. Al-Riba wa al-Ta’min, terj. Irwan Kurniawan, edisi Indonesia, Asuransi dan Riba, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995. Naisabury, Muslim bin Hajjaj, al-.Shahhîh Musim, Juz V, Beirut, Dar al-Fikr, t.th. Naqvi,Nawab Haider, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, London, The Islamic Foundation, 1981. Nasution, Khairuddin. Riba dan Poligami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996. Qasimi, Jamaluddin al-. Mahasin al-Ta’wilayah, Mesir, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1957. Qastalani, Syihabuddin Ahmad al-. Irsyâd al-Sâri Lisyarh Sahîh al-Bukhari, Bairut, Dâr al-Fikr, 1990. Qazwiny, Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-. Sunan Ibni Majah, Juz II, t.t., Dar al-Fikr, t.th. Qurtubi, Muhammad al-. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1967. Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo, Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam 3, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996. Rahman, Afzalur. Muhammad: Encyclopaedia of Saerah, Vol. II, London, The Muslim Schools Trust, 1982. Rahman, Fazlur. Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, terj. Jaziar Radianti, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis, Bandung, Mizan, 1999. Razi, Fakhruddin al-. Al-Tafsir al-Kabir, t.t., Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th. Rida, Rasyid, Al-Manar, Mesir, Mathba’at Muhammad Ali Shahib wa Abduh, 1374. Sabuni, Muhammad Ali al-. Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, t.t., t.p., t.th. Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden, E.J. Brill, 1996. Sanhuri, Abd al-Razak. Masâdir al-Haqq fi al-Fiqh al-Islami, Bairut, al-Majma’ al-Arabi al-Islami, 1967, Sijistani, Abu DaudSulaiman bin al-Asy’ats al-. Sunan Abi Daud, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, 1994. Sumitro,Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMI dan Takaful) di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996. Suriasumantri, Jujun S. “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan” dalam Gong Mahasiswa No. 03/TH. III/ 1993. Sya’rani, Abd al-Wahb al-.Al-Mîzân al-Kubrâ, Bairut, Alam al-Kutub, 1989. Syaukani, Mohammad al-. Fath al-Qadir, Beirut, Dar al-Fikr, 1981. Tabari, al-. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Musthafa al-Babi al-Halabi, 1968. Taimiyah, Ibnu. Kitab al-Radd ‘ala Mantiqiyyîn, Bairut, Dâr al-Ma’rifah, t.th. Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah al-. Sunan al-Turmudzi, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, 1994. Zahrah, Muhammad Abu. Buhus fi al-Riba, Mesir, Dar al-Ilmiah, 1970. *Penulis adalah dosen tetap Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin. [1]Murtada Mutahhhari, al-Riba wa al-Ta’min, terj. Irwan Kurniawan, edisi Indonesia, Asuransi dan Riba, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 13; Moh. Hatta, Bank dalam Masyarakat Indonesia, (t.t.,: Bank Indonesia, 1942), h. 7. [2]A. Khatib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), h. 41; Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 57-8. [3]Abu al-A’la al-Maududi, al-Riba, (t.t.,: Dar al-Fikr, t.th.), h. 90. [4]Rafiq Yunus al-Misri, al-Jami’ fi Us}ul al-Riba, (Beirut: al-Syamiyah, 1991), h. 168; Moh. Al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz IV, h. 227. [5]Rafiq Yunus al-Misri, op. cit., h. 168-9 ; Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (t.t.,: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), Juz VII, h. 85. [6]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Al-Qahirah: Dar al-Syu’ab, t.th.), Juz III, h. 48. [7]Al-Thabari, Jami’al Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Musthafa al-Babi al-halabi, 1968), Juz III, h. 113-4. [8]Rasyid Ridha, al-Manar, (Mesir: Mathba’at Muhammad Ali Shahib wa Abduh, 1374), Juz III, h. 113-4. [9]Abu Bakar al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Juz II, h. 37; Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1957), Juz IV, h. 471. [10]Al-Syaukani, op. cit., Juz I, h. 294; Pernyataan senada juga dikemukakan oleh al-Qurtubi, Lihat Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1967), Juz III, h. 349. [11]Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 135. [12]Ibnu Qayyim al-Jauziyah, op. cit., h. 138-9. [13]Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (t.t.,: t.p., t.th.), h. 392-3. [14]Murtadla Mutahhari, op. cit., h. 40-9. [15]Karena terbatas ruang dan waktu, maka yang dilaporkan dalam tulisan ini hanya sebatas pemikirannya tentang konsep riba dan perbedaan serta persamaannya dengan konsep riba menurut para ulama sebelumnya. [16]Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan” dalam Gong Mahasiswa No. 03/TH. III/ 1993, h. 8. Jujun juga menjelaskan bahwa dalam metode analitis kritis telaah tercakup aspek deskripsi dan komparasi. [17]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 9. [18]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 103. [19]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h.103. [20]Muslim, op. cit.,,h. 50; Abu Daud, op. cit.,, h. 244; Al-Turmuzi, op. cit., Ibnu Mâjah, op. cit., h. 764. [21]Menurut al-Sya’rani, segolongan sahabat mengatakan bahwa riba itu khusus pada nasi’ah, karena itu tidak diharamkan al-tafâdul, lihat Abd al-Wahb al-Sya’rani, al-Mîzân al-Kubrâ (Bairut: Alam al-Kutub, 1989), Juz III, h.46-8. [22]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 103. [23]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit.,, h. 104; Al-Bukhari, op. cit.,, h. 31; Muslim, op. cit.,, h. 49-50; Jalal al-Din al-Suyûti, op. cit., h. 281. [24]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 104. [25]Muhammad Muslehuddin, Banking and Islamic Law, edisi Indonesia, Sistem Perbankan dalam Islam, terj. Aswin Simamora, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 79. [26]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 104; bandingkan dengan Al-Sya’rani, op. cit., h. 46-8. [27]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 104. [28]M. Umer Chapra, op. cit., h. 30. [29]Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhari, op. cit., h. 35; Muslim, op. cit., h. 695. Para ulama mengatakan, anjuran Nabi untuk menghindari jual beli dengan cara barter dimaksudkan agar seseorang jangan sampai jatuh pada praktek riba. Ini mengindikasikan adanya korelasi yang kuat antara riba dengan unsur eksploitasi yang berakibat munculnya ketidakadilan dalam praktek bisnis, lihat Syihabuddin Ahmad al-Qastalani, Irsyâd al-Sâri Lisyarh Sahîh al-Bukhari (Bairut: Dâr al-Fikr, 1990), Juz V, 177-79; Al-Kirmâni, al-Bukhari li Syarh al-Kirmâni (t.t.: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz X, h. 59. [30]Alquran mengatakan: “Katakanlah: Tuhanku menyukai keadilan.” (7: 29). “Keadilan” adalah urutan ketiga yang terbanyak disebut Alquran setelah kalimat Allah dan ilmu. Menurut Alquran “keadilan” harus dijiwai oleh kasih sayang: “Ketahuilah! Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan …” (16: 90). Dari segi sosial, tuntutan al-Ihsan dapat merangsang al-Adl, karena keadilan sosial menuntut agar si miskin dientaskan, dan si kaya harus terlibat di dalamnya. Lihat Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, (London: The Islamic Foundation, 1981), p. 126-27. [31]Fazlur Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, terj. Jaziar Radianti, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis (Bandung: Mizan, 1999), h. 17. A.A. Hanafi dan Hamid Sallam, Business Ethics: An Islamic Perspective, (Ed.), F.R. Faridi (New Delhi: Hazrat Nizamuddin West, 1995), p. 1-16. Mahathir Mohammad, Islam as a Religion of Justice, dalam Islam and Justice, (Ed.), Aidit bin Hj. Ghazali (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Understanding Malaysia, 1993), p. 1-8. [32]Abu Bakr Ahmad al-Jassas, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz I, h. 634. [33]Al-Jassas, op. cit.,h. 634. [34]Muhammad bin Abdullah, Ahkâm al-Qur’an (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), Juz I, h. 320-21. [35]Al-Jassas, op. cit., h. 637-38. [36]Fakhr al-Din al-Razi, op. cit., h. 93. [37]Ibid., h. 94. [38]Ibid., h. 95. [39]Ibid. [40]Ibnu Taimiyah, Kitab al-Radd ‘ala Mantiqiyyîn (Bairut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), h. 7; Zuhri, op. cit., h. 92. [41]Dalam tulisan ini sengaja tidak dilaporkan mengenai kedua teori tersebut sebab terbatas ruang dan waktu.
Ungkapan jali menunjukkan sangat populernya jenis riba ini baik di kalangan orang Yahudi maupun orang Islam saat itu. Selain itu, secara kuantitatif riba jenis ini lebih jelas keuntungan (bunga)-nya dan secara kualitatif juga lebih jelas kebobrokan dan kebusukannya. Sedangkan istilah khafi menunjukkan kurang populernya jenis riba ini jika dibandingkan dengan riba jali, di kalangan orang Arab Jahiliyah saat itu. Di sisi lain, ada ulama yang meragukan eksistensi riba jenis ini. Menurut mereka, mustahil orang yang berakal menukarkan barang yang sama jenis dan kualitasnya tanpa ada kelebihan, padahal kelebihan itulah hakekat riba khafi (fadl). Kata kunci: Konsep, riba, jali, khafi. A. Pendahuluan Pro dan kontra sekitar hukum bunga bank yang terkait dengan riba bukan saja terjadi di kalangan sarjana muslim. Tetapi juga di kalangan pemikir nonmuslim. Sebab ada beberapa ilmuan, ahli filsafat, yang juga mengharamkan riba. Plato misalnya, dalam bukunya The Law of Plato, menulis bahwa orang tidak boleh meminjamkan uang dengan rente. Aristoteles juga menyatakan hal yang sama. Di dalam bukunya Politik, ia menyebutkan, uang adalah alat untuk jual beli, sementara hutang merupakan hasil dari jual beli itu. Sedang bunga adalah uang yang lahir dari uang. Menurutnya, orang yang meminjamkan uang dengan rente adalah hina.[1] Charles Gide menyebutkan, bahwa semua agama termasuk Islam, telah mengharamkan riba. Menurutnya sudah sewajarnya riba diharamkan, sebab ketika itu orang berhutang semata-mata untuk menutupi kebutuhannya sehari-hari, bukan untuk modal usaha sebagaimana sekarang yang dilakukan oleh para pengusaha.[2] Di kalangan ulama, baik sahabat maupun ahli fikih sesudahnya, umumnya mereka membagi riba kepada dua bentuk; pertama, riba nasi’ah dan kedua, riba fadl. Riba bentuk pertama, yakni riba nasi’ah, mereka sepakat keharamannya,[3] sedang riba bentuk kedua yakni riba fadl, mereka berbeda pendapat.[4] Tokoh sahabat dan tabi’in yang membolehkan riba fadl adalah Ibn Abbas (W. 68 H), Ibn Umar (salah satu riwayat mengatakan beliau telah menarik fatwanya), Ikrimah (W. 105 H), al-Dhahhaq (W. 105 H), Sa’id ibn al-Musayyab, Usamah bin Zaid, Ibnu Zubair, dan Zaid bin Arqam.[5] Mereka berpegang pada hadis berikut: إنما الرباء فى النسيئة [6] Artinya: “Bahwa riba hanya pada nasi’ah.” Sementara di antara pakar tafsir yang membolehkan riba fadl adalah al-Thabari (w. 310 H.). Menurutnya, riba yang diharamkan adalah riba yang mengandung tambahan karena adanya penundaan waktu (nasi’ah). Riba inilah menurut al-Thabari yang sering dipraktekkan oleh orang Arab pra-Islam (masa jahiliyah).[7] Senada dengan al-Thabari adalah Muhammad Abduh (w.1905 M.), bahwa kata riba yang berbentuk ma’rifat, definite, dalam surah al-Baqarah (2: 275, merujuk kepada riba adh’afan mudha’afah. Riba inilah yang diharamkan Alquran yang dipraktekkan orang pra Islam (riba jahiliyah), yakni berupa tambahan jumlah hutang karena penundaan pembayarannya. Riba ini diharamkan menurut Abduh karena mengandung eksploitasi. Adapun riba yang lain tidak termasuk kategori yang diharamkan.[8] Sedangkan tokoh ahli tafsir seperti al-Jashshash (w. 370 H), al-Qurthubi (w. 671 H), al-Syaukani (w. 1250 H) dan Jamaluddin al-Qasimy (w. 1322 H), mereka mengharamkan semua jenis riba, baik riba nasi’ah maupun riba fadl. Menurut mereka, sifat berlipat ganda, adl’afan mudla’afah, pada ayat 130-131 surah Ali Imran bukan menunjukkan syarat keharaman riba dan sebaliknya membolehkan yang lain.[9] Tetapi seperti dikatakan oleh al-Syaukani, kalimat tersebut lebih berfungsi sebagai informasi gambaran praktek riba yang ada di masyarakat Arab pra Islam. Menurutnya semua bentuk riba, baik sedikit maupun banyak, hukumnya haram.[10] Berbeda dengan pandangan para ulama tersebut, adalah Ibnu Qayyim al-Jauziyah (w.751 H), seorang pemikir muslim dengan kapasitas keilmuan multidimensi, ia mengatakan bahwa riba ada dua macam, pertama riba jali dan kedua riba khafi. Riba jali menurutnya, adalah riba yang mengandung kemudlaratan besar, sedangkan riba khafi adalah riba yang bila dikerjakan akan membawa kepada praktek riba jali.[11] Selanjutnya Ibn al-Qayyim menjelaskan, bahwa pada dasarnya riba diharamkan, tetapi dalam kondisi tertentu menurutnya bias ditolerir. Pentoleriran ini terjadi: 1. Untuk riba jali dibolehkan dalam kondisi sangat darurat, sebagaimana dibolehkan mengkonsumsi binatang yang diharamkan oleh Alquran ketika darurat ; 2. Untuk riba khafi dibolehkan ketika dalam kondisi membutuhkan (hajat).[12] Apa yang dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim tersebut jelas sangat berbeda dengan para ulama pendahulunya maupun sesudahnya, yang tidak membuka peluang pengecualian praktik riba, mereka mengatakan, sedikit atau banyak riba tetap diharamkan.[13] Pemikiran Ibnu al-Qayyim yang demikian perlu dicermati, lebih lagi jika dikomunikasikan dengan institusi perbankan, baik konvensional maupun Islam, terutama perdebatan mengenai boleh tidaknya bertransaksi dengan perbankan konvensional, yang menurut Murtadla Mutahhari perdebatan tersebut hingga sekarang belum terselesaikan.[14] Dengan mengangkat pemikiran Ibnu al-Qayyim tersebut diharapkan akan mampu, paling tidak menjembatani perdebatan hukum mengenai perbankan yang terjadi selama ini. Artinya alternatif hukum yang jelas tentang boleh tidaknya bertransaksi dengan institusi perbankan dapat ditentukan. Bahkan diharapkan dengan mengkaji konsep riba Ibn al-Qayyim tersebut akan ditemukan sisi lain pemikirannya mengenai format ekonomi Islam/ ekonomi syari’ah. Karena itu, bagaimana riba khafi dan riba jali menurut pandangan Ibn al-Qayyim, mengapa ada pentoleriran praktik riba, bagaimana relevansinya ke depan, semua itu menarik untuk dikaji lebih mendalam. Dalam rangka untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai konsep riba Ibn al-Qayyim dan relevansinya ke depan, maka membandingkan konsep pemikirannya dengan pemikiran ulama lain juga sesuatu yang harus dilakukan.[15] B. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah library research dengan pendekatan kualitatif. Untuk mendapatkan data, penulis mengkaji sejumlah literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan, baik yang ditulis olah Ibnu Qayyim al-Jauziyah sendiri maupun oleh ulama lainnya. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah survey kepustakaan. Setelah data terkumpul, kemudian data tersebut dianalitis dengan metode analitis kritis.[16] Langkah-langkah yang dilakukan dalam metode analitis kritis adalah: Pertama, mendeskripsikan gagasan primer yang menjadi objek penelitian. Dalam hal ini adalah gagasan Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengenai konsep riba. Kedua, membahas gagasan primer tersebut yang pada hakekatnya memberikan penafsiran peneliti terhadap gagasan yang telah dideskripsikan. Ketiga, melakukan kritik terhadap gagasan primer yang telah ditafsirkan tersebut. Caranya dengan melihat kelebihan dan kekurangan gagasan primer tersebut setelah dikomparasikan dengan gagasan para ahli lainnya. Kelebihan dan kekurangan tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti keorisinalan, fungsi dan waktunya.[17] Keempat, melakukan studi analitik, yakni studi terhadap serangkaian serangkaian gagasan primer dalam bentuk perbandingan, hubungan, pengembangan model rasional dan historis. Studi perbandingan adalah upaya untuk menemukan perbedaan antara dua atau lebih obyek penelitian. Perbedaan yang dicari bisa bersifat metodologis atau materi. Sedangkan studi hubungan adalah mengkaji hubungan berupa pengaruh atau bentuk lainnya dari suatu gagasan primer terhadap gagasan orang lain, atau sebaliknya. Apakah gagasan Ibnu al-Qayyim tentang konsep riba telah mempengaruhi gagasan ulama sesudahnya dalam hal yang sama ataukah sebaliknya, yakni gagasan primer Ibnu al-Qayyim tersebut telah dipengaruhi oleh gagasan ulama pendahulunya. Kelima, menyimpulkan hasil penelitian. Tujuan semua penelitian akademik adalah menyimpulkan sebuah kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan ini sering disebut dengan “tesis.” C. Hasil Temuan dan Analisis 1. Formulasi riba Ibnu al-Qayyim mengatakan, riba terbagi kepada dua macam: Pertama, jali (jelas), dan kedua, khafi (samar, tersembunyi). Riba jali adalah riba nasi'h, sedangkan riba khafi adalah riba fadl. Riba jali diharamkan karena mengandung kemudharatan besar, sementara riba khafi diharamkan karena ia merupakan jalan menuju praktek riba jali. Atau diharamkan yang pertama sebagai qasd, pokok, dan diharamkan yang kedua sebagai Zari’ah, langkah antisipatif.[18] a. Al-Jali Adapun al-Jali, istilah lain disebut sebagai riba al-nasi’ah, adalah riba yang biasa dipraktekkan pada masa jahiliyah, di mana seorang kreditor bersedia menunda waktu pembayaran hutang kepada debitor dengan syarat debitor juga bersedia memberikan tambahan, bunga atau interest terhadap pokok pinjaman, setiap kali penjadualan hutang diberikan kepada debitor, setiap kali itu pula debitor memberikan bunga pokok pinjaman, sehingga pinjaman yang semula berjumlah seratus dirham misalnya, akan berlipat ganda diterima kreditor.[19] Praktek pinjam meminjam demikian seringkali menjadikan debitor tidak mampu melunasi utang-utangnya, bahkan tidak jarang semua harta debitor diambil-alih oleh kreditor hanya akibat pinjaman yang sedikit. Ini berarti kreditor telah mengambil harta saudaranya dengan cara yang batil, padahal pada saat yang sama kondisi debitor berada dalam keterpurukan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka Allah dengan sifat rahman dan rahim-Nya, Ia haramkan riba, mengutuk para pelakunya, penulis, dan dua orang saksinya,[20] serta menegaskan barangsiapa yang tidak berhenti melakukannya, Allah dan Rasul-Nya akan memerangi mereka dan mengancamnya dengan siksa yang berat. Hal ini karena riba termasuk salah satu dosa yang terbesar di antara dosa-dosa besar lainnya, akbar al-kabâir. Ada beberapa hal yang menarik untuk dicermati sehubungan dengan uraian Ibnu al-Qayyim tersebut. Pertama, istilah jali dan khafi yang digunakan oleh Ibnu al-Qayyim dalam mengkategorisasikan riba merupakan ungkapan yang baru pada saat itu. Tidak ditemukan satu riwayat pun yang menggunakan kedua istilah tersebut selain oleh Ibnu al-Qayyim sendiri. Mengapa Ibnu al-Qayyim menggunakan ungkapan jali untuk riba nasi’ah, dan khafi untuk riba fadl? Pertanyaan ini tentu menarik untuk dicermati lebih dalam, karena seorang ulama sekeliber Ibnu al-Qayyim tidak mungkin menggunakan sebuah ungkapan, jika tidak mempunyai maksud dan tujuan tertentu serta alasan yang kuat. Apa yang dilakukan oleh Ibnu al-Qayyim tersebut merupakan salah satu langkah dan bukti nyata adanya penyegaran dan pembaharuan pemikiran yang ia lakukan, sekalipun hanya menyangkut sebuah istilah, dalam rangka ingin mendobrak kejumudan dan kebekuan berpikir yang melanda umat pada saat itu. Ia ingin memberikan nuansa-nuansa baru kepada umat dalam memahami ajaran agama, bukan sebaliknya hanya menerima apa yang datang dari para pendahulu mereka. Dengan kata lain, Ibnu al-Qayyim ingin mengajak umat Islam saat itu untuk membudayakan berpikir dan berijtihad, sekalipun hanya dalam masalah yang dipandang kecil. Di sisi lain, walaupun secara substantif makna jali sama dengan riba nasi’ah dan makna khafi sama dengan riba fadl, namun penggunaan istilah jali oleh Ibnu al-Qayyim untuk riba nasi’ah lebih ditujukan sebagai ungkapan membudayanya praktek jenis riba tersebut, baik di kalangan orang Yahudi maupun di kalangan orang Islam saat itu. Di samping itu, riba jenis ini secara kuantitatif lebih nyata, jelas, keuntungannya (bunganya) dan secara kualitatif juga lebih nyata kebobrokan dan kebusukannya. Sementara itu, penggunaan istilah khafi untuk riba fadl dimaksudkan sebagai ungkapan kurang populernya praktik riba jenis ini pada masa itu, jika dibandingkan dengan praktik al-jali, karena di samping tidak memberikan keuntungan yang signifikan secara materi pada satu sisi, di sisi lain ada sebagian ulama yang meragukan eksistensi riba jenis ini dalam praktik sehari-hari.[21] Menurut kelompok ini, tidak logis seorang yang mempunyai akal menukarkan antara dua jenis barang yang kualitasnya sama dengan nilai dan harga yang sama pula, tanpa menuntut kelebihan (tafadul) salah satu di antara keduanya. Padahal kelebihan (tafadul) itulah hakikat riba fadl. Walaupun demikian, seperti dikatakan oleh Ibnu al-Qayyim, syara’ melarang jenis transaksi ini sebagai langkah antisipatif menuju praktek riba jali. Ibnu al-Qayyim sangat hati-hati dalam mengemuka-kan definisi riba jali. Hal ini terlihat ketika menjelaskan pengertian jenis riba tersebut, ia kemudian mengutip pandangan Imam Ahmad bin Hanbal sewaktu ditanya seseorang tentang riba, beliau menjawab: Sesungguhnya riba itu adalah seseorang yang memiliki hutang lalu dikatakan kepadanya: Apakah akan melunasi atau membayar lebih? Maka jika tidak mampu melunasi, ia harus memberikan tambahan (al-ziyâdah) pada pokok harta karena penundaan waktu yang diberikan kepadanya.[22] Allah menjadikan riba sebagai lawan dari sadaqah, karena itu al-murâbi (pelaku riba) lawan dari al-mutasaddiq (orang yang bersedekah). Selanjutnya untuk melegalisasi pandangannya, Ibnu al-Qayyim mengemu-kakan nash-nash Alquran berikut: Pertama, surat al-Baqarah (2): 276; Kedua, al-Rum (30): 39; Ketiga, Ali ‘Imran (3): 130, 131. Kemudian pada ayat berikutnya Allah Swt. menyebutkan surga yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa, yakni yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, mereka itulah lawan dari para pelaku riba. Allah melarang riba karena ia merupakan perbuatan zalim kepada manusia, sebaliknya, Allah memerintahkan perbuatan sadaqah karena ia adalah perbuatan ihsan, baik, kepada mereka. Dan hadis Nabi Saw. berikut:[23] عن ابن عباس عن اسامة ابن زيد ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: انما الربا في النسيئة. Dari Ibnu Abbas, dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi Saw. bersabda: “Bahwa riba itu hanya ada pada nasi’ah”. Menurut Ibnu al-Qayyim, shigat hasr yakni “innamâ” pada hadis tersebut menunjukkan hasr al-kamil yang berarti bahwa riba yang sempurna hanyalah riba nasi’ah. Makna ini sama seperti perkataan Ibnu Mas’ud: انما العالم الذي يخشى الله Maksudnya: Orang yang benar-benar takut kepada Allah hanyalah orang yang berilmu pengetahuan. b. Al-Khafi Adapun al-khafi, istilah lain disebut riba al-fadl, maka pengharamannya sebagai langkah antisipatif (sadd al-zari’ah), yakni untuk menutup jalan ke arah praktek riba al-nasi’ah. Untuk memperkuat pernyataannya tersebut, Ibnu al-Qayyim mengutip hadis Abi Sa’id al-Khudri r.a, dari Nabi Saw. berikut: لآ تبيعوا الدرهم بالدرهمين فإني أخاف عليكم الرما.و الرما هو الربا “Janganlah kalian melakukan transaksi satu dirham dengan dua dirham, sesungguhnya aku khawatir kalian akan melakukan al-rimâ,” yakni al-ribâ.[24] Jadi pelarangan riba al-fadl karena ada kekhawatiran akan terjerumus kepada riba al-nasi’ah. Hal tersebut bisa terjadi apabila satu dirham ditukarkan dengan dua dirham. Muslehuddin ketika mengomentari hadis tersebut, ia berkata: Kalimat “akhâfu” yakni saya khawatir, merupakan dalil yang jelas mengenai fakta bahwa Nabi Saw mengharamkan cara dagang seperti yang disebutkan dalam hadis tersebut karena dikhawatirkan akan menuju kepada praktek riba nasi’ah.[25] Selanjutnya menurut Ibnu al-Qayyim, al-Syâri’ menetapkan keharaman riba al-fadl pada enam jenis komoditi, yakni: Emas, perak, biji gandum (al-burr), al-sya’ir, tamar, dan garam (al-milh). Ahli fikih katanya, sepakat mengharamkan kelebihan (al-tafâdul) dalam transaksi enam komoditi tersebut pada satu jenis, tetapi mereka berbeda pendapat selain enam komoditas itu. Sebagian ulama berpendapat bahwa pengharaman hanya terbatas pada enam jenis tersebut. Di antara ulama salaf yang meriwayatkan pendapat ini adalah Qatadah dari mazhab ahl al-zâhir. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu ‘Uqail dalam beberapa karyanya yang terakhir ketika membahas masalah qiyas, ia berkata: Sesungguhnya ‘illat qiyas dalam masalah riba adalah ‘illat yang lemah, karena itu tidak bisa dilakukan analogi. Kelompok lain seperti mazhab ‘Ammar, Ahmad dalam salah satu riwayat, dan Abu Hanifah, mereka mengharamkan tambahan pada seluruh jenis barang yang dapat ditakar dan ditimbang. Sedangkan menurut Imam al-Syafi’i, Imam Ahmad dalam salah satu riwayat yang lain, mengatakan bahwa pengharaman hanya berlaku pada jenis makanan, sekalipun tidak dapat ditakar dan ditimbang. Kelompok lain seperti Sa’id bin al-Musayyib, satu riwayat dari Ahmad dan al-Syafi’i, berpendapat bahwa peng-haraman hanya terjadi pada barang makanan yang dapat ditakar dan ditimbang. Sementara imam Maliki hanya mengkhususkan pada makanan pokok dan dapat disimpan. Menurut Ibnu al-Qayyim, pendapat inilah yang paling kuat.[26] Adapun transaksi dirham dengan dinar, maka menurut mazhab Ahmad dalam satu riwayat dan mazhab Abu Hanifah, bahwa ‘illat kedua jenis barang tersebut adalah dapat ditimbang. Sedangkan menurut al-Syafi’i, Maliki, dan Ahmad dalam satu riwayat yang lain, ‘illatnya adalah nilai atau harga. Inilah, menurut Ibnu al-Qayyim pendapat yang sahih, karena itu mereka sepakat membolehkan transaksi keduanya (dirham dan dinar) dengan barang-barang yang dapat ditimbang seperti tembaga dan besi, dan selain keduanya. Sekiranya tembaga dan besi termasuk benda ribawi, tentu tidak dibolehkan mentransaksikannya kepada batas waktu tertentu dengan dirham sekalipun tunai; maka barang atau benda ribawi apabila berbeda jenisnya boleh ditransaksikan secara berlebih (al-tafâdul) dengan syarat tanpa penundaan.[27] Dari keseluruhan pokok pikiran seputar al-khafi atau riba fadl yang dikemukakan oleh Ibnu al-Qayyim tersebut, yang menarik untuk dicermati adalah enam jenis komoditi yang ditetapkan oleh Rasulullah Saw. sebagai barang yang terkait dengan riba fadl. Kalau diamati lebih jauh, maka dua macam yang pertama dari enam komoditi tersebut menyangkut komoditi uang, sedangkan empat macam yang terakhir terkait dengan komoditi makanan. Perdebatan seputar penganalogian terhadap keenam komoditi tersebut telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Terlepas dari persoalan ini, pertanyaan prinsip yang muncul adalah “mengapa untuk menghindari praktek riba antar jenis yang sama bagi enam komoditi tersebut, transaksi harus dilakukan sama nilai dan bobotnya serta dilakukan secara tunai?” Persoalan ini tidak hanya sulit untuk dijawab, tetapi juga secara logika sukar dipahami mengapa seorang yang punya akal ingin menukarkan barang, baik berupa emas, perak, maupun jenis komoditi lainnya dengan barang atau benda yang sama jenis dan kualitasnya, apalagi jika itu dilakukan dengan cara memberi kelebihan (al-tafadul) bagi salah satu benda yang ditransaksikan tersebut dan dilakukan secara langsung (tunai). Dalam konteks ini, analisis Chapra menarik untuk disimak. Ia mengatakan bahwa substansi pelarangan praktek riba fadl terhadap enam jenis komoditi yang disebutkan dalam hadis, lebih menekankan prinsip keadilan dan ‘permainan yang bersih’ dalam setiap transaksi langsung; harga dan nilai tukar harus adil dalam setiap transaksi yang dilakukan secara tunai oleh satu pihak, sementara pihak lain memberikan komoditi atau jasa secara timbal balik.[28] Jadi, keadilan hanya dapat diperoleh jika kedua bobot timbangan barang atau benda tersebut mempunyai nilai yang sama. Inilah yang dicontohkan oleh perilaku Nabi Saw ketika beliau menyebut enam jenis komoditi penting dan menekankan bahwa ukuran yang berlaku pada salah satu dari keenam komoditi tersebut juga berlaku bagi komoditi dagangan lain yang sama. Untuk meyakinkan adanya keadilan, Nabi Saw. bahkan tidak menganjurkan transaksi dengan cara barter dan memerintahkan agar suatu komoditi dijual dulu secara tunai kemudian uang hasil penjualannya dibelikan barang yang dibutuhkan.[29] Hal ini karena dalam transaksi barter sukar dilakukan penimbangan nilai suatu barang dengan barang lain dengan benar-benar setara kecuali oleh mereka yang sudah profesional. Dari sini, perbandingan hanya dapat dilakukan dengan cara yang mendekati dan oleh karena itu berpeluang terjadinya ketidakadilan bagi pihak tertentu. Penggunaan uang, dengan demikian, dapat meminimalisasi kemungkinan terjadinya kecura-ngan dalam tukar-menukar barang. Larangan riba al-fadl dimaksudkan untuk meyakin-kan adanya keadilan, yang menurut Naqvi, ia merupakan salah satu aspek dari hukum universal, ia tidak hanya merupakan sendi sistem ekonomi Islam, tapi juga merupakan sendi semua aspek kehidupan manusia.[30] Bahkan Rahman mengatakan, keadilan sosial-ekonomi adalah salah satu dari dua misi utama risalah kenabian yang diperjuangkan pertama kali, di samping menegakkan keesaan Tuhan.[31] Keadilan juga akan menghilangkan semua bentuk eksploitasi dan monopoli melalui tukar-menukar barang yang adil serta menutup semua jalan ke arah praktek riba al-nasi’ah. Dan bukankah dalam Islam, segala sesuatu yang menjadi sarana bagi terjadinya pelanggaran juga dikategorikan sebagai pelanggaran itu sendiri. Apa yang dikatakan Ibnu al-Qayyim bahwa larangan melakukan riba al-khafi (al-fadl) sebagai langkah antisipatif (sadd li al-zari’ah) bagi terjadinya riba al-jali (al-nasi’ah), dalam hal ini, sangat beralasan. 2. Perbedaan dan persamaan pemikiran riba Ibnu al-Qayyim dengan para ulama sebelumnya Kata “al-ribâ” dalam Alquran telah melahirkan berbagai ragam penafsiran. Mencermati latarbelakang turunnya ayat-ayat yang melarang praktek riba, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan riba dalam ayat tersebut adalah riba yang dipraktekkan pada masa Jahiliyah. Menurut Al-Jassas (w. 370 H), riba yang dibicarakan dalam surat al-Baqarah: 275, mempunyai pengertian tertentu, yang sangat berbeda dengan makna etimologi. Setelah menerangkan riba dari segi bahasa yang berarti al-ziyâdah (bertambah), Al-Jassas menyebutkan bahwa riba termasuk kata-kata mujmal yang memerlukan bayan (penjelasan) tertentu seperti istilah salat, puasa dan zakat. Kata-kata ini baru dapat dipahami dan dilaksanakan setelah diberikan penjelasan. Menurutnya, orang Arab tidak tahu bahwa jual beli emas dengan emas, perak dengan perak dengan tambahan karena penundaan waktu adalah riba dalam pandangan syara’.[32] Dengan ungkapan lain, riba sebagai istilah bahasa yang berpindah pengertiannya menjadi istilah syara’, tidak dapat dipahami dengan baik dan benar tanpa penjelasan dari syari’. Pandangan al-Jassas tersebut didasarkan pada riwayat Umar bin Khattab yang mengatakan: “Bahwa ayat riba termasuk salah satu ayat yang terakhir diturunkan, dan Nabi Saw. wafat sebelum menjelaskannya kepada kita, karena itu, tinggalkanlah riba dan keraguan. Dalam pandangan Al-Jassas, berdasarkan riwayat ini, belum dijelaskannya ayat riba oleh Rasulullah Saw. mengindikasikan bahwa kata riba yang terdapat dalam Alquran masih bersifat mujmal, ia memerlukan penjelasan yang konkret.[33] Berbeda dengan Al-Jassas adalah Ibn al-Arabi (468-543 H). Setelah menjelaskan riba dari segi bahasa yang berarti al-ziyâdah (bertambah), ia mengatakan, bahwa yang benar istilah riba tersebut sudah jelas dan dikenal oleh orang-orang Arab masa Jahiliyah, bahkan mereka telah mempraktekkannya. Di kalangan mereka sudah biasa melakukan transaksi dengan penundaan waktu. Apabila jatuh tempo, kreditor berkata kepada debitor: Apakah membayar lunas atau menambah bunga?[34] Yakni memberikan kelebihan terhadap pokok harta yang dipinjamkan. Riba inilah yang diharamkan. Dalam pandangan Ibn al-Arabi, diturunkannya ayat-ayat riba justru ingin menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah riba yang harus ditinggalkan. Jadi, Ibn al-Arabi membedakan kata ribâ dengan istilah salat, siyâm dan zakat dari segi perlu dan tidaknya penjelasan. Tiga istilah yang terakhir tidak mungkin dapat dipahami dan diamalkan dengan benar tanpa ada penjelasan, tidak demikian halnya dengan riba. Terlepas dari metoda dan pendekatan apa yang digunakan, kedua pakar tafsir ini sepakat bahwa riba yang disinggung oleh Alquran tersebut adalah riba yang formulasinya seperti yang dipraktekkan oleh orang Arab masa Jahiliyah. Yakni pinjaman berjangka dengan tambahan yang disyaratkan, tambahan tersebut sebagai ganti penundaan waktu yang diberikan. [35] Pakar tafsir yang lain seperti al-Tabari (w. 310 H), Fakhr al-Din al-Razi (544-604 H), al-Qurtubi, al-Khazin (w. 741 H), dan Ibnu Kasir (w. 744 H), dalam menafsirkan ayat riba lebih banyak mengutip riwayat dari sahabat yang berkenaan dengan praktek riba masa Jahiliyah daripada komentar mereka sendiri, kecuali al-Razi yang banyak memberikan komentar dan analisis. Di samping itu secara eksplisit mereka juga tidak mengemukakan definisi riba, mereka hanya mengemukakan perilaku tertentu mengenai riba. Al-Razi misalnya, dalam tafsirnya hanya menunjukkan perilaku orang-orang Arab masa Jahiliyah yang terkait dengan riba. Dimulai dengan menjelaskan riba dari segi etimologi yang berarti tambahan, sebagaimana ulama lain, ia kemudian membagi riba kepada dua macam. Pertama, riba al-nasi’ah, kedua, riba al-fadl. Al-Razi mengidentifikasi riba al-nasi’ah sebagai riba yang dikenal pada masa Jahiliyah. Gambarannya, mereka menyerahkan sejumlah harta kepada orang lain (debitor) dengan mengambil sejumlah tambahan tertentu setiap bulan, sementara pokok harta yang dipinjamkan tetap utuh. Apabila jatuh tempo, mereka menagih. Jika debitor berhalangan melunasinya, mereka menambah “hak” dan “penjadualan utang.” Inilah praktek riba Jahiliyah. Adapun riba al-naqd, istilah lain dari al-fadl, maka gambarannya, seseorang saling menukar al-hintah (biji gandum), atau barang lain yang sejenis dengan memberikan tambahan kepada salah satunya.[36] Al-Razi menegaskan, jumhur mujtahid sepakat mengharamkan kedua bentuk riba tersebut. Yang pertama diharamkan berdasarkan Alquran, dan yang kedua diharamkan berdasarkan hadis. Sebagaimana ditunjukkan oleh hadis, keharaman riba al-naqd (fadl) terjadi pada enam jenis komoditas, yakni emas, perak, gandum, al-sya’ir, tamar, dan garam.[37] Tetapi katanya, para ulama berbeda pendapat, apakah keharaman riba fadl terbatas pada enam komiditi yang disebutkan ataukah melebar ke komiditi lain berdasarkan analogi persamaan jenis dan sifat yang melekat pada enam komiditi tersebut. Al-Razi juga berusaha mengungkapkan hakekat riba dalam Alquran dengan melakukan analisis yang mendalam terhadap sebab-sebab dilarangnya riba dari perspektif ekonomi. Menurutnya, sebab-sebab tersebut adalah: 1. Riba adalah mengambil harta orang lain tanpa ada imbalan (pengganti). Jika dikatakan, mengapa tidak dibolehkan mengambil tambahan terhadap pokok harta yang ada di tangan debitor berdasarkan jangka waktu tertentu. Bukankah jika harta tersebut tetap berada di tangan pemiliknya (kreditor) dan dijadikan modal usaha akan menghasilkan keuntungan. Bukankah dengan menyerahkan harta kepada debitor itu menghilangkan kesempatan kreditor untuk memperoleh keuntungan seperti yang didapat debitor, sehingga kreditor berhak memperoleh keuntungan atas pengorbanan tersebut. Al-Razi menjawab, bahwa keuntungan yang akan diperoleh debitor masih bersifat spekulatif, sedangkan tambahan yang diperoleh kreditor dari debitor bersifat pasti, dan tanpa resiko.[38] 2. Riba menyebabkan kreditor malas berusaha. Melalui media akad riba, kreditor selaku pemilik modal dengan mudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, ia tidak berminat untuk berusaha, berkarya, dan melakukan apa saja yang memerlukan keahlian yang sifatnya memberatkan dirinya. 3. Riba akan menghilangkan momentum perbuatan baik di antara kreditor dan debitor. 4. Riba biasanya menjadikan kreditor semakin kaya, sebaliknya debitor semakin miskin. 5. Larangan riba telah ditetapkan oleh nash, di mana tidak harus semua rahasia pembebanan hukumnya diketahui manusia. Keharamannya bersifat qat’i, sekalipun orang tidak mengetahui persis sisi pelarangannya.[39] Analisis al-Razi tersebut dapat disimpulkan bahwa riba diharamkan karena mengandung unsur ketidakadilan (butir 1), menyuburkan sifat malas, menghilangkan kreativitas dan momentum berbuat baik (butir 2 dan 3), eksploitasi (butir 4), dan pertimbangan normatif (butir 5). Butir 1 hingga 4 didasarkan pada analisis ta’aqquli (rasional), sedangkan butir 5 analisis ta’abbudi. Tidak ditemukan riwayat dan alasan yang menjelaskan, mengapa para pakar tafsir tersebut ketika menafsirkan ayat-ayat riba, secara eksplisit, tidak merumuskan definisinya. Namun seperti yang dikatakan Ibnu Taimiyah, yang dikutip oleh Zuhri, bahwa definisi bukan faktor penting dalam memahami hakikat sesuatu. Pengetahuan tentang sesuatu dapat diperoleh melalui pengalaman empirik tanpa didefinisikan terlebih dahulu.[40] Dari uraian yang mereka kemukakan, maka praktek riba masa Jahiliyah dapat diiidentifikasi sebagai berikut: Pertama, riba terjadi melalui transaksi utang-piutang. Kedua, terjadi kesepakatan untuk memberikan tambahan (bunga) di awal transaksi. Ketiga, bunga akan selalu diperhitungkan sesuai dengan lama atau seringnya penundaan waktu yang diberikan kreditor kepada debitor. Inilah unsur-unsur utama praktek riba nasi’ah atau riba Jahiliyah sebagai riba yang diharamkan Alquran. Dari uraian tersebut, jelas terlihat beberapa perbedaan dan persamaan konsep riba Ibnu al-Qayyim dengan konsep riba para ulama sebelumnya. Perbedaan yang dimaksud antara lain: Pertama, Ibnu al-Qayyim menggunakan istilah “jali” untuk riba nasi’ah atau riba jahiliyah, dan istilah “khafi” untuk riba fadl. Kedua istilah tersebut orisinil dari Ibnu al-Qayyim. Tidak ditemukan riwayat yang menggunakan kedua istilah tersebut selain oleh Ibnu al-Qayyim. Sementara istilah “nasi’ah/jahiliyah” dan “fadl”, merupakan dua istilah yang sudah biasa dan populer digunakan oleh ulama sebelum Ibnu al-Qayyim dalam melihat klasifikasi riba. Kedua, menurut Ibnu al-Qayyim, riba khafi, yang dilarang berdasarkan hadis, pengharamannya sebagai langkah antisipatif (sadd al-zari’ah), sedangkan riba jali, yang diharamkan berdasarkan Alquran, pelarangannya sebagai tujuan (al-maqâsid). Yang pertama dapat dibolehkan dalam kondisi membutuhkan (al-hâjjah), sedangkan yang kedua harus benar-benar dalam kondisi darurat (al-darûrah al-mulji’ah) untuk bisa melanggarnya.[41] Sementara bagi ulama sebelum Ibnu al-Qayyim, tidak ada pentoleriran dalam praktek riba. Sedikit atau banyak riba tetap diharamkan. Riba nasi’ah atau riba jahiliyah diharamkan berdasarkan Alquran, sedangkan riba fadl dilarang berdasarkan hadis. Bagi mereka, pelarangan kedua bentuk riba tersebut tidak ada hubungannya dengan prinsip sadd al-zari’ah dan al-maqâsid. Ketiga, Pemikiran riba Ibnu al-Qayyim tidak hanya didasarkan pada aspek legal formal (nash), tetapi juga mengacu kepada al-qawâ’id al-fiqhiyah, terutama teori al-hâjjah dan al-darûrah. Tidak demikian halnya dengan ulama sebelumnya, yang kelihatannya hanya terfokus pada aspek legal formal (nash) semata. Inilah beberapa perbedaan prinsip pemikiran riba Ibnu al-Qayyim dengan pemikiran riba menurut ulama sebelumnya. Perbedaan tersebut juga sekaligus menjadi ciri dan karakter pemikiran riba Ibnu Qayyim al-Jawziyah. Sedangkan persamaannya adalah: Pertama, sebagaimana ulama sebelumnya, Ibnu al-Qayyim secara eksplisit, juga tidak mengemukakan definisi riba, baik jali maupun khafi. Ia hanya menggambarkan perilaku orang-orang Arab masa Jahiliyah dalam melakukan riba jali dan khafi. Kedua, secara substantif, identifikasi riba yang dikemukakan Ibnu al-Qayyim tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh ulama sebelumnya. Hanya sanya Ibnu al-Qayyim lebih menekankan pada aspek yang menjadi sebab pelarangan riba. Menurutnya, riba dilarang karena bertentangan dengan nilai-nilai keadilan; mengandung unsur eksploitasi; dan monopoli. Dengan demikian, ketiga hal tersebut juga menjadi ciri dan karakter pemikiran riba Ibnu al-Qayyim. Wallahu A’lam ! D. Kesimpulan Riba dalam pandangan Ibnu al-Qayyim terbagi kepada dua macam: pertama, jali, dan kedua, khafi. Jali, istilah ulama lain disebut riba nasi’ah, sedang khafi disebut riba fadl. Menurutnya, riba jali diharamkan karena mengandung kemudaratan besar, sementara riba khafi diharamkan karena ia merupakan media menuju praktek riba jali. Diharamkan yang pertama sebagai qasd (maksud/tujuan), dan diharamkan yang kedua sebagai sadd al-zari’ah, langkah antisipatif. Selanjutnya ia menyatakan, apa yang diharamkan sebagai langkah antisipatif (sadd al-zari’ah) suatu saat bisa dibolehkan bila ada kemaslahatan yang kuat atau keharusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sedangkan apa yang dilarang sebagai al-maqâsid, harus benar-benar dalam kondisi darurat (al-darûrah al-mulji’ah) untuk bisa melanggarnya. Ditemukan beberapa perbedaan yang prinsip antara konsep riba Ibnu al-Qayyim dengan konsep riba menurut ulama sebelumnya. Perbedaan tersebut adalah: Pertama, istilah jali dan khafi untuk penyebutan kedua bentuk riba merupakan istilah baru dan orisinil dari Ibnu al-Qayyim. Tidak ditemukan ada riwayat yang menggunakan kedua istilah tersebut selain oleh Ibnu al-Qayyim. Sedangkan ulama sebelum Ibnu al-Qayyim menggunakan ungkapan “nasi’ah/jahiliyah” dan “naqd/fadl” untuk menyebut klasifikasi riba. Kedua, menurut pandangan Ibnu al-Qayyim, dalam kondisi tertentu riba bisa ditolerir. Sementara menurut pandangan ulama sebelumnya tidak ada pentoleriran dalam praktek riba, bahkan mereka menegaskan, sedikit atau banyak riba tetap diharamkan. Ketiga, Pemikiran tentang riba Ibnu al-Qayyim tidak hanya didasarkan pada aspek legal formal (nash), tetapi juga mengacu kepada teori al-hâjjah dan teori al-darûrah. Sementara ulama sebelumnya, hanya terfokus pada aspek legal formal (nash) semata. Sedangkan persamaannya antara lain: Pertama, sebagaimana ulama sebelumnya, Ibnu al-Qayyim, secara eksplesit, juga tidak mengemukakan definisi riba, baik jali maupun khafi. Ia hanya mengemukakan perilaku orang Arab Jahiliyah dalam melakukan riba jali dan khafi. Kedua, secara substantif, identifikasi riba yang dikemukakan Ibnu al-Qayyim tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh ulama sebelumnya. Hanya saja Ibnu al-Qayyim lebih menekankan aspek yang menjadi sebab pelarangan riba. Menurutnya, riba dilarang karena bertentangan dengan nilai-nilai keadilan; mengandung unsur eksploitasi; dan monopoli. Daftar Pustaka Abdullah, Muhammad bin. Ahkâm al-Qur’an, Juz I, Bairut, Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996. Arifin, Zainul. Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek, Jakarta, Alphabet, 1999. Bukhari, Muhammad bin Ismail al-. Shahih al-Bukhari. Al-Qahirah, Dar al-Syu’ab, t.th. Chapra, M. Umer. Towards a Just Monetary System Bibliografy, edisi Indonesia, Al-Qur’an Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1997. Djojohadikusumo,Sumitro. Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori dalam Ekonomi Umum, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1991. Hanafi, A.A. dan Hamid Sallam. Business Ethics: An Islamic Perspective, (Ed.) F.R. Faridi, New Delhi, Hazrat Nizamuddin West, 1995. Hatta, Mohammad. Bank dalam Masyarakat Indonesia, t.t., Bank Indonesia, 1942. Jassas al-.Abu Bakar, Ahkam al-Qur’an, Beirut,: Dar al-Fikr, t.th. Jauziyah, Ibnu Qayyim, al-. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Beirut, Dar al-Fikr, t.th. Khan, Abd al-Jabbar. Divine Banking System, dalam Journal of Islamic Banking and Finance, t.t., Winter, 1984. Khatib, A., Bank dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1962. Kirmâni, al-. Al-Bukhari li Syarh al-Kirmâni, t.t.: Dâr al-Fikr, t.th. Kuran,Timur. The Economic System in Contemporary Islamic Thought: Interpretation and Assessment, dalam Int. J. Middle East Studies 18, 1996. Maududi, Abu al-A’la al-. Al-Riba, t.t.., Dar al-Fikr, t.th. Misri, Rafiq Yunus, al-. Al-Jami’ fi Ushul al-Riba, Beirut: al-Syamiyah, 1991. Mohammad, Mahathir. Islam as a Religion of Justice, dalam Islam and Justice, (Ed.) Aidit bin Hj. Ghazali, Kuala Lumpur, Institute of Islamic Understanding Malaysia, 1993. Muslehuddin, Muhammad. Banking and Islamic Law, edisi Indonesia, Sistem Perbankan dalam Islam, terj. Aswin Simamora, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1994. Mutahhhari, Murtada. Al-Riba wa al-Ta’min, terj. Irwan Kurniawan, edisi Indonesia, Asuransi dan Riba, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995. Naisabury, Muslim bin Hajjaj, al-.Shahhîh Musim, Juz V, Beirut, Dar al-Fikr, t.th. Naqvi,Nawab Haider, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, London, The Islamic Foundation, 1981. Nasution, Khairuddin. Riba dan Poligami, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996. Qasimi, Jamaluddin al-. Mahasin al-Ta’wilayah, Mesir, Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1957. Qastalani, Syihabuddin Ahmad al-. Irsyâd al-Sâri Lisyarh Sahîh al-Bukhari, Bairut, Dâr al-Fikr, 1990. Qazwiny, Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-. Sunan Ibni Majah, Juz II, t.t., Dar al-Fikr, t.th. Qurtubi, Muhammad al-. Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1967. Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam, terj. Soeroyo, Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam 3, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996. Rahman, Afzalur. Muhammad: Encyclopaedia of Saerah, Vol. II, London, The Muslim Schools Trust, 1982. Rahman, Fazlur. Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, terj. Jaziar Radianti, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis, Bandung, Mizan, 1999. Razi, Fakhruddin al-. Al-Tafsir al-Kabir, t.t., Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th. Rida, Rasyid, Al-Manar, Mesir, Mathba’at Muhammad Ali Shahib wa Abduh, 1374. Sabuni, Muhammad Ali al-. Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, t.t., t.p., t.th. Saeed, Abdullah. Islamic Banking and Interest: A Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation. Leiden, E.J. Brill, 1996. Sanhuri, Abd al-Razak. Masâdir al-Haqq fi al-Fiqh al-Islami, Bairut, al-Majma’ al-Arabi al-Islami, 1967, Sijistani, Abu DaudSulaiman bin al-Asy’ats al-. Sunan Abi Daud, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, 1994. Sumitro,Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait (BMI dan Takaful) di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996. Suriasumantri, Jujun S. “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan” dalam Gong Mahasiswa No. 03/TH. III/ 1993. Sya’rani, Abd al-Wahb al-.Al-Mîzân al-Kubrâ, Bairut, Alam al-Kutub, 1989. Syaukani, Mohammad al-. Fath al-Qadir, Beirut, Dar al-Fikr, 1981. Tabari, al-. Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Musthafa al-Babi al-Halabi, 1968. Taimiyah, Ibnu. Kitab al-Radd ‘ala Mantiqiyyîn, Bairut, Dâr al-Ma’rifah, t.th. Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah al-. Sunan al-Turmudzi, Juz III, Beirut, Dar al-Fikr, 1994. Zahrah, Muhammad Abu. Buhus fi al-Riba, Mesir, Dar al-Ilmiah, 1970. *Penulis adalah dosen tetap Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin. [1]Murtada Mutahhhari, al-Riba wa al-Ta’min, terj. Irwan Kurniawan, edisi Indonesia, Asuransi dan Riba, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1995), h. 13; Moh. Hatta, Bank dalam Masyarakat Indonesia, (t.t.,: Bank Indonesia, 1942), h. 7. [2]A. Khatib, Bank dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1962), h. 41; Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 57-8. [3]Abu al-A’la al-Maududi, al-Riba, (t.t.,: Dar al-Fikr, t.th.), h. 90. [4]Rafiq Yunus al-Misri, al-Jami’ fi Us}ul al-Riba, (Beirut: al-Syamiyah, 1991), h. 168; Moh. Al-Syaukani, Fath al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Juz IV, h. 227. [5]Rafiq Yunus al-Misri, op. cit., h. 168-9 ; Fakhruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, (t.t.,: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th.), Juz VII, h. 85. [6]Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Al-Qahirah: Dar al-Syu’ab, t.th.), Juz III, h. 48. [7]Al-Thabari, Jami’al Bayan fi Tafsir al-Qur’an, (Musthafa al-Babi al-halabi, 1968), Juz III, h. 113-4. [8]Rasyid Ridha, al-Manar, (Mesir: Mathba’at Muhammad Ali Shahib wa Abduh, 1374), Juz III, h. 113-4. [9]Abu Bakar al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Juz II, h. 37; Jamaluddin al-Qasimi, Mahasin al-Ta’wil, (Mesir: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyah, 1957), Juz IV, h. 471. [10]Al-Syaukani, op. cit., Juz I, h. 294; Pernyataan senada juga dikemukakan oleh al-Qurtubi, Lihat Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1967), Juz III, h. 349. [11]Ibnu Qayyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 135. [12]Ibnu Qayyim al-Jauziyah, op. cit., h. 138-9. [13]Muhammad Ali al-Sabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, (t.t.,: t.p., t.th.), h. 392-3. [14]Murtadla Mutahhari, op. cit., h. 40-9. [15]Karena terbatas ruang dan waktu, maka yang dilaporkan dalam tulisan ini hanya sebatas pemikirannya tentang konsep riba dan perbedaan serta persamaannya dengan konsep riba menurut para ulama sebelumnya. [16]Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmiah, Kefilsafatan dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan” dalam Gong Mahasiswa No. 03/TH. III/ 1993, h. 8. Jujun juga menjelaskan bahwa dalam metode analitis kritis telaah tercakup aspek deskripsi dan komparasi. [17]Jujun S. Suriasumantri, op. cit., h. 9. [18]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 103. [19]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h.103. [20]Muslim, op. cit.,,h. 50; Abu Daud, op. cit.,, h. 244; Al-Turmuzi, op. cit., Ibnu Mâjah, op. cit., h. 764. [21]Menurut al-Sya’rani, segolongan sahabat mengatakan bahwa riba itu khusus pada nasi’ah, karena itu tidak diharamkan al-tafâdul, lihat Abd al-Wahb al-Sya’rani, al-Mîzân al-Kubrâ (Bairut: Alam al-Kutub, 1989), Juz III, h.46-8. [22]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 103. [23]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit.,, h. 104; Al-Bukhari, op. cit.,, h. 31; Muslim, op. cit.,, h. 49-50; Jalal al-Din al-Suyûti, op. cit., h. 281. [24]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 104. [25]Muhammad Muslehuddin, Banking and Islamic Law, edisi Indonesia, Sistem Perbankan dalam Islam, terj. Aswin Simamora, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 79. [26]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 104; bandingkan dengan Al-Sya’rani, op. cit., h. 46-8. [27]Ibnu Qayyim al-Jawziyah, op. cit., h. 104. [28]M. Umer Chapra, op. cit., h. 30. [29]Al-Bukhari, Shahîh al-Bukhari, op. cit., h. 35; Muslim, op. cit., h. 695. Para ulama mengatakan, anjuran Nabi untuk menghindari jual beli dengan cara barter dimaksudkan agar seseorang jangan sampai jatuh pada praktek riba. Ini mengindikasikan adanya korelasi yang kuat antara riba dengan unsur eksploitasi yang berakibat munculnya ketidakadilan dalam praktek bisnis, lihat Syihabuddin Ahmad al-Qastalani, Irsyâd al-Sâri Lisyarh Sahîh al-Bukhari (Bairut: Dâr al-Fikr, 1990), Juz V, 177-79; Al-Kirmâni, al-Bukhari li Syarh al-Kirmâni (t.t.: Dâr al-Fikr, t.th.), Juz X, h. 59. [30]Alquran mengatakan: “Katakanlah: Tuhanku menyukai keadilan.” (7: 29). “Keadilan” adalah urutan ketiga yang terbanyak disebut Alquran setelah kalimat Allah dan ilmu. Menurut Alquran “keadilan” harus dijiwai oleh kasih sayang: “Ketahuilah! Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan …” (16: 90). Dari segi sosial, tuntutan al-Ihsan dapat merangsang al-Adl, karena keadilan sosial menuntut agar si miskin dientaskan, dan si kaya harus terlibat di dalamnya. Lihat Nawab Haider Naqvi, Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, (London: The Islamic Foundation, 1981), p. 126-27. [31]Fazlur Rahman, Health and Medicine in the Islamic Tradition: Change and Identity, terj. Jaziar Radianti, Etika Pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis (Bandung: Mizan, 1999), h. 17. A.A. Hanafi dan Hamid Sallam, Business Ethics: An Islamic Perspective, (Ed.), F.R. Faridi (New Delhi: Hazrat Nizamuddin West, 1995), p. 1-16. Mahathir Mohammad, Islam as a Religion of Justice, dalam Islam and Justice, (Ed.), Aidit bin Hj. Ghazali (Kuala Lumpur: Institute of Islamic Understanding Malaysia, 1993), p. 1-8. [32]Abu Bakr Ahmad al-Jassas, Ahkam al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz I, h. 634. [33]Al-Jassas, op. cit.,h. 634. [34]Muhammad bin Abdullah, Ahkâm al-Qur’an (Bairut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1996), Juz I, h. 320-21. [35]Al-Jassas, op. cit., h. 637-38. [36]Fakhr al-Din al-Razi, op. cit., h. 93. [37]Ibid., h. 94. [38]Ibid., h. 95. [39]Ibid. [40]Ibnu Taimiyah, Kitab al-Radd ‘ala Mantiqiyyîn (Bairut: Dâr al-Ma’rifah, t.th.), h. 7; Zuhri, op. cit., h. 92. [41]Dalam tulisan ini sengaja tidak dilaporkan mengenai kedua teori tersebut sebab terbatas ruang dan waktu.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI