LANGIT DAN NUR DALAM MIKRAJ NABI SAW

Oleh Kang Kolis
Salah satu penjelasan yang paling popular berkenaan dengan perista isra dan mi’raj adalah ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Sebagian diterjemahkan sebagai berikut:
”Ketika aku sedang berbaring di al-Hathim (sebuah dinding di sisi barat daya Ka’bah) seseorang mendatngiku dan membuat belahan dari sini ke sini (artinya dari rongga di bawah dadanya hingga rambut di bawah pusarnya), lalu mengeluarkan sebuah mangkuk emas yang penuh dengan iman, dan hatiku dicuci,
lalu diisikan dan diletakkan kembali ke tempatnya... Lalu aku dibawakan seekor binatang yang lebih kecil dari bengal dan lebih besar dari keledai, yang warnanya putih, yang dinamakan al-Buraq,
dan melangkah sejauh jangkauan pandangnya. Aku dinaikkan ke atasnya, dan Jibril pergi bersamaku hingga dia tiba di langit paling rendah. Dia meminta agar pintu dibuka. Ketika ditanya siapa, dia menjawab bahwa dia adalah Jibirl. Dia ditanya siapa yang ada bersamanya. Dia menjawab bahwa itu adalah Muhammad. Dia ditanya apakah memang dia telah diutus. Ketika dia menjawab bahwa memang dia telah diutus, kata-kata itu terucap, ”selamat datang; kedatangannya memang baik,” dan pintu itu dibuka. Ketika aku masuk Adam berada di sana. Dan Jibril berkata, ”Inilah bapakmu Adam, berilah dia salam.” Aku mematuhinya, dan ketika dia membalas salamku dia berkata, ”selamat datang bagi putra yang baik dan nabi yang baik.” Jibril lalu membawaku ke atas hingga dia tiba di langit kedua. dst. (al-hadis, aw kama qala)
Penjelasan hadis pun berlanjut. Muhammad bertemu dengan Yahya dan Isa di langit kedua, Yusuf di langit ketiga, Idris di langit keempat, Harun di langit kelima, Musa di langit keenam, dan Ibrahim di langit ketujuh, dan akhirnya Nabi berjumpa Tuhan di Arsy, tempat yang paling tinggi, maha tinggi.
Menarik untuk disimak di sini adalah tentang langit. Alquran menyatakan secara tegas dalam beberapa ayat bahwa ada tujuh langit. Filsafat, khususnya Yunani memaknai tujuh langit itu dikaitkan dengan benda-benda angkasa yang berkelana, adalah bulan, merkurius, venus, matahari, mars, yupiter, dan saturnus. Namun tidak demikian dalam tasawuf, benda-benda planet itu hanyalah bumi, sedangkan langit berbeda dengan palnet-planet, langit tidak dapat dilihat, dia abstrak, dia wujud dalam bentuk kualitatif.
Dalam hal ini, Farghani, menjelaskan sifat kualitatif langit itu dalam pengertian nama-nama ilahi, yang merupakan akar dari semua sifat ciptaan. Dia membahas tentang penciptaan langit dan bumi dari ”masa yang seluruhnya terpadu,” substansi asli yang tak terbedakan yang disebutkan dalam Alquran ”menjadi terentifikasi” (ta’ayyun). Dalam prosesnya, materi terpadu yang dimiliki oleh langit dan bumi menjadi terentifikasi sedemikian rupa sehingga langit menjadi berbeda dari bumi. Langit dilahirkan sebagai suatu asap lembut, sementara bumi sebagai benda campuran yang padat. Tuhan befirman: QS. 41: 111 (Selanjutnya Dia menuju penciptaan langit, yang ketika itu masih merupakan gas seperti asap, dan Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi sekaligus, ’Datanglah kalian, baik dengan patuh, maupun dengan paksa, mereka berkata kami datang dengan patuh.
Pada tahap eksistensi ini, langit dan bumi dikuasai oleh keesaan dan bukan kemajemukan, kemestian dan bukan kemungkinan, zat dan bukan pengetahuan. Maka mereka sepenuhnya menerima limpahan dari yang Esa. Mereka dengan sendirinya dilimpahi dengan cahaya, Nur, kelembutan, kedekatan dan semua sifat yang berkaitan dengan sisi Zat Mutlak.
Langit melalui penerimaannya terhadap kekuatan yang tak tebedakan dari yang Esa dibeda-bedakan menjadi tujuh langit. Setiap langit mewujudkan sifat-sifat yang berbeda yang sebelumnya tersembunyi di dalam Yang Esa yang ditandakan dengan berbagai nama ilahi.
Di sini mungkin sedikit kita akan dapat mengaitkan mengapa nabi-nabi tertentu berada pada langit tertentu. Nabi-nabi yang dijumpai rosulullah Muhammad Saw di langit-langit itu jelas tidak eksis dalam bentuknya sebagai manusia dunia, mereka telah kembali kehadirat Allah, tetapi mereka belum sampai ke langit yang paling tinggi, mereka belum betul-betul bersama Allah, mereka berada di lapisan-lapisan tertentu di antara tujuh lapis langit. Mereka telah mendapatkan kebahagiaan yang sempurna atas pencapaian mereka pada tingkat tertinggi kesempurnaan manusia. Tetapi pada saat yang sama mereka merupakan perwujudan menusiawi dari tujuh tingkat dunia langit, Mereka masing-masing merupakan contoh menonjol dari sifat-sifat ilahi yang ”turun dari langit” kebumi. Alquran mengatakan, ”kedudukan mereka itu berbeda-beda tingkatannya dalam pandangan Tuhan” (QS. 3: 163).
Kata Ibn Arabi, bahwa setiap nabi dan kekasih Tuhan... merupakan lokus perwujudan bagi salah satu realitas universal dari kosmos, nama-nama ilahi yang berkaitan dengan realitas-realitas itu. Ruh-ruh ini adalah plenum yang lebih tinggi dengan seluruh keragaman tingkatannya, dan hubungan-hubungan mereka dengan dunia tinggi. Mengenai soal inilah Nabi membuat kiasan dengan mengatakan bahwa ”Adam berada di langit pertama, Isa di langit kedua”, dst.
Jelaslah bahwa ruh para nabi ini tidak ditempatkan dalam pengertian ruang. Oleh karena itu yang dimaksudkan oleh Nabi hanyalah kekuatan dari hubungan-hubungan mereka—dalam kaitannya dengan tingkatan-tingkata (maqamat) mereka, ilmu-ilmu mereka, keadaan-keadaan (ahwal) mereka, dan tingkatan-tingkatan dari umat mereka—dengan langit. Dalam kaitan inilah semua orang besar di antara kekasih Tuhan menyebutkan (dalam istilah teknis mereka) bahwa beberapa kekasih Tuhan ”berada di hati Jibril, beberapa lainnya berada di hati Mikail, beberapa lainnya berada di hati Izrail, dst.
Demikianlah, Nabi Muhammad dalam perjalanannya menjumpai Tuhan di tahtanya yang maha tinggi, melalui station-station kesempurnaan di langit-langit yang tujuh. Satation-station ini berfungsi sebagai bengkel dan sekaligus persinggahan sementara dalam rangka menghimpun kekuatan untuk menuju destinasi penghabisan di Sidratul Muntaha. Sidratul Muntaha amat jauh letaknya, Maha Jauh karena jaraknya dari bumi adalah tak terhingga. Untuk menjelaskan jarak yang tak tehingga ini prof dr Kadirun Yahya membuat analisa ilmiah sebagaimana dijelaskan oleh sahabat saya Sufi Muda sebagai berikut:
Maksud Isra’ dan Mi’raj Rasulullah SAW ialah untuk sujud/hadir ke hadirat ALLAH SWT yang bersemayam di atas Arasy yang maha tinggi.
Jadi: ALLAH SWT berada di Arasy, sedangkan Rasulullah SAW berada di bumi.
Jarak antara keduanya tak terhingga jauhnya : dalam istilah ilmu pasti, jarak yang tak terhingga ditulis : S = ∞

Menurut rumus Mekanika :
1. : S = v x t
S = Spazium = distance = jarak
V = Velocitas = speed = kecepatan
T = tempo = time = waktu
2. Jadi : Jarak = kecepatan x waktu (lihat nomor 1).
3. : S = v x t; kalau jaraknya S = tak terhingga, maka ditulis : S = ∞
4. Jadi : S = v x t;

Menurut Ilmu Aljabar :
5. Kalau : ∞ = v x t, maka v-nya harus (v = ∞).
Atau t-nya harus ( t = ∞ ).
6. Jadi : ∞ = ∞ x t atau ∞ = v x ∞
Waktu yang dipakai Rasulullah SAW berangkat sesudah Isya dan kembali sebelum subuh, katakanlah ± 6 jam pulang pergi, jadi : satu kali jalan menggunakan waktu 3 jam atau t = 3 jam.
7. Diketahui :
2t = 6
t = 3
8. : S = v x t ∞ = v x t
S = ∞
t = 3 .:. v = ∞ = ∞
3
9. Jadi : v mesti ∞ : v = ∞
∞ Artinya : Bahwa menurut ilmu rumus eksakta di atas, Rasulullah SAW wajib memakai suatu alat/”kendaraan”/faktor/frekuensi /yang berdimensi/ ber-kecepatan tak terhingga/tak terbatas, yang v-nya = ∞
Dan ini ternyata benar! Memang Rasulullah diberikan alat Bouraq = kilat, yang kecepatannya dan frekuensinya tak terhingga : v = ∞ diberikan oleh ALLAH SWT.

Kesimpulan:
1. Tanpa memakai faktor tak terhingga (∞) siapapun orangnya yang munajat ke hadirat ALLAH SWT tak kan sampai kepada ALLAH SWT !!!
- HUKUM EKSAKTA MEMBUKTIKANNYA !
- ISRA’ MI’RAJ MENUNJUKKANNYA, KEDUA-DUANYA TAK DAPAT DITAWAR-TAWAR, TAK DAPAT DITOLAK KEBENARANNYA.
2. Munajat artinya : beribadat, berdzikir, bershalat, bersamadi, beri’tikaf dan lain=lain.
3. Sampai pada ALLAH artinya masuk Syorga, karena Syorga adalah pada sisi ALLAH SWT (∞).
4. Dengan terang dan jelas kelihatannya, bahwa tidak ada satu manusiapun yang Sampai pada ALLAH SWT dengan akal apa sajapun, dengan ma’rifat apa sajapun, bagaimanapun hebatnya, karena alat tak terhingga (∞) adalah kepunyaan ALLAH, dan bukan kepunyaan manusia, karena manusia tidak mempunyai kemampuan untuk itu. Manusia adalah BAHARU dan serba terbatas yang tak dapat menghasilkan yang tak terhingga (∞).
5. Alat yang diberikan ALLAH SWT pada Muhammad adalah hanya satu-satunya yaitu “Nur-Nya”, Nur Muhammad, mau tidak mau harus dapat kita salurkan pada diri kita alat itu juga, karena tidak mungkin ada alat lain yang mencapai ALLAH SWT selain daripada Nur-Nya sendiri. Faktor tak terhingga (∞ ) tidak dimiliki oleh manusia manapun juga, karena tidak Ada manusia yang bersifat tak terhingga (∞ ), melainkan ALLAH saja, maka Faktor tak terhingga (∞ ) harus diberikan atau dimasukkan oleh ALLAH itu Sendiri pada manusia, baru manusia memilikinya dan barulah manusia itu dapat Berkomunikasi dengan ALLAH SWT, dan Sesuai dengan firman ALLAH : Nuurun ‘alaa nuurin yahdillaahu linuurihiiman yasyaau. Artinya : “…..Nur Ilahi berdampingan Nur Muhammad itulah diberikannya kepada manusia yang di kehendaki-Nya….” (Surat An nur ayat 35)
6. Faktor tak terhingga (∞) ini tak dapat dan tak boleh bertukar, karena Nur Ilahi adalah satu , tak boleh yang lain, harus yang itu juga, karena jika yang lain, hasilnya/sampainya tidak akan sama; Harus yang di berikan pada Muhammad SAW itu juga harus kita miliki, agar terjamin tempat mendaratnya Muhammad SAW itu sama dengan tempat mendaratnya kita. Tempat mendaratnya Muhammad adalah Syorga, karena syorga adalah pada sisi ALLAH SWT.
7. Untuk mencapai frekuensi yang sama, tidak ada jalan lain, Rohani kita mutlk harus dapat kita gabungkan dengan Rohani Muhammad, yang hidup kekal dan abadi pada sisi ALLAH SWT sebagai “SATELIT” ALLAH TA’ALA di alam semesta ini, yang senantiasa langsung berkomunikasi dengan ALLAH SWT. Rohani digabung dengan rohani tidaklah ada salahnya dan tidak berdosa, asal pandai dan tahu cara pelaksanaan teknisnya, seperti juga frekuensi stasion radio Nusantara III Medan, selalu menggabungkan diri dengan frekuensi pusat jakarta, dan kita akan mendengar Langsung siaran pusat jakarta pada radio kita yang sedang distel dengan frekuensi stasion radio Nusantara III Medan. Begirtu juga, sewaktu Muhammad Ali bertinju di stadion rio de janeiro, cukup kita menstel tv kita pada stasion medan, medan menggabungkan diri dengan jakarta dan jakarta Dengan palapa dan palapa dengan rio de janeiro. Kita melihat Muhammad Ali langsung bertinju di layar tv kita di rumah kita sendiri.
Dalam ajaran tasawuf ada yang namanya teori maqamat dan ahwal. Maqamat jamak dari maqam yang berarti station, terminal yang harus dilalui oleh sufi berupa aktualisasi akhlak karimah, praktik syariah dengan sebenarnya, lahir dan batin. Di sini calon sufi perlu bimbingan guru karena perjalanannya melalui station-station ini sangat jauh dan melelahkan. Proses ini juga disebut dengan takhalliy dan tahalliy dalam rangka tajalliy. Membersihkan jiwa dari segala kotoran yang melekat, membebaskannya dari segala macam bentuk dosa dan selanjutnya menghiasinya dengan akhlak al-karimah.
Proses ini amat diperlukan karena Tuhan adalah Maha Suci. Tuhan yang Maha Suci hanya dapat didekati oleh sesuatu yang suci. Manusia yang bisa mendekati Tuhan hanyalah manusia yang suci, maka agar manusia menjadi suci dari kotoran dosa, ia perlu membersihkannya dengan menyinggahi beberapa bengkel penyucian dalam station, maqam tasawuf.
Kalau sudah sampai waktunya, insyaallah, Tuhan akan membimbing hambanya yang suci untuk masuk ke dalam nur-Nya, menyatu dengan nur dan melesat bagaikan kilat melintas langit-langit tujuh menuju Tuhan di tempat yang jauhnya tak terhingga.
Wallah a’lam.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)