NUR MUHAMMAD DALAM EPISTEMOLOGI ISLAM

Pertanyaan epistemologik yang paling mendasar adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang valid dan meyakinkan? Teori pengetahuan yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam memeperlihatkan karakter khusus yang berbeda dari pemikiran yang berkembang di kalangan pemikir atau filosuf barat.
Kekhasan ini terlihat pada pemikiran dan tradisi yang berlaku di kalangan sufi. Kalau filosuf berpendapat bahwa pengetahuan yang valid hanya diperoleh lewat penajaman rasio, sufi berkeyakinan bahwa pengetahuan sejati hanya dapat diperoleh lewat penajaman kalbu yang tercerahkan oleh nur Ilahi (baca Nur Muhammad)
A. Pendahuluan
Sejarah telah menunjukkan bahwa keterlibatan umat manusia dalam dunia filsafat untuk bergulat dengan masalah-masalah fundamental sudah ada sejak manusia mulai “mengagumi” sesuatu dan mempertanyakan arti maknanya serta asal mulanya sampai ke dasarnya. Sejak saat itu dengan pelbagai cara dan upayanya, manusia ingin memperoleh jawaban yang dirasakan paling sesuai dengan jiwanya, walaupun jawaban itu pada akhirnya berada dalam kawasan yang bersifat spekulatif dan non-empirik.
Masalah fundamental yang memperoleh jawaban secara spekulatif inilah yang menghantarkan manusia pada suatu garis batas, yang di luar garis batas itu, akal dan pengalaman yang merupakan senjata manusia dalam berfilsafat tidak lagi mampu berperan, yang di luar garis batas itu keyakinan manusia harus tampil. Di sini manusia berada pada suatu pilihan yang didasari oleh keyakinannya masing-masing untuk menentukan suatu jawaban spekulatif yang dirasakan paling tepat dan sesuai dengan hati nuraninya.
Fichte (1762-1814), seorang tokoh dalam aliran filsafat spekulatif-idealisme Jerman, menyatakan bahwa filsafat itu adalah hasil keseluruhan kepribadian kita masing-masing, sehingga filsafat yang kita pilih bergantung pada siapa dan bagaimana kita ini. Suatu sistem filsafat bukanlah benda mati yang begitu saja dapat kita ambil, kemudian kita berikan kepada orang lain dengan sesuka hati kita. Karena, filsafat merupakan sesuatu yang dijiwai tergantung apa yang menjadi keyakinan kita masing-masing.
Filsafat Islam, sebagaimana juga filsafat yang dinisbahkan kepada agama tertentu, berbeda hakikatnya dari filsafat umum. Ia sudah terikat kepada ajaran agama. Ia tidak bergerak sebebas-bebasnya, karena ia dikendalikan oleh wahyu sebagai kebenaran mutlak yang diyakini oleh setiap pemeluknya. Karena itu, boleh jadi terdapat beberapa hal yang tidak ada dalam filsafat umum, tetapi ada dan diakui kebenarannya dalam filsafat atau pemikiran Islam seperti yang terlihat dalam teori pengetahuan yang berkembang di kalangan kaum sufi, yang merupakan salah satu karakteristik epistemologi Islam. Inilah masalah utama yang akan kita telaah lebih mendalam dalam tulisan ini.
B. Epistemologi: Tinjauan Umum
Bagaimana cara memperoleh pengetahuan? Demikianlah pertanyaan epistemologik yang akan dijawab sekilas di sini. Dalam sejarah pemikiran Barat, kita mengenal beberapa teori tentang cara memperoleh pengetahuan, yaitu rasionalisme, empirisme dan intuisionisme.
Rasionalisme adalah pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan; dan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri; atau bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan membandingkan ide dan ide. Dengan menekankan kekuatan manusia untuk berfikir dan apa yang diberikan oleh akal kepada pengetahuan, seorang rasionalis pada hakikatnya berkata bahwa rasa inderawi (sense) itu sendiri tidak dapat memberikan kepada kita suatu pertimbangan yang koheren dan benar secara universal. Pengetahuan yang paling tinggi, katanya, terdiri atas keputusan-keputusan yang benar dan bersifat konsisten satu dengan lainnya. Rasa inderawi dan pengalaman yang kita peroleh dari indera, seperti penglihatan, pendengaran dan lain-lain, hanya merupakan bahan baku untuk pengetahuan. Ia harus disusun oleh akal sehingga menjadi sistem sebelum menjadi pengetahuan. Bagi seorang rasionalis, pengetahuan hanya terdapat dalam konsep, prinsip dan hukum; dan tidak hanya dalam rasa fisik.
Dalam bentuknya yang kurang ekstrim, rasionalisme berpendirian bahwa manusia mempunyai kekuatan untuk mengetahui, dengan pasti, tentang beberapa hal mengenai alam. Pengetahuan semacam itu tidak dapat diberikan oleh rasa inderawi. Dalam bentuknya yang lebih ekstrim, rasionalisme berpendirian bahwa kita dapat mencapai suatu pengetahuan yang tidak dapat di sangkal, tanpa pengalaman inderawi. Dari titik tolak pandangan ini seorang rasionalis mengaku dapat memberikan kepada kita pengetahuan yang benar, hukum tentang alam dan tidak hanya aturan berpikir. Selanjutnya, seorang rasionalis yang radikal memberi interpretasi bahwa hukum-hukum yang diungkapkan oleh akal adalah prinsip-prinsip pokok dari alam pada umumnya.
Jadi, kaum rasionalis sepakat mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan perantaraan akal. Betul dalam hal ini akal berhajat pada bantuan indera untuk memperoleh data dari alam nyata, tetapi akallah yang menghubungkan data tersebut, yang satu dengan yang lain, sehingga terciptalah apa yang disebut pengetahuan. Dalam penyusunan ini akal mempergunakan konsep-konsep rasional atau ide-ide universal. Konsep-konsep dan ide-ide ini sendiri merupakan hakikat dan mempunyai wujud dalam alam nyata, bukan dibuat manusia, tetapi adalah bagian dari alam.
Sebaliknya, aliran empirisme mengatakan bahwa pengetahuan itu diperoleh dengan perantaraan indera. Indera memperoleh kesan-kesan dari apa yang ada di alam nyata; dan kesan-kesan itu berkumpul dalam diri manusia. Pengetahuan terjadi dari penyusunan dan pengaturan kesan-kesan yang berbagai rupa itu.
Apa yang kita lihat, dengar, sentuh, cium dan cicipi, yakni pengalaman-pengalaman kita yang konkrit, membentuk suatu pengetahuan. Begitulah pendirian pengikut aliran empirisme. Empirisme menekankan kemampuan manusia dalam hal persepsi atau pengamatan, atau apa yang diterima panca indera dari lingkungan. Pengetahuan itu kita peroleh dengan membentuk ide sesuai dengan fakta yang kita amati. Dengan ringkas dapat dikatakan, kaum empirisme beranggapan bahwa kita mengetahui apa yang kita dapatkan dari pancaindera kita.
Dari uraian singkat di atas tampak, aliran pertama lebih menekankan peran akal, ide sebagai sumber pengetahuan. Di sini peran panca indera dinomorduakan. Sedang aliran kedua lebih menekankan indera sebagai sumber sekaligus sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan. Di sini peran akal di nomorduakan. Kedua aliran ini saling bersiteguh mempertahankan keyakinan masing-masing, yang kadang-kadang sangat eksklusif, sehingga para pengamat yang datang belakangan dapat melihat secara jelas di mana letak kelemahan dan kekuatan argumen masing-masing.
Perlu pula diketahui bahwa di samping pengetahuan itu dapat diperoleh melalui pengalaman (indera) dan akal (rasio), juga dapat diperoleh lewat sumber lain, yaitu intuisi (intuition). Kalau kaum rasionalis dan kaum empiris mengandalkan akal dan indera, maka kaum intuisionis dan kaum mistik menggunakan intuisi sebagai sumber pengetahuan. Jadi pengetahuan yang hakiki (gnostik) menurut kaum mistik Barat hanya hanya dapat diperoleh lewat pengalaman intuisi mistik. Dalam pemikiran barat, memang, mistisme dipandang sebagai kepercayaan bahwa kebenaran tertinggi tentang realitas hanya dapat dicapai lewat pengalaman mistik atau lewat intuisi mistik nonrasional. Lebih jauh, sebagai suatu kepercayaan, mistisisme dalam pengertian umum digunakan untuk menjelaskan suatu pengalaman sejati tentang hubungan langsung dengan Tuhan.
Sekarang, apakah intuisi itu? Yakni sesuatu yang digunakan oleh kaum intusionis atau kaum mistik untuk memperoleh pengetahuan. Intuisi, menurut A.S Hornby dan E.C Parnwell, merupakan kemampuan memahami sesuatu secara langsung tanpa proses penalaran dan pengkajian secara sadar. Paul Edwards (ed.) dalam The Encyclopedia of Philosophy mengatakan, istilah intuisi dalam pengertiannya yang luas berarti penangkapan atau pemahaman langsung. “Pemahaman” dipakai untuk menampung berbagai keadaan seperti rasa, pengenalan dan pendekatan mistik; dan “langsung” berarti tanpa perantaraan apapun. Menurut kaum mistik, demikian Titus dan kawan-kawan mengatakan, intuisi memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan langsung dan mengatasi pengetahuan yang kita peroleh dengan akal dan indera.
Tampak di sini bahwa intuisi itu dapat memberikan pengetahuan kepada seseorang tanpa melalui proses panalaran tertentu. Intuisi ini sering beraksi dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya jawaban atas suatu permasalahan ditemukan pada waktu tidak dalam kesadaran atau konsentrasi penuh pada permasalahan yang sedang digelutinya. Tetapi timbul keyakinan bahwa memang itulah jawaban yang sedang dicari. Dalam hal ini, prosesnya tidak dapat dijelaskan bagaimana caranya bisa sampai pada jawaban itu.
Sebagai pengetahuan langsung, dengan demikian, intuisi adalah pengetahuan yang hanya didapat oleh mereka yang memiliki banyak pengalaman dan kecerdasan tinggi. Dengan demikian, maka intuisi itu masih terkait dengan pengalaman (indera) dan intelek (akal). Dalam hal ini Maslow mengatakan bahwa intuisi itu merupakan pengalaman puncak (peak experience), sedangkan Nietzsche menyebutnya sebagai inteligensi yang paling tinggi.
Intuisi merupakan suatu kekuatan yang dapat mengerti sesuatu secara cepat tanpa pemikiran sadar. Sebagai suatu kekuatan yang mampu mengenal sesuatu, intuisi bertempat di otak (mind) di mana terletak file-file memori permanen. Memori permanen juga dapat berfungsi sebagai gudang penyimpan “barang-barang rongsokan” seperti kenangan buruk terhadap seseorang, barang dan peristiwa-peristiwa tertentu yang mungkin berlawanan dengan file pengetahuan dan keyakinan kita.
Tampak jelas di sini bahwa satu-satunya pusat memori, yang dapat menangkap dan menyimpan sesuatu menurut pemikiran Barat adalah mind yang berpusat di kepala. Dalam ini, mind menurut A.S Hornby dan E.C Parnwell adalah pusat pemikiran, nalar dan pemahaman seseorang. Karena mind itu ternyata dapat menggerakkan seluruh aktivitas seseorang seperti sebuah mesin, maka J.Bronowski menyebutnya sebagai sesuatu yang susah diidentifikasi. Karena itulah keberadaannya dipandang sebagai sumber kebenaran dalam teori pengetahuan.
Dengan demikian, pengetahuan intuitif dalam pemikiran Barat tidak terlepas dari kerja intelek yang berpusat di otak (mind), di dalam kepala, yaitu intelek yang mampu mengenal sesuatu dengan cepat tanpa membutuhkan adanya suatu proses tertentu. Intelek dalam kondisi yang demikian – yang disebut intuisi – inilah yang dikembangkan dan diolah oleh kaum intuisionis atau kaum mistik Barat untuk memperoleh pengetahuan sejati (gnostik), yang mereka sebut sebagai pengetahuan spiritual esoterik (esoteric spiritual knowledge).
C. Teori Pengetahuan dalam Pemikiran Islam
Untuk mengetahui teori pengetahuan dalam Islam, pertama-tama kita perlu mengetahui hakikat manusia menurut ajaran Islam. Sejauh keterangan yang dapat dipahami dari ayat-ayat Alquran dan sunnah, manusia dapat disebut sebagai makhluk jasmani dan rohani sekaligus. Atau, seperti kata Sayid Sabiq, manusia terdiri dari jasad (fisik) dan roh (psikis). Dengan jasad, manusia dapat mendengar, malihat, meraba atau merasakan sesuatu dengan inderanya. Dengan roh, manusia dapat berfikir, berkehendak, mencinta, membenci dan lain sebagainya.
Menurut ajaran Islam, manusia adalah makhluk yang paling mulia di antara makhluk-makhluk Tuhan lainnya. Selanjutnya, kata Fazlur Rahman, manusia berbeda dari ciptaan-ciptaan alamiah lainnya karena setelah dibentuk, Allah “meniupkan roh-Nya sendiri” ke dalam diri manusia (QS. 15: 27: 38: 72: 32: 9). Perlu pula dikemukakan di sini bahwa Alquran tidak mengenal ajaran dualisme, yaitu pemisahan antara jiwa dan raga seperti yang terdapat dalam filsafat Yunani, agama Kristen dan Hinduisme. Tidak ada sebuah keterangan pun di dalam Alquran yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua buah substansi yang terpisah apalagi yang bertentangan, yaitu jiwa dan raga.
Dengan demikian, kendatipun manusia itu dapat disebut sebagai makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan rohani, akan tetapi keduanya itu tidak dapat dipisahkan, yang harus tampil dalam satu kesatuan. Dua unsur yang tampil dalam satu kesatuan tersebut merupakan manifestasi keutuhan diri manusia itu sendiri. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwa jasad membutuhkan roh, demikian pula sebaliknya. Jika keduanya terpisah maka hilanglah kemanusiaannya, di sini roh berpisah dari jasad dan pergi ke alam immateri menunggu hari perhitungan di depan Allah swt. alam immateri tempat roh menunggu itu biasa disebut Alam Barzakh.
Dalam konteks untuk memperoleh pengetahuan, jasad memiliki satu daya, yaitu daya cerap yang disebut indera; dan roh mempunyai dua daya, yaitu daya pikir yang disebut akal dan berpusat di kepala, dan daya rasa yang disebut kalbu dan berpusat di dada. Alquran dan sunnah telah memberikan jalan dan cara mengembangkan dan mempertajam daya-daya tersebut. Kalau kita lihat sejarah Islam, terdapat orang-orang muslim atau ulama yang lebih mempertajam daya pikirnya dan ada pula yang lebih mementingkan penajaman daya rasanya. Kecenderungan ini ternyata dalam sejarahnya pernah mewarnai wajah kebudayaan Islam; dan bahkan menimbulkan konflik di kalangan umat Islam sendiri, yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Sampai di sini, yakni dengan mengetahui hakikat manusia dalam kaitannya sebagai subyek yang ingin memperoleh pengetahuan menurut ajaran Islam, tampak bahwa manusia itu telah dibekali beberapa daya yang bisa digunakan dan dikembangkan, yaitu daya cerap (indera), daya pikir (akal) dan daya rasa (kalbu). Setiap orang dapat memilih dan mengembangkannya sesuai dengan kecenderungannya, tetapi tetap harus dijaga keseimbangan di antara daya-daya tersebut untuk memelihara keutuhan dirinya – sebagaimana dijelaskan di atas.
Sebagaimana dalam sejarah pemikiran Barat yang dipelopori, antara lain, David Hume, John Locke, George Berkeley dan sejumlah pengikut empirisme lainnya, para pemikir muslim juga mengakui pentingnya peran indera untuk memperoleh pengetahuan.
Kalau kita mau membuka Alquran dan kitab-kitab hadits, tidak sedikit ayat dan sabda Nabi yang memerintahkan agar kita menggunakan pancaindera yang kita miliki sebagai sumber pengetahuan dan keinsafan. Allah swt. dengan tegas mengatakan bahwa orang yang tidak mau menggunakan inderanya, seperti mata dan telinga sama dengan binatang bahkan lebih sesat lagi dan tergolong orang yang lalai (tidak tahu diri). Di akhirat nanti mereka termasuk golongan penghuni neraka Jahannam (Q.S. 7 : 179)
Di samping para pemikir muslim mengakui pentingnya peran indera, mereka juga mengakui pentingnya peran akal sebagai sumber pengetahuan. Sebagaimana telah disinggung di atas, Islam sangat memuliakan akal dan memberinya tempat istimewa dalam memahami wujud ini. Karena akal, serta dapat difungsikan dengan baik dan benar, maka Allah swt. memberikan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan berilmu kedudukan yang tinggi di mana dengan potensi akal yang dimilikinya dia mampu mengenal dan memberi makna ciptaan Allah di jagad raya ini (QS.58 : 11).
Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang memberi dorongan kepada manusia agar menggunakan akalnya untuk mengenal hakikat realitas yang sesungguhnya. Kata-kata seperti nazara (memperhatikan), tadabbara (merenungkan), tafakkara (memikirkan), fuqiha (mengerti), tazakkara (mempelajari), fahima (memahami), dan ‘aqala (mempergunakan akal) erat kaitannya dengan perintah agar mempergunakan akal. Selain itu, terdapat pula dalam Alquran sebutan-sebutan yang memberi tempat terhormat kepada mereka yang mempergunakan akal/pikirannya, seperti ulu al-bab (orang yang berfikir), ulu al-‘ilm (orang yang berilmu), ulu al-absar (orang yang mempunyai pandangan) ulu al-nuha (orang bijaksana).
Selanjutnya, kata ayah dalam Alquran erat pula hubungannya dengan perintah untuk berfikir. Arti aslinya dari ayah adalah tanda, yang dipakai terhadap fenomena alam yang banyak terdapat dalam ayat-ayat kauniah (ayat-ayat tentang kejadian alam). Tanda, sebagaimana diketahui, menunjukkan kepada sesuatu yang terletak di belakang tanda itu. Tanda itu harus diperhatikan, dipikirkan dan direnungkan untuk mengetahui arti yang terletak di belakangnya. Dalam Alquran disebut bahwa alam ini penuh dengan tanda-tanda yang harus diperhatikan, direnungkan dan dikaji oleh manusia untuk mengetahui realitas yang terletak di belakang tanda-tanda itu.
Apalagi jika kita melihat kandungan Alquran, maka secara tidak langsung Alquran itu mengajak kita untuk banyak berpikir. Hal ini paling tidak dapat kita kemukakan beberapa alasan. Pertama, Alquran tidak menjelaskan secara rinci seluruh persoalan kehidupan manusia, terutama hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan keduniaan. Tentu hal ini mengajak agar kita memikirkan dan merumuskannya sendiri. Kedua, sebagian besar kandungan Alquran mengutarakan peristiwa-peristiwa, kisah-kisah yang pernah terjadi pada masa lampau. Tentu saja pengungkapan peristiwa-peristiwa sejarah masa lalu itu dimaksudkan untuk direnungkan dan diambil hikmahnya. Ketiga, semua ayat Alquran dalam teks Arabnya memang mutlak benar datang dari Allah swt. (qat’iy al-wurud), tetapi sungguhpun demikian tidak semua ayat Alquran mengandung arti jelas (qat’iy al-dilalah), banyak di antaranya mengandung arti tidak jelas (zanniy al-dilalah). Untuk memahami ayat yang tidak jelas dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
Demikianlah Alquran; dan demikian pula hadis banyak mendorong agar mempergunakan akal. Malah Nabi saw. dalam salah satu sabdanya pernah mengatakan: “Agama itu adalah akal, tidak beragama orang yang tidak menggunakan akalnya”. Begitulah tingginya kedudukan akal dalam ajaran Islam, tinggi bukan hanya dalam soal-soal keduniaan saja tetapi juga dalam soal-soal keagamaan sendiri. Akan lebih terasa lagi penghargaan Islam yang begitu tinggi terhadap akal jika kita kaitkan dengan perintah menuntut ilmu yang mengharuskan kita untuk mencurahkan pemikiran. Tidak sedikit ayat maupun hadits yang memerintahkan kita agar menuntut ilmu dan menjanjikan kedudukan yang mulia dan tempat yang terhormat bagi orang yang berilmu. Karena itu, bukanlah tidak ada dasarnya kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan Islam sendiri maupun di kalangan bukan Islam, berpendapat bahwa Islam adalah agama rasional.
Seperti telah disinggung di atas, sebagai makhluk rohani manusia di samping memiliki akal dia juga memiliki kalbu sebagai sumber pengetahuan. Kalau akal memiliki daya pikir yang berpusat di kepala, maka kalbu memiliki daya rasa yang berpusat di dada. Daya rasa yang berpusat di dada ini dalam sejarahnya dipertajam oleh kaum sufi dengan memperbanyak ibadah, dari ibadah wajib sampai ibadah-ibadah sunat. Semua ibadah itu harus dikerjakan secara rutin dan karena Allah swt. semata. Pada dasarnya, intisari semua ibadah dalam Islam adalah pendekatan diri kepada Allah swt. Ibadah adalah upaya penyucian roh, makin banyak seseorang secara ikhlas beribadah makin suci rohnya. Allah, Tuhan Yang Maha Suci hanya dapat didekati/dicapai oleh roh yang suci.
Kalbu yang memiliki daya rasa tersebut merupakan unsur penting dalam pembahasan ilmu tasawuf. Yang sangat berbeda dengan pembahasan yang diberikan oleh ilmu-ilmu lain. Soal kalbu merupakan unsur penting dalam pembahasan ilmu tasawuf. Secara garis besar, menurut Sa’id Hawwa, soal ini meliputi pembahasan: Pertama, alam kalbu adalah alam yang sangat luas, sakit dan sehatnya kalbu merupakan dua hal yang menentukan sejahtera tidaknya manusia di dunia dan di akhirat. Kedua, penyempurnaan dan rehabilitasi kalbu membutuhkan ilmu, amal dan ketekunan. Dengan ilmu, manusia jadi tahu akan hakikat kesehatan. Dengan ilmu, dia berusaha untuk membendung dan menghentikan penyakit, lalu mengusirnya. Dan dengan ketekunan, dia melanjutkan semangat atau cita-citanya secara kontinu dalam perjalanan rohani. Karena pentingnya masalah kalbu ini, maka segala amal/perbuatan dalam Islam akan dinilai sesuai dengan gerak kalbunya (niat).
Kalbu yang bersih dari segala macam dosa dan sifat-sifat yang tercela, sekaligus mengisinya dengan ibadah dan sifat-sifat yang terpuji akan mempertajam daya rasa atau daya tangkap rohani. Kebersihan dan ketajaman daya tangkap rohani akan dapat menerima pengetahuan atau kebenaran secara langsung. Pada saat itu antara “yang mengetahui” dan yang “diketahui” atau antara subyek dan obyek telah menjadi satu, tanpa ada perantara lagi. Dalam bagan filsafat pencerahan, kesadaran ini disebut sebagai “pengetahuan dengan kehadiran (ilmu huduri, knowledge by presence)”. Terdapat sekumpulan istilah yang digunakan dalam epistemologi Islam untuk menggambarkan pengetahuan/ persepsi langsung tentang realitas batiniah atas segala sesuatu itu, antara lain, yaitu: isyraq, ilham, mukasyafah, basirah, badihah, hads, firasah.
Perlu ditegaskan, demikian ‘Ali ‘Abd al-‘Azim dalam bukunya Falsafah al-Ma’arifah fi Alquran al-Karim mengatakan, Tuhan memperingatkan kita bahwa selain indera dan akal ada lagi satu macam pemberian Tuhan yang tersembunyi yang ada pada manusia, yaitu apa yang dinamakan hikmah. Orang sufi menyebutnya basirah mulhamah, yang katanya hanya diberikan Allah swt. kepada hamba-hambaNya yang dekat kepadaNya.
Di dalam Alquran Allah swt. menegaskan bahwa Dia akan memberikan hikmah tersebut kepada siapa saja yang dikehendakinya; dan barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak (Q.S. 2 : 269). Dia telah memberikan hikmah itu kepada hamba-hambaNya, seperti Lukman (Q.S. 31 : 12), Nabi Yusuf (Q.S. 12 : 22) dan juga kepada Nabi Muhammad saw. (Q.S. 62 : 2).
Pada ayat lain, Tuhan menamakan hikmah ini dengan furqan (pembeda) antara yang hak dan batil (Q.S. 8 : 29). Kadang-kadang ia juga dinamakan nur (cahaya) yang menyinari atau membimbing orang-orang yang beriman (Q.S. 57 : 28). Firman-Nya: “Dan barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” (Q.S. 24 : 40). Karena itulah kaum sufi sepakat bahwa untuk memperoleh pengetahuan itu tidak dengan jalan indera atau akal tetapi dengan jalan basirah mulhamah (kalbu yang telah menerima cahaya langsung dari Tuhan). Dalam hal ini, dengan demikian, pembersihan kalbu merupakan salah satu sarana untuk memperoleh pengetahuan dalam sistem epistemologi Islam. Allah swt. berfirman: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, hingga mereka mempunyai kalbu yang dengan itu mereka dapat memahami; atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah kalbu yang di dalam dada”. (Q.S. 22 : 46).
Kalau daya rasa atau kalbu yang berpusat di dada dikembangkan oleh kaum sufi dan menghasilkan warisan rohaniah yang sangat berharga bagi kemanusiaan, maka daya pikir atau akal yang berpusat di kepala dalam sejarah Islam dipertajam oleh kaum cendikiawan dan filosof Islam atas dorongan ayat-ayat kauniah, yang mengandung perintah agar orang banyak memikirkan dan meneliti alam sekitarnya. Ulama-ulama masa silam banyak melaksanakan perintah ini dan mengembara sampai ke tempat-tempat jauh untuk meneliti dan mencari pengetahuan, bukan dalam bidang agama saja tetapi juga dalam bidang-bidang lain. Pemikiran dan penelitian mereka menghasilkan ilmu pengetahuan keagamaan yang diwarisi generasi-generasi sesudahnya dan ilmu pengetahuan keduniaan yang sekarang dikenal dengan nama sains. Karena itu timbullah peradaban Islam yang berkembang dengan baik antara abad kedelapan dan ketigabelas Masehi.
Dari uraian di atas tampak bahwa konsep Islam tentang manusia berbeda dengan konsep yang mengatakan bahwa manusia hanya tersusun dari satu unsur, yaitu unsur materi saja tanpa roh. Dalam konsep ini yang berfikir bukanlah akal yang bersifat immateri, tetapi otak yang berbentuk fisik. Berbeda juga dengan konsep yang mengatakan bahwa manusia betul dari tubuh dan roh, tetapi roh dalam paham ini adalah terutama daya berfikir. Daya rasa yang di dada yang erat hubungannya dengan kalbu tidak menjadi perhatian. Daya pikir di sini banyak bergantung pada pancaindera; dan pancaindera hubungannya ialah dengan hal-hal yang bersifat materi. Karena itu dalam konsep ini materi jugalah yang dipentingkan.
Konsep materialistis pertama dan konsep intelektualis kedua ini bisa sejalan dan setujuan terutama dalam masyarakat yang sekuler. Yang dipentingkan ialah kemajuan material dan kemajuan intelektual manusia. Kemajuan rohani dan moral, yang amat perlu untuk mengimbangi kemajuan material dan intelektual, tidak diindahkan, karena konsep pertama tidak mengakui adanya sesuatu yang bersifat immateri; dan karena konsep kedua memusatkan perhatian hanya pada hal-hal yang bersifat materi. Karena itu, prinsip epistemologi Islam yang mengakui adanya daya rasa yang terdapat di kalbu yang bersifat immateri – yang di kembangkan oleh kaum sufi – tidak dapat diterima oleh masyarakat materialis dan intelektualis di atas.
Kendati manusia telah diberi berbagai potensi yang dapat dikembangkan untuk mengenal alam sekitarnya, Islam tetap menempatkan manusia sebagai makhluk Tuhan yang mempunyai keterbatasan. Karena itu dalam Islam sumber ekstrin, yang berfungsi sebagai petunjuk agar manusia tidak tersesat jalan, yaitu wahyu (Alquran dan sunnah). Wahyu merupakan sumber pertama dan utama dalam seluroh pemikiran Islam. Dengan demikian wajar jika Marcel A. Boisard mengatakan bahwa wahyu dalam Islam menjelma dalam kesatuan yang menyeluruh dalam pandangannya tentang manusia.
Dalam Islam, wahyu menempati tangkat tertinggi dalam struktur epistemologi Islam. Dalam hal ini Naquib al-Attas mengatakan:
Terlepas dari otoritas orang yang berilmu pada umumnya, tingkat otoritas tertinggi bagi kita adalah Alquran dan sunnah Nabi saw, termasuk pribadi suci rasulullah. Keduanya mewakili otoritas yang dibangun di atas tingkat-tingkat kognisi intelektual dan rohaniah yang lebih tinggi, dan di atas pengalaman transendental yang tidak dapat disempitkan hanya pada tingkat akal dan pengalaman biasa.
Manusia dalam pandangan Islam tidak hanya memiliki indera dan akal, tetapi dia juga punya kalbu. Demikianlah hakikat manusia menurut Islam, demikianlah beberapa potensi yang dimilikinya sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan dan dipergunakan untuk mengenal realitas yang ada. Saya kira ini hanya sebagian kecil yang digali oleh manusia tentang hakikat dirinya lewat keterangan yang diberikan Alquran dan sunnah. Karena itulah manusia dapat disebut sebagai makhluk multidimensional.
Meskipun manusia telah diberi berbagai potensi yang bisa digunakan untuk mengenal realitas yang ada, dia tetap harus ingat bahwa dia hanya mampu mengenal sesuatu yang berada dalam wilayah jangkauan potensi atau alat yang dimilikinya. Oleh karena itulah, dalam hubungan ini, al-Kindi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu menurut batas kemampuan manusia.
D. Penutup
Di sini tampak adanya perbedaan pemikiran antara Barat dan Islam. Pemikiran Barat yang cenderung materialistik tentu saja tidak dapat menerima pandangan bahwa di samping indera dan akal terdapat potensi lain, yaitu kalbu yang dapat menerima realitas yang merupakan salah satu karakter epistemologi Islam. Secara garis besar kita mengenal empat sumber pengetahuan yang perlu diketahui ketika kita ingin memahami perkembangan pemikiran dalam Islam. Keempat sumber pengetahuan tersebut adalah: (1) Wahyu (pendekatan naqli), (2) Rasio (pendekatan ‘aqli), (3) Indera (pendekatan empiri), dan (4) kalbu (pendekatan kasyfi). Keempat pendekatan ini, tampaknya, sudah ada dalamn pemikiran Nabi Muhammad saw., dan terus dipergunakan oleh ulama-ulama Islam setelah beliau wafat. Kadang-kadang ada pendekatan yang sangat menonjol pada suatu ketika, kemudian surut dan diganti oleh pendekatan lain. Tetapi bagaimanapun juga, meskipun dalam tingkatan yang berbeda, keempat pendekatan itu terdapat dalam cara-cara ulama Islam untuk memahami agamanya.
Ketika kita ingin memahami teori pengetahuan dalam Islam, keempat pendekatan di atas perlu dipahami dengan baik. Keempat hal tersebut, sebagaimana diutarakan di atas, seharusnya digunakan secara terintegrasi. Mohammad Iqbal mengatakan: Agama bukanlah masalah departemental, bukan semata pemikiran atau perasaan. Juga bukan pula hanya tindakan, tetapi ia adalah ekspresi manusia secara keseluruhan. Karena itulah, menurut Roger Garaudy, kendatipun tasawuf lebih berorientasi kepada dimensi “dalam”, kita tidak menjadikannya suatu pendekatan yang otonom atau suatu teori pengetahuan yang berdiri sendiri. Setiap usaha yang menjadikannya terpisah dari aspek-aspek lain bertentangan dengan Islam, agama kesatuan dan keselurohan. Usaha tersebut juga berarti memisahkan antara pemikiran dan tindakan; dan antara segi dalam dan segi luar.
Pendapat di atas jelas tidak mendukung kecenderungan ajaran umumnya kaum sufi sebagaimana tergambar dalam uraian di atas. Mereka lebih mementingkan aspek dalam, yakni dengan mempertajam dan mengandalkan kalbu untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas, dengan meragukan peran indera dan akal. Hal ini, tampaknya, merupakan fenomena umum dikalangan kaum sufi klasik. Para sufi menyatakan bahwa metode mereka tidak hanya sebagai jalan menuju “kesucian” batin atau keadaan ekstase, tetapi juga sebagai suatu cara yang unik untuk memperoleh pengetahuan batin, makrifah, yang secara radikal mereka pertentangkan dengan akal dari para rasionalis dan ilmu pada ulama.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)