Keberagamaan Masyarakat Islam di Kalimantan Selatan
Disarikan dari hasil penelitian Asmaran AS dkk. Refleksi Skripsi Mahasiswa S1 Fak. Ushuluddin IAIN Antasari Tahun 1995—1999
Tulisan ini akan menjawab pertanyaan, bagaimana gambaran keberagamaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan; dan faktor-faktor historisitas apa saja yang mempengaruhinya. Untuk menjawabnya dilakukanlah penelitian dengan menggali dan menelaah skripsi mahasiswa S1 Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari tahun 1995—1999 dengan pendekatan fenomenologis.Hasilnya menunjukkan adanya pelbagai kepercayaan, upacara dan tradisi yang pada masing-masing terintegrasi unsur-unsur ajaran Islam dan warisan budaya lokal masa lalu. Secara historis, kenyataan ini terjadi karena proses islamisasi di daerah ini bersifat damai, akomodatif dan taklid kepada pemimpin, bukan karena paksaan dan hsil telaah kritis.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang diwahyukan Allah kepada umat manusia melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad Saw. Ini berarti bahwa ajaran Islam itu adalah wahyu dari Allah Swt. Dari sudut pandang ini dapat disebut bahwa Islam bersifat “shistoris”, dalam arti berwujud ajaran-ajaran murni yang bersifat mutlak dan universal (berlaku umum tanpa terikat ruang dan waktu). Oleh karena itu, apa yang dilakukan umat dalam kehidupan mereka sehari-hari dapat dikatakan, berdasarkan wahyu dari Allah Swt. Tetapi, karena Islam adalah untuk kepentingan manusia dalam mewujudkan kebahagiaan, maka ia harus menyejarah, yakni menyatu dengan pengalaman hidup manusia sendiri yang menjelma dalam sejarah. Artinya, Islam dalam realitas kehidupan umatnya terkait erat dengan ruang dan waktu. Hal ini terbukti dengan jelas dalam kenyataan sejarah pemikiran dan praktik keagamaan umat Islam. Dari sudut pandang inilah akan dikaji keberagamaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan.
Masyarakat Kalimantan Selatan adalah mayoritas beragama Islam. Data yang diperoleh dari Kantor Wilayah Departemen Agama Kalimantan Selatan pada tahun 1999 tentang jumlah pemeluk agama menunjukkan, bahwa dari 2.855.869 penduduk Kalimantan Selatan, 2.768.726 penduduk (96.9%) beragama Islam. Sebagai umat Islam tentu meyakini bahwa apa yang selama ini diperbuat telah sesuai dengan ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Meskipun demikian ternyata dalam siklus kehidupan sebagian masyarakat Islam di sini masih terdapat pelbagai kepercayaan, aktivitas ritual dan upacara keagamaan yang bermuatan budaya lokal.
Pada tahun 1984 Tim Fakultas Ushuluddin pernah melakukan penelitian tentang Islam di Kalimantan Selatan (Studi tentang Corak Keagamaan Umat Islam) Hasil penelitian ini melaporkan adanya pelbagai aktivitas umat Islam di Kalimantan Selatan yang merupakan peninggalan budaya lokal masa lalu, seperti Upacara Mandi Penganten, Upacara Mandi Hamil Tujuh Bulan, (Buang Baya), Upacara Tapung Tawar Kelahiran, Upacara Batimbang Anak (yang lahir di bulan Safar) dan lain-lain. Penelitian yang lebih lengkap dan mendalam pernah dilakukan oleh Alfani Daud dengan mengambil judul—yang dibukukan, diterbitkan--, Islam dan Budaya Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar. Buku ini berasal dari Disertasi yang bersangkutan untuk mendapat gelar Doktor pada tahun 1991 di IAIN (Sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Untuk mengetahui pelbagai aktivitas keberagamaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan pada perkembangan terakhir perlu dilakukan penelitian lanjutan. Mungkin saja ada beberapa aktivitas keagamaan yang sudah dideskripsikan pada penelitian sebelumnya, karena apa yang mereka lakukan sekarang merupakan warisan masa lalu. Namun, boleh jadi ada temuan baru yang belum terungkap, di samping beberapa aktivitas yang belum diuraikan. Untuk sekedar petunjuk arah dan acuan dalam penelitian ini, sesuai dengan latar belakang pemikiran di atas, masalah yang mau dijawab: (1) Bagaimana gambaran keberagamaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan? (2) Faktor-faktor historisitas apa saja yang mempengaruhi keberagamaan mereka? Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam membangun masyarakat di Kalimantan Selatan, selain sebagai informasi akademik yang menambah khazanah kebuyaan nasional.
Selama kurun waktu lima tahun, yaitu antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1999 terdapat 34 mahasiswa Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari yang mengangkat masalah keberagamaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan sebagai tugas akhir dalam bentuk skripsi untuk mendapatkan gelar sarjana. Nama-mana mereka dan judul-judul skripsi yang bersangkutan dapat dilihat pada Daftar Pustaka (Sumber Data Penelitian) di akhir tulisan ini. Dari sejumlah karya tulis tersebut pada garis besarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) Pelbagai kepercayaan yang menggejala pada masyarakat Islam di Kalimantan Selatan, dan (2) Pelbagai upacara dan tradisi yang masih dilakukan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan.
1. Pelbagai Kepercayaan yang Menggejala pada Masyarakat Islam di Kalimantan Selatan
Pelbagai kepercayaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan yang dilaporkan mahasiswa selama kurun waktu lima tahun seperti disebutkan di atas dapat dikelompokkan ke dalam: (a) Kepercayaan terhadap waktu-waktu tertentu, (b) Kepercayaan terhadap tempat-tempat tertentu, dan (c) Kepercayaan terhadap benda/orang tertentu.
a. Kepercayaan terhadap Waktu-waktu Tertentu
Sebagian masyarakat Islam di Desa Sungai Punggu Baru Kecamatan Anjir Muara Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan mempercayai bahwa Bulan Sapar adalah bulan sial. Kesialan bulan Sapar tergambar dalam beberapa anggapan seperti:
1) Perkawinan yang dilaksanakan pada bulan Sapar dianggap tidak akan bisa langgeng. Sering terjadi pertengkaran antara suami isteri, rumah tangga tidak bisa damai dan akan berakhir dengan perceraian.
2) Penghuni yang tinggal di rumah yang dibangun di bulan Sapar akan tidak bisa hidup tenang, terasa panas dan selalu ingin keluar dari rumah, seperti burung yang selalu ingin lepas dari sangkar.
3) Anak yang lahir di bulan Sapar berakibat sial bagi anak itu dan juga bagi orangtuanya. Untuk membuang sial tersebut harus dilakukan upacara Batimbang Anak.
4) Dalam bulan Sapar terdapat satu hari yang disebut dengan Arba Mustamir (hari Rabu terakhir pada bulan Sapar). Pada hari tersebut turun berbagai penyakit dan karena itu hendaknya orang tidak keluar rumah.
Sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Kuin Selatan Kecamatan Banjarmasin Utara Kota Banjarmasin mempercayai bahwa melakukan akad nikah di antara dua Hari Raya (Idul Fithri dan Idul Adha) akan berakibat sial terhadap perkawinan atau rumah tangga kedua mempelai. Pelanggaran terhadap waktu yang dipandang sial tersebut:
1) Perkawinan atau rumah tangga yang dibina tidak akan langgeng.
2) Perkawinan tidak mendapat berkah.
3) Perkawinan atau rumah tangga selalu diwarnai perselisihan antara suami isteri.
b. Kepercayaan terhadap Tempat-tempat Tertentu
Di antara tempat yang dipercayai memiliki keistimewaan oleh masyarakat adalah Masjid Al-A’la di desa Jatuh Kecamatan Pandawan Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Sebagian masyarakat di sana mempercayai bahwa Mesjid al-A’la yang ada di desa Jatuh adalah masjid yang memiliki karamah. Anggapan ini dilatarbelakangi oleh tiga legenda, yaitu:
1) Bahwa pembangunan masjid al-A’la adalah atas perintah keluarga raja dari Mekkah.
2) Bahwa lokasi masjid al-A’la berada dekat sebuah sungai yang mempunyai dua cabang anak sungai yang airnya mengalir ke arah yang berlawanan.
3) Bahwa lokasi masjid tersebut semula adalah daerah rawa, namun secara perlahan berubah menjadi daratan yang relatif lebih tinggi dari daerah sekitarnya tanpa usaha masyarakat.
Sebagian masyarakat di desa Bayur Kecamatan Simpur Kabupaten Hulu Sungai Selatan mempercayai bahwa sebuah bangunan berbentuk persegi empat berukuran 4 x 4 meter dengan bahan bangunan dari kayu beratap daun rumbia dan hanya mempunyai lantai tanpa dinding, yang bernama Balai Amas, mempunyai keistimewaan yang sakral sehingga dijadikan sebagai tempat keramat. Tidak ada masyarakat yang mengetahui kapan awal adanya. Kepercayaan ini dilatarbelakangi oleh beberapa legenda, yaitu:
1) Sebelumnya lokasi berdirinya Balai Amas adalah daerah rawa yang berair dalam, sehingga tidak mungkin untuk mendirikan bangunan. Tanpa usaha masyarakat, lokasi itu berubah menjadi dataran tinggi.
2) Balai Amas dipercayai sebagai tempat tinggal seorang tokoh yang terkenal sakti, bernama Datuk Dulamat. Masyarakat mempercayai bahwa Datuk Dulamat menghilang dari pergaulan dan tidak diketahui perginya. Dia dipandang banyak berjasa dalam menyebarkan agama Islam dan melawan penjajah Belanda.
3) Kalau ada bagian bangunan yang rusak, maka ada salah seorang penduduk di sekitarnya bermimpi disuruh memperbaikinya.
4) Di lokasi bangunan tersebut, terdapat tambang emas yang dijaga oleh seekor ular besar di mana masyarakat sekitar sering melihatnya.
Ada pula orang yang mempercayai keistimewaan Pulau Kembang, sebuah pulau yang dikelilingi sungai yang terletak di Desa Alalak Kecamatan Alalak Berangas Kabupaten Barito Kuala, di sana orang melakukan “mandi selamat”. Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan bahwa Pulau Kembang adalah tempat tinggal para makhluk gaib dan ruh-ruh yang bisa mendatangkan malapetaka dan juga bisa diminta pertolongan untuk mencapai suatu tujuan. Makhluk gaib tersebut adalah jin yang beragama Islam, sedang ruh gaib yang populer adalah ruh Pangeran Suriansyah. Para makhluk dan ruh gaib itu bertempat tinggal di pohon-pohon kayu, di daun dan kembang di tepi pantai dan pada binatang-binatang kera yang menghuni Pulau Kembang tersebut.
Sebagian masyarakat ada yang mempercayai adanya keramat kubur seprti kubur almarhum Guru Ruandi bin Riduan di Kecamatan Anjir Pasar Kabupaten Barito Kuala. Manurut mereka tanda kekeramatan itu ialah adanya bau harum yang diyakini berasal dari kubur Guru Ruandi tersebut. Kepercayaan serupa juga terdapat pada masyarakat, terutama para penziarah, terhadap Makam Datuk Kandang Haji di Kecamatan Juai Kabupaten Hulu Sungai Utara (sekarang Kabupaten Balangan). Mereka meyakini bahwa makam Datuk Kandang Haji ini mempunyai keramat dan maunah. Oleh karena itu, ia diyakini memiliki kekuatan gaib yang dapat memberi keberuntungan atau kesengsaraan bagi kehidupan seseorang.
c. Kepercayaan terhadap Benda-benda/Orang tertentu
Di kalangan masyarakat Kecamatan Anjir Pasar Kabupaten Barito Kuala yang memiliki besi tua (keris) ada yang mempercayai adanya tuah (kekuatan gaib) pada besi tua tersebut yang dapat memberi manfaat dan mendatangkan mudarat. Menurut pemiliknya, manfaat yang dirasakan antara lain dalam perjalanan ke luar kampung, bila membawa besi tua tersebut hati menjadi tenang, rasa percaya diri, aman dari gangguan orang yang mau berbuat jahat. Juga mendapat kemudahan dalam mencari rizki. Sedangkan mudarat yang bisa menimpa pemilik dan atau keluarganya, jika keris tidak dirawat, adalah kepingitan (suatu penyakit aneh dan tidak bisa disembuhkan secara medis). Penyembuhannya adalah dengan cara membersihkan keris dengan air jeruk nipis dan mengganti sarung keris--jika sudah tidak layak lagi—dengan kain kuning. Semua itu dilakukan dalam suatu upacara pembersihan keris.
Sebagian masyarakat di Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara Kabupaten Tapin mempercayai bahwa batu-batu kerikil yang ada di bawah mimbar di dalam masjid al-Mukarramah mempunyai kekuatan gaib yang dapat memberikan manfaat bagi seseorang yang memegang atau membawanya dnegan cara meminjam salah satu batu kepada penjaga masjid dan harus mengembalikannya setelah keperluan terhadap batu itu selesai. Jumlah batu dimaksud sebanyak 15 biji, 14 biji berwarna hitam dan satu biji berwarna putih. Ukuran berat batu masing-masing berkisar antara 2.8 gr s/d 9.4 gr. Khasiat atau kekuatan dari batu-batu tersebut diyakini sebagai berikut:
1) Dapat menimbulkan keyakinan diri akan keselamatan dari berbagai macam gangguan, baik yang diketahui maupun tidak.
2) Mempunyai kekuatan gaib, sehingga orang yang membawanya memiliki kekuatan yang luar biasa pada saat terjepit.
3) Memberikan kekebalan terhadap semua jenis senjata.
4) Bagi seseorang yang meminjam batu tersebut dan tidak mengembalikannya sesuai dengan janji akan berakibat timbulnya penyakit kulit di badannya.
Sebagian masyarakat di Desa Pahampangan Kecamatan Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan mempercayai adanya keistimewaan pada Daun Teguh Sehari. Daun ini bisa didapat di gunung yang sangat jarang dirambah manusia, di dalam gua, di pinggir jurang atau di atas pohon kayu besar. Daun dimaksud berukuran kurang lebih: panjang 15 cm. dan lebar 5 cm. Mereka mempercayai bahwa daun tersebut dapat memberikan kekebalan (teguh) bagi manusia, hewan dan benda yang mungkin pecah. Kekebalan hanya berlangsung satu hari (12 jam). Cara penggunaan bisa dimakan (ditelan) dan bisa juga dengan mengoleskan atau mengusapkan daun teguh sehari itu ke seluruh badan atau binatang dan benda yang ingin dikebalkan. Sebelumnya harus membaca basmalah, salawat atas Nabi Ilyas dan Nabi Muhammad Saw. sebanyak tiga kali. Nabi Ilyas diyakini sebagai penjaga seluruh tumbuhan yang ada di atas bumi ini.
Ada lagi di antara masyarakat di Desa Muara Asam-asam Kecamatan Jorong Kabupaten Tanah Laut yang mempercayai keistimewaan KM Bines. KM Bines ini adalah tempat tinggal makhluk-makhluk gaib. Mereka berlayar ke mana-mana mengarungi lautan, bisa menemui manusia yang bekerja di laut. Mereka juga bisa beristirahat di pelabuhan-pelabuhan kapal dan di pinggir-pinggir pantai. Mereka dipercayai dapat memberikan pertolongan dan juga dapat mendatangkan bahaya. Kegiatan untuk memohon bantuan agar selama bekerja di laut mendapat keselamatan ialah dengan mengadakan upacara bersaji sebagai simbol menyambut kedatangan KM Bines beserta rombongan makhluk gaib yang ada di dalamnya.
Sebagian masyarakat di Kelurahan Belitung Utara Kecamatan Banjarmasin Barat Kota Banjarmasin mempercayai beberapa benda yang dianggap bertuah, berkhasiat, memberikan perlindungan, kekuatan batin bagi pemilik dan pemakai, mendapat kemudahan dalam mencari rizki, berpengaruh/berwibawa bila berbicara dengan orang lain. Benda-benda yang dipercayai mempunyai kekuatan tersebut ialah batu cincin (dengan nama batu pirus, merah delima, kecubung, batu saphir, zamrut, berlian, mata kucing dan akik) dan keris (dengan nama Raja Tumpang, Naga Runcing, Sampana, dan Belitung).
Ada pula masyarakat di Desa Bihara Kecamatan Awayan Kabupaten Hulu Sungai Utara (sekarang Kabupaten Balangan) mempercayai bahwa pohon rambung yang ada di Desa Bihara ditunggu oleh makhluk gaib yang bernama Datuk Tikarau. Ia bisa menampakkan diri dalam bentuk manusia, ia juga berkeluarga atau beranak pinak. Sehubungan dengan kepercayaan itu, maka masyarakat yang bekerja di sekitar lokasi pohon itu harus minta izin kepada Datuk Tikarau, berjanji tidak mengganggu tempat tinggal mereka. Sebagian masyarakat di sini juga mempercayai adanya besi tua yang dijaga oleh makhluk gaib. Nama besi tua dimaksud adalah tombak panjang, keris, badik, parang panjang, lempengan besi berbentuk pipih dan paku. Pada saat tertentu makhluk gaib tersebut harus diberi sesajen, yaitu: (a) Menyembelih seekor ayam betina berwarna hitam, kemudian dimasak, (b) Lima lembar daun pandan, kemudian dihaluskan, direndam dan ampasnya dibuang, dan (c) Satu biji gula merah berukuran sedang.
Para pengunjung Nona Saidah yang berkelainan, cacat fisik di Desa Penggandingan Kecamatan Daha Utara Kabupaten Hulu Sungai Selatan mempercayai bahwa Nona Saidah memiliki keistimewaan, bahkan ada yang mengatakan bahwa dia adalah seorang wali yang memiliki kekeramatan. Mereka pada umumnya minta air putih yang telah didoakan oleh Nona Saidah. Air tersebut diminum oleh anak-anak agar cerdas, tidak nakal dan tidak mudah sakit.
Para tukang ojek di Desa Bawahan Selan Kecamatan Mataraman yang menjadi subjek penelitian mempercayai bahwa ada besi yang terdapat pada suatu komponen kendaraan (sepeda motor) dapat mempengaruhi jiwa dan pekerjaan sebagai tukang ojek. Mereka juga mempercayai bahwa angka-angka yang terdapat pada kendaraan, yaitu nomor plat, nomor mesin dan nomor rangka semuanya mempunyai makna tertentu setelah dilakukan perhitungan, dalam hal ini bisa bermakna baik atau tidak. Bila bermakna baik, maka dipercayai akan mendatangkan keuntungan yakni mudah mendapat rezeki. Sebaliknya, jika bermakna tidak baik, maka akan mendatangkan kemudaratan yakni susah mendapat rezeki, membawa sial dan bisa terjadi kecelakaan. Untuk menghindari dampak negatif di atas dapat ditangkal atau dibersihkan dengan cara diberi jampi-jampi, dicuci dengan air yang telah dibacakan mantera dan dilakukan acara selamatan.
Selain kepercayaan terhadap benda-benda yang memiliki kekuatan gaib terdapat pula kepercayaan terhadap makna benda yang dijadikan simbol. Sebagian pedagang makna benda yang dijadikan simbol. Sebagian pedagang di Kecamatan Daha Selatan Negara percaya pada mitos-mitos yang berhubungan dengan benda-benda dalam konteks kegiatan usaha dagang yang mereka lakukan. Benda-benda tersebut adalah: (a) Telor Belalang dan daun payu-payu adalah simbol keberhasilan karena dagangannya laku (payu) terjual dan dijadikan syarat berdagang, (b) Sarang burung pipikau sebagai simbol anti kebakaran dan dijadikan syarat penangkal kebakaran, dan (c) Bermacam rajah yang dijadikan syarat untuk berdagang. Di samping benda-benda tersebut ada lagi larangan yang harus dijauhi karena diyakini akan berdampak negatif terhadap usaha dagang. Larangan dimaksud adalah: (a) Jangan membawa alat/barang yang pernah dipergunakan untuk menyelenggarakan jenazah, (b) Jangan menjual minyak tanah pada malam hari, (c) Jangan memotong kuku di tempat berdagang, dan (d) Jangan memulai berdagang atau menempati tempat berdagang yang baru pada akhir bulan.
Sebagian masyarakat di Kelurahan Kandangan Darat Kecamatan Kandangan mempercayai adanya kekuatan pada rajah. Rajah adalah simbol-simbol dalam bentuk tulisan huruf Arab dan angka-angka Arab yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang yang membuat raja. Dalam kasus ini, rajah yang dipergunakan dan dipercayai ada sembilan macam: (a) Rajah untuk menyembuhkan penyakit: sakit kepala, sakit perut, batuk dan panas, (b) Rajah untuk penangkal senjata tajam, (c) Rajah untuk disayang wanita, (e) Rajah untuk merukunkan suami isteri, (f) Rajah untuk keberhasilan usaha, (g) Rajah untuk penangkal bisa binatang berbisa, (h) Rajah untuk disegani oleh atasan, dan (i) Rajah untuk dapat keturunan (bisa beranak bagi perempuan yang mandul).
2. Pelbagai Upacara dan Tradisi yang masih Dilakukan Masyarakat Islam di Kalimantan Selatan
Ada delapan upacara atau tradisi yang mendapat kajian mahasiswa antara kurun waktu 1995 s/d 1999. Upacara atau tradisi tersebut dirangkum sebagai berikut:
a. Upacara Pernikahan dan Perkawinan
Yang dikelompokkan sebagai upacara pernikahan atau perkawinan ini adalah:
1) Upacara Bangun Nikah
Upacara ini dilaksanakan oleh masyarakat transmigrasi asal Jawa di Desa Simpang Layung Kecamatan Muara Uya Kabupaten Tabalong. Dengan upacara ini diyakini dapat menyelesaikan masalah atau kesulitan dalam suatu keluarga berkenaan dengan penyakit yang menimpa keluarga atau adanya musibah yang selalu datang. Rangkaian upacara Bangun Nikah ini adalah:
a) Mengundang tetangga
b) Pelaksanaannya setelah salat magrib menjelang Isya atau sehabis salat Isya sampai selesai.
c) Sebelum para undangan disiapkan sesajen berupa pisang dua sisir,, buah kelapa, telur mentah, bawang merag, bawang putih, daun pandan, beras, buah pinang, tembakau, daun sirih. Semuanya diletakkan dalam suatu tempat yang terbuat dari pelepah batang pisang yang dibentuk segi empat. Selain itu, ada sesajen berupa tujuh macam kue pasar yang berlainan jenisnya. Juga nasi lengkap dengan lauk-pauknya.
d) Setelah hadirin lengkap, dimulailah upacara dengan sambutan pimpinan upacara mewakili tuan rumah.
e) Selesai doa, sesajen berupa kue dimakan di tempat, kemudian para undangan pulang diberi makanan yang sudah disiapkan untuk dimakan bersama keluarga di rumah.
2) Upacara Mandi Penganten dan Perkawinan
Upacara mandi penganten adalah bagian dari prosesi perkawinan. Upacara ini dilaksanakan setelah salat Asar, sekitar jam lima sore. Bertindak sebagai pimpinan upacara adalah bidan kampung dengan dibantu oleh para perempuan tua dan muda baik keluarga penganten sendiri maupun tetangga. Dalam prosesinya, kedua mempelai duduk di atas kursi kecil dengan memakai sarung sebatas bahu. Seterusnya, sirpun disiramkan dengan dicampur dengan mayang muda dan bunga-bungaan. Selain itu disediakan parang, gayung, kelapa muda dan tempat air. Juga disediakan bermacam-macam kue sebanyak 41 macam.
Setelah upacara mandi-mandi, malam harinya dilaksanakan upacara “bakasai” dengan bedak. Pimpinan upacaranya adalah nenek tua yang tahu seluk beluk disertai keluarga dan tetangga. Esok harinya penganten dihiasi dan didudukkan di pelaminan. Bersamaan dengan itu disediakan “piduduk” yang diletakkan di bawah pelaminan. Piduduk terdiri dari kopi manis dan pahit, bubur putih dan merah, nasi ketan dan telor serta pisang yang diletakkan di dalam ceper. Setelah selesai dibacakan doa selamat oleh pimpinan upacara, lalu isi piduduk dimakan bersama dan ada pula yang langsung dibuang.
Adapun tujuan dari upacara tersebut adalah: Mandi untuk kebersihan, keharuman, dan tidak berkeringat bagi penganten. Sedangkan piduduk bertujuan supaya tidak diganggu oleh ruh-ruh gaib sehingga kedua penganten terhindar dari pingsan atau “kepidaraan” (kesurupan). Selain itu memang upacara ini adalah keturunan, tradisi yang diwariskan dari nenek moyang.
b. Upacara Meminta Keselamatan
Upacara Doa Selamat Tahun yang dilaksanakan oleh masyarakat di Desa Mataraman Kecamatan Mataraman Kabupaten Banjar ini tidak diketahui asal mulanya, namun selalu dikerjakan sejak nenek moyang sampai sekarang. Pada mulanya pelaksanaan upacara ini diadakan di suatu tempat di tengah hutan atau di tempat yang tidak ada penghuninya di ujung desa. Seluruh peserta upacara berbondong-bondong dengan membawa sesajen dan perlengkapan lainnya. Sesajen dan perlengkapan tersebut diletakkan di sebuah pohon besar, kemudian dibacakan mantera-mantera oleh pimpinan yang sudah ditentukan. Setelah beberapa lama kebiasaan ini dilaksanakan di tempat yang lebih baik dan disesuaikan dengan ajaran Islam.
Pelaksanaan upacara ini adalah pada minggu terakhir bulan Zulhijjah di hari Jumat, karena hari itu dipandang sebagai hari terbaik bagi umat Islam, di samping hari libur bagi masyarakat di sana dalam bekerja. Mayoritas pelaksananya adalah kaum perempuan, kalaupun ada laki-laki, perannya hanya sekedar membantu. Semua pekerjaan dikerjakan bersama-sama. Untuk membikin kue diadakan penumbukan beras di mana disyaratkan bagi yang menumbuk harus bersih dari haid. Semua dikerjakan secepatnya karena sesajen harus diserahkan setelah salat Jumat. Dilarang mengambil kue yang telah tersaji dalam bentuk sesajen.
Upacara juga dilengkapi dengan piduduk, yaitu ayam yang dimasak dengan syarat harus disembelih dengan membaca basmalah, kaki dan mulut ayam yang disembelih tidak boleh dibuang, bulu pada sayap dan ekornya tidak boleh dihabiskan minimal satu helai, isi perutnya seperti hati, empedal dan jantungnya tidak boleh dibuang; setelah dibersihkan dimasukkan kembali. Apabila salah satu dari anggota tubuh ayam tersebut ada yang kurang dikhawatirkan bagi yang melakukannya akan mendapat bahaya pada bagian seperti yang hilang.
Setelah undangan datang, sesajen diletakkan di tengah ruangan, tokoh adat memercikkan air (tapung tawar) ke semua makanan dan menaburkan beras kuning, menyiapkan perapian lengkap dengan dupanya/garu, kemudian tokoh adat membacakan kalimat penyerahan sesajen dan piduduk kepada makhluk gaib agar sudi menerimanya. Akhirnya pembacaan doa yang diawali dengan basmalah, yang dilanjutkan dengan fatihah empat (surah al-Ikhlas, al-Falaq, al-Nas, dan al-Fatihah). Berikut dibacakan doa akhir tahun dan doa selamat dengan harapan semoga Allah mengabulkan hajat dari pelaksanaan upacara, memberi keselamatan kepada seluruh masyarakat, sekaligus juga untuk mengusir makhluk-makhluk gaib.
Di desa Sungai Madang Sungai Tabuk Kabupaten Banjar terdapat juga Upacara Doa Selamat Tahunan. Upacara ini merupakan wasiat dari Pangeran Antasari kepada keturunannya agar melaksanakan Upacara Doa Selamat Tahunan ini hingga sekarang. Menurut mereka, Pangeran Antasari memiliki piaraan yang berwujud binatang dan masih hidup hingga sekarang meskipun Pangeran Antasari telah lama meninggal. Binatang tersbut bersifat gaib dan dipelihara oleh anak cucunya dengan cara mengadakan selamatan tahunan untuk memberi makan binatang piaraan tersebut.
Upacara ini dilaksanakan pada awal bulan Muharram. Seluruh anggota keluarga keturunan Pangeran Antasari diwajibkan menyumbang untuk biaya pelaksanaan. Perlengkapan yang diperlukan adalah pelbagai macam kue, minuman dan barang pusaka. Tempat pelaksanaan ditentukan oleh keturunan tertua. Adapun pelaku utamanya adalah kaum wanita/ibu sedangkan prianya membantu hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh kaum wanita. Tujuan dari pelaksanaan upacara ini sama dengan yang terdahulu dalam masalah yang sama.
Di Serawi Tengah Kelurahan Binuang Kecamatan Binuang Kabupaten Tapin ada tradisi berupa Upacara Selamatan Membuat Wadai Kumat. Pembuatan wadai kumat ini tidak boleh dilakukan oleh wanita yang sedang haid, untuk menjaga kesucian kue tersebut. Bahannya adalah ketan, gula merah, kelapa, garam, kapur, beras biasa secukupnya, daun pisang dan air putih secukupnya. Adapun alat-alat yang diperlukan adalah: panci, wajan, baskom, nyiru, lesung, alu, rudan (parutan kelapa), lidi, (untuk simat) dan daun secukupnya.
Setelah pembuatan wadai kumat selesai maka dibuatlah perahu dari batang pisang kemudian diletakkan tujuh buah wadai kumat tadi dengan disertai sedikit nasi kuning, kerak nasi dan ikan haruan kering (tanpa dibelah, tanpa bumbu dan tanpa kepala, yang telah dipanggang dan dilumuri abu dapur juga madu ) serta satu telur ayam kampung.
Upacara dimulai dengan pembacaan teguran, shalawat Nabi dan mantera. Setelah itu dukun mempersilakan para undangan mencicipi makanan, wadai kumat yang khusus diperuntukkan bagi undangan. Sebelum pengantaran sesajaen ke sungai, sang dukun membaca mantera, doa selamat. Dia juga mengucapkan salam kepada para malaikat di hadapan sesajen yang akan diberikan kepada ruh raja. Selanjutnya sesajen tersebut diantar ke sungai oleh dua orang yang diminta, kemudian acara ditutup dengan membaca hamdalah. Upacara selamatan wadai kumat ini merupakan penghormatan terhadap ruh raja yang telah mati bergantung diri di dahan pohon yang ada di tepi sungai tersebut.
Masyarakat Islam asal Sulawesi Selatan yang bertempat tinggal di Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Kota Baru memiliki tradisi yang disebut upacara Mappanretasi. Pelaksanaan biasanya pada bulan April setiap tahun di awal musim Timur unuk memberikan makanan (sesajen) bagi penguasa laut. Pelaku utamanya terdiri dari tiga orang sandro pria dan lima orang sandro wanita serta empat orang sesepuh adat.
Dalam penyerahan sesajen sandro membacakan shalawat tiga kali. Setelah upacara puncak itu mereka kembali ke tempat masing-masing atau tempat yang disediakan sambil bersilaturrahmi dan beramahtamah dan menyantap makanan yang telah disediakan.
c. Tradisi Mndirikan Rumah , Balamut dan Balampah
Ada masyarakat yang ketika ingin mendirikan rumah merasa perlu untuk meneliti lokasinya, perabotan dan tanggal mendirikannya. Semua ini ditanyakan kepada orang pintar untuk mengetahui ada tidaknya makhluk gaib di tempat itu. Seandainya ada, maka untuk menebusnya harus menyembelih ayam hitam di mana darahnya diambil dan ditaruh dalam mangkok sebagai sesajen agar mereka tidak mengganggu.
Nuansa Islam dalam tradisi mendirikan rumah biasa diadakan shalat hajat, membaca surah Yasin dan Shalawat. Ini dilaksanakan antara Magrib dan Isya pada malam sebelum tiang didirikan. Pada waktu mendirikan tiang seseorang diminta azan dan membaca shalawat serta membaca basmalah.
Pada masyarakat Islam di Kalimantan Selatan terdapat pula tradisi Balamut. Tradisi ini dilaksanakan oleh suatu keluarga, baik untuk batahur hajar (membayar nazar) ataupun untuk mencegah gangguan makhluk gaib. Bisa juga untuk mengambil berkah dari Lamut yang dianggap sakti. Waktunya adalah malam Senin dan Jumat sebagai malam yang dipandang penuh berkah. Dahulu dilaksanakan semalam suntuk, namun sekarang hanya sekitar dua sampai tiga jam.
Ada lagi tradisi balampah (mengisolasi diri) di kalangan masyarakat tertentu di sini untuk membuat keris, yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah menjelang jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah. Tanggal itu dipilih, dihubungkan dengan jumlah wali yang sembilan orang (Wali Songo) agar mendapat restu mereka. Balampah ini dilakukan oleh orang yang sudah berumur 40 tahun ke atas karena dianggap matang seperti Nabi Saw ber-tahnnus pada umur 40 tahun.
Keris yang sudah selesai dibuat tidak langsung diberi sarung atau ditaruh di tempat yang aman, melainkan kembali dihangatkan di dapur yang ditaburi garu dan dupa. Kemudian diberi sarung kuning sebagai penghormatan terhadap keris yang dibuat dengan balampah. Setelah itu, diucapkan hamdalah oleh pembuat keris sebagai bukti syukur kepada Allah, juga terimakasih kepada makhluk-makhluk gaib (para Wali Songo).
Refleksi
Islam sebagai ajaran yang hidup di masyarakat, termasuk masyarakat Kalimantan Selatan, senantiasa bersentuhan dan bergulat dengan realitas obyektif yang melingkarinya. Dalam perspektif hostoris, pergumulan Islam dengan realitas sosio-kultural mempunyai tiga kemungkinan. Pertama, Islam memberikan out put (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan dalam arti memberikan dasar filisofis, arah, dorongan, dan pedoman bagi perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas sosial baru. Kedua, Islam dipengaruhi oleh keadaan atau perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti aktualitas Islam ditentukan oleh sistem sosio-kultural. Dalam kemungkinan kedua ini, Islam dalam arti yang hidup di masyarakat atau keberagamaan masarakat itu dipengaruhi oleh budaya lokal yang juga hidup di masyarakat. Ketiga, Islam dan sosio-kultural saling pengaruh-mempengaruhi. Artinya, Islam mempengaruhi keadaan, budaya, tradisi yang berkembang di masyarakat; dan sebaliknya, juga budaya, tradisi masyarakat mempengaruhi keberagamaan masyarakat Islam tersebut.
Kemungkinan ketiga di atas nampaknya telah menjadi realitas pada masyarkat Islam di Kalimantan Selatan. Pada pelbagai kepercayaan, upacara dan tradisi yang berkembang di Kalimantan Selatan tampak adanya pengaruh budaya lokal dan sekaligus pula adanya pengaruh ajaran Islam. Masyarakat Islam di Kalimantan Selatan, di beberapa tempat ada yang mempercayai adanya waktu-waktu tertentu yang baik dan yang tidak baik (sial) untuk melakukan kegiatan atau peristiwa yang terjadi pada waktu itu. Bulan Sapar dan tenggang waktu antara dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) diyakini sebagai bulan dan waktu yang tidak baik untuk melakukan pernikahan. Anak yang lahir di bulan Sapar akan mengalami hidup sial dan untuk menghilangkan kesialan itu bisa ditebus dengan upacara Btimbang Anak. Ada pula tempat tertentu yang dianggap memiliki keramat atau keistimewaan, seperti masjid, bangunan kuno, dan tempat-tempat bersejarah yang memiliki legenda yang diwariskan turun temurun. Legenda ini biasanya berisi cerita-cerita tentang kejadian yang bersifat luar biasa atau yang berhubungan dengan alam gaib. Juga terdapat kepercayaan terhadap benda-benda yang dipandang memiliki kekuatan gaib (mana) yang bisa dimanfaatkan oleh seseorang; dan kepercayaan terhadap orang yang dipandang memiliki kekeramatan (wali) yang bisa diminta bantuannya yang bersifat adikodrati. Yang cukup menarik, juga ada kepercayaan terhadap simbol-simbol seperti nomor/angka pada suatu kendaraan bermotor dan makna dari nama suatu benda (daun payu-payu adalah simbol dari lakungan dagangan). Payu (bahasa Banjar) berarti laku terjual. Demikian pula adanya kepercayaan terhadap kekuatan yang terdapat di balik sebuah rajah.
Dalam pelbagai upacara atau tradisi yang masih berkembang di masyarakat Islam Kalimantan Selatan ternyata juga terdapat unsur-unsur ajaran Islam dan warisan budaya lokal yang menyatu dalam suatu kegiatan. Rata-rata upacara yang dilaksanakan itu, dengan segala alat, perlengkapan dan persyaratan lainnya, dimotivasi oleh keinginan untuk memberi pelayanan kepada makhluk-makhluk gaib yang dianggap bisa memberi manfaat dan mudarat kepada manusia. Dalam kegiatan yang sama terdapat pula unsur Islam, seperti membaca basmalah pada waktu memulai upacara, membaca salawat dan membaca doa (menurut Islam) ketika mengakhirinya.
Mengapa pelbagai kepercayaan non-Islam dan tradisi lokal dapat hidup bersama dalam kehidupan keberagamaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diingat bahwa secara geografis bahwa wilayah Kalimantan Selatan pada mulanya terdiri dari hutan belantara. Karena itu, sebagai masyarakat agraris, penduduknya sangat bergantung pada alam. Itulah sebabnya sebelum Islam datang ke sini telah subur kepercayaan primitif yang sangat tergantung kepada kekuatan alam. Dalam kepercayaan primitif ada anggapan bahwa di balik alam nyata ini ada makhluk gaib yang bisa mengganggu kehidupan manusia yang tinggal di pohon besar, di gunung atau di dalam gua. Untuk menjinakkan makhluk-makhluk gaib tersebut perlu diberi sesajen atau upacara tertentu. Juga ada anggapan terhadap benda-benda tertentu yang memiliki kekuatan magis atau mana. Selain kepercayaan primitif, sebelum datangnya Islam ke sini telah pula berkembang kepercayaan dan traisi dari agama Hindu.
Dari fakta-fakta sejarah yang diperoleh bisa disimpulkan bahwa Islam sudah masuk ke Kalimantan Selatan (Selat Borneo) sekitar pertengahan abad ke-15, jauh sebelum kerajaan Banjar berdiri (1550 M.). Pemeluk agama Islam ketika itu belum banyak; mereka mendiami daerah pesisir, terutama di pusat-pusat perdagangan muslim baik yang datang dari Malaka, Maluku maupun dari pulau Jawa. Di sini proses Islamisasi berlangsung secara perlahan. Proses ini berkait erat dengan faktor ekonomi karena sentral perdagangan ketika itu banyak didominasi oleh umat Islam yang datang dari berbagai perjuru. Namun penyebaran Islam belum begitu meluas sekalipun sudah ada beberapa pendatang muslim yang bermukim di daerah ini.
Proses Islamisasi massal diduga terjadi setelah raja Banjar, Pangeran Samudera, yang kemudian dilantik menjadi Sultan Suriansyah, memeluk Islam, yang diikuti oleh kerabatnya, yaitu bubuhan raja. Perilaku raja ini diikuti oleh elite istana dan elite ibukota yang masing-masing diikuti oleh kelompok bubuhannya. Demikian sterusnya sampai kepada bubuhan rakyat jelata di tingkat paling bawah. Dengan masuk Islamnya para bubuhan, kelompok demi kelompok, maka dalam waktu relatif singkat Islam akhirnya telah menjadi identitas orang Banjar.
Dapat dikatakan, pada tahun-tahun pertama perkembangan Islam, kebudayaan Banjar telah memberikan bingkai dan Islam telah terintegrasi ke dalamnya. Dengan masuk Islamnya bubuhan secara berkelompok, kepercayaan Islam diterima sebagai bagian dari bagian kepercayaan bubuhan. Tidk heran bahwa ketika itu ungkpan keislaman secara berkelompok lebih dominan bila dibandingkan dengan secara perseorangan. Selanjutnya, orang Banjar berusaha belajar mendalami agamanya serentak ada kesempatan untuk itu.
Dengan memperhatikan sejarah masuknya Islam di Kalimantan Selatan seperti terurai di atas dalam konteks keberagamaan masyarakat Islam di sini saat ini, yang bersifat sinkritis, dapat ditelaah melalui penelusuran sejarah proses islamisai yang bersifat damai dan taklid terhadap para pemimpin, Bukan karena tekanan atau hasil penelaahan kritis. Hal ini dapat dilihat bahwa: Pertama, melalui para pedagang muslim yang berniaga di pesisir pantai selatan Kalimantan, orang Banjar mulai mengenal agama Islam. Di antara para pedagang itu ada yang menetap di sini dan malah ada yang memperisteri penduduk setempat. Mereka memperkenalkan agama Islam hingga ada di antara penduduk setempat yang memeluk agama Islam. Kedua, proses islamisasi secara massal melalui jalur istana. Dengan mengikuti (taklid) langkah raja dan kerabatnya, elit kerator, penguasa, elit ibukota beserta keluarganya masing-masing, maka berbondong-bondonglah orang Banjar memeluk agama Islam, hingga jadilah Islam sebagai agama resmi kerajaan Banjar.
Proses islamisasi melalui jalur perniagaan yang bersifat damai, sukarela dan kekeluargaan, juga melalui jalur istana di mana orang Banjar mengikuti jejak pemimpinnya yang telah lebih dulu masuk Islam, memberi peluang tetap eksisnya budaya lokal yang telah lebih dulu ada, yang telah berkembang dan berakar di masyarakat, karena Islam diterima tanpa paksaan dan sikap kritis.
Usaha untuk bersikap kritis terhadap budaya masa lalu yang dipandang tidak sejalan dengan ajaran Islam telah ditunjukkan oleh ulama besar Kalimantan Selatan, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812 M.) Dalam bukunya Tuhfah al-Ragibin, pelbagai kepercayaan dan praktik masyarakat Islam di Kalimantan Selatan dikritiknya dan dinyatakan sebagai tradisi masa lalu yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, seperti tradisi mambuang pasilih dan manyanggar. Namun usaha Datu Kalampayan (sebutan lain dari al-Banjari) ini tidak mampu mengikis habis kepercayaan dan tradisi masa lalu itu. Mungkin sisanya menjadi kewajiban ulama belakangan untuk mengkritisinya.
Kesimpulan
Dalam siklus kehidupan keberagamaan masyarakat Islam di Kalimantan Selatan terdapat pelbagai kepercayaan, upacara dan tradisi yang bersifat sinkritis antara ajaran Islam dan budaya lokal masa silam. Sebagian masyarakat ada yang mempercayai adanya waktu yang tidak baik untuk melakukan kegiatan monumental. Sebagai misal, bulan Safar dianggap sebagai bulan sial, karenanya tidak baik untuk melangsungkan pernikahan atau membangun rumah. Demikian pula waktu antara dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) tidak baik untuk melakkan akad nikah. Juga ada kepercayaan terhadap tempat-tempat yang dianggap memiliki keramatan dan keistimewaan seperti masjid tua dan bangunan kuno yang memiliki legenda di kalangan masyarakat. Ada pula masyarakat yang mempercayai adanya benda-benda yang dipandang memiliki kekuatan gaib (mana), orang-orang yang dianggap memiliki kekeramatan dan simbol-simbol, rajah-rajah yang diyakini memiliki khasiat yang dapat dijadikan jimat oleh seseorang.
Selain kepercayaan terhadap hal-hal di atas, terdapat juga pelbagai upacara dan tradisi masyarakat yang bermuatan ajaran Islam dan budaya masa lalu baik yang tumbuh dan berkembang di Kalimantan Selatan dari etnis Banjar sendiri maupun yang berasal dari luar, seperti etnis Jawa dan Bugis. Ada upacaara yang berhubungan dengan pernikahan dan perkawinan, seperti Upacara Bangun Nikah, Upacara Mandi Pengantin, dan Perkawinan. Ada upacara yang berisi permintaan keselamatan seperti Upacara Doa Selamat Tahun, Upacara Selamatan Membuat Wadai Kumat. Ada juga tradisi Mendirikan Rumah, Balamut dan Balampah.
Dalam pelbagai kepercayaan masyarakat Islam di atas, tampak adanya kepercayaan non-Islam yang merupakan warisan masa lalu. Demikian pula dalam setiap kegiatan upacara dan tradisi terdapat budaya lokal masa lalu yang bercampur baur dengan ajaran Islam. Secara historis, keadaan ini bisa dianalisis karena proses islamisasi di Kalimantan Selatan (selatan Bornea) berlangsung secara damai, akomodatif karena disampaikan oleh para pedagang yang tidak secara khusus datang untuk menyiarkan agama Islam. Perkembangan selanjutnya, masyarakat di sini memeluk agama dengan mengikuti langkah pemimpin (raja Banjar) dan kerabatnya yang telah lebih dulu masuk Islam. Karena bersifat taklid, maka keberagamaan mereka tidak kritis. Keadaan ini masih berlangsung hingga sekarang, yang menjadi kewajiban para ulama dan cendekiawan muslim untuk mengkritisinya.
Bit'ah
ReplyDelete