Memahami Sunnah Doa Berbuka Puasa

Ketika menjelang berbuka puasa nabi biasa mengucapkan doa “allahumma laka sumtu wa bika amantu wa ala rizqika aftartu birahmatika ya arhamarrahimin”, dan ketika telah mula berbuka beliau pun bersyukur dengan mengucapkan “zahabazzoma’u wabtallatil uruqu watsabatal ajru insyaallah”. Kebiasaan Nabi ini disebut sunnah Nabi, sedangkan ucapan Nabi dalam bahasa Arab, sebagaimana kutipan itu adalah hadis Nabi.

Sunnah kadang berbeda dengan hadis. Hadis adalah ucapan, sedangkan sunnah adalah kebiasaan. Boleh jadi ucapan yang telah dibiasakan oleh Nabi disebut sebagai sunnah, namun tidak otomatis semua teks hadis itu boleh dikatagorikan sebagai sunnah, karena sunnah adalah ”maqasid al-syariah” yang ada di sebalik ucapan dan atau perbuatan Nabi.

Yusuf Qardhawi dalam kitabnya Kaifa Nata’amal ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah mengatakan bahwa agar dapat memahami sunnah, kita harus bisa membedakan di antara ”wasilah” yang dapat berubah dengan ”tujuan yang tetap”, juga antara lafaz dan ruh dari suatu hadis. Karena kadang-kadang dengan semata-mata berpegang kepada Sunnah secara harfi kita tidak dapat melaksanakan ruh dan tujuan sunnah, justru kita telah menentang sunnah, sekalipun pada zahirnya kita berpegang kepadanya (hlm. 172-182).

Dari pemahaman di atas dan dikaitkan dengan kebiasaan Nabi ketika berbuka puasa, maka ”matlamat” sunnah Nabi (ketika berbuka puasa) yang harus kita ikuti adalah berdoa dan bersyukur. Berdoa dan bersyukur kepada Allah tidak harus dengan bahasa orang Arab sebagai ”wasilah”, karena Allah bukan orang Arab. Allah paham bahasa apapun. Berdoa dengan bahasa Melayu boleh, bahasa Indonesia bisa, bahasa Inggris ok, bahasa Jawa pun ngeh, yang penting kita sendiri paham dan ngerti dengan apa yang kita ucapkan.

Kita patut merasa senang dengan ijtihad ulama nusantara yang menggalakkan para khotib di masjid-masjid di nusantara apabila menyampaikan khutbah sembahyang Jumat dan doanya, agar menggunakan bahasa Indonesia, bukan bahasa orang Arab. Walaupun Nabi tidak pernah berkhutbah dengan bahasa Indonesia, tetapi apa yang dilakukan para khotib di Indonesia ini juga dalam rangka mengikuti sunnah Nabi, yaitu menggunakan sarana khutbah jumat untuk menyampaikan pesan moral dan agama kepada umat Islam, sehingga umat menjadi faham. Coba bayangkan kalau khutbahnya dengan bahasa Arab, pasti kebanyakan orang Jawa, termasuk saya tak akan ngeh. Artinya, ruh dari sunnah Nabi tidak sampai.

Islam itu kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Jawa, dll. Tetapi bentuk-bentuk Islam yang kontekstual ini hanya ekspresi budaya yang kita tidak diwajibkan mengikutinya. Yang harus kita ikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasinya (maqasid al-syari’ah), atau ruhnya menurut Syekh Yusuf al-Qardhawi.

Jadi, bagaimana mengikuti sunnah Rasul? Ada pendapat yang menurut saya bagus ialah pertama kita harus paham bahwa apa yang dilakukan oleh Rasul di Arab adalah menterjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Arab, sehingga Islam yang wujud di Arab adalah Islam yang historis, partikular, dan kontekstual.
Kedua, cara kita mengikuti sunnah Rasul bukan berarti harus mengikuti secara harfiah, sebab apa yang dilakukan oleh Rasul di Arab adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Arab adalah suatu trade-off antara ”yang universal” dengan ”yang partikular”.

Ketiga, kita boleh berijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan pesan-pesan moral sunnah Rasul. Sunnah Rasul di Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universsal di muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain, dalam konteks yang lain pula. Islam di Arab adalah salah satu jenis Islam yang hadir di muka bumi ini.

Oleh karena itu, keempat, kita jangan berhenti dengan melihat contoh di Arab saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan.

Akhirnya, kita harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk menerima dari semua sumber kebenaran. Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam berdasarkan sudut pandangnya sendiri; yang harus ”dilawan” adalah setiap usaha untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.

Janganlah kemudian kita bertikai karena perbedaan ”baju” yang dipakai, karena lupa, inti ”memakai baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk berbudaya. Semua golongan dan aliran pemahaman adalah baju, sarana, ”wasilah”, alat untuk menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada al-Haqq. Ada pereode di mana semua golongan menganggap ”baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu tidak layak lagi untuk dilanggengkan kini.

Kesimpulannya, ketika berbuka puasa jangan sampai kepala menjadi pening hanya karena memikirkan bagaimana bacaan doa dan zikirnya yang tepat, karena sunnahnya adalah bersyukur kepada Allah karena telah berjaya melakukan puasa dan memohon kepada-Nya agar senantiasa diberi rahmat. Lakukan dengan bahasa apapun yang kita pahami.
Allah a’lam.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)