Perkembangan Tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan
Salah satu tarekat yang masih eksis sampai sekarang, tetapi kurang populer di Dunia Islam adalah tarekat Sammaniyyah. Tarekat ini dihadirkan oleh Syekh Muhammad ibn Abd al-Karīm al-Sammān al-Madanī sekitar 253 tahun yang silam di kota Madinah. Tarekat tersebut kemudian dibawa masuk ke Indonesia oleh murid-muridnya yang berasal dari tanah Jawi (Indonesia). Namun, sejak dasa warsa terakhir ini perkembangannya di Kalimantan Selatan cukup pesat, jauh melebihi perkembangan tarekat-tarekat lain.
Hal itu disebabkan oleh beberapa fakor. Pertama, orang yang mengikuti dan mengamalkan tarekat tersebut dijanjikan akan memperoleh keberuntungan yang luar biasa di dunia dan di akhirat. Kedua, pelaksanan tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan relatif lebih sederhana dan mudah daripada pelaksanaan tarekat Sammaniyah versi lain Ketiga, tokoh yang pertama kali menghadirkan tarekat tersebut diyakini sebagai wali quthub yang memiliki keramat yang luar biasa dan tidak dimiliki oleh wali-wali lain serta mampu menyelamatkan orang-orang yang meminta pertolongannya dengan hanya memanggil namanya tiga kali. Keempat, tarekat tersebut dipopulerkan oleh Tuan Guru H. Zaini Gani, ulama krismatik yang belum pernah ada menandinginya sepanjang sejarah Islam di Kalimantan Selatan.I. Pendahuluan
Dalam ajaran tasawuf terdapat empat tingkatan dan tahapan yang harus dilalui seorang Muslim yang ingin mencapai kesempurnaan (insān kāmil), yaitu syari’at, tarekat (tharīqah), hakikat (haqīqah), dan makrifat (ma’rifah). Syekh Zainuddīn al-Malībārī dalam kitabnya, Hidāyat al-Ażkiyāi ilā Tharīq al-Awliyā telah menjelaskan hubungan tiga macam tingkatan di atas secara komperatif untuk sampai kepada makrifat dalam syairnya yang berikut, “fasyarī’atun kasafīnatin wa tharīqatun kalbahri wa haqīqatun durrun ghalā”1 (maka syariat itu seperti sebuah kapal, tarekat seperti laut, dan hakikat adalah mutiara yang mahal).
Dari penjelasan al-Malibari tersebut dapat diketahui bahwa syariat itu seperti kapal, karena syariat merupakan sebab untuk mencapai tujuan dan keselamatan dari kebinasaan; tarekat seperti laut, karena di dalamnya terdapat mutiara yang menjadi tujuan, sedangkan hakikat seperti mutiara yang mahal harganya. Mutiara itu tidak akan diperoleh, kecuali di dalam laut, sedangkan orang tidak sampai ke dalam laut, kecuali mengharunginya terlebih dahulu dengan naik kapal. Apabila hakikat telah dicapai, dengan sendirinya makrifat tentang Allah (ma’rifatullah) pun dapat diperoleh.
Yang dimaksud dengan ma’rifatullah oleh kalangan sufi ialah terbukanya pengetahuan ilāhiyyah dengan ditandai terbukanya kasysyāf, yaitu terbukanya tabir kegaiban dari rahasia ketuhanan, yang hanya diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang paling dikasihinya.2
Pada mulanya apa yang disebut dengan tarekat itu belum dikenal di dunia Islam. Namun, setelah Imam al-Ghazali (w. 505 H) berhasil menghalalkan tasawuf yang sebelumnya dikatakan sesat, tarekat pun mulai bermunculan seiring dengan perkembangan tasawuf yang telah berhasil menempati posisi penting dalam kehidupan umat Islam dan menjadi falsafah hidup mereka.
Menurut Dr. Kāmil Musthafā al-Syībī, orang yang pertama kali mendiri-kan tarekat adalah Abd al-Qādir al-Jailānī (w.561 H)3 yang terkenal dengan tarekat Qādiriyyahnya. Selanjutnya, disusul pula dengan munculnya tarekat-tarekat lain, seperti tarekat Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Muhammad Bahā al-Dīn al-Naqsyabandī (w./1389 M) dan tarekat Khalwatiyyah yang diidirikan oleh Umar al-Khalwatī (w./1397 M) Sebagaimana tarekat Qādiriyyah dan tarekat Naqsyabandiyyah, tarekat Khalwatiyyah juga merupakan tarekat terkenal yang berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Siria, Hijaz, Yaman, dan Mesir. Di Mesir tarekat Khalwatiyyah didirikan oleh Ibrahim Gulshemi (940 H/1534 M). Dari tarekat ini kemudian muncul beberapa cabang dan salah satunya adalah tarekat Sammāniyyah yang didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-Karim al-Samman (w. 1189 H/1775 M)
Menurut Martin van Bruinessen, tarekat Sammāniyyah merupakan tarekat pertama yang telah memperoleh massa di Nusantara.4 Bahkan, untuk daerah Kalimantan Selatan saat ini tarekat Sammaniyyah merupakan tarekat yang paling pesat perkembangannya dan paling banyak pengikutnya. Mengingat hal tersebut, maka dalam kesempatan ini akan dipaparkan, bagaimana pelaksanaan tarekat tersebut dan faktor-faktor apa saja yang telah mempengaruhi perkembangannya..
II. Masuk dan Berkembangnya Tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan
Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan siapa yang pertama kali membawa tarekat Sammaniyyah ke daerah Kalimantan Selatan sulit diketahui secara pasti. Namun, yang dapat diketahui adalah di antara murid-murid pendiri tarekat tersebut terdapat beberapa orang yang berasal dari Jawi (Indonesia). Mereka itu adalah Syekh Abd al-Shamad al-Palembānī dari Palembang (Sumatera), Syekh Muhammad Nafīs al-Banjarī, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjarī, yang keduanya berasal dari Banjar (Kalimantan Selatan). Meskipun demikian, dari ketiga murid itu, hanya Syekh Abd al-Shamad al-Palembānī yang telah menulis dan memperkenalkan tarekat gurunya itu kepada masyarakat Muslim Indonesia melalui dua kitabnya, Siyar al-Sālikīn fī Tharīqi al-Sādāt al-Shūfiyyah dan Hidāyat al-Sālikīn.
Menurut al-Palembānī, Siyar al-Sālikīn yang terdiri dari empat jilid itu adalah terjemahan dari kitab Lubāb Ihyā ‘Ulūm al-Dīn (Intisari Ihyā ‘Ulūm al-Dīn), padahal sebenarnya di dalamnya terdapat pula kutipan-kutipan dari al-Nafahat al-Ilāhiyyah, karya Syekh Sammān, dll. Demikian pula dengan Hidāyat al-Sālikīn. Meskipun menurut al-Palembānī, kitab tersebut merupakan terjemahan dari kitab Bidāyat al-Hidāyah, karya Imam al-Ghazali, ternyata juga di dalamnya terdapat kutipan-kutipan dari berbagai kitab, antara lain dari kitab al-Nafahat al-Ilāhiyyah. Dalam kitab al-Nafahat al-Ilāhiyyah tersebut, Syekh Sammān telah menjelaskan tarekatnya, yang kemudian dikutip oleh Syekh Abd Shamad al-Palembānī dalam kedua kitabnya itu..
Kedua kitab karya Syekh Abd al-Shamad al-Palembani tersebut sangat pupoler di kalangan masyarakat Muslim Kalimantan selatan dan hingga saat ini masih dibaca dan dijadikan rujukan oleh para ulama, dai, dan muballig, khususnya mereka yang berasal dari kalangan pesantren. Meskipun demikian, tidak terdapat bukti bahwa mereka yang kebetulan juga menjadi pengikut tarekat Sammaniyyah telah mengambil ijazahnya melalui sanad Syekh Abd al-Shamad al-Palembani. Bahkan, uniknya lagi di antara mereka yang menjadi pengikut tarekat tersebut dan memiliki kedua kitab yang telah ditulis oleh al-Palembani itu, tidak mengetahui adanya paparan tentang tarekat yang mereka ikuti terdapat dalam kedua kitab tersebut.
Berbeda dengan al-Palembani, Syekh Muhammad Nafis dan Muhammad Arsyad al-Banjari tidak pernah menulis atau memperkenalkan sedikit pun tentang tarekat guru mereka tersebut. Meskipun demikian, Syekh Muhammad Nafis dalam kitabnya, al-Durr al-Nafīs telah mengklaim bahwa Syafi’i adalah mazhabnya di bidang fiqh, Asy’ariyah adalah pahamnya di bidang iktikad dan ushuluddin, al-Junaidi ikutannya di bidang tasawuf, Qadiriyyah adalah tarekat-nya, Syattariyyah adalah pakaiannya, Naqsyabandiyyah adalah amalannya, Khalwatiyyah adalah makanannya, dan Sammaniyyah adalah minumannya.5 Dari pengakuannya tersebut dapat diketahui bahwa Syekh Muhammad Nafis adalah pengikut tarekat Sammaniyyah, di samping menjadi pengikut dan pengamal tarekat-tarekat lain meskipun pengakuannya itu diungkapkannya dengan bahasa, Sammaniyyah adalah minumannya. Berdasarkan pengakuannya itu ada kemungkinan masuknya tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan melalui Syekh Muhammad Nafis. Karena itu, menurut Martin van Bruinessen bahwa ia lebih cenderung mempercayai keberadaan tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan adalah berkat Syekh Nafis tersebut.6 Namun, jika analisis itu benar, tentunya di antara para pengikut tarekat Sammaniyyah ada yang memperoleh ijazah melalui sanad Syekh Muhammad Nafis, padahal sepengetahuan penulis, tidak ada seorang pun yang penah mengatakan demikian.
Sebaliknya, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tidak pernah mengakui bahwa beliau juga mengikuti tarekat Samaaniyyah. Bahkan, tidak pernah terdapat sebaris kalimat pun yang telah beliau tulis yang isinya mengisyaratkan bahwa beliau termasuk orang yang mengikuti tarekat Sammaniyyah, apalagi menyebar-luaskannya di kalangan masyarakat Muslim Kalimantan Selatan. Akan tetapi, menurut beberapa penulis sejarah hidup Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama besar Kalimantan itu juga sempat belajar tasawuf pada Syekh al-Samman. Dari hubungannya dengan pendiri tarekat Sammaniyyah tersebut, tentu saja Syekh Arsyad mengambil tarekatnya, kemudian meneruskannya kepada zurriyat beliau. Zurriyat beliau itulah kemudian yang mengembangkannya di masyarakat Muslim Kalimantan Selatan.7
Terlepas dari siapa sebenarnya yang pertama kali membawa dan menye-barluaskan tarekat Samaniyyah di Kalimantan Selatan, perkembangannya tidaklah melebihi perkembangan tarekat-tarekat yang lain. Bahkan, dapat dikatakan perkembangannya kurang terdengar dan tidak jelas siapa sebenarnya yang meng-ajar atau menjadi mursyidnya.
Tarekat Samaniyyah baru mendapat sambutan yang luar biasa dan banyak pengikutnya dari masyarakat Muslim Kalimantan Selatan, setelah Tuan Guru K.H. Zaini Abdul Ghani atau yang lebih pupoler dengan panggilan Guru Ijai dari Martapura mengenalkan dan mengijazahkannya kepada murid-muridnya. Menurut salah seorang pengikut tarekat tersebut, Guru Ijai mulai mengenalkan dan mengijazahkan tarekat tersebut kepada masyarakat Muslim Kalimantan Selatan, khususnya yang berasal dari Kabupaten Banjar pada tahun 1994 yang lalu.8
Pengijazahan dan sekaligus penyebaran tarekat Sammaniyah itu dilaku-kan oleh beliau dengan memberikan ijazah kepada jamaah pengajian al-Rawdlah Sekumpul, Martapura, yang sekaligus pula merupakan murid-murid beliau yang setia. Beberapa waktu yang lalu, pemberian ijazah tarekat Sammaniyyah dilaksanakan pada setiap kali pengajian dilaksanakan. Untuk kaum pria pada hari Kemis dan Minggu, sedangkan untuk kaum wanita pada hari Sabtu sesuai dengan jadwal pengajian yang sudah ditetapkan.9
Menurut beberapa informasi yang dapat dipercaya, sekarang ini beliau tidak lagi memberikan ijazah tarekat kepada jamaah pengajian al-Rawdlah, karena dianggap sudah cukup. Namun sebagai gantinya, beliau telah memberikan izin kepada siapa saja yang mau mengamalkan tarekat tersebut, untuk mengamal-kannya, tanpa harus lagi mendapat ijazah secara resmi dari beliau. Kalaupun hendak juga mendapatkannya secara khusus, terlebih dahulu harus mendaftarkan diri kepada petugas khusus dan menunggu antrean yang cukup panjang, karena para pelamar yang ingin ber-musāfahah dan lainnya dengan Guru Ijai berjumlah ribuan orang.10
Menurut keterangan, tarekat Sammaniyyah yang telah diperkenalkan dan diijazahkan oleh Tuan Guru K.H.Zaini Gani adalah tarekat yang sanadnya, tidak melalui Syekh Abd al-Shammad al-Palembani dan Syekh Muhammad Nafis, tetapi melalui Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Syekh Muhammad Arsyad menerima tarekat tersebut secara langsung dari Syekh Muhammad al-Samman, kemudian beliau mengajarkan kepada Syekh Syihabuddin, yang mengajarkan kepada Syekh Nawawi Banten, kemudian mengajarkan kepada Syekh Zainuddin al-Sumbawi, yang mengajarkan kepada Syekh Abdullah al-Banjari, kemudian kepada Syekh H. Syarwani Abdan, yang terakhit ini kemudian mengajarkan kepada Tuan Guru H.Zaini Gani.11
III. Zikir dalam Tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan
Menurut Syekh Abd al-Samad dalam kitabnya, Siyar al-Sālikīn, Syekh al-Sammān dalam kitabnya al-Nafahat al-Ilāhiyyah telah mengajarkan tujuh macam tingkatan zikir dengan urutan sebagai berikut:
Pertama, untuk nafs ammārah (jiwa yang menyuruh kepada kejahatan), zikirnya adalah لا إ لـه إلا ا للـه
Kedua, untuk jiwa nafs lawwāmah (jiwa yang penuh penyesalan), zikirnya adalah ا للـه ا للـه ا للـه
Ketiga, untuk jiwa nafs mulhamah (jiwa yang memperoleh ilham), zikirnya adalah هـو هـو هـو
Kelima, untuk nafs muthmainnah (jiwa yang tenang), zikirnya adalah حـق حـق حـق
Kelima, untuk nafs rādhiyyah (jiwa yang rida), zikirnya adalah حى حى حى
Keenam, untuk nafs mardliyyah (jiwa yang diridai), zikirnya adalah قـيـوم قـيـوم قـيـوم
Ketujuh, untuk nafs kāmilah (jiwa yang sempurna), zikirnya adalahقهـا ر قهـا رقهـا ر 12
Setelah menjelaskan tujuh macam zikir tersebut, al-Palembānī tidak lagi menjelaskan berapa kali setiap zikir itu harus diucapkan dan pada waktu apa saja zikir-zikir tersebut diucapkan. Di dalam kitabnya Hidāyāt al-Sālikīn, ia kemudian menjelaskan beberapa hal yang harus dilakukan seseorang sebelum yang bersangkutan mengucapkan zikir-zikirnya. Hal-hal tersebut adalah (1) bertobat dari segala macam maksiat dan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhiratnya, (2) membersihkan diri dengan mandi atau berwudlu, (3) Berdiam diri dan tetap sehingga apa yang diucapkan lidahnya selalu sesuai dengan apa yang diitsbatkan oleh hatinya, (4) ketika memasuki zikir, ia memohon pertolongan dengan hatinya dengan himmah (niat) dari syekhnya atau memanggilnya dengan lisannya untuk meminta pertolongannya agar ia berkenan memohonkan pertolongan kepada Rasulullah SAW, (5) meyakini bahwa dengan permohon-annya kepada syekhnya itu agar syekhnya tersebut memohonkan pertolongan untuknya kepada Rasulullah SAW, karena syekhnya adalah pengganti Rasulullah SAW.13
Selanjutnya, al-Palembānī juga mengutip penjelasan dari Syekh al-Sammān bahwa ketika seseorang melakukan zikir, ia harus melakukan 12 hal berikut: (1) duduk di atas tempat yang suci seperti duduk dalam salat jika ia masih dalam tingkat mubtadī ( permulaan) dan bersila jika ia sudah berada di tingkat muntahī (penghabisan), (2) meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya, (3) memakai harum-haruman, (4) mengenakan pakaian yang bersih, halal, dan berbau harum, (5) berada di tempat yang kelam (agak gelap), (6) memejamkan kedua matanya, (7) membayangkan rupa syekhnya di ruang matanya, terlebih bagi orang-orang tasawuf, (8) mengulang-ulang zikir dengan khusyuk, baik dengan suara yang nyaring atau suara yang pelan, (9) berzikir dengan niat yang ikhlas, karena Allah semata-mata, (10) memilih lafal zikir, لا إ لـه إلا ا للـه dan mengu-capkannya dengan diikuti perasaan akan keagungan Allah dan kesempurnaan-Nya dengan cara menaikkan lafal لا إ لـه dari atas pusatnya, kemudian menyampaikan lafal إلا ا للـه ke hati sanubarinya, serta mencenderungkan kepalanya ke arah lambungnya yang sebelah kiri dan menghayati makna dari zikir yang diucap-kannya itu, (11) menghadirkan makna zikir di dalam hatinya setiap kali mengucapkan zikir tersebut. Kalau lidahnya mengucapkan zikir لـه إ لا ا للـه إ لا , hatinya mengatakan, لا مـعـبـود إلا ا للـه (tidak ada yang disembah, kecuali Allah) dan لا مـطـلـوب إلا ا للـه (tidak ada yang diminta, kecuali Allah, dan لا موجـود إلا ا للـه (tiada yang mawjud, kecuali Allah), (12) menafikan setiap yang mawjud, selain Allah di dalam hatinya ketika mengucapkan lafal لا إ لـه agar lafal إ لا ا للـه tetap berbekas di dalam hatinya.14
Setelah selesai melaksanakan zikir, ada tiga hal yang harus dilakukannya: (1) duduk dengan tenang dan hati yang terbuka menanti wārid al-żikr atau sesuatu yang berguna dari hasil zikir, (2) kedua menahan nafasnya, karena dengan cara itu ia dapat memperbaiki hatinya, membuka hijab, dan memutuskan getaran-getaran nafsu syetan, (3) menahan diri dari meminum air, sebab dengan meminum air akan madamkan panas yang diperoleh dari zikir dan menghilangkan rasa rindu kepada Allah.15
Wārid al-żikr tersebut adakalanya dalam bentuk ucapan-ucapan lisan atau getaran-getaran yang muncul di luar kehendak orang yang berzikir, Misalnya, Allah, Allah, Allah, atau Lā, Lā, Lā atau Hu, Hu, Hu, atau A, A, A, atau Ah, Ah, Ah, atau Hā, Hā, Hā, atau Hī, Hī, Hī, atau suara-suara yang bukan merupakan bunyi huruf, atau menggetar-getar, karena ia sudah didominasi oleh zikir terse-but.16
Berbeda dengan zikir-zikir dalam tarekat Sammaniyyah versi Syekh Abd al-Shamad di atas, maka zikir dalam tarekat Samaniyyah yang ada di Kalimantan Selatan sekarang ini lebih sederhana. Dalam tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan tidak dijumpai adanya pembagian zikir yang sesuai dengan tingkatan jiwa-jiwa orang-orang yang melakukan zikir. Semua orang membaca zikir yang sama. Zikir tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, mengucap istighfār yang lafalnya adalah ا سـتـغـفـرا للـه إ ن ا للـه غـفـور رحـيـم sebanyak 70 kali.
Kedua, mengucap tahlīl لا إ لـه إلا اللـه sebanyak 166 kali.
Ketiga, mengucap isim jalālah ا للـه ا للـه sebanyak 33 kali.
Keempat, mengucap هـو هـوsebanyak 77 kali
Kelima, membaca salawat untuk Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan para sahabat beliau, yang lafalnya adalahا للـهـم صـل وسـلـم وبا رك عـلى سـيـد نـا مـحـمـد عـبـد ك ونـبـيـك وحـبـيـبـك ورسـولـك ا لـنـبى الأ مى وعـلى ا لـه وصـحـبـه وسـلـم sebanyak 70 kali.17
Setelah itu, orang yang berzikir membaca surat al-Fatihah, yang pahala-nya dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, tabi’in, ruh Syekh Abd al-Qādir al-Jīlānī, Syekh Ibrāhīm al-Khalwatī, Syekh al-Sayyid Muhammad ibn Abd al-Karīm al-Sammān al-Madanī, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjarī, Syekh Syihāb al-Dīn al-Banjarī, Syekh Nawawī ibn ‘Umar al-Bantānī, Syekh Zain al-Dīn al-Sumbāwī, Syekh ‘Aliy ibn Abdillāh al-Banjarī, dan Syekh Muhammad Syarwānī ‘Abdān al-Banjarī dengan ungkapan sebagai berikut:18
ا لـفـا تـحـة لحـضـرة ا لـنـبـى صـلى ا للـه عـلـيـه وسـلـم وا صـحا بـه وا لـتـا بـعـيـن وإ لى روح سـيــــدى ا لـشـيـخ عـبـد ا لـقـا د ر ا لـجـيـلا نى وا لِـشـيـخ إ بـرا هـيـم ا لـخـلـوتى وا لـشـيـخ ا لـسـيـد مـحـمـد بـن عـبـد ا لـكـريـم ا لـسـمـا ن ا لـمـد نى وا لـشـيـخ مـحـمـد ا رشـد بـن عـبـد ا للـه ا لـبـنـجـرى وا لـشـيـخ شـهـا ب ا لـد يـن ا لـبـنجـرى وا لـشـيخ نووى بن عـمر ا لـبـنـتـا نى وا لـشـيخ زيـن ا لـد يـن ا لـسـنـبا وى وا لـشيـخ عـلى بـن عـبـد ا للـه ا لـبـنـجـرى وا لـشيـخ مـحـمـد شـروا نى عـبـدا ن ا لـبـنـجـرى ا لـفـا تحـة.
Akhirnya, orang yang berzikir itu menutup zikirnya dengan doa sebagai berikut:
ا للهـم ا خـتـم لـنـا بخـا تـمة ا لـسـعـا دة وا جـعــلـنـا مـن ا لـذ يـن لـهـم ا لـحـسـنى وزيا دة بـجـاه سـيـد نا مـحـمـد صـلى ا للـه عـلـيـه وسـلـم ذى ا لـشـفـا عـة وا لـه وأ صـحـا بـه ذ وى ا لـيـسا دة.
Sekarang ini, di samping zikir di atas, masih terdapat zikir lain lagi yang diperkenalkan oleh Guru Ijai untuk diamalkan. Zikir tersebut lebih sederhana dari-pada zikir yang sebelumnya. Perbedaannya dengan zikir yang sebelumnya adalah (1) tanpa diawali terlebih dahulu dengan istigfār, (2) tanpa membaca salawat, (3) tanpa disertai membaca surat al-Fatihah yang dihadahkan kepada Rasulullah SAW dllnya, (4) doanya tidak sama dengan doa yang sebelumnya. Urutan zikir tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, mengucap tahlīl لا إ لـه إلا ا للـه. sebanyak 166 kali
Kedua, menyebut isim jalālah ا للـه ا للـهsebanyak 33 kali.
Ketiga, menyebut هـوهـو sebanyak 77 kali.
Keempat, membaca doa berikut: ini
ا للهـم ا غـفـرلإ مة سـيـد نا محـمـد ا للهـم ا رحـم ا مة سـيـد نا محـمـد ا للهـم ا سـتـر ا مة سـيـد نا محـمـد ا للهـم ا جـبـرا مة سـيـد نا محـمـد sebanyak 4 kali.
Di samping terdapat perbedaan dalam materi zikir, juga terdapat perbe-daan dalam tata cara berzikir antara tarekat Sammaniyyah menurut versi Syekh Abd al-Shamad al-Palembani dengan tarekat Samaniyyah di Kalimantan Selatan. Tata cara berzikir dalam tarekat Sammaniyyah di daerah kita ini lebih sederhana. Tata cara tersebut adalah (1) duduk bersila, (2) memejamkan mata, (3) kedua tangan terletak di atas kedua lutut dengan cara tangan kanan memegang tasbih yang sekaligus dipakai untuk menghitung jumlah zikir-zikir yang telah dibaca dan tangan kiri yang membentuk kalimat ا لـلـه .19
Perbedaan yang perlu mendapat perhatian di sini adalah kalau dalam tarekat Samaniyyah menurut versi al-Palembani, seorang yang berzikir (murīd) harus menghadirkan wajah syekh atau guru (mursyīd) nya, dalam tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan sekarang ini tidak menyebutkan hal itu. Sebagai gantinya adalah sehabis berzikir, ia membaca surat al-Fatihah dengan niat pahalanya dihadiahkan kepada Rasulullah SAW dll.
Di samping itu, kepada para pengikut tarekat dianjurkan untuk selalu bertawassul dan membaca al-Tawassulāt al-Samāniyyah yang biasa juga disebut Jāliyat al-Kurab wa Munīlat al-Arab. yang bunyinya sebagai berikut ini: بـســـــــــــــــــــــم ا للـه ا لـرحـمـن ا لـرحـيــــــــــــم
ا للــــــه يـا ا للــــــه يـا ا للـــــــــه يـا مـلـجـأ ا لـقـا صـد يـا غـوثـا ه
نـد عـوك مـصـطـريـن بـا لـصـفـا ت بـمـظـهـرالأ سـمـا بـســــرا لـذا ت
بـسـرسـرا لـطـمـس بـا لـعــــــــماء بكـنـزك ا لـمخـفى بـا لـبـهـــــــــاء
بـأ ول ا لـبـا رز لـلـوجــــــــــــــــود من عا لم ا لغـيـب ا لى ا لـشهــود
بـما ا نطـوى فى عـلمك ا لمصــون ومـا حـواه ا لـكـون مـن مـكــنـون
بـا لـعـرش بـا لـفـرش وبـالأ فـلا ك با لـعـا لـم الأ سـنى وبالأ مــــــلا ك
بـسـرجـمـع ا لـجـمـع با لـفـنــــــاء وا لـمـحـو وا لـصـحـو وبا لـبـقــاء
بـنـقـطـة ا لـدا ئـرة ا لـمـشــــــيــــرة لـوحـدة ا لـمـظا هـرا لـكــثـيــــــــرة
با لها شـمى ا لـمصـطـفى ا لـتها مى وأ لـه وصـحـبـه ا لـكـــــــــــــــــرام
با لغـوث وا لـمحـبـوب عـبـد ا للـه حـبـرالأ نا م ذى ا لحـيـاء وا لـجـاه
اعـنى ا بن عـبا س عـظـيم ا لـقـد ر غـوث ا لـلـهـيـف تـرجـما ن ا لـذ كـر
با لـشـيـخ عـبد ا لـقـا د را لـجـيـلا نى ومـصـطـفى ا لـبـكـرذى الإ يـقـــا ن
با لـبـدوى وا حـمـد ا لـرفـــــــــــــا عى وبا لـد سـوقى طـويـل ا لـبـــــــــا عى
با لـشـا فـعى وا حـمـد بـنــــــــــــــــــــل وما لـك وا لـحـنـفى ا لـمـبـجــــــــــــــــــل
بـشـيـخـنـا ذى ا لـسـروا لـبـرهــــــــا ن قـطـب ا لـزمـا ن ا لـعـــا رف ا لـســــما ن
وكل قـطـب بـنـــــــــــــــــــــــــا ك دا نى فـقـد تـوسـلـنـا بـهـــــــــــــــــــــم يا دا نـى
بـكل مـحـبـوب وعـبـد ســـــــــــــــا لـك ومـقـتـف لأ نـهـج ا لـمـســـــــــــــــــــا لـك
هـب لى وا تـبـا عى وكل طـا لـــــــــــب نـيـل ا لـمـنى ويـسـرا لـمـطـا لـــــــــــــــب
وا سـبـل ا لـسـتـر عـلى ا لـجـمــيـــــــع وحـفـنـا بـحـصـنـك ا لـمـنـيـــــــــــــــــــــع
وا شـفـنـا مـن كـل داء فـيـنـــــــــــــــــا وعـا فـنـا يا ربـنـا وا حـمـيـنـــــــــــــــــــا
ويـسـرا لـكـسـب مـن ا لـحـــــــــــــلا ل ونـجـنـا مـن ذ لـة ا لـســــــــــــــــــــــوا ل
وطـهـرا لـقـلـب مـن الأ غـيــــــــــــــا ر وصـفـه مـن د رن الأ كــــــــــــــــــــــــدا ر
وا حـفـظـ لـنـا ا لـسـرمع ا لـجـــــــنـا ن من فـتـنـة الأ هـواء وا لـشـيـــــــــــــطـأ ن
وخـلـص ا لـنـفــــــــس مـن ا لـد واعى وا سـلـك بـهـا سـبـيـل خـيـــــــــــــــــــرداع
ومـنـك أ كـرمـنـا بـعـلــــــــــــــــم أ زلى وعـمـل ا لى ا نـقـضـاء الأ جـــــــــــــــــــــل
وسـهـل الإ خـلا ص فى ا لـعـمــــــــــــل وسـا ئـرالا قـوا ل والا فـعــــــــــــــــــــــا ل
ولإ تـبـاع ا لـمـصـطـفى وفـقـنـــــــــــــا ومن حـمـيـا حـبـه فـا رزقـنـــــــــــــــــــــــا
وزيـن ا لـظـاهـروا لـبـوا طــــــــــــــــن بـكـل عـلـم ظـاهـروبـا طــــــــــــــــــــــــــن
وا قـصـم بـقـهـركل مـــــــــــن أ ذا نــــا ومن بـسـوء قـد نـوى حـمـا نـــــــــــــــــــا
وكـف كـف ا لـظـا لـمـيـن عـنــــــــــــــا ولـسـوا ك رب لا تـكـلـنـــــــــــــــــــــــــــــا
ونـجـنـا مـن كـيـد كل حـا ســــــــــــــــد وشـا مـت مـعـنـف مـعـا نـــــــــــــــــــــــــد
وا جعـل لـنـا من كل ضـيـق فـرجــــــــا وكل هـم وبـلاء مخـرجــــــــــــــــــــــــــــا
وا كـمـد بـنـا را لـغـيـظ وا لـخـســـرا ن كل عـد وومـفـتـروجــــــــــــــــــــــــــــا ن
وا جعـل لـنـا من لـطـفـــــــــك ا لـخـفـى حجا ب سـتـرشـا مـل ســـــــــــــــــــــــنى
يا حى يا قـيـوم يا قـهـــــــــــــــــــــــا ر عـلى يا عـظـيـم يا جـبــــــــــــــــــــــــــا ر
يا رب وا حـفـظـنـا إ لى ا لـمـمــــــــا ت من فـتـن ا لـزمـا ن وا لا فــــــــــــــــــــا ت
وا خـتـم لـنـا يا رب بالإ يـمـــــــــــــا ن وخـصـنـا بـا لـفـوز با لـجـنـــــــــــــــــــا ن
يا بـريا كــــــــــــــــريـم يا وصــــــــول يا من لـنـا إ حـســــــــــا نـه مـبـــــــــذ ول
( يا رب وا غـفـر للـعـبـيـد ا لـجـــــا نى محـمـد ا لـشـهـيـر بـا لـســـــــــــــــــــما ن
ووا لـد ـيـه وكـذا الا شـيــــــــــــــــــاخ وكل من أ ضـحى لـه مـــــــــــــــــــــواخى
ومن لـه فى سـلـكـه قـد ا نـتـظـــــــــــم بـحـق من فـيـك لـه ا ضـحى لـه قــــــــد م
ثـم ا لـصـلا ة وا لـسـلا م ا بــــــــــــدا عـلى ا لـنـبى ا لـهأ شـمى ا حـمــــــــــــدا
والا ل والا صـحـــــــا ب والا تـبــــاع وكل صـب لـحـمــــــــــــــــــــــــــــا ك داع
Ketika membaca Tawassulāt Samaniyyah tersebut sudah sampai pada bait (محـمـد ا لـشـهـيـربا لـسـمـا ن) , pembaca kemudian memanggil, ‘Ya, Syekh al-Sammān” sebanyak tiga kali. Dengan demikian, diharapkan akan dikabulkan permohonannya kepada Allah, baik terhindar dari bencana yang akan menimpa dirinya atau memperoleh apa yang didambakannya.20
Selain itu, kalau menurut versi al-Palembani, setiap kali mengucapkan lafalلا إ لـه إلا ا للـه , ia harus menggerak-gerakkan kepalanya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas dengan disertai menghadirkan di hatinya makna lafal tahlīl itu, yaitu tidak ada yang disembah, kecuali Allah; tidak ada yang diminta, kecuali Allah; dan tidak ada yang mawjud, kecuali Allah, dalam tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan, tidak ada keharusan tersebut.
Selanjutnya, di dalam kitabnya, Hidāyat al-Sālikīn, al-Palembani juga telah menjelaskan tiga macam cara (kafiyat) berzikir yang dikemukakan oleh Syekh al-Sammān. Ketiga cara itu adalah:
Pertama, orang duduk menghadap kiblat seperti duduknya orang ketika melaksanakan salat, dan menaikkan ucapan لا إ لـه dari atas pusat dengan niat menafikan semua yang selain Allah dari dalam hatinya dan mengucapkan إلا ا للـه dengan niat menyampaikannya ke dalam hati sanubari sambil menggelengkan kepalanya ke sebelah kiri dengan disertai mengingat maknanya.
Kedua, ia duduk seperti tersebut dalam cara yang pertama di atas dengan mengingat kebesaran Allah yang disebutnya dan tenggelam dalam keagungan-(jalāl)-Nya, serta lenyap dalam keindahan (jamāl)-Nya. Ketika mulai berzikir, ia memandang syekhnya dan memulainya dari tangannya yang sebelah kiri sambil menundukkan kepala dan mengingat kehinaan diri dan ketergantungannya kepada Allah. Selanjutnya, ia mengucapkan lafal لا dengan menariknya dari lutut kiri ke lutut kanan, kemudian menaikkannya ke bahu kanan, kemudian sambil meng-angkat kepalanya, ia mengucapkan lafal إلا ا للـه dan memukulkannya dengan keras ke dalam hatinya. Ketika mulai berzikir, pada lutut kirinya dihadirkannya makna لا معـبـود إلا ا للـه (tidak ada yang disembah, kecuali Allah), pada lutut kanannya dihadirkannya makna لا مقـصود إلا ا للـه (tidak ada yang dimaksud, kecuali Allah), pada bahu kanannya dihadirkannya makna لا مـوجـود إلا ا للـه (tidak ada yang mawjud, kecuali Allah), dan pada hatinya dihadirkannya makna لا مطلـوب إلا ا للـه (tidak ada yang dicari, kecuali Allah).
Ketiga, untuk kesempurnaan zikirnya, ia melanjutkannya dengan meng-ucapkan هـوإلا ا للـه sambil menahan nafasnya untuk menantikan al-faidl al-ilāhī (limpahan ketuhanan), yaitu kegunaan zikir yang datang dari Tuhan, yaitu nūr yang dilimpahkan Tuhan ke dalam hatinya, yang dengan nūr itu ia memperoleh makrifat kepada-Nya secara meyakinkan, memperoleh semua sifat yang terpuji, memperoleh berbagai rahasia yang mengagumkan, dll. Hal itu tidak akan dicapai oleh orang-orang yang melakukan mujāhadah dan riyādlah selama 30 tahun lebih.21
Dalam tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan, cara berzikir yang diikuti cukup mudah dan sederhana, tidak seperti yang telah disebutkan oleh al-Palembani.di atas. Namun, baik menurut versi al-Palembani maupun menurut tarekat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan, orang yang telah menyelesaikan zikirnya sama-sama mengharapkan sesuatu dari Allah, yang menurut versi al-Palembani disebut wārid al-żikr dan menurut versi Kalimantan Selatan disebut imdād. Namun, untuk menunggu kedatangan imdād tersebut, yang bersangkutan tidak disebut-sebut harus menahan nafas dan menahan diri dari minum air seperti yang disebutkan oleh al-Palembani. Demikian pula, yang dimaksud dengan imdād tersebut adalah semacam futūh, yaitu terbukanya hijāb bagi yang telah memperolehnya, namun tidak pernah disebut-sebut bahwa perolehan itu juga bisa berupa syathahāt, yaitu ucapan-ucapan lisan yang muncul di luar kehendak orang yang berzikir sebagaimana yang disebutkan oleh al-Palembani. 22
Hal yang juga perlu dikemukakan di sini adalah di dalam tarekat Sammaniyyah menurut versi al-Palembani, setiap salik harus melakukan empat kewajiban: (1) mengurangi makan, karena dengan cara itu dapat membuka hati untuk “melihat Allah”, (2) mengurangi tidur pada malam hari untuk melaksana-kan ibadah, karena hal itu akan dapat membersihkan dan menerangi hatinya, (3) membiasakan diam daripada berbicara yang sia-sia, karena diam itu akan mewarisi makrifah, (4) membiasakan duduk di dalam berkhalwat dan menjauhkan diri dari bergaul dengan orang banyak Bagi orang yang sudah ‘arif billah, berkhalawat itu dapat saja dilakukannya dengan hatinya meski fisiknya berada di tengah-tengah orang banyak, bagi seorang murid, hal itu harus dilakukan dengan mengasingkan diri di sebuah tempat yang terpisah dan harus mengikuti cara tertentu agar hatinya semata-mata hadir di hadirat Allah SWT.23
Tempat khalwat harus jauh dari keramaian, tertutup, tidak dimasuki sinar, dan ukurannya hanya setinggi orang yang berkhalwat, panjangnya hanya sekedar cukup untuk melaksanakan salat, dan lebarnya cukup untuk ia duduk. Masa berkhalwat itu sekurang-kurangnya tiga hari dan sebanyak-banyaknya tidak ada batasnya. Meskipun selama berkhalwat itu boleh keluar untuk salat berjamaah, asal fisiknya tidak terkena angin dan hatinya tidak ria, karena orang telah mengetahui bahwa ia sedang berkhalwat, ia boleh meninggalkan kewajiban salat Jumat. Alasannya, karena (1) orang yang sedang berkhalwat sama dengan orang yang sedang sakit dan (2) salat Jumat itu bukan fardlu ain, melainkan fardlu kifayah.24
Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh al-Palembani di atas, para pengikut tarekat Samaniyyah di Kalimantan Selatan tidak diwajibkan mela-kukan empat hal tersebut secara berlebihan, terutama dalam melakukan khalwat itu harus di tempat yang sempit dan gelap. Begitu pula, tidak pernah diperoleh informasi bahwa orang yang melakukan khalwat menurut tarekat Sammaniyyah Kalimantan Selatan, boleh meninggalkan salat Jumat.
Di amping melakukan zikir dan khalwat, menurut al-Palembani, salik juga harus melakukan rātib setelah salat ‘Isya pada setiap malam Jumat. Rātib yang dikenal dengan rātib Samman ini adalah sebagai berikut:
Rātib tersebut dimulai dengan membaca surat al-Muluk, kemudian surat al-Fātihah (28 kali), surat al-Ikhlāsh (100 kali), ayat 127 dan 128 surat al-Taubah, يـا لـطـيـف (129 kali), ayat 19 surat al-Syūrā (20 kali), ا للـهـم يا لـطـيـفـا بـخـلـقـه يا عـلـيـما بـخـلـقـه يا خـيـرا بخـلـقـه إ لـطـف بـنـا يا لـطـيـف يا عـلى يا خـبـيـر (sebanyak tiga kali), يا حى يا قـيـوم (100 kali). Setelah dilanjutkan dengan membaca surat al-Dhuhā sampai dengan surat al-Lahab. Selanjutnya, dibaca lagi surat al-Ikhlāsh (tiga kali), surat al-Falaq, surat al-Nās, ayat 1-7 surat al-Baqarah, kemudian disudahi dengan membaca asmā al-husnā (nama-nama Allah yang terbaik). Terakhir dibaca syair-syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya, kemudian ditutup dengan doa-doa.25
Dari informasi pengikut tarekat Samaniyyah yang diajarkan di Kalimantan Selatan, tidak dijumpai keharusan kepada setiap pengikut tarekat membaca ratib Samman tersebut. Namun sebagai gantinya, kepada setiap pengikut tarekat, bahkan siapa saja dianjurkan membaca wirid harian berikut ini: (1) membaca surat al-Fatihah 100 kali, (2) surat al-Kawtsar 100 kali, (3) لا إ لـه إلا ا للـه ا لـمـلـك ا لـحـق ا لـمـبـيـن 100 kali, (4) ا للهم صـل وسـلم وبا رك عـلى سـيـد نا محـمـد عـبـد ك ونـبـيـك وحـبـيـبـك ورسـولـك ا لـنـبى الأ مى وعـلى ا لـه وصـمـبـه وسـلـمsebanyak 100 kali. Selain itu perlu pula dibaca setiap hari sesudah salat subuh secara bertuurut-turut dua kali, doa yang isinya sebagai berikut, 26
اللهـم ا غـفـرلا مـة سـيـد نا محـمـد ا للـهـم ا رحـــم ا مـة سـيـد نا محـمـد ا للـهـم ا مـة سـيـد نا محـمــــــد ا لـلـهـم ا جـبـرا مـة سـيـد نا محـمـد
Demikianlah, antara lain perkembangan tarekat Samaniyyah yang terdapat di Kalimantan Selatan. Meskipun terdapat perbedaan dengan tarekat Samaniyyah yang dipaparkan oleh al-Palembani, perbedaan tersebut tidak sampai saling menafikan antara kedua versi tersebut.
III. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi PerkembanganTarekat Sammāniyyah di Kalimantan Selatan
Majunya perkembangan tarekat Samaniyyah di Kalimantan Selatan seperti yang dapat disaksikan sekarang ini disebabkan oleh beberapa faktor:
Pertama, adanya semacam janji keuntungan luar biasa yang bakal diterima oleh orang yang mengamalkan tarekat Sammaniyyah. Janji tersebut, antara lain menegaskan bahwa apabila zikir tarekat Sammaniyyah diamalkan pada waktu pagi dan sore, insya Allah ia akan diberi-Nya ilmu makrifat, diluaskan-Nya rezeki yang halal, dan dimasukkan-Nya ke dalam kelompok wali quthub. Di samping itu, Tuan Guru K. H. Zaini Abdul Ghani juga pernah menegaskan bahwa barangsiapa yang mengamalkan tarekat Sammaniyyah, insya Allah apabila nanti ruhnya dicabut, ia akan merasakan kenikmatan yang melebihi kenikmatan keluarnya sperma.27
Syekh Sammān sendiri pernah menyatakan,“Barangsiapa masuk ke dalam tarikat kami, Allah akan mengayakannya di dunia dan di akhirat” dan “Barangsiapa mengambil tarekat dariku, tidak dapat tidak ia akan dicurahi berbagai ‘ināyat (pertolongan) dari Allah, mati dalam keadaan husn al-khātimah, dan menjadi salah seorang dari ahl al-sa’ādah (orang-orang yang memperoleh kebahagian”. Menurut Syekh Musthafa al-Bakri, Syekh kita (Syekh al-Samman al-Madani) telah memberitahukan kepadanya bahwa Syekh telah mengikat perjanjian dengan Allah agar tidak menenggelamkan kapal yang di dalamnya itu terdapat seseorang dari ahli silsilahnya dan tidak mengurangi dunia (rezeki) nya dari mereka.
Janji lain yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mengikuti tarikat Sammaniyyah adalah jaminan dari pendirinya untuk memperoleh perlindungannya di dunia dan memperoleh syafaatnya di akhirat kelak. Tepatnya jaminan tersebut berbunyi sebagai berikut:
من أ خـذ طـريـقـتى با لـصـد ق فـهـو فى ا لـد نـيـا فى حـما يـتى وفى الأ خـرة فى شـفـيعـتى
Janji-janji semacam itu tentu saja dapat melahirkan motivasi dan mem-bangkitkan semangat sementara orang untuk mengamalkan tarekat Sammaniyyah, setidak-tidaknya untuk mengikutinya.
Kedua, pelaksanaan terekat Samaniyyah yang diikuti di Kalimantan Selatan sekarang ini lebih mudah dan lebih sederhana daripada pelaksanaan tarekat Samaniyyah menurut versi al-Palembani. Siapa pun di dunia ini lebih senang mengikuti dan mengamalkan amalan-amalan yang lebih mudah dilak-sanakan daripada mengikuti dan mengamalkan amalan-amalan yang lebih sulit, apalagi hasil yang diperoleh dari kedua macam amalan itu tidak berbeda Di samping itu, untuk memperoleh ijazah tarekat tersebut dari Tuan Guru H. Zaini Abdul Ghani sangat mudah, terlebih pada masa-masa yang lalu. Asal datang saja mengikuti pengajian beliau, akan memperoleh ijazah tersebut secara massal, sebab pada masa-masa yang lalu, setiap kali pengajian, beliau selalu memberikan ijazah tarekat Sammaniyyah. Mengenai apakah mereka yang telah menerima ijazah tersebut sudah atau masih tetap mengamalkan tarekat Sammaniyyah dengan rajin dan disiplin masih memerlukan penelitian, namun yang jelas mereka masih tetap mengikuti tarekat tersebut.
Ketiga, semakin memasyarakatnya pembacaan manakib (manaqib) Syekh Samman. Membaca manakib pendiri tarekat Sammaniyyah itu sebenarnya tidak termasuk bagian dari pengamalan tarekat tersebut. Namun, dengan seringnya orang membacanya dan sudah memasyarakatnya pembacaannya telah pula menambah kekaguman sementara orang terhadap tokoh tersebut dan selanjutnya akan menambah pula semangat mereka untuk mengikuti dan mengamalkan tarekatnya. Dalam manakib tersebut dipaparkan berbagai keramat beliau. Keramat yang paling luar biasa dari beliau adalah kekeramatan dan sekaligus janji beliau untuk melindungi orang lain dari segala bahaya apabila orang-orang yang ditimpa bahaya itu memanggil nama beliau sebanyak tiga kali, “Ya Samman,Ya Samman, Ya Samman” . Kekeramatan yang dapat melindungi orang lain dari segala bahaya tersebut --sepengetahuan penulis—tidak pernah dimiliki oleh para wali yang lain. Meskipun demikian, tidak sedikit orang yang mempercayainya. Adanya kepercayaan tersebut, tentu saja ikut mendasari orang-orang untuk mengikuti dan mengamalkan tarekat yang diajarkan oleh tokoh supranatural itu. Apalagi kedudukan beliau di tengah para wali sudah sampai pada peringkat puncak, yaitu quthub al-awliya (pemimpin para wali).
Keempat, dan ini adalah faktor yang paling dominan dan menentukan, yaitu figur Tuan Guru K.H.Zaini Abdul Ghani yang telah berhasil menyebarkan dan mengembangkan tarekat Samaniyyah kepada masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya kepada para murid dan peserta pengajian al-Rawdlah yang beliau pimpin, yang jumlahnya ribuan dan datang dari berbagai pelosok pulau Kalimantan. Menurut hemat penulis, jika yang menyebarkan dan mengembangkan tarekat tersebut bukan beliau, perkembangannya tidak seperti sekarang ini. Namun, berkat figur beliau yang memiliki karismatik yang luas biasa, apa saja yang beliau katakan selalu diikuti orang, terlebih oleh para murid beliau. Betapa besarnya pengaruh beliau di masyarakat Islam Kalimantan Selatan, dapat diketahui sikap masyarakat terhadap beliau jika dibandingkan dengan sikap mereka terhadap para ulama lain. Dalam salah satu kesempatan, penulis pernah mendengar pernyataan seseorang bahwa jika ada perbedaan pendapat antara seribu orang ulama di Kalimantan Selatan ini dengan Tuan Guru K.H.Zaini Abdul Ghani, ia akan memilih pendapat Tuan Guru itu. Begitu pula seseorang pernah memberi ceramah dalam sebuah acara peringatan Maulid Nabi, dan di antara isi ceramahnya itu mengatakan, siapa saja orang itu, apakah Lc, Drs, Doktor, atau Profesor, kalau belum pernah mengaji pada beliau, belum dapat dikatakan apa-apa.
IV. Yang Masih Kontroversi dalam Pelaksanaan Tarekat Sammāniyyah di Kalimantan Selatan
Dari pengamatan penulis terhadap pelaksanaan tarekat Sammaniyyah tersebut, tidak ada yang perlu dipermasalahkan, karena pada dasarnya tidak ada yang bertentangan dari ajaran Islam yang disepakati oleh kaum Muslim. Meskipun demikian, yang masih menimbulkan kontroversi adanya ajaran tawassul yang memanggil-manggil nama Syekh al-Sammān, “Ya Sammān, Ya Sammān, Ya Sammān. Kalau kita membaca Alquran dan hadits-hadits sahih dan yang marfu’ kepada Rasulullah SAW, kepada kita diajarkan bahwa dalam berdoa agar langsung kepada Allah. Misalnya, dalam surat al-Fatihah, ayat 5 إ يا ك نـعـبـــــــد وإ يا ك نـسـتـعـيـن (Hanya kepada Engkau Kami menyembah dan hanya kepada Engkau Kami memohon pertolongan).
Kalau pun kita mau bertawassul juga, bertawassullah dengan amal saleh kita sendiri seperti yang pernah diceriterakan dalam riwayat tentang tiga orang yang terkurung dalam goa yang terkenal itu.
Di dalam Alquran memang terdapat firman Allah di surat al-Maidah, ayat 35, yang menyuruh kita mencari Wasīlah kepada Allah.
يا ا يـهـا ا لـذ يـن أ مـنـوا ا تـقـوا ا للـه وا بـتـغـوا إ لـيـه ا لـوسـيـلـة وجا هـد وا فى سـبـيـل ا للـه لـعـلـكـم تـفـلـحـون
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan mendekatkan diri) kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya agar kamu mendapat keberuntungan”.
Namun, yang dimaksud dengan al-wasīlah pada ayat tersebut, bukanlah dalam memohon kepada Allah kita berwasilah kepada para wali dengan cara menyebut namanya secara langsung, tanpa menyebut nama Allah. Menurut Imam Nawawi dalam tafsirnya, Marah Labīd, yang dimaksud dengan al-wasīlah pada ayat tersebut adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan فـعـل ا لـما مـورا ت (melakukan apa yang diperintahkan-Nya,26 bukan dengan memanggil nama-nama wali seperti yang dipercayai sementara orang. Sejalan dengan penafsiran Nawawi di atas, al-Shabuni menafsirkan lafal al-wasīlah pada ayat yang sama dengan ما يـقـربـكـم إ لـيـه من طـا عـتـه وعـبـا د تـه (yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya dengan cara taat dan beribadah kepada-Nya).27 Qatadah, seorang pakar tafsir dari kalangan tabi’in juga menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan carilah al-wasīlah tersebut adalah تـقـربـوا إ لى ا للـه بـطـاعـتـه وا لـعــمـل بــمـا يـرضـيـه (mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan mematuhi-Nya dan melakukan apa saja yang diredai-Nya).28
Berdasarkan pada beberapa firman Allah dan hadits-hadits Rasuulullah SAW, maka para ulama menolak sikap sementara orang yang berdoa tidak mengalamatkan langsung kepada Allah, tetapi hanya kepada Syekh ikutannya. Sebab, cara seperti itu dapat membawa orang kepada kemusyrikan sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang musyrik Arab29. Orang-orang musyrik mengakui keberadaan Allah sebagai Pencipta dan pengatur alam semesta ini. Mereka menyembah dan memohon kepada berhala-hala, hanya sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Hal itu dijelaskan Allah di surat al-Zumar, ayat 3,
الا للـه ا لـد يـن ا لـخا لـص وا لـذ يـن ا تـخـذ وا مـن د ونـه ا ولـيـاء ما نـعـبـدهم إلا لـيـقـربـنــــــــا إ لى ا للـه زلـفى إ ن ا للـه يحـكـم بـيـنهـم فى ماهـم فـيـه يـخـتـلـفـون إ ن ا للـه لا يـهـدى من هـوكا ذ ب كـفـا ر
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orag yang mengambil pelindung selain Dia (berkata),”Kami tidak menyembah mereka (termasuk dalam hal ini berdoa), kecuali agar mereka mendekatkan kami kepada Allah sedekat-sekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan padanya. Sesungguhnya Allah tidak akan menunjuki orang-orang yang pendusta lagi ingkar.
Di samping pendapat yang menolak, ada pula pendapat yang mentolerer tawassul dengan cara yang dilakukan oleh para pengikut tarekat Samaniyyah, asalkan yang melakukannya tetap menganggap bahwa yang memberi pengaruh dan menetukan adalah Allah. Berkenaan dengan hal itu al-Sayyid Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Husain ibn Umar dalam kitabnya, Bughyat al-Mustarsyidīn mengatakan, 30
وقـول ا لـشـخـص ا لـمـومـن يا فـلا ن عـنـد وقـوعـه فى شـدة دا خـل فى ا لـتـوســـــــــل با لـمـد عـو إ لى ا للـه تـعـا لى وصـرف ا لـنـداء إ لـيـه مـجا زلا حـقـيـقـة وا لـمعــنى يا فـلا ن ا تـوسـل بـك إ لى ربى أ ن يـقـيـل عـثـرتى أ و بـرد غـا ئـبى مـثـلا فـا لمـسـؤول فى ا لـحـقـيـقـة هـو ا للـه تـعـا لى وإ نـمــــــــــــــــــا ا طـلــــــــــق الأ سـتـعـا نـة با لـنـبـى ا وا لـولى مـجـا زا وا لعـلا قـة بـيـنـهـما ا ن قـصـد ا لـشـخــــــــص ا لـتـوسـل بـنـحــوا لـنـبى صا ر كا لـسـبـب وإ طلا قه عـلى ا لـمـسـبـب جـا ئـز شـرعـا وعـرفــــا وا رد فى ا لـقـرأ ن وا لـسـنـة كـما هـو مـقـررفىعـلـم ا لـمعـا نى وا لـبـيـا ن نعـم يـنـبـغى تــنـبـيـه ا لـعـــــوا م عـلى ا لـفـا ظ تـصـد رمنـهـم تـد ل عـلى ا لـقـدح فى تـوحـيـد هـم فـيـجـب إ رشـا د هـم وإ عـلا مـهــــــم با ن لا نا فـع ولا ضـا ر إلا ا للـه تـعـا لى لا يـمـلـك غـيـره لـنـفـسـه ضـرا ولا نـفـعـا إلا بإ را دة ا للـه قا ل ا للـه تـعـا لى لـنـبـيـه عـلـيـه ا لـصـلاة وا لـسـلا م قـل إ نى لا أ مـلـك لـكـم ضـرا ولا رشـدا
Perkataan orang yang beriman, “Ya Pulan” ketika jatuh dalam kesusahan termasuk tawassul dengan berdoa kepada Allah, sedangkan mengarahkan pang-gilan kepadanya adalah sebagai majaz, bukan hakiki. Maksudnya adalah hai Pulan, aku bertawassul dengan Anda kepada Tuhanku agar membangkitkan aku dari kejatuhanku atau mengembalikan orang yang hilang kepadaku misalnya. Karena itu, yang dimohon pada hakikatnya adalah Allah, namun bunyi permohonannya adalah kepada nabi atau wali sebagai majaz. Hubungan antara keduanya adalah maksud seseorang bertawassul dengan nabi seperti sebab, sedangkan ucapannya adalah musabbab, boleh menurut syara’ dan ‘uruf. Karena hal itu, terdapat di dalam Alquran dan al-sunnah sebagaimana yang disebutkan dalam Ilmu Ma’ani dan Bayan. Memang, seyogyanya orang-orang awan harus diperingatkan agar ucapan-ucapan mereka tidak mengarah kepada pencemaran tauhid mereka. Karena itu, wajib kita membimbing dan memberitahukan kepada mereka bahwa hanya Allah yang memberi manfaat dan mudarat. Tidak ada seorang pun selain Allah yang memiliki kmampuan memberi manfaat dan mudarat kepada dirinya, kecuali dengan kehendak Allah. Firman Allah kepada Rasulullah-Nya SAW, “Katakanlah, sesung-guhnya aku tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan kemudaratan kepadamu dan kemanfaatan kepadamu”
Dengan adanya dua pendapat tersebut, maka sebaiknya bagi siapa saja yang ingin bertawassul, seyogyanya berkata, “Ya Allah dengan berkat Syekh Saman, tolonglah aku” Dengan demikian, tidak akan dikuatirkan lagi hal-hal yang dapat mencemarkan ketauhidannya.
Menurut hemat penulis, Syekh Samman menganjurkan kepada para pengikutnya agar memanggilnya untuk melepaskan diri dari segala bahaya yang menimpa mereka, bukan kepada Allah SWT secara langsung ada hubungannya konsep insān kāmil dalam ajaran Wihdat al-Wujud Ibn ‘Arabi yang dianutnya. Sebab sebagaimana diketahui bahwa insān kāmil adalah mazhhar (penampakan lahir} atau tajalli Allah yang paling sempurna, yang mendapat perwujudan dalam rupa para nabi dan para wali yang telah mencapai tingkat kewalian yang tertinggi. Syekh Samman sendiri mengakui bahwa dirinya adalah quthub awliyā' (pemimpin para wali) yang kedudukannya hanya setingkat di bawah Nabi Muhammad SAW dan di atas para nabi yang lain. Sesuai dengan konsep pahamnya itu, maka yang dimaksud agar orang dengan memanggil dirinya ya Saman, ya Samman, ya Samman apabila sedang menghadapi malapetaka, bukan memanggil dirinya pribadi, melainkan Allah yang merupakan perwujudan insan kamil dan sekaligus sebagai tajalli-Nya..Karena kalau tidak demikian, anjurannya itu bertentangan kalimah لا إ لـه إلا ا للـه yang menurutnya sendiri mengandung pengertian , لا مـعـبـود إلا ا للـه , لا مـقـصـود إلا ا للـه لا مـوجـود إلا ا للـه
V. Penutup
Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perkembangan terakat Sammaniyyah di Kalimantan Selatan belum pernah semaju seperti sekarang ini. Faktor dominan yang menyebabkan hal itu adalah berkat jasa Tuan Guru K.H. Zaini Abdul Ghani, seorang ulama krismatik. Untuk menghindari hal-hal yang bisa merusak ketauhidan dan keimanan orang yang mengamalkan tawassulat Samaniyyah atau berdoa kepada Allah, seharusya tidak langsung menyebut ya Saman, ya Saman, ya Saman, tolonglah aku, tetapi ya Allah, berkat Kemulian Syekh Saman tolonglah aku”.
Ass.Wr.Wb. mohon seandainya punya manakib Syech Saman bisa dikirimkan kepada saya, saya sendiri ihwan tarekat sammaniah, dapat di mailkan ke mangjantara@gmail.com .terimakasih sebelumnya.Wss
ReplyDeletebang bisa tidak diemail ke ulun artikel diatas
ReplyDeleteemail ulun noorfuadi@yahoo.co.id
adakah mursyid thariqah khalwatiyyah samman yg anda tahu selain yg berdomisili di jambi?????
ReplyDeletesaya butuh info dari saudara saudara sekalian, karena saya adalah salah satu khalifah thariqah khalwatiyyah samman. dan guru saya di jambi. kira nya ada yg berkenan memberi info agar silaturrahmi sesama jamaah thariqah khalwatiyyah samman dapat terjalin.
amanna wa shodaqta ya samman...
ReplyDeleteasw.setelah saya baca tulisan ihkwan tentang tarikat saman ,ternyata banyak pengikut tarikat saman,pikirku hanya ada di sum ut dan sum bar saja ,salam takzim dr saya pengikut trkt samaniyah murid buya syeikh muda ahmad arifin medan iismail658@yahoo.co.id
ReplyDelete