Puasa
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadis bahwa dengan puasa kita belajar mengendalikan hawa nafsu serta mengendalikan setan.
Pada waktu puasa, kita membelenggu setan, membuka pintu surga dan menutup pintu neraka. Kita belajar menahan setan supaya tak masuk ke dalam tubuh kita. Salah satu pintu masuk setan ke dalam tubuh kita adalah melalui makan dan minum. Kita tutup pintu-pintu itu pada waktu siang hari. Kita melemahkan setan; membuatnya tak berdaya. Puasa adalah latihan mengendalikan hawa nafsu.
Menurut Kang Jalal, di bulan Ramadhan sebenarnya kita dilatih untuk mengembangkan kepribadian kita. Kita meninggalkan tingkat oral, anal, dan genital untuk mi’raj ke tingkat ruhaniah yang lebih tinggi. Pada siang hari dibulan Ramadhan, kita dilatih untuk meninggalkan masa kanak-kanak kita. Periode oral kita dikekang dengan tidak makan dan tidak minum. Dalam sehari seolah kita harus di "tahan" dan di "krangkeng" untuk makan dan minum, bahkan untuk mendekatpun kita dilarang. Selanjutnya kita pun mencoba untuk meninggalkan tahap genital dengan mengendalikan nafsu seks kita. Pada bulan ramadhan kita belajar untuk menjadi dewasa. Di bulan ini, kita berusaha untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah kita. Kita berusaha meninggalkan pada tubuh kita dan mulai memeprhatikan ruh kita. Kita adalah gabungan antara ruh dan tubuh; tapi dalam kenyataan sehari-hari kita terikat sekali dengan tubuh kita.
Keterikatakan dengan tubuh ini mengakibatkan kehidupan kita hampa. Karena setiap saat kita sibukkan untuk memenuhi kebutuhan fisik. Sangat jarang terpikir dalam diri untuk memenuhi kebutuhan ruhaniah kita. Padahal kalau diresapi secara mendalam, kekuatan fisik akan dikalahkan dengan kekuatan psikis. Sebenarnya, jiwa kita akan mematahkan apa saja yang digandrungi oleh tubuh. Kalau kita mampu menempatkan jiwa dengan demikian, maka mennaglah jiwa kita. Kita tidak akan risisaukan dengan berbagai stribut dunia yang hampa. Namun kalau jiwa kita dikalahkan oleh kebutuhan fisik, maka jangan salahkan kalau setiap hari, bahkan setiap saat dalam kehidupan ini hanya dihantui dengan berbagai atribut yang dunia yang bisu.. Yang hanya menyengsarakan kehidupan sehari-hari kita tanpa makna yang berarti.
Untuk mengembalikan esensi jiwa tersebut, manusia harus kembali berkhidmat kepada Tuhannya. Bukan berarti berkhidmat dengan Tuhan harus meninggalkan kehidupan dunia, sehingga manusia terkesan aksetis tanpa mau memperdulikan sesama. Namun dalam berkhidmat dengan Tuhan, bagi Kang Jalal, adalah bagaimana manusia mampu mengabdikan dirinya kepada manusia dengan baik. Dengan gayanya yang menyejukkan, Kang Jalal dalam buku ini menceritakan kegelisahan seorang ibu yang setiap temannya beribadah dia tidak mampu menjalanka ibadah. Dia mengadu sang ustadz, bahwa dia tidak mampu berkhidmat kepada Tuhan, karena setiap menjelang buka dan sahur dia harus mempersipakan makanan dan hidangan kepada manusia lain yang sedang kekuarangan, kelaparan dan himpitan tragis lainnya. Begitu susahnya ibu tersebut, sampai dia menangis dengan begitu luar biasa, bahkan sampai meluluhkan hati sang ustadz. Dengan nadanya yang khas, sang ustadz mengatkan bahwa dengan berkhidmat pada manusia itulah sebenarnya esensi puasa yang telah ibu lakukan. Sang ustadz mencontohkan bagimana Nabi Musa ketika ditanya Allah bahwa ibadah-ibadahnya yang dilakukan selama ini ternyata tidak pernah diberikan kepada Allah. Nabi Musa kemudian meminta petunjuk Allah tentang apa ibadah yang dapat dilakukannya untuk berkhimat kepada-Nya. Allah menjawab agar Musa sering melayani umat manusia. Itulah yag akan mengantarkannya berkhidmat sepenuh hati kepada Tuhan.
###
Di dalam tarekat, puasa adalah upaya mengendalikan diri kita secara lahiriah dan secara batiniah. Secara lahiriah, kita mengendalikan diri dengan mempuasakan seluruh panca indera kita. Dalam ilmu kebatinan, ketika melakukan semedi, pelaku harus menutup tujuh pintu masuk setan. Tujuh pintu itu adalah tujuh lubang dalam tubuh kita. Di antaranya mata, telinga, mulut, dan hidung. Dengan cara itu, kita dapat masuk ke dalam alam kesucian.
Secara lahiriah, puasa yang pertama di dalam tarekat adalah puasa menutup mulut kita atau puasa bicara. Puasa bicara bukan berarti meninggalkan pembicaraan yang kotor atau menggunjing orang lain. Dalam hadis Shahih Bukhari, Rasulullah saw bersabda, "Tidak dihitung mukmin, orang yang suka melaknat orang lain, suka menyakiti hati orang lain, atau berkata kotor." Ketika kita tak berpuasa pun, hal itu tidak boleh dilakukan, apalagi ketika kita sedang berpuasa. Yang dimaksud dengan puasa bicara adalah setelah meninggalkan pembicaraan tersebut di atas, kita menambah atau memperlebar puasa bicara kita dengan tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu. Kita tidak berbicara yang tidak berguna. Ciri mukmin yang sejati adalah menghindarkan pembicaraan yang tidak ada manfaatnya.
Yang dimaksud dengan manfaat di dalam hal ini adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. Perkataan yang tidak membawa kita dekat kepada Allah swt adalah perkataan yang tidak bermanfaat. Hentikanlah perkataan seperti itu di dalam bulan puasa. Sebaiknya kita gantikan obrolan kita dengan memperbanyak dzikrullah, zikir kepada Allah swt.
Mengobrol tanpa menggunjingkan atau menyakiti orang lain memang diperbolehkan dalam agama. Tidak ada salahnya dalam hal itu. Tapi alangkah lebih baiknya bila waktu mengobrol itu kita ganti dengan berzikir kepada Allah.
Kita mengurangi suara mulut kita. Jika mulut kita terlalu banyak bicara, kita takkan sanggup lagi mendengarkan suara hati nurani kita. Siti Maryam as dalam Al-Quran dikisahkan pernah berpuasa tidak bicara. Ketika Maryam hilang dari kampung halamannya dan kembali setelah sekian lama dengan seorang bayi, orang-orang bertanya, "Hai saudara perempuan Harun, kau pulang dengan sesuatu yang aneh. Padahal kami mengenal engkau bukan sebagai perempuan nakal, melainkan perempuan saleh. Mengapa tiba-tiba kau pulang membawa anak?"(QS. Maryam: 28) Siti Maryam as diperintahkan Allah untuk puasa bicara. Ia disuruh untuk tidak menanggapi tuduhan yang macam-macam itu. Maryam hanya menjawab, "Aku sudah bernadzar kepada Allah yang Mahakasih bahwa hari ini aku tidak akan berbicara kepada seorang manusia pun." Maryam berjanji kepada Allah untuk berpuasa bicara. Karena Maryam puasa bicara, maka ia mampu mendengar suara bayi dalam kandungannya. Waktu itu juga, ketika Maryam membawa anak kecil, bayi itulah yang menjawab hujatan orang-orang. Bayi itu menjawab, "Salam bagiku ketika aku dilahirkan ketika aku mati dan pada waktu aku dibangkitkan nanti."(QS. Maryam: 33)
Menurut Sayyid Haidar Amuli, bila kita terlalu banyak bicara, kita takkan mampu untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib yang datang kepada kita. Kita juga menjadi tak sanggup mendengar kata-kata hati nurani kita. Suara mulut kita terlalu riuh sehingga isyarat-isyarat dari alam malakut (alam ruh) tak terdengar oleh batin kita. Kita terlalu banyak mendengarkan suara kita sendiri.
Puasa bicara diajarkan di dalam Al-Quran khusus kepada orang-orang saleh yang tidak hanya menjalankan syariat saja tetapi juga ingin memperindah syariatnya dengan usaha lebih lanjut. Puasa tarekat tidak berarti meninggalkan puasa syariat. Puasa tarekat adalah memperindah puasa syariat; menghiasnya agar lebih bagus.
Ketika kita berpuasa, setelah kita meninggalkan kata-kata kotor dan menyinggung perasaan orang, kita juga meninggalkan kata-kata yang biasa-biasa. Hanya supaya pembicaraan kita tidak mengambil alih zikir yang seharusnya kita lakukan di bulan Puasa. Nabi Zakaria as, ketika diberitahu bahwa ia akan mempunyai anak yang bernama Yahya, merasa amat bahagia karena dalam usianya yang amat tua, ia belum juga dikaruniai seorang putra. Zakaria as sering berdoa, "Tuhanku, sudah rapuh tulang-tulangku, sudah penuh kepalaku dengan uban, tapi aku tak putus asa berdoa kepada-Mu." (QS. Maryam: 4) Satu saat, Tuhan menjawab, "Aku akan memberi kepadamu seorang anak." (QS. Maryam: 7) Zakaria as hampir tidak percaya, "Bagaimana mungkin aku punya anak, ya Allah. Padahal istriku mandul dan aku pun sudah tua renta." (QS. Maryam: 8) Lalu Tuhan menjawab, "Hal itu mudah bagi Allah. Bukankah kamu pun asalnya tiada lalu Aku ciptakan kamu." (QS. Maryam: 9) Zakaria masih penasaran dan ia minta kepada Allah, "Apa tandanya, ya Allah?" Tuhan menjawab, "Tandanya ialah kau harus puasa bicara. Kau tidak boleh berkata kepada seorang manusia pun selama tiga hari berturut-turut." (QS. Maryam: 10)
Zakaria as diperintahkan Tuhan untuk mensyukuri nikmat yang diterimanya dengan berpuasa bicara. Itulah juga nasihat kepada seorang suami yang istrinya sedang mengandung; belajarlah puasa bicara. Usahakan sesedikit mungkin berbicara. Insya Allah, jika selama istri kita mengandung, kita berpuasa bicara, maka Allah akan memberikan kepada kita seorang anak seperti Yahya yang cerdas, arif, berhati lembut dan suci, bertakwa kepada Allah swt, dan sangat berkhidmat kepada orang tuanya, tak pernah memaksakan kehendaknya. Itulah ganjaran kepada orang yang puasa bicara.
Puasa bicara adalah puasa tarekat. Hanya dengan puasa bicara, batin kita menjadi lebih tajam untuk mendengarkan isyarat-isyarat gaib, mendengarkan hati nurani. Ketika kita terlalu banyak bicara, kita menjadi tuli. Dalam peristiwa mikraj diceritakan ketika Nabi Muhammad saw isra dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, beliau melihat di pertengahan jalan ada seorang yang mengguntingi lidahnya berulang kali. Malaikat Jibril menjelaskan, "Itulah tukang-tukang ceramah yang suka memberikan nasihat kepada orang banyak tetapi ia tidak mempraktikkan apa yang ia khotbahkan."
Artikel ini dikutip dari berbagai sumber blog tentang puasa menurut Kang Jalal.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI