Tarekat Sammaniyah di Banjarmasin Kalimantan Selatan
Dalam perkembangannya di Kalimantan Selatan tasawuf atau tarekat jelas tidak diragukan lagi peranannya dalam membimbing, membina dan mendidik jiwa-jiwa manusia muslim yang paripurna dan memiliki nilai-nilai kerohanian yang tinggi, sehingga ulama-ulama besar Banjar dahulu dikenal tidak hanya sebagai ulama syariat, lebih daripada itu mereka juga dikenal sebagai ulama tasawuf. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy, Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjariy, Syekh ‘Abdul ¦amid Abulung (Datu Abulung), dan Datu Sanggul adalah contoh tokoh-tokoh tasawuf yang populer di zamannya. Salah satu dari aliran tarekat yang mereka bawa adalah tarekat Sammaniyah.
A. Pendahuluan
Tasawuf merupakan salah satu ilmu yang cukup berkembang dalam dunia Islam, seiring dengan berkembangnya kehidupan sosial masyarakat Islam. Pada intinya tasawuf merupakan kesadaran fitrah yang mengarahkan jiwa dengan benar kepada amal dan kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menjauhkan diri dari kehidupan dunia yang dilarang dan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, serta untuk mendapatkan perasaan berhubungan yang erat dengan wujud yang mutlak (Tuhan). Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan maka seseorang harus mampu membersihkan dirinya dari segala sifat, tindakan yang kotor, dan mazmmah (tercela), kemudian menghiasi diri dengan segala sifat dan perangai yang karimah (mulia). Karena itu maka seseorang yang ingin mencapai hakikat yang tinggi di hadapan Allah Yang Maha Suci, maka ia harus mampu mensucikan rohaninya sebersih-bersihnya.
B. Sejarah Perkembangan Tasawuf menuju Tarekat
Sementara itu dalam sejarah perkembangannya yang cukup panjang tasawuf telah mengalami pasang surut. Setidak-tidaknya dalam catatan sejarah, perkembangan tasawuf tersebut dapat dibagi menjadi lima periode penting:
Pertama periode permulaan, periode ini dimulai sejak masa Rasulullah dan para sahabat, baik sebelum beliau diangkat menjadi Rasul maupun masa sesudahnya. Di mana pada masa itu bibit-bibit kehidupan tasawuf telah dilakoni oleh Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya sendiri. Fakta sejarah telah menunjukan bahwa pribadi Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasul telah berulangkali melakukan tahanuts dan khalwat di Gua Hira. Di samping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang mabuk memperturutkan hawa nafsu keduniaan, tahannu£ dan khalwat tersebut juga dilakukan beliau untuk mencari ketenangan jiwa dan kebersihan hati dalam menempuh liku-liku problema kehidupan, berusaha untuk memperoleh petunjuk dan hidayah Allah dan mencari hakikat kebenaran yang dapat mengatur segala-galanya dengan baik. Sehingga dalam situasi yang demikian pada akhirnya beliau menerima wahyu pertama dari Allah Swt.
Sebelum diangkat dan sesudah diangkat menjadi rasulpun, Muhammad Saw. tetap memperlihatkan perilaku, moral yang mulia, beliau mendapat gelar al-Amin karena kejujurannya, berlaku sederhana, sabar, tawakkal, istiqamah, zuhud, syaja’ah (berani) dan lain-lain. Sehingga ketika Aisyah ra. ditanya bagaimana sesungguhnya akhlak Nabi, beliau menjawab dengan tegas bahwa akhlak Nabi adalah al-Qur’an, sebagaimana difirmankan Allah Swt.:
وإنك لعلى خلق عظيم (القلم : 4)
Artinya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai budi pekerti yang tinggi/mulia” (QS. Al-Qalam 4).
Prilaku dan akhlaq al-karimah yang telah diperlihatkan oleh Nabi Saw. telah menjadi contoh tauladan bagi para sahabat, sehingga figur seperti khulafa al-rasyidin, Ab ‘Ubaidah bin Jarrah, Sa’id bin ‘Amr adalah contoh dari sekian banyak para sahabat yang mengikuti jejak kehidupan tasawuf Rasulullah. Bahkan pada masa Nabi ini dikenal pula sekelompok sahabat yang disebut Ahlu AL-¡uffah, mereka terbiasa hidup di masjid Madinah dan menjadikan serambi masjid sebagai tempat pertemuan mereka. Mereka juga dikenal sebagai orang-orang yang menyediakan seluruh waktunya untuk berjihad dan berdakwah serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi. Istilah tasawuf sendiri disinyalir berasal dari perkataan ¡uffah atau ¡uffah al-masjid yang dihubungkan dengan aktivitas dan kehidupan mereka di serambi masjid tersebut.
Kedua periode keemasan, periode ini ditandai dengan munculnya sejumlah sufi besar yang telah menyumbangkan pemikiran dan gagasannya tentang tasawuf dari generasi tabi’in dan bermunculannya pusat-pusat pengajaran tasawuf. Di antara nama sufi besar yang cukup populer pada masa ini adalah Hasan al-Basri (21-110 H), ia dikenal sebagai seorang zahid yang termasyhur, pencetus aliran tasawuf etika, bahkan dialah yang mula-mula dikenal memperbincangkan berbagai masalah yang berkaitan dengan hidup kerohanian, tentang ilmu akhlak yang erat hubungan dengan mensucikan jiwa dan membersihkan hati dari dari sifat-sifat tercela. Tokoh lainnya yang juga populer adalah sufiah Rabi’ah al-’Adawiyah (96 – 185 H) pencetus aliran tasawuf estetika dengan gagasan utama cinta atau mahabbah kepada Allah. Kemudian Sofyan ¤auriy (97-161 H), Rabi’ bin Haitam, Jabir bin ¦ayyan, Kulaib a¡-¢idawiy, Man¡r bin Ammar, dan lain-lain.
Adapun kota-kota yang menjadi pusat pengajaran tasawuf antara lain adalah di kota Basrah dipelopori oleh ¦asan al-Basriy, di Kuffah dipelopori oleh Rabi’ bin Hisyam, Jabir bin Hayyan, Man¡ur bin ‘Ammar dan ‘Abul Atahiyah, di kota Irak dipimpin oleh Sa’ad bin Musayyab dan sebagainya.
Masa keemasan ini terus berlanjut dan melahirkan banyak tokoh-tokoh terkenal lainnya yang berjasa besar terhadap peletakan dasar-dasar paham tasawuf, seperti misalnya Ma’ruf al-Karakhy yang dipandang sangat berjasa dalam meletakan dasar-dasar tasawuf, Abul ¦asan Surri Assaqa¯iy, ªun Nn al-Mi¡riy dan lain-lain.
Ketiga periode suram, boleh jadi periode ini dimulai dari munculnya gagasan tasawuf Ab Yazid al-Bus¯amiy (200-261 H) yang telah memperkenalkan ajaran tasawuf berbeda dari para sufi pendahulunya. Ab Yazid dianggap sufi yang pertama kali menampilkan konsep al-fana’ dan al-baqa’ dengan pengertian khas tasawuf secara mendalam ––hilangnya kesadaran akan eksistensi diri pribadi sehingga dia tidak menyadari lagi akan jasad kasarnya sebagai manusia, kesadarannya menyatu ke dalam iradat Tuhan–– sekaligus aliran tasawuf Kesatuan Wujud atau Ittihad. Pemikiran tasawuf Abu Yazid al-Bustami diteruskan oleh sufi Abu Mansur Husien al-Hallaj (244-309 H), dengan pemikiran tasawufnya al-hull, yaitu ketuhanan (laht) menjelma ke dalam diri insan (nast), karenanya manusia mempunyai sifat-sifat ke-Tuhanan dalam dirinya, demikian pula sebaliknya Tuhan mempunyai sifat kemanusiaan dalam diri-Nya.
Karena itu setidak-tidaknya ada tiga alasan utama atau faktor penyebab kenapa tasawuf mengalami masa kesuraman, pertama karena paham tasawuf yang dilontarkan oleh Abu Yazid al-Bustami atau al-Hallaj berbeda dengan paham tasawuf sebelumnya, sehingga menimbulkan konflik dan terpecahnya pemahaman masyarakat terhadap tasawuf, ada kelompok yang pro dengan paham tasawuf baru mereka dan ada pula yang kontra. Kedua dari lisan para sufi tersebut telah keluar perkataan-perkataan ganjil yang dikenal dengan nama Syatahat. Kata-kata syatahat yang keluar dari sufi tersebut yang sangat populer antara lain adalah dari mulut Abu Yazid al-Bustami: “Taubatunna siminzunnabihi wataubati min qauli laailahaillah”, yang berarti orang bertaubat dari dosanya, akan tetapi aku (Abu Yazid) bertaubat dari ucapan puja tiada Tuhan selain Allah.1 Syatahat yang keluar dari mulut Husien Mansur al-Hallaj: “Ana al-¦aqq”, yang berarti Aku adalah kebenaran, dan juga “Aku adalah rahasia yang benar, bukanlah yang maha benar itu aku, tetapi aku hanyalah satu dari yang benar”. 2 Syatahat yang keluar dari mulut Al Junaid bahwa: “seseorang yang menempuh jalan tasawuf tidak akan sampai pada maqam atau derajat hakikat jika belum sanggup menghadapi tuduhan zindiq dari orang lain”. 3
Pasca hukuman pancung terhadap al-Hallaj dan syatahat Abu Yazid al-Bustami mengakibatkan orang-orang takut dengan tasawuf, sehingga perkembangan dunia tasawuf sempat suram beberapa kurun waktu lamanya. Terlebih-lebih dengan adanya larangan dari penguasa untuk mengembangkan dan mempelajari tasawuf yang dianggap sebagai ilmu haram.
Keempat periode kebangkitan, dengan dikenalkannya dan dihalalkannya kembali masyarakat untuk belajar ilmu tasawuf oleh ¦ujjatul Islamam Imam al-Gazali. Beliau memperkenalkan ilmu tasawuf pada tingkat ma’rifat sebagai ilmu yang positif untuk dipelajari. Al-Gazali menyatakan bahwa ajaran tasawuf itu sebenarnya tidak membuat orang jauh dari Islam atau keluar dari Islam atau menyeleweng dari dasar ajaran Islam kalau hanya sampai ke tingkat tertentu yang disebut ma’rifat. Kebesaran nama al-Gazali telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kembali tasawuf di masa-masa sesudahnya. Ulama-ulama syariat yang pada mulanya takut kepada tasawuf pada akhirnya dikenal juga sebagai ahli tasawuf, sehingga pada akhirnya tasawuf yang merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya dipelajari oleh para sufi dan ulama, akan tetapi juga oleh masyarakat Islam.
Kelima periode kelembagaan, pada periode inilah pengajaran dan pengamalan tasawuf dimulai atau lebih bersifat kelembagaan yang dikenal dengan istilah tarekat. Timbulnya lembaga tasawuf ini dipicu oleh adanya keinginan para ulama Islam untuk melestarikan kehidupan rohani ala tasawuf yang telah dijalankan oleh para sufi besar. Akhirnya lahirlah berbagai nama lembaga tasawuf atau tarekat pada abad ke 12 dan berkembang pesat mulai abad ke 14. Di samping itu pula masuk dan berkembangnya Islam di berbagai daerah di Indonesia, sebagaimana diasumsikan banyak para ahli lebih didominasi oleh tarekat atau melalui pendekatan tasawuf,4 yang dibawa langsung oleh ulama-ulama pribumi setelah mereka mukim dan belajar di Mekkah, Madinah atau Mesir, dibanding pemikiran tasawuf individu.
Periode kelembagaan inilah yang menjadi topik inti permasalahan dalam tulisan ini, sebab sebagai salah satu ilmu yang cukup berkembang di Kalimantan Selatan tasawuf menarik untuk terus dikaji dan dikupas. Terlebih-lebih manakala melihat peranannya dalam membimbing, membina dan mendidik jiwa-jiwa manusia muslim yang paripurna, memiliki nilai-nilai kerohanian yang tinggi, dan berakhlak mulia.
C. Tarekat
Menurut bahasa tarekat berarti jalan menuju kebenaran, ilmu kebajikan agama, persaudaraan dalam kebaktian pada kerohanian.5 Abu Bakar Atjeh menyatakan bahwa tarekat adalah jalan, petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat serta tabi’in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai-berantai.6 Di samping itu pula lebih jauh menurut Usman Said tarekat dapat diartikan sebagai suatu metode praktis untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.7
Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah, sebelum menempuh atau melaksanakan jalan ke arah itu. Tarekat adalah jalan, cara, metode dan sistem menuju kepada Tuhan. Menurut Sjechul Hadi Permono kata tarekat mengalami perkembangan, sehingga mempunyai dua pengertian. Pertama, tinjauan pada abad IX dan X M tarekat berarti cara pendidikan, akhlak, dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. Pengertian ini lebih mendekati suatu teori, suatu pendidikan khusus, karena pada tarekat pendidikan akhlak batin dengan melalui tingkatan-tingkatan pendidikan tertentu (maqamat dan ahwal). Namun walau demikian ia tetap umum, karena belum merupakan suatu sekte tertentu, belum merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri. Kedua, sesudah abad XI M tarekat tersebut mempunyai pengertian sebagai suatu gerakan yang lengkap untuk memberikan riya«ah-riya«ah rohani dan jasmani bagi sekelompok orang (murid).8
Dalam pengertian ini tarekat sudah merupakan suatu kekeluargaan, mu’asyarah tersendiri yang didirikan menurut aturan-aturan dan perjanjian-perjanjian tertentu.
Berdasarkan beberapa definisi di atas jelaslah bahwa pada prinsipnya tarekat adalah metode, cara, sistem tingkah laku (sirah) atau sulk yang khusus dilakukan oleh orang-orang sufi yang berjalan menuju kepada Allah, dengan menempuh secara sungguh-sungguh maqamat (stasiun-stasiun) dan mendaki ahwal (keadaan).
Sementara itu nama-nama tarekat dimaksud biasanya disandarkan pada nama para pendirinya. Di Indonesia tarekat yang dianggap sahih dan dapat diterima dikelompokkan sebagai tarekat mu’tabarah. Di antaranya adalah tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani (1077-1166M), tarekat Rifaiyah oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas (wafat 1106 M), tarekat Naqsabandiyah oleh Muhammad bin Baha’uddin al-Uwaisiy al-Bukhariy (717-791 H), tarekat Sammaniyah oleh Syekh Muhammad Samman al-Madaniy (1718-1775 M), tarekat Khalwatiyah oleh Zahiruddin (wafat 1397 M), tarekat al-¦addad oleh Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad al-¦addad, tarekat Khalidiyah oleh Syekh Sulaiman Zuhdi al-Khalidiy, dan lain-lain. Di antara tarekat ini yang cukup pesat perkembangannya di Tanah Banjar (Kalimantan Selatan) adalah tarekat Sammaniyah didirikan oleh Muhammad ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy.
Syekh Samman adalah seorang ulama dan sufi terkenal yang mengajar di Madinah. Dia mulanya dibaiat menjadi pengikut berbagai tarekat di samping tarekat Khalwatiyah (terutama Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Sya©iliyah), dan memadukan berbagai unsur dari tarekat-tarekat tersebut menjadi cabang tarekat Khalwatiyah yang khas dan berdiri sendiri, yang disebut dengan tarekat Sammaniyah. Murid Indonesianya yang paling ternama adalah Syekh ‘Abd al-¢amad al-Falimbaniy, yang umumnya dianggap sebagai orang pertama yang membawa dan memperkenalkan tarekat Sammaniyah di Nusantara, terutama Sumatera dan daerah sekitarnya.
Di Indonesia tarekat Sammaniyah pertama kali tersebar dan memberikan pengaruh yang luas di Aceh, Kalimantan serta mempunyai pengaruh yang dalam di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Demikian pula di Jakarta sangat besar pengaruhnya di kalangan penduduk dan daerah-daerah sekitar ibukota.9
Ciri-ciri tarekat ini menurut Abu Bakar Atjeh antara lain adalah zikirnya yang keras-keras dengan suara yang tinggi dari pengikutnya sewaktu melakukan zikir la ilaha illa Allah, di samping itu juga terkenal dengan ratib Samman yang hanya mempergunakan perkataan H, yaitu Dia Allah.10 Menurut Snouck Hurgronje, bahwa Syekh Samman disamping ada ratib Samman lebih populer lagi di Aceh dengan Hikayat Samman, ratib Samman inilah yang kemudian berubah menjadi suatu macam permainan rakyat yang terkenal dengan nama seudati (tarian).11 Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Syekh Samman antara lain adalah: memperbanyak shalat dan zikir, berlemahlembut kepada fakir miskin, jangan mencintai dunia, menukarkan akal basyariah dengan akal rabbaniyah, dan tauhid kepada Allah dalam zat, sifat dan af’al-Nya.12
D. Ulama Pembawa Tarekat Sammaniyah
Tesis kuat yang berkembang selama ini menyatakan bahwa tarekat Sammaniyah ini adalah tarekat pertama yang masuk dan berkembang di Kalimantan Selatan. Asumsi ini diperkuat oleh tiga alasan penting.
Pertama, umumnya ratib yang dibaca dan diamalkan oleh masyarakat Islam Banjar dari dulu hingga sekarang lebih di dominasi oleh ratib Sammaniyah. Hal ini terbukti dari adanya empat jenis ratib yang umumnya diamalkan masyarakat Banjar yang selaras dengan ratib Samman. Kenyataan ini memberikan petunjuk bahwa ratib Samman tersebut sudah sangat populer dan diketahui oleh masyarakat luas.
Kedua, lebih daripada itu boleh jadi bahwa baratib baamal dan baratib bailmu melalui praktik wirid untuk memperoleh bekal ilmu guna menghadapi Belanda yang dilakukan oleh Penghulu Abdul Rasyid dan pengikutnya ketika terjadi pemberontakan pada bulan Oktober 1861 di Telaga Itar Kelua dan meluas ke daerah sekitarnya (Banua Lima) adalah ratib yang biasa dibaca dan diamalkan oleh para pengikut tarekat Sammaniyah, walaupun untuk itu belum ditemukan data-data yang akurat.
Ketiga, nilai dan ajaran tarekat Sammaniyah memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perjuangan umat Islam di daerah ini ketika melawan penjajah Belanda,13 terutama kepada para peristiwa pertempuran di berbagai daerah se Banua Lima. Seperti pertempuran di Sungai Malang Amuntai, perlawanan di daerah Martapura, peristiwa Amuk Hantarukung di Kandangan yang dikomandoi oleh dua orang kakak beradik, Bukhari dan Santar adalah pengikut tarekat murid dari Gusti Muhammad Seman yang biasa melakukan zikir dan membaca wirid-wirid tertentu.14 Begitu juga dengan gerakan Datu Aling (di Muning Rantau) dan pengikutnya, bahkan para pahlawan perang Banjar seperti P. Antasari juga termotivasi oleh pengaruh ajaran tarekat. Karena itu adagium perjuangan dan ucapan haram manyarah, waja sampai kaputing, boleh jadi adalah manifestasi dari nilai-nilai ajaran tasawuf atau tarekat dimaksud.
Sementara itu ulama yang dianggap cikal bakal dan berjasa besar membawa serta mengembangkan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan menurut asumsi penulis ada tiga orang. Ulama yang pertama adalah Syekh Muhammad Arsyad bin ‘Abdullah al-Banjariy, dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, adanya kemiripan adab dan tatacara berzikir yang umumnya dilakukan oleh pengikut tarekat Sammaniyah dengan materi isi risalah Kanzul Ma’rifah yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy. Menurut Asywadie Syukur risalah Kanzul Ma’rifah tersebut memuat tentang tatacara zikir dan adab berzikir.15 Sebelum berzikir lebih dahulu bersuci dari najis dan hadas, mengucapkan istigfar, berpakaian yang berwarna putih, ditempat yang sunyi sepi, sebelumnya mengerjakan shalat sunnat dua rakaat. Duduk bersila, menghadap ke arah kiblat dan meletakkan kedua telapak tangan di atas kedua lutut lalu mengucapkan dzikir yang berbunyi la ilaha illa Allah dengan menghadirkan maknanya dalam hati. Berikutnya kalau zikir dalam bentuk ini telah mantap beralih lagi kelafal lain dengan hanya menyebut Allah, Allah, Allah––dan seterusnya––dan zikir yang seperti ini dapat dilaksanakan disepanjang waktu dan keadaan sehingga pada setiap nafas yang ke luar diisi dengan zikir. Pada saat menyebut kata h pada setiap akhir kalimat tauhid, dipanjangkan sedikit sambil merasakan bahwa dirinya lenyap, begitu pula dengan ingatannya, selain kepada Allah (ma siwallah) dan kulliyah (jati dirinya) karena berada di dalam ke-esaan zat Allah yang nantinya akan memperoleh jazbah (tarikan) Allah. Inilah perolehan jiwa yang paling utama yang semuanya itu hasil kasyaf.
Risalah Kanzul Ma’rifah ini belum pernah dicetak dan dipublikasikan secara luas, hanya disalin oleh murid-muridnya yang terpercaya, salinan kitab ini juga pernah dihadiahkan kepada salah seorang sultan Aceh.16
Walaupun berdasarkan hasil penelitian dari beberapa orang ulama dinyatakan bahwa kitab Kanzul Ma’rifah tersebut lebih bercorak khalwatiyah dan tidak murni Sammaniyah seperti sekarang ini, maka hal inipun dapat dimaklumi. Sebab Syekh Samman sendiri mulanya dibaiat sebagai pengikut tarekat Khalwatiyah yang bercorak Qadiriyah, Naqsabandiyah, dan Sya©iliyah. Karena itu wajar jika kitab tulisan Syekh Muhammad Arsyad tersebut lebih mirip dengan ajaran tarekat Khalwatiyah dibanding tarekat Sammaniyah seperti sekarang, yang telah berdiri sendiri.
Kedua, kitab tasawuf Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy Kanzul Ma’rifah tersebut belum pernah dicetak dan tidak pernah dipublikasi secara luas, sehingga gambaran yang lengkap tentang konsepsinya di bidang tasawuf tidak diketahui secara pasti. Namun sebagaimana pengakuan dari Karel A. Steenbrink bisa diduga bahwa sebagai pembawa tarekat Sammaniyah tasawufnya tidak akan jauh berbeda dengan yang diajarkan oleh temannya Abdussamad al-Falimbani, yang mengikuti paham tasawuf yang agak moderat menurut aliran al-Gazali.17
Ketiga, menurut Zafry Zamzam,18 Martin van Bruinessen,19 selama lebih kurang tigapuluh tahun belajar di Mekkah Syekh Muhammad Arsyad telah pula berguru ilmu tasawuf secara langsung kepada Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al-Madani dan mendapatkan ijazah khalifah dalam Tarekat Sammaniyah. Gelar ini merupakan bukti yang kuat, izin sekaligus pengakuan dari gurunya bahwa Syekh Muhammad Arsyad berhak untuk mengajarkan tarekat Sammaniyah, kemudian sebagaimana dinyatakan dalam Hikayat Syekh Muhammad Samman, Syekh Muhammad Arsyad disebutkan sebagai salah seorang muridnya. Dengan gelar itu pula secara moralitas Syekh Muhammad Arsyad dianggap orang yang paling bertanggungjawab terhadap keberadaan dan perkembangan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Keempat, apabila dilakukan penelusuran maka terlihat bahwa di antara ulama-ulama keturunan-keturunan dari syekh Muhammad Arsyad, adalah juga penganut tarekat Sammaniyah. Zuriat beliau yang sekarang aktif mengembangkan tarekat Sammaniyah adalah “Guru Sekumpul” (Syekh H.M. Zaini Abdul Ghani), yang belajar dari keturunan beliau yang lain, yakni “Guru Bangil” (Al Allamah K.H. Syarwani Abdan) hingga pada saat sekarang ini perkembangan tarekat Sammaniyah semakin luas.
Walaupun demikian, Martin van Bruinessen tetap meyakini bahwa keberadaan tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan adalah berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis al-Banjari.20 Karena dalam karya-karya Syekh Muhammad Arsyad yang telah diterbitkan, tidak ada yang menyinggung dan mengisyaratkan secara khusus tentang tarekat Sammaniyah. Boleh jadi keyakinan Martin Van Bruinessen ini disebabkan karena ia belum pernah membaca risalah Kanzul Ma’rifah yang belum dicetak dan publikasinya terbatas sebagaimana dijelaskan di atas.
Ulama kedua sesudah Syekh Muhammad Arsyad yang berjasa dan dianggap sebagai pembawa tarekat Sammaniyah adalah Syekh Muhammad Nafis bin Idris al-Banjariy, sebagaimana keyakinan dan pengakuan Martin van Bruinessen di atas. Lebih jauh ada beberapa alasan signifikan mengapa Syekh Muhammad Nafis al-Banjari diasumsikan sebagai ulama kedua yang berjasa mengembangkan tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar.
Pertama, dalam bidang ilmu tasawuf dan tarekat ketika belajar di Mekkah, Syekh Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh ‘Abdullah ibn ¦ijaziy al-Syarqawiy al-Mi¡riy, Syekh ¢iddiq ibn ‘Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn ‘Abdul Karim Samman al-Madaniy, Syekh ‘Abdurrahman Ibn ‘Abdul ‘Aziz al-Maghribiy dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al-Jauhariy. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tarekat menurut Ahmadi Isa, Syekh Muhammad Nafis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy dan ‘Abdu¡¡amad al-Falimbaniy.21
Kedua, dalam kitab tasawufnya Al-Durr al-Nafis fi Bayan Wahdat al-Af’al wa al Asma’ wa al-¢ifat wa al-ªat, ªat al-Taqdis, yang berintikan tauhid dalam struktur yang sistematis, pokok-pokok ajaran tasawuf, dengan mengutamakan tauhidul sifat, zat dan af’al dan ditulisnya pada tahun 1200 H atau 1785 M ketika masih belajar di Mekkah, termaktub pengakuannya bahwa Syafi’i adalah mazhab fiqihnya, Asy’ari i’tiqad tauhid atau ushuluddinnya, Junaidi ikutan tasawufnya, Qadariyah tarekatnya, Satariyah pakaiannya, Naqsabandiyah amalnya, Khalwatiyah makanannya dan Samaniyah minumannya.22
Ketiga, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam tarekat Sammaniyah, maka Syekh Muhammad Nafis pun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tarekat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid.23 Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tarekat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Durrun Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al-‘Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila °ariq al-Salamah al-Syaikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjariy.
Keempat, setelah kembali ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795,24 pada masa kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M) Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Mengapa Syekh Muhammad Nafis lebih mengarahkan perjuangan dakwahnya di daerah Kelua dan sekitarnya? Karena Kelua adalah daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur, dan merupakan daerah kosong dari perjuangan dakwah. Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar.25
Berkat perjuangan Syekh Muhammad Nafis, pada abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua dikenal sebagai pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.26 Kemudian jika pada akhirnya Kelua melahirkan pejuang-pejuang Islam yang memiliki semangat tinggi untuk mengusir penjajah Belanda boleh jadi salah satu faktor pembangkitnya adalah melalui pendekatan tasawuf dan tarekat. Sehingga dalam sejarah pergerakan dan perjuangan umat Islam di Tanah Banjar, pemerintah Belanda pernah melarang beredar dan dipelajarinya kitab Durrun Nafis oleh masyarakat Banjar. Hal ini adalah salah satu siasat politik Belanda, karena Belanda paham betul bahwa apabila orang sudah mempelajari ilmu tasawuf secara lurus dan mantap, maka orang tersebut tidak takut mati dan berjuang waja sampai kaputing memerangi penjajah yang dianggap kafir.
Sedangkan ulama ketiga yang juga penulis asumsikan sebagai pembawa tarekat Sammaniyah, atau paling tidak mempunyai andil terhadap perkembangannya di Tanah Banjar, terutama daerah Tanah Laut dan Kotabaru, Pagatan dan sekitarnya adalah Syekh Abdul Wahab Bugis. Walaupun data-data yang mengungkapkan tentang keberadaan dan peranan tokoh ini masih minim, namun ada beberapa alasan yang bisa dijadikan dalil kuat yang menunjukkan hal tersebut.
Pertama, Syekh Abdul Wahab Bugis adalah menantu dari Syekh Muhammad Arsyad, sehingga ketika ia menyelesaikan belajarnya di Mekkah dan bersama-sama pulang dengan teman-temannya yang disebut sebagai empat serangkai yakni ‘Abd al-¢amad al-Falimbaniy, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjariy serta Syekh Abdurrahman Mashri, ia tidak pulang ke daerah asalnya Bugis (Sulawesi Selatan), tetapi ikut Syekh Muhammad Arsyad ke Banjarmasin/Martapura.27 Karena itu rasional sekali jika dikatakan ia ikut membantu Syekh Muhammad Arsyad menyampaikan dakwah ke tengah masyarakat dan mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya selama di Mekkah.
Sementara, hasil perkawinannya dengan anak Syekh Muhammad Arsyad yang bernama Syarifah melahirkan dua orang anak, masing-masing bernama Fatimah dan Muhammad Yasin. Syekh Abdul Wahab Bugis baru pula ke kampung halamannya di Sidenring Pangkajene (Makasar) sesudah Syarifah wafat dan kedua anaknya sudah dewasa.28
Kesimpulannya, jika Syekh Abdul Wahab Bugis seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad dan pernah mengkaji tasawuf atau tarekat yang sama yakni Sammaniyah, maka tidak mustahil ketika ia berada di Martapura, iapun ikut menyebarkannya. Sebab tidak mungkin Syekh Abdul Wahab berdiam diri, tanpa mengamalkan ilmunya ke tengah-tengah masyarakat, sedangkan ia adalah ulama.
Kedua, menurut Martin van Bruinessen tokoh pertama yang membawa masuk tariqat Khalwatiyah-Sammaniyah di Sulawesi Selatan adalah Syekh Yusuf Makassar dan Syekh Yusuf Bogor.29 Informasi ini memberikan petunjuk bahwa Syekh Abdul Wahab Bugis tidak pulang ke Sulawesi Selatan untuk menyebarkan ilmunya, sebagaimana yang dilakukan oleh rekannya Syekh Abdus Samad al- Falimbani dan dianggap sebagai pembawa pertama tarekat Sammaniyah di daerahnya Sumatera (Palembang dan sekitarnya). Karenanya petunjuk ini menguatkan kembali asumsi bahwa ia lebih banyak mengamalkan ilmunya di Kalimantan Selatan, walaupun data yang merujuk ke sana masih sedikit. Karenanya untuk lebih mengetahui tentang sejarah hidup dan keberadaan tokoh ini perlu penelitian yang lebih mendalam.
D. Penutup
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa perkembangan tasawuf terutama tarekat Sammaniyah di Tanah Banjar memiliki akar sejarah yang cukup panjang dan telah menjadi bagian hidup dari masyarakat Banjar itu sendiri. Karenanya mulai dari masuknya Islam ke wilayah, sampai masa perjuangan fisik hingga pembangunan sekarang diyakini bahwa tasawuf dan tarekat tetap eksis dan survive dalam menjaga kerohanian masyarakat.
Di samping itu hal yang lebih penting dan menarik lagi untuk menjadi bahan renungan adalah bahwa informasi yang berkembang dan data sejarah yang berserakan tentang keberadaan atau jejak sejarah perkembangan tasawuf atau tarekat Sammaniyah di Kalimantan Selatan pada masyarakat Banjar khususnya perlu untuk dikaji dan diteliti kembali secara lebih mendalam dan komprehensif. Sehingga informasi, dan data-data yang mengetengahkan tentang keberadaan dan sejarah perkembangan tarekat ini menjadi lebih jelas dan valid untuk mernjadi pengetahuan dan warisan ilmu kepada generasi mendatang.
Kang, untuk rujukan, nama penulis artikelnya kenapa tidak ada?
ReplyDelete