Tasawuf dan Modernitas
Teori-teori yang dikembangkan oleh kaum sufi, pada dasarnya berisi nilai-nilai etis--yang kini sangat dibutuhkan oleh manusia modern. Oleh karena itu, dalam konteks modernitas, nilai-nilai yang terkandung dalam tasawuf jelas sangat relevan. Apalagi manusia modern, kini sudah kehilangan “spiritualitasnya”.
Ketika istilah tasawuf dihadapkan dengan modernitas pada era modern ini, benturan yang paling nyata adalah penilaian bahwa tasawuf dan masyarakat modern adalah dua sifat yang berbeda atau bahkan bertolak belakang. Ajaran tasawuf sering dianggap “berseberangan” dengan nilai-nilai hidup masyarakat modern. Kemasan tasawuf dianggap sebagai aspek ajaran Islam yang mewariskan etika kehidupan yang sederhana, zuhud, menjauhi dunia, pasrah dan kerendahan hati, cinta sejati tanpa pamrih, dan lain sebagainya hanya cocok untuk diaplikasikan pada kehidupan tradisional. Ia tidak dapat diterapkan di dunia modern sebab dunia modern lebih banyak dimuati dunia glamor, pemujaan materi, persaingan keras disertai intrik dan tipu daya, keserakahan, cinta dunia, keangkuhan, kekerasan, saling memakan, saling menjegal antara sesama, dan sebagainya.
Ironisnya, penilaian seperti ini bukan hanya berasal dari kalangan modernis saja, tetapi juga dari--tidak sedikit--kalangan tradisional. Anggapan seperti ini setidaknya perlu dikaji ulang, sebagai upaya untuk menjelaskan tasawuf atau sufisme yang sebenarnya.
Sebenarnya, tuduhan bahwa sufisme menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi tidak dapat dibenarkan kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang jumlahnya sangat kecil. Sufisme yang benar adalah mementingkan keseimbangan antara jasmani dan rohani, lahiriah dan batiniah, antara spirituil dan meteril, antara duniawi dan ukhrawi. Islam tidak mengajak kepada pengingkaran duniawi, bahkan Islam mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik materi maupun spirituil. Kemajuan dimensi spirituil hanya bisa dicapai melalui hidup yang saleh di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan duniawi. Inilah ajaran sufisme yang benar. Bahkan dalam Alquran terdapat sebuah doa: “Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat nanti” (Qs. 2:210). Dan sebaliknya celaan Allah terhadap orang-orang yang menolak untuk menikmati karunia-Nya. Dalam Alquran Allah berfirman: “Katakanlah: Siapakah yang mengahramkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik” (Qs. 7:32). Pada bagian lain garisan yang diberikan Tuhan adalah: “makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs. 7:31).
Secara historis, menunjukkan bahwa pada umumnya para sufi tidak menjauhi kehidupan duniawi. Mereka memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan misalnya, peran sufi seperti Khawajah Nizam al-Mulk, Wazir Dinasti Saljuk, berpartisipasi langsung memabngun universitas-universitas atau madrasah. Hal yang sama juga terdapat di kalangan sufi di Indonesia, misalnya pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam bidang politik dan militer, peran sufi tidak kalah pentingnya. Tarekat-tarekat sufi berperan menjadi kekuatan politik di banyak negara Islam. Tarekat Safawi misalnya berubah dari gerakan spirituil semata menjadi gerakan politik dan militer, yang akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Safawi di Persia. Hal yang sama misalnya peran para sufi dalam menumpas penjajah kolonial di Indonesia, sehingga semangat sufisme mempunyai sumbangan besar bagi pencapaian kemerdekaan negara Indonesia ini. Historical fact ini adalah bukti yang tidak bisa dibantah bahwa untuk mengatakan ajaran tasawuf anti keduniaan, sama sekali tidak beralasan. Jika pun ada dalam praktek sekelompok orang, itu adalah disebabkan kurangnya pemahaman akan makna tasawuf itu sendiri dan ajaran Islam umumnya.
Dunia sekarang mendambakan kedamaian hidup. Bukan saja kedamaian rumah tangga, antar tetangga dan kelompok masyarakat, dan stabilitas nasional, tetapi sampai pada kedamaian internasional. Kedamaian seberapapun kecil dan besar skalanya akan dapat diterima hanya jika sifat-sifat keserakahan dapat diredam oleh setiap orang pada dirinya. Bagi umat Islam, sifat-sifat tersebut dapat dihilangkan hanya jika seseorang telah menghayati dan menyadari sepenuhnya sifat-sifat sabar, tawakal dan ridha yang diajarkan oleh Islam dan yang menjadi maqamat atau station di kalangan kaum sufi menuju Tuhan.
Munculnya tasawuf atau sufisme sebagai alternatif yang terpilih untuk meresponi kemiskinan spiritual masyarakat modern, khususnya di Barat, sesungguhnya sangat beralasan karena sufisme mengajarkan hal-hal yang cukup rasional dan sekaligus supra rasional. Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya. Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya membuat orang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normatif dari agamanya sendiri.
Oleh sebab itu, tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dalam tasawuf telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam. Nilai-nilai spiritual yang digali dari sumber formal, seperti Alquran dan hadis, dan dari pengalaman keagamaan atau mistik telah dikembangkan para sufi-sufi sebelumnya.
Namun pengalaman sufi di zaman modern, hendaknya diletakkan secara proporsional. Artinya, tidak tertutup kemungkinan akan adanya orang-orang tertentu yang mampu mengaplikasikan sufistik melalui station-station mulai dari yang terendah sampai pada tingkat yang tertinggi, sehingga ia hidup dengan menjauhi materi keduniaan, tetapi sebenarnya untuk zaman modern ini orientasi kesufian sebaiknya diarahkan untuk dapat berkembang seiring dengan modernitas.
Untuk itu, yang patut diperhatikan ialah bagaimana membumikan dalam arti mengamalkan secara aplikatif nilai-nilai spiritual maqamat dan ahwal di tengah dinamika modernitas kehidupan manusia. Di sini, misalnya, pengertian zuhud tidak terlalu diasosiasikan dengan penyendirian dan pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut mengalami dinamika dunia modern. Sufi di zaman modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiyah yang memancar dalam bentuk perilaku yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makna hadis Rasulullah Saw., khairunnas anfauhum linnas, bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Kesan bahwa sufi harus menjauhkan diri dari masyarakat (uzlah) dan sibuk dengan ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan oleh para pihak, bahwa untuk mengamalkan praktik kesufian hanyalah dengan penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan, tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban modern yang cirinya adalah pemanfaatan iptek dan pendayagunaan sumberdaya secara maksimal serta kemakmuran kehidupan. Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam perilaku keseharian manusia modern, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap terasa sangat perlu. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniyah yang mendalam, sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama makhluk.
Untuk itu, tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan yang harus memperbaiki dirinya dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan yang di dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia.
Penutup
Tasawuf merupakan salah satu khazanah Islam yang cukup kaya, baik dari segi sejarah perkembangan maupun dari segi doktrin yang dikembangkan oleh para sufi. Sebagai suatu khazanah tasawuf sudah selayaknya mendapatkan apresiasi yang sama dengan khazanah Islam lainnya dari kaum muslim. Apalagi perkembangan tasawuf sendiri pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Islam sebagai “jalan hidup menuju kebenaran”.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kaum sufi, pada dasarnya berisi nilai-nilai etis--yang kini sangat dibutuhkan oleh manusia modern. Oleh karena itu, dalam konteks modernitas, nilai-nilai yang terkandung dalam tasawuf jelas sangat relevan. Apalagi manusia modern, kini sudah kehilangan “spiritualitasnya”.
Re-interpretasi dan kontekstualisasi nilai tasawuf akan semakin bermakna bilamana ia diangkat pada tataran yang aplikatif dalam kehidupan masyarakat. Konsep ikhlas dan mahabbah misalnya, akan menjadi sarat makna apabila nilai sufistik ini diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, baik dalam dunia politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Korupsi, kolusi, nepotisme, kerusuhan, dan konflik horizontal dan perselisihan antar sesama anak bangsa dan berbagai penyakit sosial dengan sendirinya secara berangsur-angsur menjadi berkurang andaikata sejak dini konsep ini dimasyarakatkan. Alangkah indahnya sesama umat memulai suatu konsep pekerjaan dengan keikhlasan, menjalin hubungan antara sesama dengan rasa cinta, Alquran dan hadis sendiri menganjurkan untuk saling mencintai sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Ketika istilah tasawuf dihadapkan dengan modernitas pada era modern ini, benturan yang paling nyata adalah penilaian bahwa tasawuf dan masyarakat modern adalah dua sifat yang berbeda atau bahkan bertolak belakang. Ajaran tasawuf sering dianggap “berseberangan” dengan nilai-nilai hidup masyarakat modern. Kemasan tasawuf dianggap sebagai aspek ajaran Islam yang mewariskan etika kehidupan yang sederhana, zuhud, menjauhi dunia, pasrah dan kerendahan hati, cinta sejati tanpa pamrih, dan lain sebagainya hanya cocok untuk diaplikasikan pada kehidupan tradisional. Ia tidak dapat diterapkan di dunia modern sebab dunia modern lebih banyak dimuati dunia glamor, pemujaan materi, persaingan keras disertai intrik dan tipu daya, keserakahan, cinta dunia, keangkuhan, kekerasan, saling memakan, saling menjegal antara sesama, dan sebagainya.
Ironisnya, penilaian seperti ini bukan hanya berasal dari kalangan modernis saja, tetapi juga dari--tidak sedikit--kalangan tradisional. Anggapan seperti ini setidaknya perlu dikaji ulang, sebagai upaya untuk menjelaskan tasawuf atau sufisme yang sebenarnya.
Sebenarnya, tuduhan bahwa sufisme menolak atau mengabaikan kehidupan duniawi tidak dapat dibenarkan kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang jumlahnya sangat kecil. Sufisme yang benar adalah mementingkan keseimbangan antara jasmani dan rohani, lahiriah dan batiniah, antara spirituil dan meteril, antara duniawi dan ukhrawi. Islam tidak mengajak kepada pengingkaran duniawi, bahkan Islam mengajak kepada pemenuhan kebutuhan hidup, baik materi maupun spirituil. Kemajuan dimensi spirituil hanya bisa dicapai melalui hidup yang saleh di tengah hiruk pikuk kehidupan sehari-hari, bukan dengan mengingkari kehidupan duniawi. Inilah ajaran sufisme yang benar. Bahkan dalam Alquran terdapat sebuah doa: “Wahai Tuhan kami! Berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat nanti” (Qs. 2:210). Dan sebaliknya celaan Allah terhadap orang-orang yang menolak untuk menikmati karunia-Nya. Dalam Alquran Allah berfirman: “Katakanlah: Siapakah yang mengahramkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik” (Qs. 7:32). Pada bagian lain garisan yang diberikan Tuhan adalah: “makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs. 7:31).
Secara historis, menunjukkan bahwa pada umumnya para sufi tidak menjauhi kehidupan duniawi. Mereka memberikan sumbangan yang besar bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Dalam bidang pendidikan misalnya, peran sufi seperti Khawajah Nizam al-Mulk, Wazir Dinasti Saljuk, berpartisipasi langsung memabngun universitas-universitas atau madrasah. Hal yang sama juga terdapat di kalangan sufi di Indonesia, misalnya pesantren Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat. Dalam bidang politik dan militer, peran sufi tidak kalah pentingnya. Tarekat-tarekat sufi berperan menjadi kekuatan politik di banyak negara Islam. Tarekat Safawi misalnya berubah dari gerakan spirituil semata menjadi gerakan politik dan militer, yang akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Safawi di Persia. Hal yang sama misalnya peran para sufi dalam menumpas penjajah kolonial di Indonesia, sehingga semangat sufisme mempunyai sumbangan besar bagi pencapaian kemerdekaan negara Indonesia ini. Historical fact ini adalah bukti yang tidak bisa dibantah bahwa untuk mengatakan ajaran tasawuf anti keduniaan, sama sekali tidak beralasan. Jika pun ada dalam praktek sekelompok orang, itu adalah disebabkan kurangnya pemahaman akan makna tasawuf itu sendiri dan ajaran Islam umumnya.
Dunia sekarang mendambakan kedamaian hidup. Bukan saja kedamaian rumah tangga, antar tetangga dan kelompok masyarakat, dan stabilitas nasional, tetapi sampai pada kedamaian internasional. Kedamaian seberapapun kecil dan besar skalanya akan dapat diterima hanya jika sifat-sifat keserakahan dapat diredam oleh setiap orang pada dirinya. Bagi umat Islam, sifat-sifat tersebut dapat dihilangkan hanya jika seseorang telah menghayati dan menyadari sepenuhnya sifat-sifat sabar, tawakal dan ridha yang diajarkan oleh Islam dan yang menjadi maqamat atau station di kalangan kaum sufi menuju Tuhan.
Munculnya tasawuf atau sufisme sebagai alternatif yang terpilih untuk meresponi kemiskinan spiritual masyarakat modern, khususnya di Barat, sesungguhnya sangat beralasan karena sufisme mengajarkan hal-hal yang cukup rasional dan sekaligus supra rasional. Pemahaman ajaran agama secara rasional ditambah dengan pelaksanaannya secara formal tidak cukup menjamin kesetiaan orang pada agama yang dianutnya. Pemahaman dan formalitas agama tidak membawa orang merasakan nikmatnya beragama, bahkan mungkin hanya membuat orang merasa terbebani dengan berbagai ketentuan normatif dari agamanya sendiri.
Oleh sebab itu, tasawuf menjadi pilihan, karena bentuk kebajikan spiritual dalam tasawuf telah dikemas dengan filsafat, pemikiran, ilmu pengetahuan dan disiplin kerohanian tertentu berdasarkan ajaran Islam. Nilai-nilai spiritual yang digali dari sumber formal, seperti Alquran dan hadis, dan dari pengalaman keagamaan atau mistik telah dikembangkan para sufi-sufi sebelumnya.
Namun pengalaman sufi di zaman modern, hendaknya diletakkan secara proporsional. Artinya, tidak tertutup kemungkinan akan adanya orang-orang tertentu yang mampu mengaplikasikan sufistik melalui station-station mulai dari yang terendah sampai pada tingkat yang tertinggi, sehingga ia hidup dengan menjauhi materi keduniaan, tetapi sebenarnya untuk zaman modern ini orientasi kesufian sebaiknya diarahkan untuk dapat berkembang seiring dengan modernitas.
Untuk itu, yang patut diperhatikan ialah bagaimana membumikan dalam arti mengamalkan secara aplikatif nilai-nilai spiritual maqamat dan ahwal di tengah dinamika modernitas kehidupan manusia. Di sini, misalnya, pengertian zuhud tidak terlalu diasosiasikan dengan penyendirian dan pertapaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi penyucian diri bagi setiap orang yang terlibat dan turut mengalami dinamika dunia modern. Sufi di zaman modern ialah orang yang mampu menghadirkan ke dalam dirinya nilai-nilai Ilahiyah yang memancar dalam bentuk perilaku yang baik dan menyinari kehidupan sesama manusia. Inilah makna hadis Rasulullah Saw., khairunnas anfauhum linnas, bahwa sebaik-baik manusia ialah manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia.
Kesan bahwa sufi harus menjauhkan diri dari masyarakat (uzlah) dan sibuk dengan ibadahnya sendiri, seperti yang digambarkan oleh para pihak, bahwa untuk mengamalkan praktik kesufian hanyalah dengan penyendirian dengan tujuan menyatu dengan Tuhan, tampaknya merupakan hal yang kurang relevan dengan modernitas yang mengharuskan adanya hubungan antar pribadi dan kelompok manusia dalam membangun peradaban modern yang cirinya adalah pemanfaatan iptek dan pendayagunaan sumberdaya secara maksimal serta kemakmuran kehidupan. Untuk itu, diperlukan orientasi baru berupa penghadiran nilai-nilai Ilahi dalam perilaku keseharian manusia modern, sehingga peran agama yang menghendaki kesucian moral tetap terasa sangat perlu. Hal ini berarti, pengamalan ajaran agama tidak cukup jika hanya bersifat rasional dan formal tanpa kesadaran batiniyah yang mendalam, sehingga setiap muslim dapat merasakan nikmatnya beragama, yang di dalamnya terkandung kecintaan kepada Tuhan sekaligus kecintaan kepada sesama manusia dan sesama makhluk.
Untuk itu, tasawuf di abad modern tidak lagi berorientasi murni kefanaan untuk menyatu dengan Tuhan, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab manusia sebagai khalifah Tuhan yang harus memperbaiki dirinya dan sesama makhluk. Dengan kata lain, tasawuf tidak hanya memuat dimensi kefanaan yang bersifat teofani, tetapi juga berdimensi profan yang di dalamnya terdapat kepentingan sesama manusia yang mendunia.
Penutup
Tasawuf merupakan salah satu khazanah Islam yang cukup kaya, baik dari segi sejarah perkembangan maupun dari segi doktrin yang dikembangkan oleh para sufi. Sebagai suatu khazanah tasawuf sudah selayaknya mendapatkan apresiasi yang sama dengan khazanah Islam lainnya dari kaum muslim. Apalagi perkembangan tasawuf sendiri pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Islam sebagai “jalan hidup menuju kebenaran”.
Teori-teori yang dikembangkan oleh kaum sufi, pada dasarnya berisi nilai-nilai etis--yang kini sangat dibutuhkan oleh manusia modern. Oleh karena itu, dalam konteks modernitas, nilai-nilai yang terkandung dalam tasawuf jelas sangat relevan. Apalagi manusia modern, kini sudah kehilangan “spiritualitasnya”.
Re-interpretasi dan kontekstualisasi nilai tasawuf akan semakin bermakna bilamana ia diangkat pada tataran yang aplikatif dalam kehidupan masyarakat. Konsep ikhlas dan mahabbah misalnya, akan menjadi sarat makna apabila nilai sufistik ini diamalkan dalam seluruh aspek kehidupan sosial kemasyarakatan, baik dalam dunia politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Korupsi, kolusi, nepotisme, kerusuhan, dan konflik horizontal dan perselisihan antar sesama anak bangsa dan berbagai penyakit sosial dengan sendirinya secara berangsur-angsur menjadi berkurang andaikata sejak dini konsep ini dimasyarakatkan. Alangkah indahnya sesama umat memulai suatu konsep pekerjaan dengan keikhlasan, menjalin hubungan antara sesama dengan rasa cinta, Alquran dan hadis sendiri menganjurkan untuk saling mencintai sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
thanks penjeasannya ^_^
ReplyDelete(SRI AGUSTINA SHOFIAN; Lolos PNS Guru di lingkungan Kemenag Blitar)
ReplyDeleteBerawal dari keinginan kuat untuk mengikuti test tertulis CPNS yang dilaksanakan oleh PEMDA Berau dimana saya tinggal, saya pun ikut berpartisipasi mengkutinya. Namun sebenarnya bukan sekedar hanya berpartisipasi tapi terlebih saya memang berkeinginan untuk menjadi seorang PNS. Waktu pun terus berjalan, karena tertanggal 5 Desember 2013 yang lalu saya pun mengikuti Test CPNS yang diselenggarakan oleh PEMDA Berau dengan harapan yang maksimal yaitu menjadi seorang PNS. Kini tanggal 18 Desember 2013, pengumuman test kelulusan tertulis itu diumumkan. Dengan sedikit rasa was-was dan bercampur tidak karuan menyelimuti pikiranku. Rasa pesimisku memang timbul, karena pengumuman yang di informasikan adalah tertanggal 11 Desember 2013 namun di undur tanggal 18 Desember 2013. Dengan mengucapkan BISMILLAH, aku pun masuk ke halaman kantor BKD untuk melihat hasil pengumuman test tertulis CPNS. Dan Syukur Alhamdulillah saya pun LULUS diurutan ke 3 dari 1 formasi yang aku ikuti di Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Dan berikut peringkat screen shoot yang saya jepret menggunakan Ponsel kesayangku.
Puji Syukur tak henti-hentinya aku panjatkan ke Hadirat Allah SWT, atas rezeki yang diberikan kepadaku. Semua hasil ini saya ucapkan terimakasih kepada :
1. ALLAH SWT; karena KepadaNya kita mengemis dan memohon.
2. Suami dan Anak [DikMa]; Dukungan Do’anya sangat berharga dalam pencapaian saat ini.
3. Orang Tua, Saudara-saudaraku; Tetap mensupport aku selama 3 bulan terakhir ini, terimakasih Mama, terima kasih Kakak Perempuan ku, terima kasih Kakak Laki-laki ku tak terlepas juga buat teman-temanku terimakasih semuanya.
4. Terimakasih untuk khususnya Bpk DR.H.EDY WAHYONO SUWARNO PUTRO.SH.M.S.I. beliau selaku petinggi BKN PUSAT,dan dialah membantu kelulusan saya selama ini,alhamdulillah SK saya tahun ini bisa keluar.anda ingin LULUS seperti saya silahkan anda hubungi nomor bpk DR.H.EDY WAHYONO SUWARNO PUTRO.SH.M.S.I.0813-2612-2555