Antara Sufisme, Kekayaan, dan Kemiskinan.

Kang Jalal, dalam Islam Alternatif, membangun sebuah hipotesis bahwa makin terbenam orang dalam pekerjaan intelektual, makin rindu ia kepada kehangatan mistikisme. Kegersangan rasionalisme malahan mendorong orang untuk mencari keseimbangan dengan menghadirkan sufisme.


Sufisme lahir akibat kekayaan.
Proposisi bahwa sufisme lahir akibat kekayaan dapat ditunjang dengan melihat kecenderungan orang-orang yang berada dalam affluenct society untuk menyenangi kehidupan mistik. Di Amerika, kini mistikisme bahkan sudah mulai memasuki masyarakat ilmiah. Kelompok ilmuwan terkadang bertukar pikiran dengan kelompok-kelompok mistik, dan para psikolog mulai berbicara tentang altered states of consiousnes. Sebuah buku yang bagus sekali menggambarkan kecenderungan mistikisme di Amerika telah terbit, dengan judul The Aquarian Conspiracy. Mistikisme justru lebih subur pada masyarakat kaya, dan bukan pada masyarakat miskin.

Dalam sejarah Islam disebutkan, bahwa sufisme tumbuh subur pada masa kejayaan Islam. Pada zaman Abbasiah, ketika buku-buku Yunani diterjemahkan, dan ketika universitas-universitas Islam tumbuh subur, pada saat itu pula umat Islam mengenal bintang-bintang sufi yang tekenal, seperti al-Muhasibi, Dzun Nun al-Misri, Abu Yazid al-Bustami, al-Junaid al-Bagdadi, al-Kharraz, al-Hallaj, dan sebagainya.

Bila ditelusuri lebih lanjut dapat ditemukan bahwa sufisme sebagai gerakan, mulai muncul ketika kekuasaan Islam sudah melebar ke separuh dunia. Ketika kekayaan mulai mengalir ke dunia Islam, beberapa sahabat Nabi Saw, seperti Abu Zar, Ibnu Umar, Huzaifah, mengkhotbahkan nilai-nilai sufirme. Sufisme untuk pertama kali tumbuh di Basrah dan Kufah, kedua-dua kota ini pada masanya adalah pusat-pusat kekuasaan Islam. Dari tempat ini kemudian sufirme menyebar ke tempat lain terutama Khurasan yang melahirkan Ibrahim bin Adham, Abdullah bin Mubarak, dll.

Dari Khurasan, sufisme menjadi sebuah gerakan yang menimbulkan pemberontakan yang menumbangkan dinasti Umawiyah dan menegakkan dinasti Abbasiyah. Gerakan Imam Mahdi di Sudan yang memporakporandakan pasukan Jenderal Gordon, juga gerakan sufi. Gerakan Sanusiah di Afirka Utara adalah gerakan pembaru sosial yang sangat sufi, begitu juga Ikhwan al-Muslimun di Mesir yang didirikan oleh Hasan al-Banna. Di Indonesia, gerakan-gerakan protes di pedesaan Jawa diwarnai oleh sufisme.

Beberapa nilai dasar dalam sufisme bahkan melahirkan dinamisme dan militanisme.

Sufisme tidak mengakibatkan kemiskinan
Dalam sufisme ada nilai-nilai yang dapat mengatasi kemiskinan. Muhammad al-Ghazali, tokoh al-Ikhwan al-Muslimin, mengajak orang kembali kepada kehangatan sufisme dengan bukunya Rakaiz al-Imam baina al-’Aql wa al-Qalb (Kuwait: Maktabah al’Amal, 1976, h. 163). Dia mengatakan, bahwa sufisme ditandai oleh tiga hal: (1) berusaha menjadikan iman yang bersifat nalar (nazhari) perasaan jiwa yang bergelora, mengubah iman ’aqli menjadi iman qalbi; (2) melatih dan mengembangkan diri menuju tingkat kesempurnaan, dengan mengumpulkan sifat-sifat mulia dan membersihkan diri dari sifat-sifat tercela; (3) memandang dunia ini hanya sebagai bagian kecil dari kehidupan luas yang merentang sampai hari yang baka.

Sebelum muncul istilah sufi, orang yang mempraktikkan jalan sufi disebut zahid (orang yang zuhud). Imam Ahmad bin Hambal, yang terkenal sebagai fakih yang agak ”formalistis”, bahkan menuliskan akhbar dan atsar yang menunjukkan sufisme, dengan judul Kitab al-Zuhd, (diterbitkan oleh Dar al-Kutub al-Ilmiyah Beirut, tahun 1978). Zuhud bukan asketisme dalam artian ”keadaan atau corak kehidupan yang dijalani oleh orang yang menolak masalah-masalah duniawi, atau mazhab pemikiran yang meletakkan semua tekanan pada segi-segi ruhani dan moral, dan sepenuhnya mengabaikan segi-segi bendawi kehidupan manusia (lihat Fazlur Rahman, Muhammad: Encyclopedia of Seerah. Vol. II. London: Muslim School Trust, 1982, h. 337), tetapi zuhud adalah asketisme dalam artian kehidupan sederhana berdasarkan motif keagamaan. Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan tiga tahap zuhud: meninggalkan segala yang haram (zuhud orang awam), meninggalkan hal-hal yang berlebihan dalam perkara yang halal (zuhud orang khawwash), dan meninggalkan apa saja yang memalingkan diri dari Allah (zuhud orang ’arifin).

Bila definisi zuhud Imam Ahmad bin Hambal saja yang kita pegangi, maka kita dapat menjabarkan beberapa nilai derivatif darinya yang kondusif untuk usaha-usaha menghilangkan kemiskinan. Meninggalkan hal-hal yang haram menuntut orang mencari kekayaan secara tulus lewat kerja keras meninggalkan suap (yang menurut Rasulullah menimbulkan laknat Allah kepada si penerima dan si pemberinya), menghindari hal-hal yang merugikan orang lain, dan menciptakan pekerjaan yang mempunyai nilai sosial yang tinggi.

Menghindari hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sifat hemat, hidup sederhana, dan menghindari keberlebihan, kemewahan, atau pemilikan harta yang lebih bernilai promotor status daripada sebagai kekayaan yang produktif. Zuhud melahirkan sikap menahan diri dan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja sebagai asset yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga assets sosial dalam artian untuk menolong mereka yang berada dalam kesempitan.


Comments

  1. Please visit our updated blog at http://airsetitik.tk

    Regards,

    Air Setitik Team

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)