Belajar dari Hikayat Nostalgik NU vs Muhammadiyah
persoalan ”remeh temeh” fiqh khilafiyah furu’iyah itu kini telah masuk dalam kotak sejarah. Orang yang membukanya kembali—biasanya generasi tua—akan langsung mendapat stigma ”manusia purba” yang sedang membolak-balik fosil berkarat, uzur, tidak kreatif apalagi inovatif, dan menghabiskan energi dengan sia-sia.
Dulu pada tahun 1950-an kata orang-orang tua, kalau ada orang Muhammadiyah yang hendak menjual hewan, orang NU tidak mau membelinya. Ketika orang NU menyembelih hewan untuk selamatan dan tetangganya yang Muhammadiyah dikirimi, biasanya mereka menerimanya tetapi tidak mau memakannya. Pada masa yang berbeda juga terjadi suasana satu sama lain saling membid’ahkan. Masing-masing seolah-olah berlomba, berteriak di depan corong langgarnya, menghamburkan sejumlah ayat al-Qur’an, hadis, dan qaul ulama sebagai hujjah dengan semangat untuk tidak mengatakan mengkafirkan—lawannya—yang dianggapnya telah menyimpang dari Islam, terkontaminasi muatan budaya lokal yang sarat tahayul bid’ah khurafat (TBC) atau tidak mengapresiasi ulama salaf dengan penuh takzim dan empati.
Hikayat nostalgik, yang hampir merata di seantero pelosok negeri itu, menyodorkan lusisan betapa di masa lalu ihwal furu’iyah bisa memicu timbulnya ketegangan dan konflik yang berkepanjangan. Lucunya, mereka satu sama lain saling menjatuhkan dengan sama-sama menunjukkan ”dalil Islam” yang berporos pada Tuhan dan Nabi yang sama: Allah Swt-Muhammad Saw.
Semangat keberagamaan—lebih tepatnya kemazhaban—yang kental sisi emosionalnya itu, seiring perjalanan waktu mengalami penyusutan. Booming sarjana lulusan IAIN dan sekolah tinggi agama (Islam) lainnya, dalam titik tertentu, diakui atau tidak, mempunyai andil yang cukup signifikan dalam proses pemerataan, peretasan, dan peminimalisasian ketegangan-ketegangan di atas. Akhirnya, kini persoalan ”remeh temeh” fiqh khilafiyah furu’iyah itu masuk dalam kotak sejarah. Orang yang membukanya kembali—biasanya generasi tua—akan langsung mendapat stigma ”manusia purba” yang sedang membolak-balik fosil berkarat, uzur, tidak kreatif apalagi inovatif, dan menghabiskan energi dengan sia-sia.
Wacana pun sekarang beralih. Tarjih (dan mabahis al-kutub) mengalami pergeseran makna: sebagai ikhtiar mencari format baru wawasan keislaman yang lebih progresif, subtil, emansipatoris, liberal, humanis, kosmopolit dan menjunjung tinggi sikap-sikap toleran, inklusif, terbuka, dan tidak monolitik. Orang pun kemudian berbondong-bondong menengok akar khazanah Timur yang kerap terlupakan. Yaitu ”tradisionalisme Islam” tasawuf. Tasawuf, memang menyodorkan sikap rendah hati dalam beragama. Pesona aura spiritualitasnya (malakut) bisa menarik seseorang dalam kesadaran kelanggengan damba mistik Ilahi (QS. Al-Rum: 30) bermandikan katarsis Ruh Agung (QS. Lukman: 22 al-Nisa: 125), dan kembali luruh dalam figura fitrah kemanusiaan universal tanpa direcoki sekat-sekat rigid subjektivitas perkauman, bahkan melampaui kekakuan institusi agama (QS. Al-Baqarah: 213). Tasawuf dapat merajut kembali perjanjian primordial dengan-Nya.
”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangka mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri (dan bersabda), ’Bukankah Aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ’Ya benar kami semua menjadi saksi...’.” (QS. Al-A’raf: 172)
Tentu saja yang menjadi rujukan otentik dan sumber genuine dalam ranah tasawuf adalah Nabi Muhammad Saw sendiri: muuara ilham yang tak pernah pudar, lautan kearifan yang mustahil surut, mata air kesejatian yang tak mungkin lekang, dan sufi agung mahaguru ruhani-jasmani yang telah mempraktekkan ajaran tasawuf secara utuh, dan mewakafkan dirinya dengan dedikasi tinggi. Dialah Rasulullah Saw yang tak kenal lelah membebaskan manusia dari segala bentuk belenggu nafsu destruktif dan hasrat-hasrat primitif yang bisa membelokkan bahkan menjungkalkan martabat manusia dari ahsan taqwim insan kamil meluncur ke jurang kenestapaan, asfala safilin sekaligus membimbingnya ke semesta yang dilimpahi Cahaya Ilahi, ke medan pengetahuan akan jati diri, sebagaimana sabdanya: ”kenali dirimu: niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.
Begitu kentalnya perjalanan spiritual Nabi Saw, sehingga Allah berkenan membuka lebar-lebar pintu ”Rumah”-Nya. Allah bahkan telah menuntun manusia pilihan itu (al-musthafa) untuk melebur dalam Zat-Nya, terguncang dalam komunikasi suci yang membuahkan salat lima waktu, yang semestinya menjadi media atau pesawat (buraq) bagi kita untuk menghampiri Realitas Tertinggi di langit sidratul muntaha, kemudian kembali lagi ke ”dunia”, menebar risalah menyampaikan misi kasih-Nya, bergulat dalam dinamika carut marut keringat kemanusiaan dengan jiwa yang telah tercerahkan. ”Mi’raj seorang Muslim adalah salat”, jelas sang nabi.
Tasawuf yang dijalani Nabi seperti itulah yang mengantarkan beliau menjadi wisudawan Allah sehingga kepadanya dinisbahkan gelar prestisius yang dipatri, diabadikan dalam firman-Nya: ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).
Kewajiban kita kini adalah meneladani bertasawufnya beliau: ”Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi mereka yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian” (QS. Al-Ahzab: 21). Itulah cara berislam yang kaffah, sebagaimana diamanakan dalam salah satu ayat-Nya: ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam dengan total, dan jangan ikuti jejak-jejak setan. Sesungguhnya ia musuh yang amat jelas bagi kamu sekalian”. (QS. al-Baqarah: 207).
Belakangan ini, ada di antara kita yang mengidealkan sirah Nabi dan ingin kembali pada situasi kenabian (al-Qur’an Hadis) tanpa pernah mau mewarisi akhlak-sufistiknya dalam perilaku pengalaman sehari-hari. Ada juga yang berusaha menobatkan seseorang sebagai mursyid dan dia sebagai muridnya tanpa memperdulikan kualifikasi nilai dan kriteria kesalehan di dalamnya. Yang sahih, tentu saja, bagi mereka yang bisa mengakses langsung ke sumber utama, menjadikan Nabi sebagai mursyid-nya. Karena itu, orang yang tidak tahu jalan (thariqah) dan jika ”tidak dibimbing” dikhawatirkan akan tenggelam dalam kesesatan (ad-dalalah) terlunta-lunta di belantara kegelapan (az-zulumat), hendaklah mencari mursyif yang wara’, ikhlas, ’alim—singkatnya, yang memenuhi kriteria sebagai pewaris jejak kenabian (waratsatul anbiya); ikuti langkah-langkahnya serap setiap muatan kata-kata hikmahnya.
(Renungan, Diadaptasi dari Prof. KH. Ahmad Tafsir, dalam Ziarah Sufistik, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2001)
Dulu pada tahun 1950-an kata orang-orang tua, kalau ada orang Muhammadiyah yang hendak menjual hewan, orang NU tidak mau membelinya. Ketika orang NU menyembelih hewan untuk selamatan dan tetangganya yang Muhammadiyah dikirimi, biasanya mereka menerimanya tetapi tidak mau memakannya. Pada masa yang berbeda juga terjadi suasana satu sama lain saling membid’ahkan. Masing-masing seolah-olah berlomba, berteriak di depan corong langgarnya, menghamburkan sejumlah ayat al-Qur’an, hadis, dan qaul ulama sebagai hujjah dengan semangat untuk tidak mengatakan mengkafirkan—lawannya—yang dianggapnya telah menyimpang dari Islam, terkontaminasi muatan budaya lokal yang sarat tahayul bid’ah khurafat (TBC) atau tidak mengapresiasi ulama salaf dengan penuh takzim dan empati.
Hikayat nostalgik, yang hampir merata di seantero pelosok negeri itu, menyodorkan lusisan betapa di masa lalu ihwal furu’iyah bisa memicu timbulnya ketegangan dan konflik yang berkepanjangan. Lucunya, mereka satu sama lain saling menjatuhkan dengan sama-sama menunjukkan ”dalil Islam” yang berporos pada Tuhan dan Nabi yang sama: Allah Swt-Muhammad Saw.
Semangat keberagamaan—lebih tepatnya kemazhaban—yang kental sisi emosionalnya itu, seiring perjalanan waktu mengalami penyusutan. Booming sarjana lulusan IAIN dan sekolah tinggi agama (Islam) lainnya, dalam titik tertentu, diakui atau tidak, mempunyai andil yang cukup signifikan dalam proses pemerataan, peretasan, dan peminimalisasian ketegangan-ketegangan di atas. Akhirnya, kini persoalan ”remeh temeh” fiqh khilafiyah furu’iyah itu masuk dalam kotak sejarah. Orang yang membukanya kembali—biasanya generasi tua—akan langsung mendapat stigma ”manusia purba” yang sedang membolak-balik fosil berkarat, uzur, tidak kreatif apalagi inovatif, dan menghabiskan energi dengan sia-sia.
Wacana pun sekarang beralih. Tarjih (dan mabahis al-kutub) mengalami pergeseran makna: sebagai ikhtiar mencari format baru wawasan keislaman yang lebih progresif, subtil, emansipatoris, liberal, humanis, kosmopolit dan menjunjung tinggi sikap-sikap toleran, inklusif, terbuka, dan tidak monolitik. Orang pun kemudian berbondong-bondong menengok akar khazanah Timur yang kerap terlupakan. Yaitu ”tradisionalisme Islam” tasawuf. Tasawuf, memang menyodorkan sikap rendah hati dalam beragama. Pesona aura spiritualitasnya (malakut) bisa menarik seseorang dalam kesadaran kelanggengan damba mistik Ilahi (QS. Al-Rum: 30) bermandikan katarsis Ruh Agung (QS. Lukman: 22 al-Nisa: 125), dan kembali luruh dalam figura fitrah kemanusiaan universal tanpa direcoki sekat-sekat rigid subjektivitas perkauman, bahkan melampaui kekakuan institusi agama (QS. Al-Baqarah: 213). Tasawuf dapat merajut kembali perjanjian primordial dengan-Nya.
”Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangka mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri (dan bersabda), ’Bukankah Aku Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ’Ya benar kami semua menjadi saksi...’.” (QS. Al-A’raf: 172)
Tentu saja yang menjadi rujukan otentik dan sumber genuine dalam ranah tasawuf adalah Nabi Muhammad Saw sendiri: muuara ilham yang tak pernah pudar, lautan kearifan yang mustahil surut, mata air kesejatian yang tak mungkin lekang, dan sufi agung mahaguru ruhani-jasmani yang telah mempraktekkan ajaran tasawuf secara utuh, dan mewakafkan dirinya dengan dedikasi tinggi. Dialah Rasulullah Saw yang tak kenal lelah membebaskan manusia dari segala bentuk belenggu nafsu destruktif dan hasrat-hasrat primitif yang bisa membelokkan bahkan menjungkalkan martabat manusia dari ahsan taqwim insan kamil meluncur ke jurang kenestapaan, asfala safilin sekaligus membimbingnya ke semesta yang dilimpahi Cahaya Ilahi, ke medan pengetahuan akan jati diri, sebagaimana sabdanya: ”kenali dirimu: niscaya engkau akan mengenali Tuhanmu.
Begitu kentalnya perjalanan spiritual Nabi Saw, sehingga Allah berkenan membuka lebar-lebar pintu ”Rumah”-Nya. Allah bahkan telah menuntun manusia pilihan itu (al-musthafa) untuk melebur dalam Zat-Nya, terguncang dalam komunikasi suci yang membuahkan salat lima waktu, yang semestinya menjadi media atau pesawat (buraq) bagi kita untuk menghampiri Realitas Tertinggi di langit sidratul muntaha, kemudian kembali lagi ke ”dunia”, menebar risalah menyampaikan misi kasih-Nya, bergulat dalam dinamika carut marut keringat kemanusiaan dengan jiwa yang telah tercerahkan. ”Mi’raj seorang Muslim adalah salat”, jelas sang nabi.
Tasawuf yang dijalani Nabi seperti itulah yang mengantarkan beliau menjadi wisudawan Allah sehingga kepadanya dinisbahkan gelar prestisius yang dipatri, diabadikan dalam firman-Nya: ”Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4).
Kewajiban kita kini adalah meneladani bertasawufnya beliau: ”Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi mereka yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian” (QS. Al-Ahzab: 21). Itulah cara berislam yang kaffah, sebagaimana diamanakan dalam salah satu ayat-Nya: ”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam dengan total, dan jangan ikuti jejak-jejak setan. Sesungguhnya ia musuh yang amat jelas bagi kamu sekalian”. (QS. al-Baqarah: 207).
Belakangan ini, ada di antara kita yang mengidealkan sirah Nabi dan ingin kembali pada situasi kenabian (al-Qur’an Hadis) tanpa pernah mau mewarisi akhlak-sufistiknya dalam perilaku pengalaman sehari-hari. Ada juga yang berusaha menobatkan seseorang sebagai mursyid dan dia sebagai muridnya tanpa memperdulikan kualifikasi nilai dan kriteria kesalehan di dalamnya. Yang sahih, tentu saja, bagi mereka yang bisa mengakses langsung ke sumber utama, menjadikan Nabi sebagai mursyid-nya. Karena itu, orang yang tidak tahu jalan (thariqah) dan jika ”tidak dibimbing” dikhawatirkan akan tenggelam dalam kesesatan (ad-dalalah) terlunta-lunta di belantara kegelapan (az-zulumat), hendaklah mencari mursyif yang wara’, ikhlas, ’alim—singkatnya, yang memenuhi kriteria sebagai pewaris jejak kenabian (waratsatul anbiya); ikuti langkah-langkahnya serap setiap muatan kata-kata hikmahnya.
(Renungan, Diadaptasi dari Prof. KH. Ahmad Tafsir, dalam Ziarah Sufistik, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2001)
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI