Keadilan dan Moral dalam Sistem Ekonomi Islam
Babak baru kembangkitan kembali sistem ekonomi Islam mulai bergulir, menyusul kegagalan sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis (komunis) dalam mewujudkan kemakmuran bagi bangsa-bangsa penganutnya. Sistem ekonomi Islam telah menjadi alternatif yang meyakinkan, tidak hanya didukung oleh teori dan teknik berekonomi, tapi lebih dari itu sistem ini didukung pula oleh prinsip keadilan dan moral yang meliputi, illahiyah, akhlak, kemanusiaan dan petengahan yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis (komunis) Prinsip keadilan dan moral menjadi “competitive advantage” (keunggulan bersaing) dalam sistem ekonomi Islam.
A. Pendahuluan
Perhatian masyarakat luas terhadap ekonomi Islam semakin meningkat, sejak kegagalan sistem ekonomi kapitalis mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara penganut-penganutnya. Mereka mengandalkan mekanisme pasar bebas dan menerapkan teori “Marginal Economics” dengan mengandalkan rumus-rumus matematika yang dipelopori oleh ekonom ortodok Walrus dan Jeruns. Marginal Economics dengan matematikanya sebenarnya merupakan formalisasi yang ketat dari salah satu aspek ilmu ekonomi klasik yang dipelopori oleh Adam Smith. Menurut Adam Smith, pasar bebas di mana setiap orang mengabdi kepada kepentingan diri sendiri (self intrest) akan mendatangkan keberuntungan bagi semua.
Sayangnya metode dan teknik matematika yang ketat dalam marginal economics takkan mampu mencakup kerumitan teori Adam Smith itu. Syarat yang ditegaskan secara mutlak oleh Adam Smith berupa tingginya peran lembaga pemerintah dan moral masyarakat agar pasar bebas mendatangkan keberuntungan bagi semua, terpaksa diabaikan karena tidak bisa dirumuskan dengan matematika. Juga yang tidak bisa diganti dengan matematika adalah analisis Smith mengenai pertumbuhan ekonomi, atau mengapa suatu negara bisa makmur sedang negara lain tidak.
Di sinilah pokok pangkal kekeliruan mereka, tetapi terus dibela oleh ekonom-ekonom ortodoks penerus Walrus dan kawan-kawan bahwa apa yang dirumuskan dengan matematika itu benar. Sesungguhnya bukan penggunaan matematika itu yang salah, tetapi kesalahan mereka itu pada ambisi mengejar ilmu fisika (yang selalu menggunakan matematika) dengan sama-sama menganggap dunia sebagai mesin yang berfungsi mulus. Pandangan yang keliru inilah yang menuntut peralatan dan metode matematika.
Akibatnya mereka dan negara-negara yang mengikutinya terus terbentur dengan berbagai masalah ekonomi, sehingga kemakmuran yang diharapkan itu tak kunjung tiba, bahkan yang terkesan jauh panggang dari api. Dan terakhir untuk Indonesia sebelum pemerintahan Megawati mengakhiri tugas tidak menambah lagi utang kepada IMF dan Bank Dunia yang sudah lama berkesinambungan sejak zaman orde baru. Semua resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia (yang konon didominasi oleh ekonom-ekonom ortodok) tidak ada satupun yang manjur dan yang nyata Republik Indonesia bertambah terus utangnya.
Sistem ekonomi sosialis (khususnya sistem komunis) pernah berjaya sebagai sistem ekonomi setelah sistem kapitalis yang juga berusaha mewujudkan kemakmuran bagi negara dan warga negara yang melaksanakan sistem tersebut. Kebobrokan sistem ekonomi komunis ini satu demi satu terbongkar. Ekonomi negara benteng komunis terbesar (Uni Soviet) sebelum bubar (terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil) ternyata compang camping penuh dengan kegiatan ekonomi bawah tanah seperti penyelundupan narkotika dan lain-lain. Begitu juga dengan negara Kuba penuh dengan kegiatan illegal narkoba dan senjata. Teori ekonomi komunisme yang diatur oleh kelas yang berkuasa (buruh) yang menerapkan 3 prinsip, yakni (1) mewujudkan kebersamaan (equality) secara riil; (2) menghapuskan kepemilikan individu (private property); (3) mengatur produksi dan distribusi secara kolektif, ternyata juga gagal total mewujudkan kemakmuran bagi rakyat dan negaranya secara keseluruhan.
Sistem ekonomi Islam yang dilaksanakan oleh negara-negara yang berdasarkan Islam kini semakin bersinar dan semakin diminati orang di luar negara-negara yang berazas Islam seperti Indonesia dan negara negara lain. Islam mempunyai keunggulan tersendiri dalam sistem ekonomi yang dianutnya. Keunggulan sistem ekonomi Islam itu terletak pada prinsip yang mendasarinya yaitu spirit dan moral, yang tidak ada pada dua sistem ekonomi yang dijelaskan terdahulu. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan sistem ekonomi islam berikut ini:
1. Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan perintah-perintah (injections) dan tata cara (ruler) yang ditetapkan oleh syariah yang mencegah ketidak adilan, dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.
2. Islam merumuskan suatu sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dari sistem-sistem ekonomi lainnya. Hal itu karena ekonomi Islam memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dari peradaban bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam memiliki tujuan-tujuan syariah (maqashid asy-syariah) serta petunjuk operasional (strategi) untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan itu saling mengacu kepada kepentingan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi, serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang antara kepuasan materi dan rohani.
3. Ekonomi Islam merupakan suatu sistem kehidupan ekonomi yang adil. Sumber-sumber Islam mengandung koleksi hukum yang sangat luas mengenai berbagai bidang ekonomi, seperti hukum Islam tentang pengelolaan tanah yang dibiarkan sia-sia dan penemuan hasil tambang, atau hukum tentang sewa-menyewa, syirkah (persekutuan dalam usaha ekonomi), riba dan sebagainya. Islam juga memiliki hukum-hukum mengenai zakat, khums, pajak dan baitul mal. Islam menyeru orang kepada kebenaran dan kebaikan, kesabaran dan akhlak, dan mencegah kepalsuan dan kemungkaran, demikian pula ia menyuruh mereka membantu orang miskin dan melarang mereka berbuat zalim, melanggar hak orang lain dan menumpuk uang secara tidak halal.
Tentang kelebihan ekonomi Islam ini sebetulnya sudah lama diakui oleh ekonom klasik terkenal Adam Smith sebagaimana dijelaskannya di dalam bukunya The Wealth of Nations yang terbit tahun 1776 M. Dalam jilid ke lima bab pertama Adam Smith membandingkan masyarakat dengan tingkat perekonomian yang berbeda, yakni bangsa dengan ekonomi terbelakang dan bangsa ekonomi maju. Masyarakat dengan ekonomi terbelakang ditandai dengan mata pencahariannya sebagai pemburu, sedang masyarakat ekonomi maju ditandai dengan mata pencaharian sebagai penggembala dan pedagang. Contoh masyarakat ekonomi terbelakang adalah masyarakat Indian di Amerika Utara, sedangkan contoh masyarakat maju adalah bangsa Arab dan Tartar. Arab manakah yang dirujuk oleh Smith? Bukankah bangsa Arab telah terkenal sebagai bangsa pedagang bahkan sebelum periode Rasulullah Saw. Adam Smith menjelaskan, bangsa Arab yang dimaksud adalah yang di pimpin oleh “Mahomet and his immediate successors” atau lebih tepatnya Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Jelaslah yang dijadikan contoh perekonomian maju oleh Adam Smith adalah perekonomian umat Islam.
Bahkan lebih dari itu beberapa institusi ekonomi Islam ditiru oleh Barat, antara lain syirkah (serikat dagang), suftaja (bills of exchange), hiwala (letter of credit), daar ut tiraj (pabrik yang didirikan dan dijalankan oleh negara).
Juga beberapa pemikiran ekonomi Islam yang dicuri tanpa pernah menyebutkan sumber kutipannya antara lain:
* Teori Parito Optimun diambil dari kitab Najul Balagah, Imam Ali
* Bar Aebracus, pendeta Syerire Jacobite Church menyalin beberapa bab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali.
* Gresham Law dan Oresnu Treatese diambil dari kitab Ibnu Taimiyah
* Pendeta Spanyol Ordo Dominican Raymon Martini menyalin banyak bab dari Tahaful al Falasifa, Maqasid al Falasifa, Al Munqid, Miskat al Anwar, dan Ihya Al-Gazali.
* St. Thomas menyalin banyak bab dari Al-Farabi (St. Tomas yang belajar dari ordo domunican mempelajari ide-ide Al-Gazali dari Bar – Heracus dan Martini)
* Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith (1776 M), dengan bukunya The Wealth of Nations diduga banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwal-nya Abu Ubaid (838 M) yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Adam Smith The Wealth of Nations.
Banyak dari teori-teori ekonomi modern yang merupakan hasil curian dari pemikiran ekonomi Islam, oleh karena itu sikap umat Islam terhadap ilmu-ilmu dari barat, termasuk ilmu ekonomi adalah la tukazzibuha jami’a wala tuhibbuhu jami’a. Maka ekonom Islam tidak perlu terkesima dengan teori-teori ekonomi Barat. Ekonomi Islam perlu mempunyai akses terhadap kitab-kitab klasik Islam. Fukaha Islam perlu mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat menterjemahkan kondisi ekonomi modern dalam kitab klasik Islam.
B. Ruang Lingkup Ekonomi Islam
1. Universal dan komprehensif
Islam adalah agama yang universal dan komprehensif, yaitu agama yang mengatur kehidupan manusia disegala penjuru dunia yang meliputi semua aspek kehidupan, meliputi akidah, syariah, akhlak, ibadah dan muamalah. Islam bukan hanya mengatur urusan manusia dengan tuhannya, melainkan juga mengatur urusan manusia dengan sesamanya, serta lebih jauh lagi urusan manusia dengan lingkungannya sebagaimana dijelaskan dalam Alquran “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Salah satu ruang lingkup Islam yang maha luas ini yang masuk dalam muamalah adalah kegiatan ekonomi yang menjadi pokok bahasan tulisan ini. Kegiatan berekonomi merupakan bagian dari muamalah yang mengatur hubungan antara sesama manusia, yang memang manusia diperintahkan juga untuk memanfaatkan-nya dalam rangka kesempurnaan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minallah- hablum minan nas.) Tidak sempurna keislaman seseorang jika terdapat ketimpangan dalam hubungan ini. Alquran telah menjelaskan Islam suatu keyakinan yang universal, mudah dan logis untuk dipahami, serta applicable. Hal ini karena selain memiliki postulat iman, Islam, juga memiliki postulat ibadah yang berisi interaksi vertikal antara manusia dengan penciptanya, dan interaksi horizontal antara sesama manusia, serta postulat akhlak yang menjadi built in control dalam diri orang muslim. Dengan demikian ekonomi Islam dapat diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran, As-Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Alquran dan As-sunnah merupakan sumber utama. Sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan pelengkap untuk memahami Alquran dan As-Sunnah.
2. Kebebasan berekonomi
Islam memberikan kebebasan berekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syariah. Ekonomi adalah persoalan manusia yang selalu berkembang dengan dinamis. Oleh karena itu selalu diperlukan pemikiran baru untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi. Merujuk pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya tentu sangat bermanfaat, namun ijtihad di bidang ekonomi tentu diperlukan. Rasulullah bersabda:”Kamu lebih tahu urusan duniamu”.
Ada 3 kegiatan ekonomi yang bisa kita pilih: (1) Jual beli; (2) berproduksi; dan (3) Ijarah.
a. Jual-beli.
Allah Swt. menjadikan harta benda sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut Allah telah mensyariatkan cara perdagangan tertentu. Sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak bisa dengan mudah didapatkan. Kalau mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan maka itu merupakan tindakan yang merusak. Oleh karena itu harus ada sistem yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang ia butuhkan tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan. Itulah perdagangan dan hukum jual beli. Allah berfirman: “Hai orang orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian”. (An-Nisa : 29)
Jual beli atau perdagangan itu ada dua macam yang halal dan yang haram. Yang halal disebut bai’i dan yang haram disebut riba. Allah Swt. berfirman: ”Allah telah menghalalkan bai’i (jual beli) dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
Perdagangan merupakan salah satu bentukan pengembangan kepemilikan. Ketentuannya juga sangat jelas dalam hukum-hukum bai’i (jual-beli) dan syirkah (perseroan). Allah berfirman: “Kecuali jika muamalah itu adalah perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya”. (Al-Baqarah : 282).
Dan Nabi Saw. bersabda: ”Dan para pedagang nanti akan dibangkitkan pada hari Kiamat sebagai orang yang durjana, kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, taat dan jujur” (H.R. At-Tirmiji).
b. Berproduksi
Berproduksi atau “istishna” adalah apabila ada seseorang memproduksi sesuatu seperti bejana, mobil atau apa saja yang termasuk kategori berproduksi. Pada masa Rasul Saw. orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktivitas mereka. Diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktivitas berproduksi. Status taqrir dan perbuatan rasul sama dengan sabda beliau, artinya sama sama merupakan dalil syara’. Sedangkan terhadap sesuatu yang disepakati dalam transaksi adalah barang yang diproduksi. Dalam hal semacam ini berproduksi itu statusnya sama dengan transaksi jual-beli.
c. Ijarah
Kalau seseorang mendatangkan ahli pembuat barang tertentu untuk misinya, maka kegiatan ini termasuk dalam kategori transaksi ijarah. Begitu pula dalam arti yang lebih luas dengan industri yang berawal dari kerajinan tangan (hand carft) kemudian berkembang menjadi massal dengan menggunakan mesin (factory sistem).
Jual beli, berproduksi, maupun ijarah semuanya harus tunduk dan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku.
C. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
1. Kepemilikan dalam Islam
Prinsip kepemilikan dalam Islam yang merupakan salah satu sisi yang diatur oleh Islam. Secara berurutan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam ini dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Pemilik mutlak dari semua sumberdaya adalah Allah. Berbagai jenis sumberdaya merupakan merupakan pemberian dan titipan Tuhan kepada manusia yang menjadi khalifah-Nya. Manusia memanfaatkannya se-efesien dan seoptimal mungkin dalam berproduksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama-sama. Kepemilikan oleh individu bersifat relatif sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-Nya.
b. Islam menjamin kepemilikan publik yang diwakili oleh negara atas industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti air, listrik.
c. Islam mengakui kepemilikan pribadi pada batas-batas tertentu yaitu sebagai kapital produk yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila harta yang dimiliki tidak mampu dioperasionalkan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka ia dalam jumlah tertentu dan dalam periode waktu tertentu akan terkena zakat yang harus disalurkan kepada pihak-pihak tertentu yang berhak menerimanya. Hal ini berlaku pula pada pembagian harta pusaka atau warisan. Konsep kepemilikan ini sangat berbeda dengan konsep kapitalis maupun sosialis. Islam menolak terjadinya akumulasi harta yang dikuasai oleh segelintir orang maupun golongan.
d. Pandangan Islam terhadap harta adalah:
* Harta sebagai titipan (amanah). (Al-Hadid ayat 7, An-Nur ayat 33)
* Harta sebagai perhiasan yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik asalkan tidak berlebihan karena akan menimbulkan keangkuhan, kesombongan dan kebanggaan diri (Ali Imran ayat 14, Al-Alaq ayat 6-7).
e. Pemilikan harta harus diupayakan melalui usaha atau mata pencaharian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya.
Dalam upaya mencari karunia Allah terutama dalam rangka interaksi sesama manusia kita diharuskan melakukannya dengan spirit kesetaraan, kebersamaan, keadilan, dan tidak menekan, atau memaksa atau mengevaluasi pihak lain.
Dalam hubungan ini Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kamu”.
Dari ayat tersebut diatas dapat diuraikan kriteria-kriteria pekerjaan yang tidak boleh dilakukan (dilarang) dan harus dihindari, yaitu :
* Menempuh usaha yang haram seperti melalui aktivitas riba (al-Baqarah ayat 273-281). Perjudian (spekulasi/ maysir), berjual-beli barang yang dilarang atau haram (Al-Maidah ayat 90-91)
* Melakukan usaha melalui pencurian, perampokan, penggasakan (mengklaim hak orang lain) (Al-Maidah ayat 38).
* Melakukan kecurangan (garar) dalam takaran dan timbangan (Al-Mutaffifin ayat 1-6).
* Melakukan cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah ayat 188).
Dari segi etika berusaha atau bekerja beberapa usaha yang dilarang, yaitu usaha yang menyebabkan:
* Melupakan kematian (At-Takasur ayat 1-2)
* Melupakan zikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuannya (Al-Munafiqun ayat 9).
* Melupakan shalat dan zakat (An-Nur ayat 37).
* Memusatkan pemilikan hanya pada sekelompok orang saja (al-Hasyr ayat 7).
f. Semua harta (sumber daya) yang diamanatkan itu akan dimintai pertanggung-jawabannya di akhirat nanti. Konsep ini mempunyai implikasi yang sangat penting sehubungan dengan kepemilikan asset dan alat produksi. Berdasarkan keyakinan inilah, setiap aktivitas ekonomi seseorang muslim harus digerakan oleh motivasi impersonal yang merupakan refleksi tanggung jawabnya sebagai orang beriman.
D. Prinsip tentang Uang dan Bunga Bank
1. Uang
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, seorang ulama Islam bernama Abu Hamid Al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau berpendapat adakalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Menurut Al-Gazali uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna (Ihya, 4: 91-93). Uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan uang tidak mempunyai kegunaan langsung (direct utility function). Hanya bila uang itu digunakan untuk membeli barang, barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi Neo-Klasik dikatakan bahwa kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung. Apapun debat para ekonom tentang konvensi ini, kesimpulannya tetap sama dengan pendapat Al-Ghazali: Uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Dua ratus tahun sesudah Al-Ghazali (500 tahun sebelum Adam Smith) seorang ulama lain bernama Abdurrahman Ibnu Khaldun (Abu Zaid) menjelaskan lebih lanjut tentang uang ini. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Bisa saja satu negara mencetak uang sebanyak banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi, uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, meyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya.
Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun sependapat, bahwa uang tak perlu mengandung emas dan perak, tetapi emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah. Pemerintah yang menetapkan nilainya. Karena itu pemerintah tidak boleh mengubahnya. Muqaddimah I, 407, - Ihya 2, 74).
Masih menurut Al-Ghazali, perdagangan dinar dengan dinar ibarat memenjarakan uang sehingga uang tidak dapat menjalankan fungsinya. Makin banyak uang yang diperdagangkan, makin sedikit yang dapat berfungsi sebagai alat penukar (Ihya, 4, 192). Keadaan seperti ini bisa membahayakan (membuat) perekonomian menjadi lemah. Perkembangan pasar uang dunia saat ini menunjukan sebagian besar uang itu digunakan untuk perdagangan uang itu sendiri. Hanya 5% dari transaksi di pasar uang yang berkaitan dengan transaksi pasar barang dan jasa. Bahkan volume transaksi barang dan jasa hanya 1,5% dibandingkan dengan turn over transaksi di pasar uang. Pengalaman yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2000 yang membuktikan kebenaran analisis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun ini. Ada perusahaan Sekuritas “Long Term Capital Management dengan modal US $ 2,2 milyar, dapat dengan mudah meminjam uang dari berbagai sumber untuk dibelikan surat berharga senilai US $ 90 milyar. Surat berharga itu kemudian dijadikan jaminan untuk transaksi yang lebih besar lagi senilai US $ 1,25 trilyun. Di sini terjadi sektor finansial membesar secara semu. Namun celakanya mereka rugi, sehingga memaksa federal reserve AS memberikan bantuan atau bill out pada September tahun yang lalu dengan alasan mencegah efek domino bangkrutnya lebih banyak perusahaan Sekuritas. Hal yang sama dialami oleh negara kita sebelum krisis moneter Juli 1997. Banyak sekali bank-bank yang bermain valas, uang lebih banyak tersedot ke sana, lalu akhirnya pemerintah memberi talangan dengan kredit BLBI bagi Bank-bank yang masih bisa diselamatkan. Sedang bagi bank-bank yang sudah parah pemerintah melakukan pengambilalihan demi menyelamatkan dana yang berasal dari nasabah.
2. Bunga bank
Dalam kosa kata bahasa Inggris riba biasanya diterjemahkan dengan “usury” sedangkan bunga diterjemahkan sebagai “intrest.” Dilarangnya riba oleh agama-agama samawi tidak ada yang membantah. Setidaknya itu yang ditulis dalam Taurat dan Injil (Perjanjian Lama –Kuintus/Imanent 25 : 36-37) Denteronomy - Ulangan 23 :19, Exodus – Keluaran 22, 25, juga dalam Perjanjian baru Lukas 6 : 34-35.
Sampai pada abad ke 13 ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan “riba dilarang” oleh gereja atau hukum canon. Kemudian pada akhir abad ke 13 pengaruh gereja ortodok mulai melemah dan berkompromi dengan riba. Bacon seorang tokoh saat itu menulis dalam buku Discourse on usuary, “Karena kebutuhannya manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan”.
Sejak saat itulah secara perlahan tapi pasti pelarangan riba di Eropa dihilangkan.
Bagaimana pandangan ulama Islam terhadap bunga? Beberapa definisi riba yang dikutip oleh Muhammad Zuhri, penulis kutip seperti berikut ini :
* Riba nasi’ah adalah tambahan atas salah satu barang yang dihutang, seperti orang yang berhutang sekati kurma di musim dingin, dibayar kembali satu setengah kati di musim panas. (Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzy).
* Riba yang dikenal dan dikerjakan oleh orang Arab dahulu adalah utang beberapa dirham atau dinar, ketika mengembalikan diberi tambahan sesuai perjanjian ketika hutang dimulai.(Al-Jasras).
* Riba yang dilarang oleh Allah, bahwa di kalangan Jahiliyah, orang yang berpiutang berkata kepada yang berhutang ambillah ini, bayarlah nanti tetapi ingat tambahan. Yang berhutang pun mengambilnya, dan membayar pada masa mendatang sesuai dengan permintaan tadi. (Ibnu Jarir at-Tabari).
* Hadis dari Usman bin Zaid, bahwa Nabi Saw. pernah berkata “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah” (Ibnu Hajar).
Dan di dalam Alquran sendiri pelarangan riba itu dilakukan secara bertahap, seperti bertahapnya larangan minum khamar. Alquran berbicara tentang riba dengan tahapan sebagai berikut:
1) Ia memulai pembicaraan dengan melukiskan pemakan riba sebagai orang kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, sehingga ia menyamakan jual-beli dengan riba. Alquran menegaskan bahwa jual-beli itu halal dan riba itu haram. Karenanya diingatkan bahwa orang yang menerima nasehat Alquran akan beruntung, dan orang yang membangkang diancam neraka. (Al-Baqarah; 275).
2) Alquran menegaskan bahwa riba itu melumpuhkan sendi-sendi ekonomi, sedangkan sedekah menyuburkan kekuatan ekonomi. (Al-Baqarah; 276).
3) Alquran memuji orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan shalat, dan membayar zakat. (Al-Baqarah; 277).
4) Alquran menegaskan ulang larangan riba, karena pernah dilarang dalam surah Ali Imran : 130, dan sekaligus mengancam pemakan riba. (Al-Baqarah ; 278-279).
5) Alquran memuji pemberi pinjaman yang suka memaafkan hutang orang lain karena peminjam mengalami kesulitan ekonomi. (Al-Baqarah ; 280).
Dari ayat-ayat Alquran dan pandangan ulama Islam tersebut di atas, jelas bunga uang merupakan bagian dari riba. Bunga bank termasuk dalam riba nasi’ah. Praktek pembungaan uang oleh bank lebih parah dari pada praktek riba nasi’ah pada zaman jahiliyah. Riba nasi’ah pada zaman jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba. Sedangkan bank konvensional telah mengenakan bunga sehari sesudah uang dipinjamkan.
Prinsip keadilan dan moral
Sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi yang lainnya. Ekonomi Islam memiliki prinsip keadilan dan moral yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi yang lain. Prinsip keadilan dan moral yang ada dalam sistem ekonomi Islam meliputi prinsip illahiyah, akhlak, kemanusiaan dan pertengahan.
a. Ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiyah.
Dikatakan demikian karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Alah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran dan distribusi diikatkan pada prinsip ilahiyah dan pada tujuan ilahi. Allah berfirman: ”Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali setelah dibangkitkan”. (Al-Mulk : 15). “Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Al-Baqarah : 168). Dan Rasulullah Saw. bersabda: “Allah melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, dan berdua saksinya”. (H.R. Muslim dari Jabir). “Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang jahat”. (H.R. Muslim dari Makmar bin Abdullah).
Oleh karena itu seorang muslim merasa ketika menanam, bekerja, ataupun berdagang, dengan amalnya itu ia beribadah kepada Allah. Semakin bertambah kebaikan amalnya, semakin bertambah pula takwa dan takarrubnya kepada Alah.
b. Ekonomi Akhlak
Hal yang juga membedakan antara ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lain adalah bahwa antara ekonomi dan akhlak tidak pernah terpisah. Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islam. Risalah Islam adalah risalah akhlak, sehingga Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya tiadalah aku diutus melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak”. Sesungguhnya Islam sama sekali tidak mengizinkan umatnya mendahulukan kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama.
Kesatuan ekonomi dan akhlak akan semakin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik berkaitan dengan produksi, distribusi, peredaran dan konsumsi. Seorang muslim baik secara pribadi maupun secara bersama-sama tidak bebas mengerjakan apa-apa yang diinginkannya, atau apa yang menguntungkan diri saja. Setiap muslim terikat oleh iman dan akhlak pada setiap aktivitas ekonomi yang dilakukannya, baik dalam melakukan usaha, mengembangkan, maupun menginfakkan hartanya.
c. Ekonomi kemanusiaan
Ekonomi Islam adalah juga ekonomi yang berwawasan kemanusiaan. Ekonomi Islam juga bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang disyariatkan. Manusia perlu hidup dengan pola kehidupan yang rabbani dan sekaligus manusiawi, sehingga ia mampu melaksanakan kewajibannya kepada keluarganya, dan kepada manusia secara umum.
Demikian pula dengan ijin Allah manusia adalah pelaku ekonomi, karena ia telah dipercayakan sebagai khalifah-Nya. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya aku jadikan di muka bumi ini khalifah” (Al-Baqarah : 30).
Nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang ditunjukkan Islam di dalam Alquran dan as-Sunnah, seperti menyayangi seluruh manusia, terutama kaum yang lemah seperti anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil, para janda, orang jompo dan lumpuh, dan setiap orang yang tidak mampu berusaha untuk mendapatkan penghasilan, baik dengan dengan usahanya sendiri maupun dengan hartanya.
d. Ekonomi pertengahan
Satu lagi prinsip moral yang dikembangkan dalam ekonomi Islam yaitu nilai ekonomi pertengahan (keseimbangan). Pertengahan yang adil ini merupakan roh dari ekonomi Islam, sebagaimana manusia hidup dengan roh, di samping bentuk jasadnya yang bersifat material.
Semangat ekonomi pertengahan sangat berbeda dengan semangat individualisme yang tumbuh subur di Barat, yang terkenal dengan istilah kapitalisme yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kebebasan yang hampir bersifat mutlak dalam pemilikan, pengembangan, dan pembelanjaan harta. Dalam sistem kapitalis ini individu merupakan pusat orbit kegiatan ekonomi. Setiap individu dalam sistem ini memang merasakan harga diri dan eksistensinya, mengembangkan segala potensi dan kepribadiannya. Bersamaan dengan itu individu tersebut terkena penyakit egoisme, materialisme, pragmatisme, dan rakus untuk memiliki segala sesuatu.
Semangat ekonomi pertengahan juga sangat berbeda dengan semangat komunisme yang berprasangka buruk terhadap individu dan memasung naluri untuk memilih menjadi kaya. Komunisme memandang kemaslahatan masyarakat yang diwakili oleh negara, di atas dari individu dan segalanya.
Semangat ekonomi pertengahan yang dianut oleh sistem ekonomi Islam adalah sistem yang adil yang tidak menapikan hak-hak individu dan hak-hak masyarakat sebagaimana firman Allah Swt.: “Demikian pula kami jadikan kamu sekalian umat yang pertengahan (Al-Baqarah : 143).
Ciri khas umat pertengahan itu tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh Islam di antara individu dan masyarakat. Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti dilakukan oleh sistem kapitalis. Tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu seperti dilakukan oleh sistem komunisme terutama Maxisme. Ekonomi Islam berada di pertengahan tidak menyia-nyiakan dan tidak pula merugikan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Ar-Rahman ; 7-9).
E. Penutup
Alhamdulillah, kita memiliki sistem ekonomi Islam yang memiliki prinsip keadilan dan moral yang menyelaraskan kepentingan individu dan masyarakat dalam kegiatan ekonomi, yang akan membawa kita kepada kesejahteraan orang perorang dan kemakmuran bagi bangsa dan negara kita.
Prinsip keadilan dan moral ini perlu kita pelihara dan kita tingkatkan terus kualitasnya, karena prinsip ini merupakan competitive advantage (keunggulan bersaing) dalam kegiatan ekonomi. Kita juga bersyukur kepada Allah Swt. karena dengan ijin dan perkenan-Nya jua, dunia Islam memiliki khazanah ilmu pengetahuan di bidang ekonomi peninggalan para pemikir-pemikir dan ulama Islam terdahulu yang menjadi referensi para ekonom, dan bahkan diduga sempat dicuri oleh ekonom Barat tanpa menyebutkan sumbernya.
Daftar Pustaka
Adiwarman Karim. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta-Indonesia: The International Institute of Economic Thought (IIIT), 2002.
___. Ekonomi Makro Islami, Jakarta-Indonesia: The International Institute of Economic Thought (IIIT), 2002.
___. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
___.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta-Indonesia, The International Institute of Economic Thought (IIIT), 2002.
An Nabhani Taqiyyudin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prespektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 2002.
Arifin Zainul. Memahami Bank Syariah-Ramah Lingkungan, Tantangan dan Prosfek, Jakarta, Alrabat, 2000.
___. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta, t.p., 2002.
Baqir Syahid Muhammad ash Shadr. Keunggulan Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka Zahra, 2002.
Chapra, M. Umar. The Futures of Economics : an Islamic Prespektive, terj. Amdiar Amir dkk., Jakarta, Syariah and Banking Institute, 2001.
___. Towards a Just Monetary Sistem, Leicester- UK, The Islamic Foundation, 2001.
Djazuli A - Yadi Janwari. Lembaga-Lembaga Perekonomian Ummat, Jakarta, Rajawali Press, 2002.
Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta, Djambatan, 2001.
Katsir Ibnu. Tafsir Al-Qur’an, Kuala Lumpur Malaysia, Victori Agency, 1999.
Ormerod Paul. The Death of Economies, Jakarta, KPG Gramedia, 1998.
Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta, Rabbani Press, 1994.
Quthb Sayyid. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, Jakarta, Robbani Press, 2001.
Rahardjo M. Dawam. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.
Samuelson, Paul A, William D. Nordhans. Economic, 15thed. New York Mc Graw-Hill, Inc., 1995.
Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Jakarta, Raja Grafindo Press, 2002.
Surin, Bachtiar. Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Bandung, Angkasa, 1988.
Zuhri, Muh. Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta, Rajawali Press, 1997.
A. Pendahuluan
Perhatian masyarakat luas terhadap ekonomi Islam semakin meningkat, sejak kegagalan sistem ekonomi kapitalis mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara penganut-penganutnya. Mereka mengandalkan mekanisme pasar bebas dan menerapkan teori “Marginal Economics” dengan mengandalkan rumus-rumus matematika yang dipelopori oleh ekonom ortodok Walrus dan Jeruns. Marginal Economics dengan matematikanya sebenarnya merupakan formalisasi yang ketat dari salah satu aspek ilmu ekonomi klasik yang dipelopori oleh Adam Smith. Menurut Adam Smith, pasar bebas di mana setiap orang mengabdi kepada kepentingan diri sendiri (self intrest) akan mendatangkan keberuntungan bagi semua.
Sayangnya metode dan teknik matematika yang ketat dalam marginal economics takkan mampu mencakup kerumitan teori Adam Smith itu. Syarat yang ditegaskan secara mutlak oleh Adam Smith berupa tingginya peran lembaga pemerintah dan moral masyarakat agar pasar bebas mendatangkan keberuntungan bagi semua, terpaksa diabaikan karena tidak bisa dirumuskan dengan matematika. Juga yang tidak bisa diganti dengan matematika adalah analisis Smith mengenai pertumbuhan ekonomi, atau mengapa suatu negara bisa makmur sedang negara lain tidak.
Di sinilah pokok pangkal kekeliruan mereka, tetapi terus dibela oleh ekonom-ekonom ortodoks penerus Walrus dan kawan-kawan bahwa apa yang dirumuskan dengan matematika itu benar. Sesungguhnya bukan penggunaan matematika itu yang salah, tetapi kesalahan mereka itu pada ambisi mengejar ilmu fisika (yang selalu menggunakan matematika) dengan sama-sama menganggap dunia sebagai mesin yang berfungsi mulus. Pandangan yang keliru inilah yang menuntut peralatan dan metode matematika.
Akibatnya mereka dan negara-negara yang mengikutinya terus terbentur dengan berbagai masalah ekonomi, sehingga kemakmuran yang diharapkan itu tak kunjung tiba, bahkan yang terkesan jauh panggang dari api. Dan terakhir untuk Indonesia sebelum pemerintahan Megawati mengakhiri tugas tidak menambah lagi utang kepada IMF dan Bank Dunia yang sudah lama berkesinambungan sejak zaman orde baru. Semua resep-resep ekonomi IMF dan Bank Dunia (yang konon didominasi oleh ekonom-ekonom ortodok) tidak ada satupun yang manjur dan yang nyata Republik Indonesia bertambah terus utangnya.
Sistem ekonomi sosialis (khususnya sistem komunis) pernah berjaya sebagai sistem ekonomi setelah sistem kapitalis yang juga berusaha mewujudkan kemakmuran bagi negara dan warga negara yang melaksanakan sistem tersebut. Kebobrokan sistem ekonomi komunis ini satu demi satu terbongkar. Ekonomi negara benteng komunis terbesar (Uni Soviet) sebelum bubar (terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil) ternyata compang camping penuh dengan kegiatan ekonomi bawah tanah seperti penyelundupan narkotika dan lain-lain. Begitu juga dengan negara Kuba penuh dengan kegiatan illegal narkoba dan senjata. Teori ekonomi komunisme yang diatur oleh kelas yang berkuasa (buruh) yang menerapkan 3 prinsip, yakni (1) mewujudkan kebersamaan (equality) secara riil; (2) menghapuskan kepemilikan individu (private property); (3) mengatur produksi dan distribusi secara kolektif, ternyata juga gagal total mewujudkan kemakmuran bagi rakyat dan negaranya secara keseluruhan.
Sistem ekonomi Islam yang dilaksanakan oleh negara-negara yang berdasarkan Islam kini semakin bersinar dan semakin diminati orang di luar negara-negara yang berazas Islam seperti Indonesia dan negara negara lain. Islam mempunyai keunggulan tersendiri dalam sistem ekonomi yang dianutnya. Keunggulan sistem ekonomi Islam itu terletak pada prinsip yang mendasarinya yaitu spirit dan moral, yang tidak ada pada dua sistem ekonomi yang dijelaskan terdahulu. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan sistem ekonomi islam berikut ini:
1. Ilmu ekonomi Islam adalah pengetahuan dan penerapan perintah-perintah (injections) dan tata cara (ruler) yang ditetapkan oleh syariah yang mencegah ketidak adilan, dalam penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.
2. Islam merumuskan suatu sistem ekonomi yang sama sekali berbeda dari sistem-sistem ekonomi lainnya. Hal itu karena ekonomi Islam memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dari peradaban bagi setiap muslim dalam melaksanakan aktivitasnya. Islam memiliki tujuan-tujuan syariah (maqashid asy-syariah) serta petunjuk operasional (strategi) untuk mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan itu saling mengacu kepada kepentingan manusia untuk mencapai kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, juga memiliki nilai yang sangat penting bagi persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi, serta menuntut tingkat kepuasan yang seimbang antara kepuasan materi dan rohani.
3. Ekonomi Islam merupakan suatu sistem kehidupan ekonomi yang adil. Sumber-sumber Islam mengandung koleksi hukum yang sangat luas mengenai berbagai bidang ekonomi, seperti hukum Islam tentang pengelolaan tanah yang dibiarkan sia-sia dan penemuan hasil tambang, atau hukum tentang sewa-menyewa, syirkah (persekutuan dalam usaha ekonomi), riba dan sebagainya. Islam juga memiliki hukum-hukum mengenai zakat, khums, pajak dan baitul mal. Islam menyeru orang kepada kebenaran dan kebaikan, kesabaran dan akhlak, dan mencegah kepalsuan dan kemungkaran, demikian pula ia menyuruh mereka membantu orang miskin dan melarang mereka berbuat zalim, melanggar hak orang lain dan menumpuk uang secara tidak halal.
Tentang kelebihan ekonomi Islam ini sebetulnya sudah lama diakui oleh ekonom klasik terkenal Adam Smith sebagaimana dijelaskannya di dalam bukunya The Wealth of Nations yang terbit tahun 1776 M. Dalam jilid ke lima bab pertama Adam Smith membandingkan masyarakat dengan tingkat perekonomian yang berbeda, yakni bangsa dengan ekonomi terbelakang dan bangsa ekonomi maju. Masyarakat dengan ekonomi terbelakang ditandai dengan mata pencahariannya sebagai pemburu, sedang masyarakat ekonomi maju ditandai dengan mata pencaharian sebagai penggembala dan pedagang. Contoh masyarakat ekonomi terbelakang adalah masyarakat Indian di Amerika Utara, sedangkan contoh masyarakat maju adalah bangsa Arab dan Tartar. Arab manakah yang dirujuk oleh Smith? Bukankah bangsa Arab telah terkenal sebagai bangsa pedagang bahkan sebelum periode Rasulullah Saw. Adam Smith menjelaskan, bangsa Arab yang dimaksud adalah yang di pimpin oleh “Mahomet and his immediate successors” atau lebih tepatnya Rasulullah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Jelaslah yang dijadikan contoh perekonomian maju oleh Adam Smith adalah perekonomian umat Islam.
Bahkan lebih dari itu beberapa institusi ekonomi Islam ditiru oleh Barat, antara lain syirkah (serikat dagang), suftaja (bills of exchange), hiwala (letter of credit), daar ut tiraj (pabrik yang didirikan dan dijalankan oleh negara).
Juga beberapa pemikiran ekonomi Islam yang dicuri tanpa pernah menyebutkan sumber kutipannya antara lain:
* Teori Parito Optimun diambil dari kitab Najul Balagah, Imam Ali
* Bar Aebracus, pendeta Syerire Jacobite Church menyalin beberapa bab Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali.
* Gresham Law dan Oresnu Treatese diambil dari kitab Ibnu Taimiyah
* Pendeta Spanyol Ordo Dominican Raymon Martini menyalin banyak bab dari Tahaful al Falasifa, Maqasid al Falasifa, Al Munqid, Miskat al Anwar, dan Ihya Al-Gazali.
* St. Thomas menyalin banyak bab dari Al-Farabi (St. Tomas yang belajar dari ordo domunican mempelajari ide-ide Al-Gazali dari Bar – Heracus dan Martini)
* Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith (1776 M), dengan bukunya The Wealth of Nations diduga banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwal-nya Abu Ubaid (838 M) yang dalam bahasa Inggrisnya adalah persis judul bukunya Adam Smith The Wealth of Nations.
Banyak dari teori-teori ekonomi modern yang merupakan hasil curian dari pemikiran ekonomi Islam, oleh karena itu sikap umat Islam terhadap ilmu-ilmu dari barat, termasuk ilmu ekonomi adalah la tukazzibuha jami’a wala tuhibbuhu jami’a. Maka ekonom Islam tidak perlu terkesima dengan teori-teori ekonomi Barat. Ekonomi Islam perlu mempunyai akses terhadap kitab-kitab klasik Islam. Fukaha Islam perlu mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat menterjemahkan kondisi ekonomi modern dalam kitab klasik Islam.
B. Ruang Lingkup Ekonomi Islam
1. Universal dan komprehensif
Islam adalah agama yang universal dan komprehensif, yaitu agama yang mengatur kehidupan manusia disegala penjuru dunia yang meliputi semua aspek kehidupan, meliputi akidah, syariah, akhlak, ibadah dan muamalah. Islam bukan hanya mengatur urusan manusia dengan tuhannya, melainkan juga mengatur urusan manusia dengan sesamanya, serta lebih jauh lagi urusan manusia dengan lingkungannya sebagaimana dijelaskan dalam Alquran “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia. Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Salah satu ruang lingkup Islam yang maha luas ini yang masuk dalam muamalah adalah kegiatan ekonomi yang menjadi pokok bahasan tulisan ini. Kegiatan berekonomi merupakan bagian dari muamalah yang mengatur hubungan antara sesama manusia, yang memang manusia diperintahkan juga untuk memanfaatkan-nya dalam rangka kesempurnaan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablum minallah- hablum minan nas.) Tidak sempurna keislaman seseorang jika terdapat ketimpangan dalam hubungan ini. Alquran telah menjelaskan Islam suatu keyakinan yang universal, mudah dan logis untuk dipahami, serta applicable. Hal ini karena selain memiliki postulat iman, Islam, juga memiliki postulat ibadah yang berisi interaksi vertikal antara manusia dengan penciptanya, dan interaksi horizontal antara sesama manusia, serta postulat akhlak yang menjadi built in control dalam diri orang muslim. Dengan demikian ekonomi Islam dapat diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi oleh ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Alquran, As-Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Alquran dan As-sunnah merupakan sumber utama. Sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan pelengkap untuk memahami Alquran dan As-Sunnah.
2. Kebebasan berekonomi
Islam memberikan kebebasan berekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syariah. Ekonomi adalah persoalan manusia yang selalu berkembang dengan dinamis. Oleh karena itu selalu diperlukan pemikiran baru untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi. Merujuk pada zaman Rasulullah dan para sahabatnya tentu sangat bermanfaat, namun ijtihad di bidang ekonomi tentu diperlukan. Rasulullah bersabda:”Kamu lebih tahu urusan duniamu”.
Ada 3 kegiatan ekonomi yang bisa kita pilih: (1) Jual beli; (2) berproduksi; dan (3) Ijarah.
a. Jual-beli.
Allah Swt. menjadikan harta benda sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia di dunia. Untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut Allah telah mensyariatkan cara perdagangan tertentu. Sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak bisa dengan mudah didapatkan. Kalau mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan maka itu merupakan tindakan yang merusak. Oleh karena itu harus ada sistem yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang ia butuhkan tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan. Itulah perdagangan dan hukum jual beli. Allah berfirman: “Hai orang orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian”. (An-Nisa : 29)
Jual beli atau perdagangan itu ada dua macam yang halal dan yang haram. Yang halal disebut bai’i dan yang haram disebut riba. Allah Swt. berfirman: ”Allah telah menghalalkan bai’i (jual beli) dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah : 275).
Perdagangan merupakan salah satu bentukan pengembangan kepemilikan. Ketentuannya juga sangat jelas dalam hukum-hukum bai’i (jual-beli) dan syirkah (perseroan). Allah berfirman: “Kecuali jika muamalah itu adalah perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, (jika) kamu tidak menulisnya”. (Al-Baqarah : 282).
Dan Nabi Saw. bersabda: ”Dan para pedagang nanti akan dibangkitkan pada hari Kiamat sebagai orang yang durjana, kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, taat dan jujur” (H.R. At-Tirmiji).
b. Berproduksi
Berproduksi atau “istishna” adalah apabila ada seseorang memproduksi sesuatu seperti bejana, mobil atau apa saja yang termasuk kategori berproduksi. Pada masa Rasul Saw. orang-orang biasa memproduksi barang, dan beliau pun mendiamkan aktivitas mereka. Diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan (taqrir) beliau terhadap aktivitas berproduksi. Status taqrir dan perbuatan rasul sama dengan sabda beliau, artinya sama sama merupakan dalil syara’. Sedangkan terhadap sesuatu yang disepakati dalam transaksi adalah barang yang diproduksi. Dalam hal semacam ini berproduksi itu statusnya sama dengan transaksi jual-beli.
c. Ijarah
Kalau seseorang mendatangkan ahli pembuat barang tertentu untuk misinya, maka kegiatan ini termasuk dalam kategori transaksi ijarah. Begitu pula dalam arti yang lebih luas dengan industri yang berawal dari kerajinan tangan (hand carft) kemudian berkembang menjadi massal dengan menggunakan mesin (factory sistem).
Jual beli, berproduksi, maupun ijarah semuanya harus tunduk dan sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku.
C. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam
1. Kepemilikan dalam Islam
Prinsip kepemilikan dalam Islam yang merupakan salah satu sisi yang diatur oleh Islam. Secara berurutan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam ini dapat disebutkan sebagai berikut:
a. Pemilik mutlak dari semua sumberdaya adalah Allah. Berbagai jenis sumberdaya merupakan merupakan pemberian dan titipan Tuhan kepada manusia yang menjadi khalifah-Nya. Manusia memanfaatkannya se-efesien dan seoptimal mungkin dalam berproduksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama-sama. Kepemilikan oleh individu bersifat relatif sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan-Nya.
b. Islam menjamin kepemilikan publik yang diwakili oleh negara atas industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti air, listrik.
c. Islam mengakui kepemilikan pribadi pada batas-batas tertentu yaitu sebagai kapital produk yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apabila harta yang dimiliki tidak mampu dioperasionalkan sesuai dengan ketentuan tersebut, maka ia dalam jumlah tertentu dan dalam periode waktu tertentu akan terkena zakat yang harus disalurkan kepada pihak-pihak tertentu yang berhak menerimanya. Hal ini berlaku pula pada pembagian harta pusaka atau warisan. Konsep kepemilikan ini sangat berbeda dengan konsep kapitalis maupun sosialis. Islam menolak terjadinya akumulasi harta yang dikuasai oleh segelintir orang maupun golongan.
d. Pandangan Islam terhadap harta adalah:
* Harta sebagai titipan (amanah). (Al-Hadid ayat 7, An-Nur ayat 33)
* Harta sebagai perhiasan yang memungkinkan manusia menikmatinya dengan baik asalkan tidak berlebihan karena akan menimbulkan keangkuhan, kesombongan dan kebanggaan diri (Ali Imran ayat 14, Al-Alaq ayat 6-7).
e. Pemilikan harta harus diupayakan melalui usaha atau mata pencaharian yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya.
Dalam upaya mencari karunia Allah terutama dalam rangka interaksi sesama manusia kita diharuskan melakukannya dengan spirit kesetaraan, kebersamaan, keadilan, dan tidak menekan, atau memaksa atau mengevaluasi pihak lain.
Dalam hubungan ini Allah berfirman: ”Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu makan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka di antara kamu”.
Dari ayat tersebut diatas dapat diuraikan kriteria-kriteria pekerjaan yang tidak boleh dilakukan (dilarang) dan harus dihindari, yaitu :
* Menempuh usaha yang haram seperti melalui aktivitas riba (al-Baqarah ayat 273-281). Perjudian (spekulasi/ maysir), berjual-beli barang yang dilarang atau haram (Al-Maidah ayat 90-91)
* Melakukan usaha melalui pencurian, perampokan, penggasakan (mengklaim hak orang lain) (Al-Maidah ayat 38).
* Melakukan kecurangan (garar) dalam takaran dan timbangan (Al-Mutaffifin ayat 1-6).
* Melakukan cara-cara yang bathil dan merugikan (Al-Baqarah ayat 188).
Dari segi etika berusaha atau bekerja beberapa usaha yang dilarang, yaitu usaha yang menyebabkan:
* Melupakan kematian (At-Takasur ayat 1-2)
* Melupakan zikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuannya (Al-Munafiqun ayat 9).
* Melupakan shalat dan zakat (An-Nur ayat 37).
* Memusatkan pemilikan hanya pada sekelompok orang saja (al-Hasyr ayat 7).
f. Semua harta (sumber daya) yang diamanatkan itu akan dimintai pertanggung-jawabannya di akhirat nanti. Konsep ini mempunyai implikasi yang sangat penting sehubungan dengan kepemilikan asset dan alat produksi. Berdasarkan keyakinan inilah, setiap aktivitas ekonomi seseorang muslim harus digerakan oleh motivasi impersonal yang merupakan refleksi tanggung jawabnya sebagai orang beriman.
D. Prinsip tentang Uang dan Bunga Bank
1. Uang
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, seorang ulama Islam bernama Abu Hamid Al-Ghazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau berpendapat adakalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Menurut Al-Gazali uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna (Ihya, 4: 91-93). Uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan uang tidak mempunyai kegunaan langsung (direct utility function). Hanya bila uang itu digunakan untuk membeli barang, barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi Neo-Klasik dikatakan bahwa kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung. Apapun debat para ekonom tentang konvensi ini, kesimpulannya tetap sama dengan pendapat Al-Ghazali: Uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Dua ratus tahun sesudah Al-Ghazali (500 tahun sebelum Adam Smith) seorang ulama lain bernama Abdurrahman Ibnu Khaldun (Abu Zaid) menjelaskan lebih lanjut tentang uang ini. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Bisa saja satu negara mencetak uang sebanyak banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan sektor produksi, uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, meyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya.
Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun sependapat, bahwa uang tak perlu mengandung emas dan perak, tetapi emas dan perak menjadi standar nilai uang. Uang yang tidak mengandung emas dan perak merupakan jaminan pemerintah. Pemerintah yang menetapkan nilainya. Karena itu pemerintah tidak boleh mengubahnya. Muqaddimah I, 407, - Ihya 2, 74).
Masih menurut Al-Ghazali, perdagangan dinar dengan dinar ibarat memenjarakan uang sehingga uang tidak dapat menjalankan fungsinya. Makin banyak uang yang diperdagangkan, makin sedikit yang dapat berfungsi sebagai alat penukar (Ihya, 4, 192). Keadaan seperti ini bisa membahayakan (membuat) perekonomian menjadi lemah. Perkembangan pasar uang dunia saat ini menunjukan sebagian besar uang itu digunakan untuk perdagangan uang itu sendiri. Hanya 5% dari transaksi di pasar uang yang berkaitan dengan transaksi pasar barang dan jasa. Bahkan volume transaksi barang dan jasa hanya 1,5% dibandingkan dengan turn over transaksi di pasar uang. Pengalaman yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2000 yang membuktikan kebenaran analisis Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun ini. Ada perusahaan Sekuritas “Long Term Capital Management dengan modal US $ 2,2 milyar, dapat dengan mudah meminjam uang dari berbagai sumber untuk dibelikan surat berharga senilai US $ 90 milyar. Surat berharga itu kemudian dijadikan jaminan untuk transaksi yang lebih besar lagi senilai US $ 1,25 trilyun. Di sini terjadi sektor finansial membesar secara semu. Namun celakanya mereka rugi, sehingga memaksa federal reserve AS memberikan bantuan atau bill out pada September tahun yang lalu dengan alasan mencegah efek domino bangkrutnya lebih banyak perusahaan Sekuritas. Hal yang sama dialami oleh negara kita sebelum krisis moneter Juli 1997. Banyak sekali bank-bank yang bermain valas, uang lebih banyak tersedot ke sana, lalu akhirnya pemerintah memberi talangan dengan kredit BLBI bagi Bank-bank yang masih bisa diselamatkan. Sedang bagi bank-bank yang sudah parah pemerintah melakukan pengambilalihan demi menyelamatkan dana yang berasal dari nasabah.
2. Bunga bank
Dalam kosa kata bahasa Inggris riba biasanya diterjemahkan dengan “usury” sedangkan bunga diterjemahkan sebagai “intrest.” Dilarangnya riba oleh agama-agama samawi tidak ada yang membantah. Setidaknya itu yang ditulis dalam Taurat dan Injil (Perjanjian Lama –Kuintus/Imanent 25 : 36-37) Denteronomy - Ulangan 23 :19, Exodus – Keluaran 22, 25, juga dalam Perjanjian baru Lukas 6 : 34-35.
Sampai pada abad ke 13 ketika kekuasaan gereja di Eropa masih dominan “riba dilarang” oleh gereja atau hukum canon. Kemudian pada akhir abad ke 13 pengaruh gereja ortodok mulai melemah dan berkompromi dengan riba. Bacon seorang tokoh saat itu menulis dalam buku Discourse on usuary, “Karena kebutuhannya manusia harus meminjam uang dan pada dasarnya manusia enggan hatinya untuk meminjamkan uang, kecuali dia akan menerima suatu manfaat dari pinjaman itu, maka bunga harus diperbolehkan”.
Sejak saat itulah secara perlahan tapi pasti pelarangan riba di Eropa dihilangkan.
Bagaimana pandangan ulama Islam terhadap bunga? Beberapa definisi riba yang dikutip oleh Muhammad Zuhri, penulis kutip seperti berikut ini :
* Riba nasi’ah adalah tambahan atas salah satu barang yang dihutang, seperti orang yang berhutang sekati kurma di musim dingin, dibayar kembali satu setengah kati di musim panas. (Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzy).
* Riba yang dikenal dan dikerjakan oleh orang Arab dahulu adalah utang beberapa dirham atau dinar, ketika mengembalikan diberi tambahan sesuai perjanjian ketika hutang dimulai.(Al-Jasras).
* Riba yang dilarang oleh Allah, bahwa di kalangan Jahiliyah, orang yang berpiutang berkata kepada yang berhutang ambillah ini, bayarlah nanti tetapi ingat tambahan. Yang berhutang pun mengambilnya, dan membayar pada masa mendatang sesuai dengan permintaan tadi. (Ibnu Jarir at-Tabari).
* Hadis dari Usman bin Zaid, bahwa Nabi Saw. pernah berkata “Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah” (Ibnu Hajar).
Dan di dalam Alquran sendiri pelarangan riba itu dilakukan secara bertahap, seperti bertahapnya larangan minum khamar. Alquran berbicara tentang riba dengan tahapan sebagai berikut:
1) Ia memulai pembicaraan dengan melukiskan pemakan riba sebagai orang kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, sehingga ia menyamakan jual-beli dengan riba. Alquran menegaskan bahwa jual-beli itu halal dan riba itu haram. Karenanya diingatkan bahwa orang yang menerima nasehat Alquran akan beruntung, dan orang yang membangkang diancam neraka. (Al-Baqarah; 275).
2) Alquran menegaskan bahwa riba itu melumpuhkan sendi-sendi ekonomi, sedangkan sedekah menyuburkan kekuatan ekonomi. (Al-Baqarah; 276).
3) Alquran memuji orang yang beriman, beramal saleh, menegakkan shalat, dan membayar zakat. (Al-Baqarah; 277).
4) Alquran menegaskan ulang larangan riba, karena pernah dilarang dalam surah Ali Imran : 130, dan sekaligus mengancam pemakan riba. (Al-Baqarah ; 278-279).
5) Alquran memuji pemberi pinjaman yang suka memaafkan hutang orang lain karena peminjam mengalami kesulitan ekonomi. (Al-Baqarah ; 280).
Dari ayat-ayat Alquran dan pandangan ulama Islam tersebut di atas, jelas bunga uang merupakan bagian dari riba. Bunga bank termasuk dalam riba nasi’ah. Praktek pembungaan uang oleh bank lebih parah dari pada praktek riba nasi’ah pada zaman jahiliyah. Riba nasi’ah pada zaman jahiliyah baru dikenakan pada saat peminjam tak mampu melunasi utangnya dan meminta perpanjangan waktu. Bila si peminjam mampu melunasi pada saat jatuh temponya, tidak dikenakan riba. Sedangkan bank konvensional telah mengenakan bunga sehari sesudah uang dipinjamkan.
Prinsip keadilan dan moral
Sistem ekonomi Islam berbeda dengan sistem ekonomi yang lainnya. Ekonomi Islam memiliki prinsip keadilan dan moral yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi yang lain. Prinsip keadilan dan moral yang ada dalam sistem ekonomi Islam meliputi prinsip illahiyah, akhlak, kemanusiaan dan pertengahan.
a. Ekonomi Islam adalah ekonomi Ilahiyah.
Dikatakan demikian karena titik berangkatnya dari Allah, tujuannya mencari ridha Alah, dan cara-caranya tidak bertentangan dengan syariat-Nya. Kegiatan ekonomi baik produksi, konsumsi, penukaran dan distribusi diikatkan pada prinsip ilahiyah dan pada tujuan ilahi. Allah berfirman: ”Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, dan makanlah dari sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu kembali setelah dibangkitkan”. (Al-Mulk : 15). “Hai sekalian manusia makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Al-Baqarah : 168). Dan Rasulullah Saw. bersabda: “Allah melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya, dan berdua saksinya”. (H.R. Muslim dari Jabir). “Tidaklah melakukan penimbunan kecuali orang yang jahat”. (H.R. Muslim dari Makmar bin Abdullah).
Oleh karena itu seorang muslim merasa ketika menanam, bekerja, ataupun berdagang, dengan amalnya itu ia beribadah kepada Allah. Semakin bertambah kebaikan amalnya, semakin bertambah pula takwa dan takarrubnya kepada Alah.
b. Ekonomi Akhlak
Hal yang juga membedakan antara ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lain adalah bahwa antara ekonomi dan akhlak tidak pernah terpisah. Akhlak adalah daging dan urat nadi kehidupan Islam. Risalah Islam adalah risalah akhlak, sehingga Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya tiadalah aku diutus melainkan hanya untuk menyempurnakan akhlak”. Sesungguhnya Islam sama sekali tidak mengizinkan umatnya mendahulukan kepentingan ekonomi di atas pemeliharaan nilai dan keutamaan yang diajarkan agama.
Kesatuan ekonomi dan akhlak akan semakin jelas pada setiap langkah-langkah ekonomi, baik berkaitan dengan produksi, distribusi, peredaran dan konsumsi. Seorang muslim baik secara pribadi maupun secara bersama-sama tidak bebas mengerjakan apa-apa yang diinginkannya, atau apa yang menguntungkan diri saja. Setiap muslim terikat oleh iman dan akhlak pada setiap aktivitas ekonomi yang dilakukannya, baik dalam melakukan usaha, mengembangkan, maupun menginfakkan hartanya.
c. Ekonomi kemanusiaan
Ekonomi Islam adalah juga ekonomi yang berwawasan kemanusiaan. Ekonomi Islam juga bertujuan untuk memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya yang disyariatkan. Manusia perlu hidup dengan pola kehidupan yang rabbani dan sekaligus manusiawi, sehingga ia mampu melaksanakan kewajibannya kepada keluarganya, dan kepada manusia secara umum.
Demikian pula dengan ijin Allah manusia adalah pelaku ekonomi, karena ia telah dipercayakan sebagai khalifah-Nya. Allah Swt. berfirman: “Sesungguhnya aku jadikan di muka bumi ini khalifah” (Al-Baqarah : 30).
Nilai kemanusiaan terhimpun dalam ekonomi Islam pada sejumlah nilai yang ditunjukkan Islam di dalam Alquran dan as-Sunnah, seperti menyayangi seluruh manusia, terutama kaum yang lemah seperti anak yatim, fakir miskin, ibnu sabil, para janda, orang jompo dan lumpuh, dan setiap orang yang tidak mampu berusaha untuk mendapatkan penghasilan, baik dengan dengan usahanya sendiri maupun dengan hartanya.
d. Ekonomi pertengahan
Satu lagi prinsip moral yang dikembangkan dalam ekonomi Islam yaitu nilai ekonomi pertengahan (keseimbangan). Pertengahan yang adil ini merupakan roh dari ekonomi Islam, sebagaimana manusia hidup dengan roh, di samping bentuk jasadnya yang bersifat material.
Semangat ekonomi pertengahan sangat berbeda dengan semangat individualisme yang tumbuh subur di Barat, yang terkenal dengan istilah kapitalisme yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kebebasan yang hampir bersifat mutlak dalam pemilikan, pengembangan, dan pembelanjaan harta. Dalam sistem kapitalis ini individu merupakan pusat orbit kegiatan ekonomi. Setiap individu dalam sistem ini memang merasakan harga diri dan eksistensinya, mengembangkan segala potensi dan kepribadiannya. Bersamaan dengan itu individu tersebut terkena penyakit egoisme, materialisme, pragmatisme, dan rakus untuk memiliki segala sesuatu.
Semangat ekonomi pertengahan juga sangat berbeda dengan semangat komunisme yang berprasangka buruk terhadap individu dan memasung naluri untuk memilih menjadi kaya. Komunisme memandang kemaslahatan masyarakat yang diwakili oleh negara, di atas dari individu dan segalanya.
Semangat ekonomi pertengahan yang dianut oleh sistem ekonomi Islam adalah sistem yang adil yang tidak menapikan hak-hak individu dan hak-hak masyarakat sebagaimana firman Allah Swt.: “Demikian pula kami jadikan kamu sekalian umat yang pertengahan (Al-Baqarah : 143).
Ciri khas umat pertengahan itu tercermin dalam keseimbangan yang adil yang ditegakkan oleh Islam di antara individu dan masyarakat. Sistem ekonomi Islam tidak menganiaya masyarakat, terutama masyarakat lemah, seperti dilakukan oleh sistem kapitalis. Tidak pula menganiaya hak-hak dan kebebasan individu seperti dilakukan oleh sistem komunisme terutama Maxisme. Ekonomi Islam berada di pertengahan tidak menyia-nyiakan dan tidak pula merugikan. Sebagaimana firman Allah Swt.: “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu, dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Ar-Rahman ; 7-9).
E. Penutup
Alhamdulillah, kita memiliki sistem ekonomi Islam yang memiliki prinsip keadilan dan moral yang menyelaraskan kepentingan individu dan masyarakat dalam kegiatan ekonomi, yang akan membawa kita kepada kesejahteraan orang perorang dan kemakmuran bagi bangsa dan negara kita.
Prinsip keadilan dan moral ini perlu kita pelihara dan kita tingkatkan terus kualitasnya, karena prinsip ini merupakan competitive advantage (keunggulan bersaing) dalam kegiatan ekonomi. Kita juga bersyukur kepada Allah Swt. karena dengan ijin dan perkenan-Nya jua, dunia Islam memiliki khazanah ilmu pengetahuan di bidang ekonomi peninggalan para pemikir-pemikir dan ulama Islam terdahulu yang menjadi referensi para ekonom, dan bahkan diduga sempat dicuri oleh ekonom Barat tanpa menyebutkan sumbernya.
Daftar Pustaka
Adiwarman Karim. Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta-Indonesia: The International Institute of Economic Thought (IIIT), 2002.
___. Ekonomi Makro Islami, Jakarta-Indonesia: The International Institute of Economic Thought (IIIT), 2002.
___. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
___.Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta-Indonesia, The International Institute of Economic Thought (IIIT), 2002.
An Nabhani Taqiyyudin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Prespektif Islam, Surabaya, Risalah Gusti, 2002.
Arifin Zainul. Memahami Bank Syariah-Ramah Lingkungan, Tantangan dan Prosfek, Jakarta, Alrabat, 2000.
___. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, Jakarta, t.p., 2002.
Baqir Syahid Muhammad ash Shadr. Keunggulan Ekonomi Islam, Jakarta, Pustaka Zahra, 2002.
Chapra, M. Umar. The Futures of Economics : an Islamic Prespektive, terj. Amdiar Amir dkk., Jakarta, Syariah and Banking Institute, 2001.
___. Towards a Just Monetary Sistem, Leicester- UK, The Islamic Foundation, 2001.
Djazuli A - Yadi Janwari. Lembaga-Lembaga Perekonomian Ummat, Jakarta, Rajawali Press, 2002.
Institut Bankir Indonesia, Konsep Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta, Djambatan, 2001.
Katsir Ibnu. Tafsir Al-Qur’an, Kuala Lumpur Malaysia, Victori Agency, 1999.
Ormerod Paul. The Death of Economies, Jakarta, KPG Gramedia, 1998.
Qardhawi, Yusuf. Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Jakarta, Rabbani Press, 1994.
Quthb Sayyid. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, Jakarta, Robbani Press, 2001.
Rahardjo M. Dawam. Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, Jakarta, Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999.
Samuelson, Paul A, William D. Nordhans. Economic, 15thed. New York Mc Graw-Hill, Inc., 1995.
Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait, Jakarta, Raja Grafindo Press, 2002.
Surin, Bachtiar. Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Bandung, Angkasa, 1988.
Zuhri, Muh. Riba dalam Al Qur’an dan Masalah Perbankan, Jakarta, Rajawali Press, 1997.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI