Nur Muhammad: Antara Filsafat dan Tasawuf
Persoalan Nur Muhammad sebenarnya persoalan filsafat yang merembes masuk ke dunia tasawuf. Oleh karena itu, permasalahan ini sering muncul pada tataran tasawuf falsafi, bukan tasawuf akhlaqi.
(Refleksi Drs. H Syahrudi, seorang pengkaji Nur Muhammad di Banjarmasin Kalimantan Selatan)
Perbincangan tentang Nur Muhammad, baik melalui media massa maupun Tanya jawab di pengajian, ada kesan bahwa itu adalah persoalan tasawuf kelas tinggi yang hanya bias dipahami oleh pengamal tasawuf tingkat tinggi, dan persoalan itu adalah rahasia Allah. Kenapa anggapan tersebut timbul? Karena persoalannya sangat rumit dan membingungkan, apalagi para ulama saling berbeda dalam memahami, maka masyarakat awam dan umat menjadi bingung.
KH. Haderani HN sebagai salah seorang yang menerima ajaran Nur Muhammad melalui ijazah dari yang mulia Tuan Guru H Anang Ilmy Martapura Kalimantan Selatan menganggap bahwa kata-kata Nur Muhammad dalam i’tiqad kekadimannya adalah asma Allah Nur yang terpuji, jangan sampai tasawwur dengan Muhammad Rasulullah yang dimakamkan di Madinah. Kalau demikian, kena nang kaya urang Kristen menuhanakan Isa.
Hal ini beliau ungkapkan dalam kitab Permata Indah Addurrunnafis pada halaman 169. Padahal menurut Syekh Yusuf al-Nabhani, bahwa Nur Muhammad itu ada dua sisi. Pertama, sebagai makhluk yang pertama diciptakan. Kedua, dari sisi hakikat Nur Muhammad dari Nabi Adam ke Syitz terus sampai kepada para Nabi dan orang suci sampai kepada Abdullah dan Muhammad Saw. Jadi dalam konsep ini jelas ada hubungan dengan Nabi Muhammad Saw yang dimakamkan di Madinah.
Menurut ungkapan syair maulid Syaruful Anam, Nur Muhammad itu berasal dari tanah yang diambil dari makam Rasulullah di Madinah, Jibril membawa tanah tersebut berkeliling Surga dan menyucinya dengan telaga Tasnim. Nur Muhammad kemudian dititipkan pada sulbi Adam. Adam berjanji akan memeliharanya dan hanya diturunkan kepada sulbi dan rahim orang-orang suci. Secara implisit, Nur Muhammad menurut versi Syaraful Anam ini ada hubungannya dengan Muhammad Saw yang dikuburkan di Madinah.
Dalam ceramah agama ada terdengar seorang ulama yang memfatwakan kafir terhadap orang yang menganggap Nur Muhammad itu qadim. Harus difasakh kalau ada hubungan suami-isteri kerana kalau masih saja ada hubungan suami isteri maka dikatakan zina karena suaminya telah kafir oleh sebab mengatakan ada yang qadim selain Tuhan. Pendapat ini tentu berbeda dengan Syekh Yusuf al-Nabhani, pengarang kitab Jami’ Karamati al-Auliya dan ulama lainnya yang menganggap proses kejadian Nur Muhammad itu ada pada amal azali. Beliau berpendapat bahwa di samping Nur Muhammad itu baharu sebagai nabi terakhir, juga Nur Muhammad itu bersifat qadim, dengan sifat qadim itulah Nur Muhammad bisa bertemu Allah yang juga Qadim.
Ada juga ulama berpendapat bahwa amaliah tasawuf yang paling cepat sampai adalah yang melalui Nur Muhammad, karena Nur Muhammad itu satu unsur dengan Tuhan. Menurutnya, tasawuf adalah patri, bahan mmatri itu haruslah satu unsur dengan yang dipatri, seperti emas patrinya harus emas.
Perbedaan pendapat ini kadang sangat membingungkan orang awam, mungkin juga sebagian ulama. Mengapa membingungkan? Karena Nur Muhammad itu persoalan filsafat, tapi dipahami secara lugu melalui al-Quran dan Hadis. Sejak al-Ghazali mengkafirkan para filosof maka sinar filsafat mulai meredup di kalangan sunni. Sebenarnya, ulama perlu juga mengetahui filsafat, bukan untuk memfilsafati agama, tetapi untuk memahami dan memfilter pikiran-pikiran falsafi yang tidak islami.
Persoalan Nur Muhammad sebenarnya persoalan filsafat yang merembes masuk ke dunia tasawuf. Oleh karena itu, permasalahan ini sering muncul pada tataran tasawuf falsafi, bukan tasawuf akhlaqi.
Teori Nur Muhammad
Teori yang paling dominan dalam memahami Nur Muhammad adalah menurut konsep Ibn Arabi, meskipun ia bukan pencetus pertama. Konsep Nur Muhammad pertama ada pada al-Tustari, kemudian pada muridnya, al-Hallaj.
Tuhan menurut Ibn Arabi adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Ia ingin dikenal, tapi Tuhan Maha Transenden (tasbih/tanazzuh), siapapun tidak akan dapat mengenalnya secara langsung karena Ia tidak ada duanya (laisa kamislihi syaiun). Istilah Ibn Arabi ”la ta’ayun”. Maka satu-satunya jalan untuk mengenalnya ialah melalui makhluk ciptaannya. Sebab persepsi rasio dan indera tidak akan mampu mengenal zat-Nya yang asli.. Melihat angin saja mata tidak mampu, begitu juga menatap Matahari, apalagi Tuhan.
Satu-satunya jalan agar Allah bisa dikenal adalah bertajalli kepada makhluk, ciptaannya. Tajalli Tuhan yang sempurna ada pada manusia. Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan, maka Adam adalah makhluk yang layak untuk menerima tajalli Allah, tetapi Adam kalah mulia dari Muhammad Saw yang dilahirkan sebagai Nabi Terakhir, kerana keberadaan Nur Muhammad lebih dahulu daripada Adam. Malah menurut Ibn Arabi nama Nur Muhammad itu bukan hanya satu, bahkan sampai 22 nama, termasuk hakikat Muhammadiyah, roh Muhammad, khalifah, akal pertama, namun maksudnya hanya satu, yaitu makhluk pertama yang dengannya Tuhan dapat bertajalli secara sempurna. Makhluk ini sebagai inti dan bahan alam semesta.
Nur Muhammad dalam Sunni
Dalam sunni Nur Muhammad tersebut berasal dari Sahl Abdullah al-Tusturi kemudian dikembangkan oleh muridnya, al-Hallaj, dikembangkan lagi oleh Ibn arabi, kemudian oleh Abdul Karim al-Jilli, dan selanjutnya oleh para ulama haramain, seperti al-Qusyasyi dan muridnya Ibrahim al-Kunani. Kepada mereka banyak ulama Nusantara berguru.
Pada abad ke 17 dan ke 18, Haramain merupakan pusat studi Islam sebagaimana diistilahkan Prof. Azzumardi Azra sebagai melting pot (panci pelebur) yang punya pengaruh kuat ke Nusantara dan daerah lainnya di seluruh dunia. Kedua tokoh tersebut melakukan sintesis baru antara aliran Ibn Arabi dan al-Ghazali, juga pada saat yang sama mulai berkembang sintesis antara tasawuf dan fiqh yang oleh Fazlurrahman dinamakan sebagai neo-sufism.
Oleh karena itu, dapat kita lihat kitab-kitab ulama hasil dari berguru ke Haramain, seperti Sairus Salikin karya Abdussamad al-Falimbani dan kitab ad-Durrunnafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Pada kedua kitab ini nampak dengan jelas sintesis antara tasawuf al-Ghazali dengan Ibn Arabi. Kemudian kecenderungan kepada fiqh, hadis nampak dalam memahami Nur Muhammad pada Syekh Abdurrauf Sinkel dalam kitab Tanbihul Musyi.
Al-Sinkili berpendapat bahwa dengan adanya penciptaan alam dari Nur Muhammad, berdasarkan rahmat Tuhan, berdasarkan pengetahuan-Nya di zaman azali secara tertib berdasarkan al-Qur’an dan hadis Jabir, al-Sinkili secara tegas berpesan agar mengembalikan persoalan Nur Muhammad kepada ajaran nabi.
Ulama pada abad ke 15 sampai abad ke 20 umumnya hanya mengekor kepada pendapat sebelumnya, karena Islam sedang berada dalam zaman kemunduran. Pengajian di Haramain pun hanya persoalan agama, tidak sebagaimana pada zaman keemasan Bagdad dan Cordova. Perjalanan pemikiran yang mengekor ini tampak jelas pada tradisi syarah kitab, dan nuansa tawadlu dalam tradisi tasawuf sehingga banyak anggapan bahwa apa yang disampaikan oleh guru-guru sufi hanyalah berdasarkan kasyf semata.
Selanjutnya, pengaruh tarekat yang sangat kuat dalam pengembangan tasawuf sejak abad 12 dalam dunia Islam, juga menjadi faktor yang menyebabkan tidak beraninya para ulama mengeritik para guru yang terdahulu. Hal yang digambarkan ini menyebabkan konsep Nur Muhammad masuk ke dalam dunia tasawuf sunni dengan mulus.
Dengan demikian, masuknya Nur Muhammad di kalangan Sunni sejalan dengan masuknya paham Ibn Arabi melalui murid-murid dan penggemarnya. Ibn Arabi sangat dihormati oleh ulama tasawuf, gelar yang disandangnya ialah Syaikh al-Akbar. Kedudukannya menjadi terangkat karena teori makrifat dan kasyaf al-Ghazali.
Menurut al-Ghazali, orang yang telah mencapai makrifat akan terbuka hijab, mata batin dapat menembus lauh mahfuz serta dapat mendengar pembicaraan langit secara langsung. Hal inilah yang telah dicapai oleh Ibn Arabi. Menurut pengakuan Arabi bahwa kitab Futuhat al-Makiyah sebagai kitab puncak dalam tasawuf yang lembarannya mencapai 18.500 halaman adalah hasil kasyaf atau dialog langsung dengan Allah Swt. Dan tidak ada segorespun yang tercantum dalam kitab itu berasal dari pribadi dia sendiri. Begitu juga kitab Fushushul Hikam adalah hasil dialog langsung dengan Rasulullah. Pada kedua kitab ini tersebar paham Nur Muhammad. Para ulama sufi mengambilnya dan menyatakan sebagai kebenaran yang tak perlu dipertanyakan lagi.
(Refleksi Drs. H Syahrudi, seorang pengkaji Nur Muhammad di Banjarmasin Kalimantan Selatan)
Perbincangan tentang Nur Muhammad, baik melalui media massa maupun Tanya jawab di pengajian, ada kesan bahwa itu adalah persoalan tasawuf kelas tinggi yang hanya bias dipahami oleh pengamal tasawuf tingkat tinggi, dan persoalan itu adalah rahasia Allah. Kenapa anggapan tersebut timbul? Karena persoalannya sangat rumit dan membingungkan, apalagi para ulama saling berbeda dalam memahami, maka masyarakat awam dan umat menjadi bingung.
KH. Haderani HN sebagai salah seorang yang menerima ajaran Nur Muhammad melalui ijazah dari yang mulia Tuan Guru H Anang Ilmy Martapura Kalimantan Selatan menganggap bahwa kata-kata Nur Muhammad dalam i’tiqad kekadimannya adalah asma Allah Nur yang terpuji, jangan sampai tasawwur dengan Muhammad Rasulullah yang dimakamkan di Madinah. Kalau demikian, kena nang kaya urang Kristen menuhanakan Isa.
Hal ini beliau ungkapkan dalam kitab Permata Indah Addurrunnafis pada halaman 169. Padahal menurut Syekh Yusuf al-Nabhani, bahwa Nur Muhammad itu ada dua sisi. Pertama, sebagai makhluk yang pertama diciptakan. Kedua, dari sisi hakikat Nur Muhammad dari Nabi Adam ke Syitz terus sampai kepada para Nabi dan orang suci sampai kepada Abdullah dan Muhammad Saw. Jadi dalam konsep ini jelas ada hubungan dengan Nabi Muhammad Saw yang dimakamkan di Madinah.
Menurut ungkapan syair maulid Syaruful Anam, Nur Muhammad itu berasal dari tanah yang diambil dari makam Rasulullah di Madinah, Jibril membawa tanah tersebut berkeliling Surga dan menyucinya dengan telaga Tasnim. Nur Muhammad kemudian dititipkan pada sulbi Adam. Adam berjanji akan memeliharanya dan hanya diturunkan kepada sulbi dan rahim orang-orang suci. Secara implisit, Nur Muhammad menurut versi Syaraful Anam ini ada hubungannya dengan Muhammad Saw yang dikuburkan di Madinah.
Dalam ceramah agama ada terdengar seorang ulama yang memfatwakan kafir terhadap orang yang menganggap Nur Muhammad itu qadim. Harus difasakh kalau ada hubungan suami-isteri kerana kalau masih saja ada hubungan suami isteri maka dikatakan zina karena suaminya telah kafir oleh sebab mengatakan ada yang qadim selain Tuhan. Pendapat ini tentu berbeda dengan Syekh Yusuf al-Nabhani, pengarang kitab Jami’ Karamati al-Auliya dan ulama lainnya yang menganggap proses kejadian Nur Muhammad itu ada pada amal azali. Beliau berpendapat bahwa di samping Nur Muhammad itu baharu sebagai nabi terakhir, juga Nur Muhammad itu bersifat qadim, dengan sifat qadim itulah Nur Muhammad bisa bertemu Allah yang juga Qadim.
Ada juga ulama berpendapat bahwa amaliah tasawuf yang paling cepat sampai adalah yang melalui Nur Muhammad, karena Nur Muhammad itu satu unsur dengan Tuhan. Menurutnya, tasawuf adalah patri, bahan mmatri itu haruslah satu unsur dengan yang dipatri, seperti emas patrinya harus emas.
Perbedaan pendapat ini kadang sangat membingungkan orang awam, mungkin juga sebagian ulama. Mengapa membingungkan? Karena Nur Muhammad itu persoalan filsafat, tapi dipahami secara lugu melalui al-Quran dan Hadis. Sejak al-Ghazali mengkafirkan para filosof maka sinar filsafat mulai meredup di kalangan sunni. Sebenarnya, ulama perlu juga mengetahui filsafat, bukan untuk memfilsafati agama, tetapi untuk memahami dan memfilter pikiran-pikiran falsafi yang tidak islami.
Persoalan Nur Muhammad sebenarnya persoalan filsafat yang merembes masuk ke dunia tasawuf. Oleh karena itu, permasalahan ini sering muncul pada tataran tasawuf falsafi, bukan tasawuf akhlaqi.
Teori Nur Muhammad
Teori yang paling dominan dalam memahami Nur Muhammad adalah menurut konsep Ibn Arabi, meskipun ia bukan pencetus pertama. Konsep Nur Muhammad pertama ada pada al-Tustari, kemudian pada muridnya, al-Hallaj.
Tuhan menurut Ibn Arabi adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Ia ingin dikenal, tapi Tuhan Maha Transenden (tasbih/tanazzuh), siapapun tidak akan dapat mengenalnya secara langsung karena Ia tidak ada duanya (laisa kamislihi syaiun). Istilah Ibn Arabi ”la ta’ayun”. Maka satu-satunya jalan untuk mengenalnya ialah melalui makhluk ciptaannya. Sebab persepsi rasio dan indera tidak akan mampu mengenal zat-Nya yang asli.. Melihat angin saja mata tidak mampu, begitu juga menatap Matahari, apalagi Tuhan.
Satu-satunya jalan agar Allah bisa dikenal adalah bertajalli kepada makhluk, ciptaannya. Tajalli Tuhan yang sempurna ada pada manusia. Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Tuhan, maka Adam adalah makhluk yang layak untuk menerima tajalli Allah, tetapi Adam kalah mulia dari Muhammad Saw yang dilahirkan sebagai Nabi Terakhir, kerana keberadaan Nur Muhammad lebih dahulu daripada Adam. Malah menurut Ibn Arabi nama Nur Muhammad itu bukan hanya satu, bahkan sampai 22 nama, termasuk hakikat Muhammadiyah, roh Muhammad, khalifah, akal pertama, namun maksudnya hanya satu, yaitu makhluk pertama yang dengannya Tuhan dapat bertajalli secara sempurna. Makhluk ini sebagai inti dan bahan alam semesta.
Nur Muhammad dalam Sunni
Dalam sunni Nur Muhammad tersebut berasal dari Sahl Abdullah al-Tusturi kemudian dikembangkan oleh muridnya, al-Hallaj, dikembangkan lagi oleh Ibn arabi, kemudian oleh Abdul Karim al-Jilli, dan selanjutnya oleh para ulama haramain, seperti al-Qusyasyi dan muridnya Ibrahim al-Kunani. Kepada mereka banyak ulama Nusantara berguru.
Pada abad ke 17 dan ke 18, Haramain merupakan pusat studi Islam sebagaimana diistilahkan Prof. Azzumardi Azra sebagai melting pot (panci pelebur) yang punya pengaruh kuat ke Nusantara dan daerah lainnya di seluruh dunia. Kedua tokoh tersebut melakukan sintesis baru antara aliran Ibn Arabi dan al-Ghazali, juga pada saat yang sama mulai berkembang sintesis antara tasawuf dan fiqh yang oleh Fazlurrahman dinamakan sebagai neo-sufism.
Oleh karena itu, dapat kita lihat kitab-kitab ulama hasil dari berguru ke Haramain, seperti Sairus Salikin karya Abdussamad al-Falimbani dan kitab ad-Durrunnafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Pada kedua kitab ini nampak dengan jelas sintesis antara tasawuf al-Ghazali dengan Ibn Arabi. Kemudian kecenderungan kepada fiqh, hadis nampak dalam memahami Nur Muhammad pada Syekh Abdurrauf Sinkel dalam kitab Tanbihul Musyi.
Al-Sinkili berpendapat bahwa dengan adanya penciptaan alam dari Nur Muhammad, berdasarkan rahmat Tuhan, berdasarkan pengetahuan-Nya di zaman azali secara tertib berdasarkan al-Qur’an dan hadis Jabir, al-Sinkili secara tegas berpesan agar mengembalikan persoalan Nur Muhammad kepada ajaran nabi.
Ulama pada abad ke 15 sampai abad ke 20 umumnya hanya mengekor kepada pendapat sebelumnya, karena Islam sedang berada dalam zaman kemunduran. Pengajian di Haramain pun hanya persoalan agama, tidak sebagaimana pada zaman keemasan Bagdad dan Cordova. Perjalanan pemikiran yang mengekor ini tampak jelas pada tradisi syarah kitab, dan nuansa tawadlu dalam tradisi tasawuf sehingga banyak anggapan bahwa apa yang disampaikan oleh guru-guru sufi hanyalah berdasarkan kasyf semata.
Selanjutnya, pengaruh tarekat yang sangat kuat dalam pengembangan tasawuf sejak abad 12 dalam dunia Islam, juga menjadi faktor yang menyebabkan tidak beraninya para ulama mengeritik para guru yang terdahulu. Hal yang digambarkan ini menyebabkan konsep Nur Muhammad masuk ke dalam dunia tasawuf sunni dengan mulus.
Dengan demikian, masuknya Nur Muhammad di kalangan Sunni sejalan dengan masuknya paham Ibn Arabi melalui murid-murid dan penggemarnya. Ibn Arabi sangat dihormati oleh ulama tasawuf, gelar yang disandangnya ialah Syaikh al-Akbar. Kedudukannya menjadi terangkat karena teori makrifat dan kasyaf al-Ghazali.
Menurut al-Ghazali, orang yang telah mencapai makrifat akan terbuka hijab, mata batin dapat menembus lauh mahfuz serta dapat mendengar pembicaraan langit secara langsung. Hal inilah yang telah dicapai oleh Ibn Arabi. Menurut pengakuan Arabi bahwa kitab Futuhat al-Makiyah sebagai kitab puncak dalam tasawuf yang lembarannya mencapai 18.500 halaman adalah hasil kasyaf atau dialog langsung dengan Allah Swt. Dan tidak ada segorespun yang tercantum dalam kitab itu berasal dari pribadi dia sendiri. Begitu juga kitab Fushushul Hikam adalah hasil dialog langsung dengan Rasulullah. Pada kedua kitab ini tersebar paham Nur Muhammad. Para ulama sufi mengambilnya dan menyatakan sebagai kebenaran yang tak perlu dipertanyakan lagi.
kang anda benar-benar menjaga masuk-keluarnya nafas
ReplyDeleteterima kasih atas penjelasan tentang Nur Muhammad yang telah disampaikan
ReplyDeletehttp://raggne.wordpress.com
N.m. adalah yg meliputi....semua yg ada tanpa luput terliputi...
ReplyDelete