Penalaran Akal dalam Prespektif al-Juwaini

Al-Juwaini yakin dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal. Ia memandang dalil akal (al-adillah al-aqliyah) itu mutlak. Bahkan, menurut sebagian ahli, keyakinan al-Juwaini terhadap dalil-dalil pikiran itu merupakan suatu keyakinan yang membuatnya tampak tidak perlu bersandar pada syara’ sepanjang dalil-dalil tersebut akan dapat menuntun dan membawa kepada apa yang ingin dicapai.


Al-Juwaini tentang Penalaran Akal dan Kritiknya terhadap Mu’tazilah: Suatu Corak Pembelaan Teologis

Para ahli mencatat, bahwa Imam al-Haramain al-Juwaini menjadi tokoh yang penting karena berkiprah di antara dua masa: masa Asy’ariyah klasik dan masa “modern” dalam aliran Ibn Khaldun. Maka dapatlah dimengerti bila ia, al-Juwaini, lalu tampil memberi landasan-landasan penalaran yang kukuh bagi pemikiran-pemikiran Asy’ariyah klasik yang sedang memasuki suatu era “modern”. Dengan kiprah pemikiran-pemikirannya tersebut terhapuslah anggapan, bahwa kaum Asy’ariyah meletakkan akal pada posisi yang sangat lemah; seiring dengan tumbuhnya wawasan baru bahwa penalaran yang kuat tetap dimungkinkan muncul dari kalangan Asy’ariyah. Tak berlebihan kiranya bila Sherwani menilai al-Juwaini sebagai orang yang mungkin paling terpandai pada masanya (perhaps the most learned man of histime). Pantas bila ia juga dicatat sebagai orang yang meyakinkan al-Ghazali tentang pentingnya mengkaji falsafah. Akhirnya, al-Juwaini untuk masa sekarang, tidak lagi dirasakan sebagai tokoh dan pemuka Asy’ariyah saja, tetapi ia telah menjadi mata rantai yang amat penting dari khazanah intelektual Islam.

A. Pendahuluan

Imam al-Haramain al-Juwaini adalah salah seorang pemuka ulama Ahl al-Sunnah wal al-Jamaah, pengikut Imam al-Asy’ari, pendiri mazhab teologi al-Asy’ariyah. Nama lengkapnya ialah Abd al-Malik ibn Abd Allah ibn Yusuf ibn Muhammad ibn Abd Allah ibn Hayawaih al-Juwaini al-Naisaburi. Ia dan ayahnya masyhur dengan panggilan al-Juwaini, dinisbahkan kepada kota tempat kelahirannya, Juwain, termasuk kawasan Naisabur, Khurasan (Iran). Ia juga dikenal dengan kunyah (gelaran) Ab al-Ma’ali, yang menunjukkan keutamaan yang dimilikinya sebagai ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Akan tetapi, ia lebih dikenal dengan Imam al-Haramain, gelar yang ia sandang setelah mengajar selama empat tahun di dua kota suci, Mekah dan Madinah (447-451 H).

Ia mula-mula belajar agama dari ayahnya. Karena kecerdasan dan kemampuannya, setelah ayahnya wafat, ia menggantikannya mengajar di Madrasah Naisabur sedang waktu itu umurnya baru 20 tahun dan telah menganut aliran Asy’ariyah. Selanjutnya, ia belajar fikih dari Abu al-Qasim al-Asfarayaini dan memperdalam pengetahuannya mengenai Alquran pada Ibn Muhammad al-Naisabur al-Khabazi. Ia meninggalkan Misqat dan bermukim di Bagdad ketika terjadi pergolakan saat Tugral Bek bangsa Saljuk diangkat menjadi Wazir oleh Amid al-Malik al-Kandari. Ketika pertentangan antara kaum Mu’tazilah dan Asy’ariyah memuncak, ia meneruskan perjalanannya ke Hijaz dan bermukim serta mengajar di dua kota suci sampai keadaan lebih menguntungkan penganut Asy’ariyah, yaitu ketika Nizam al-Mulk, pembela paham Sunni, diangkat menjadi Wazir dan selanjutnya mendirikan Sekolah Nizamiyah; ia pulang ke Misqat dan mengajar di sekolah tersebut sampai wafatnya.

Ia digelar Ab al-Ma’ali karena ilmunya tentang masalah-masalah ketuhanan (teologi) dipandang cukup mendalam di samping kesungguhan yang dia kerahkan demi kejayaan agamanya. Dia pun terkenal sebagai seorang yang dapat memadukan antara ketepatan logika dengan keunggulan argumentasi dalam menangkis serangan mitra dialognya. Karena itu, ia dapat dengan mudah mengalahkan lawan dalam usahanya untuk menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan.

Mengenai gelar Dhiya` al-Din, yang juga menghiasi namanya, diberikan karena kelebihan yang dimilikinya dalam menerangi hati dan pikiran para pembela akidah Islamiyah. Atas berkat penerangan dari al-Juwaini, maka para pemuka aliran Ahl al-Sunnah dapat menangkis serangan dari para pengikut “golongan sesat” yang telah terjerumus ke dalam kegelapan.

Bila diamati dengan seksama, maka perjalanan hidup al-Juwaini melewati empat periode kehidupan. Pertama, periode kelahirannya, kemudian ia dibesarkan di kota Naisabur dan berakhir ketika ayahnya wafat. Kedua, meliputi periode kegiatannya menuntut ilmu, menyelesaikan beberapa karya ilmiah dan berakhir ketika ia meninggalkan Naisabur. Ketiga, periode perantauannya untuk mencari dan memperdalam ilmu, berpindah dari satu tempat (kota) ke tempat (kota) lainnya, dengan ciri bermukim beberapa lama di tempat tersebut untuk memperdalam atau mengajarkan ilmu sampai ia kembali ke Naisabur. Keempat, masa menetapnya ia di Naisabur hingga akhir hayatnya.

Imam al-Ghazali (1058-1111 M.) yang mendapat julukan Hujjat al-Islam adalah jebolan dari perguruan Nizamiyah yang diasuh oleh al-Juwaini. Dari segi ini, ia dinilai sebagai seorang pendidik yang berhasil. Kesibukannya mengajar dan memberikan fatwa tidak menghalanginya dari menulis. Meski tak seproduktif Ibn Taymiyah dan al-Ghazali, sang murid, namun karya ilmiah bidang keagamaan yang lahir dari tangan al-Juwaini dinilai sangat penting. Hal itu dapat diketahui dari banyaknya karya tulisnya. Ahmad Mahmud Subhi mencatat karangan-karangannya sebagai berikut. Mengenai ushul fiqh: Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, Al-Waraqat, Kitab Mughits al-Khuluq fi Ikhtiyar al-Ahaq, dan Al-Irsyad fi Ushul al-Fiqh. Tentang fikih: Nihayah al-Muthlab fi Dirayah al-Mazhab, Risalah fi al-Fiqh, dan Risalah fi al-Taqlid wa al-Ijtihad.

Adapun tentang ilmu kalam ialah Kitab al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad, Risalah fi Ushul al-Din, Al-Kamil fi Ikhtishar al-Syamil, Ghiyats al-Umam fi al-Qiyat al-Zhulm, Syifa` al-Ghalil fi Bayan ma waqaa fi al-Taurat wa al-Injil min al-Tabdil, Al-Aqidah al-Nizhamiyah fi al-Arkan al Islamiyah, Luma’ al-Adillah fi Qawa’id Aqaid Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan Al-Talkhis fi al-Ushul. Yang banyak mengandung pembahasan mengenai akidah Asy’ariyah antara lain: Al-Syamil fi Ushul al-Din, Al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al I’tiqad, dan Al-Aqidah al-Nizhamiyah. Fauqiah Husain Mahmud, pentahkik buku al-Juwaini yang berjudul Luma’ al-Adillah, mencatat lebih banyak lagi karangan al-Juwaini, baik dalam bidang ilmu yang telah disebutkan di atas, maupun dalam bidang ilmu lainnya. Sebagian dari karangan-karangannya itu telah diedit, ditahkik, dan diberi penjelasan (syarah) lebih luas oleh para ahli.

Melihat bidang-bidang pembahasannya, kiranya tidak berkelebihan bila Fauqiah Husain Mahmud memberi komentarnya, bahwa musnaf-musnaf al-Juwaini telah mencapai tujuannya, yakni menolong sekian banyak cendekiawan (ulama) dan para pensyarah (komentator) Arab, sehingga melalui mereka, apa yang masih samar dari pandangan-pandangan al-Juwaini dapat dijelaskan untuk selanjutnya pikiran-pikirannya dapat diketahui dan dipahami oleh orang banyak. Al-Juwaini menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena adanya kekhasan metode yang ia gunakan dalam membela paham Sunni. Ia berpandangan bahwa akidah yang benar akidah yang didasarkan atas akal dan naqli serta kombinasi antara keduanya. Akal itu cahaya Tuhan yang sifatnya fitrawi sebagai tanda kecintaan Tuhan kepada manusia akal menjadi media (wasilah) bagi ilmu pengetahuan. Akan tetapi mengenai naqliyat, semata mata perkara daya serap pendengaran yang wajib diyakini kebenarannya tanpa memerlukan pembuktian akli atasnya. Karena pendiriannya yang serupa itu, ia masyhur di masanya dan dikenal sebagai generasi keempat dari pemuka dan ulama Asy’ariyah, sejajar dengan al-Khatib al-Bagdadi dan Ab al-Qasim al-Qusyairi.

Pandangannya bahwa akal dan penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada keyakinan yang mantap, membawa al-Juwaini kepada pendirian bahwa penggunaan penalaran dalam soal agama adalah wajib menurut syara’. Karena kekhasan metodenya itulah sehingga ia tidak selamanya mengikuti pendapat para pendahulunya, hatta Imam Asy’ari sekalipun.

Pada sisi lain, penghargaan terhadap penggunaan metode penalaran menjadikan komentar-komentar dan kritikan-kritikannya terhadap pandangan-pandangan mazhab Mu’tazilah tetap menarik sebagai khazanah intelektual Islam. Tulisan ini mencoba memberi perhatian kepada beberapa komentar dan kritik al-Juwaini terhadap Mu’tazilah mengenai beberapa tema teologi. Dikatakan, hanya beberapa tema teologi, berhubung keterbatasan penulis untuk memasuki cakrawala pemikiran, baik al-Juwaini maupun Mu’tazilah. Dengan demikian, tulisan ini lebih bersifat deskriptif ketimbang analisis.

B. Akal dalam Pemikiran al-Juwaini

Menurut yang dinukilkan oleh Fauqiah, al-Juwaini melihat peranan akal cukup menentukan dalam masalah-masalah keagamaan. Al-Juwaini yakin dengan dalil-dalil yang berdasarkan akal. Ia memandang dalil akal (al-adillah al-aqliyah) itu mutlak. Bahkan, menurut sebagian ahli, keyakinan al-Juwaini terhadap dalil-dalil pikiran itu merupakan suatu keyakinan yang membuatnya tampak tidak perlu bersandar pada syara’ sepanjang dalil-dalil tersebut akan dapat menuntun dan membawa kepada apa yang ingin dicapai.

Meskipun demikian, dalam masalah-masalah akidah, ia memandang bahwa cara yang tepat adalah bersandar pada dalil akal dan naql (nash wahyu) serta perpaduan antara keduanya. Karena itu, ia membagi dalil-dalil tersebut kepada dalil akal dan dalil tradisional (al-sam’iy). Tentang dalil akal, ia berpendapat bahwa pada diri dalil akal tersebut sudah terdapat petunjuk yang membenarkannya. Ia melihat dalil akal itu sebagai sesuatu yang perlu. Artinya, seseorang tak mungkin membayangkan bahwa dirinya akan terisolasi dari pengetahuan akal tersebut.

Keyakinannya akan dalil-dalil pikiran tampak jelas pada pandangannya tentang ilmu. Dalam hal ini, antara lain ia berpendapat, bahwa ilmu yang diperoleh (al-‘ilm al-muktasab) hasilnya amat bergantung pada penalaran yang benar. Penalaran yang benar wajib bagi manusia, sebab manusia tidak akan sampai kepada ilmu kecuali dengan penalaran tersebut. Manusia akan yakin pada kekuatan dalil yang datang dari penggunaan akal. Sebab, keyakinan yang demikian akan memberi kemantapan jiwa.

Dalam soal pengetahuan akal ini, ia berbeda dengan orang-orang yang mempertanyakan (meragukan) pengetahuan akal tersebut. Sebab, baginya, pengetahuan akal itu adalah perlu dan nyaris bagai argumen badihi, demikian pula kebenaran yang dikandungnya adalah jelas. Oleh karena ia melihat bahwa penalaran akan sanggup mengantar manusia kepada keyakinan yang mantap, ia pun tiba pada pendirian, bahwa penggunaan penalaran dalam soal agama adalah wajib menurut syara’. Alasan lain yang dikemukakan oleh al-Juwaini mengenai wajibnya penalaran tersebut menurut syara’ adalah karena penalaran akan membawa kepada pengetahuan tentang yang wajib, yang jika penalaran tersebut diteruskan, akhirnya tiba pada pengetahuan tentang Yang Wajib Wujud-Nya (Wajib al-Wujud), yaitu Tuhan. Sekali lagi dijelaskan di sini, bahwa dalam soal akidah, seperti penetapan keesaan dan wujud Tuhan, serta penetapan baru (huduts)-nya alam dan sifat-sifat Tuhan, al-Juwaini tetap menggunakan dalil-dalil syara’, di samping dalil-dalil akal, atau menggunakan kedua pendekatan tersebut.

Meskipun ia tidak menggunakan lahir ayat dan hadis sebagai dalil tentang wajibnya penalaran, namun ia menyebut akal sebagai salah satu sumber pengetahuan, di samping indera dan jiwa. Pengetahuan yang bersumber dari akal inilah yang disebutnya sebagai bersifat badihi. Kecenderungannya kepada akal dan argumen pikiran agaknya juga disebabkan oleh pengetahuan falsafah yang ia pahami. Ahmad Mahmud Subhi menyebutkan, bahwa dari antara pemuka Asy’ariyah dan Syafiiyah, al-Juwaini termasuk mereka yang memanfaatkan falsafah Yunani untuk keperluan ber-mujadalah (diskusi) dan menguatkan argumen-argumen. Cuma saja harus dicatat, bahwa mengenai falsafah tidak serta-merta berarti ia sibuk berfalsafah. Baginya, falsafah hanya merupakan alat dan cara untuk menguatkan teori-teori dan pandangan-pandangan teologisnya.

Kecenderungannya kepada akal, khususnya pengetahuan falsafah yang ia miliki, menyebabkan ia, menurut Ahmad Mahmud Subhi, nyaris tidak atau jarang menukilkan ayat-ayat Alquran sebagai argumen. Meskipun demikian, itu tidak berarti bahwa ia keluar dari pandangan-pandangan pendiri mazhab Asy’ariyah, Abu Hasan al-Asyari. Sebab, dalam kenyataannya ia tetap selaras dengan pandangan-pandangan mazhab tersebut terutama dalam tema-tema yang menyebabkan ia berbeda dari mazhab Mu’tazilah. Agaknya karena inilah, Mahmud Subhi tetap melihat dan menilai al-Juwaini sebagai seorang teolog tulen Asy’ariyah. Ada anggapan bahwa teologi tradisional sebagai yang terdapat dalam mazhab Asy’ariyah menganut pendirian, bahwa akal mempunyai daya yang lemah. Teologi tradisional yang demikian itu cenderung memberikan interpretasi harfi atau tekstual dalam memahami ayat-ayat Alquran.

Kalau kita mengingat kembali pada pandangan al-Juwaini mengenai akal, anggapan tersebut tidak seluruhnya dapat diterapkan kepada al-Juwaini, meskipun ia seperti juga telah disinggung, adalah seorang teolog tulen Asy’ariyah. Sikap al-Juwaini yang demikian pulalah menyebabkan ia tidak selalu sejalan dengan para pengikut Asy’ariyah lainnya, khususnya dengan Imam al-Asyari selaku pendiri mazhab tersebut. Di dalam menetapkan barunya alam, misalnya, al-Juwaini menempuh cara yang berbeda dari cara yang umumnya ditempuh kalangan teolog.

Dalam masalah ini, Imam Abu Hasan al-Asyari menempuh cara yang disebut cara pembatalan. Cara ini mulai dengan menyatakan, bahwa bila jauhar-jauhar itu diperkirakan qadim, maka ia tak luput dari beberapa kemungkinan. Yaitu, kalau jauhar-jauhar itu tidak berhimpun, tentu saling berpisah; atau, tidak berhimpun dan juga tidak saling berpisah; atau, berhimpun dan saling berpisah sekaligus; atau, sebagiannya berhimpun dan sebagian lainnya saling berpisah. Ringkasnya, jauhar-jauhar itu tidak luput dari himpunan dan keterpisahan. Dengan demikian, batallah perkiraan tadi bahwa jauhar-jauhar itu qadim karena bertentangan dengan hukum, bahwa zat yang sesungguhnya adalah yang tidak mengalami perubahan.

Dengan cara yang agak berbeda dari Imam Asyari, al-Juwaini mulai dengan menyatakan bahwa alam ini adalah jauhar-jauhar dan aradl-aradl (accidents). Jauhar memiliki ciri berganti tempat, berkadar, dan menerima aradl. Kemudian ia menjelaskan apa yang dimaksud dengan aradl. Adapun barunya jauhar ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip yang ia telah tetapkan dan jelaskan mengenai aradl. Di antaranya ialah prinsip mengenai barunya aradl itu sendiri; prinsip mengenai mustahilnya jauhar itu bersih dari aradl; prinsip mengenai mustahilnya yang baru itu tak mempunyai permulaan; di atas prinsip-prinsip inilah ia menyimpulkan, bahwa jauhar-jauhar itu tidak mendahului yang baru, sehingga apa yang tidak mendahului yang baru mesti ia baru. Dalam uraiannya tentang penetapan aradl, ia juga membantah kalangan yang berpaham kafir (ilhad), yang berpendapat bahwa yang maujud hanya jauhar-jauhar.

Dalam menjelaskan argumennya, ia juga menjelaskan kaitan antara jauhar dengan gerak (al-harakah) dan diam (al-sukun). Ia menjelaskan, bahwa jauhar yang diam itu sekiranya bergerak, maka gerakan itu adalah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Kemunculan gerak itu secara tiba-tiba menunjukkan barunya gerak tersebut. Bagaimana pula sekiranya ada orang yang berargumen, bahwa sesungguhnya gerak tersebut tersembunyi di dalam jauhar, kemudian tampak, tapi penampakannya tersembunyi oleh diamnya (al-sukun) jauhar? Terhadap soal ini al-Juwaini menjawab, bahwa sekiranya hal tersebut memang benar, maka itu berarti dua keadaan yang saling bertentangan berkumpul pada satu tempat. Keadaan yang demikian berlawanan dari apa yang sama diketahui, yaitu bahwa mustahil sesuatu itu bergerak dan diam sekaligus. Maka yang logis adalah bahwa gerak dan diam mustahil berhimpun. Argumen ini diajukan al-Juwaini untuk menunjukkan barunya aradl (accident) sebagai bukti barunya jauhar dan karenanya alam ini juga baru.

C. Sekitar Empat Tema Teologis

Pada pendahuluan telah ditegaskan bahwa tulisan ini tidak akan menengahkan semua tema teologi Mu’tazilah yang mendapat komentar dan kritik dari al-Juwaini. Tema tentang al-ism dan al-tasmiyah yang akan memulai bagian ini, juga oleh al-Juwaini dijadikan sebagai awal pembicaraan sebelum ia dalam bukunya al-Irsyad membahas lebih lanjut tentang nama-nama Allah. Kalau Mu’tazilah menyamakan al-ism (isim/nama) dengan al-tasmiyah (penamaan), al-Juwaini membedakan antara keduanya.

Menurut Mu’tazilah, jika bagi Tuhan tidak ada sifat dan isim di zaman azali, maka sifat dan isim itu adalah perkataan orang yang memberi nama dan yang memberi sifat (aqwal al-musammin wa al-washifin, padahal tak satu pun perkataan di zaman azali. Dengan kata lain, sifat dan isim itu ada di zaman azali. Akan tetapi bagian akhir dari jalan pikiran Mu’tazilah yang menegaskan bahwa di zaman azali tak satu pun perkataan yang ada, oleh al-Juwaini dikomentari, bahwa pendirian serupa itu bisa berakibat untuk mengatakan bahwa Tuhan tidak punya sifat uluhiyat di zaman azali, suatu pendirian yang tidak memihak kepada agama dan melawan ijma (konsensus) kaum muslimin.

Argumen al-Juwaini selanjutnya untuk mendukung pendapat bahwa al-ism berbeda dari al-tasmiyah adalah berupa dalil naqli, yaitu ayat-ayat Alquran yang tersebut pada surah 87:1, surah 55:78, dan surah 12:40. Sebenarnya dalam persoalan ini al-Juwaini tidak menyangkal bahwa terkadang yang kita maksudkan dengan al-ism adalah al-tasmiyah. Sehingga dengan demikian dapat juga disimpulkan, bahwa jika pendirian Mu’tazilah dalam persoalan ini merupakan “harga mati” (mutlak), maka adalah pendirian al-Juwaini ternyata lebih luwes. Agaknya, yang terpenting untuk disimak ialah kemungkinan yang dilihat oleh al-Juwaini, yaitu bersikap mutlak-mutlakan dalam persoalan tersebut akan bisa membawa kita kepada tidak memihak kepada agama dan melawan konsensus (ijma) kaum muslimin.

Dalam tema keabadian pahala (al-tsawab ‘ala al-ta’bid), al-Juwaini mengeritik pendapat Mu’tazilah yang memandang pahala bersifat abadi; tegasnya, menetapkan keabadian pahala. Menurut al-Juwaini, alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah ialah karena pahala itu adalah nikmat yang menyenangkan yang bebas dari hal-hal yang menyusahkan dan bersih dari hal-hal yang mengotorkan (mengeruhkan). Artinya, menurut jalan pikiran Mu’tazilah, yang terpantas bagi suatu pahala (tsawab) adalah bahwa ia itu berlaku abadi, sehingga bila tidak demikian berarti terputus atau selesai, sesuatu yang tak menyenangkan atau, malah, menyusahkan.

Membanding jalan pikiran Mu’tazilah di atas, al-Juwaini mengajukan pertanyaan: apakah ibadah-ibadah yang sifatnya terbatas (mutanahiyah) yang dilakukan oleh para mukallaf dan yang menyebabkan mereka memperoleh pahala, harus selalu memperoleh ganti yang tanpa batas akhir? Kritik al-Juwaini selanjutnya dikemukakannya dalam bentuk analogi berikut. Menurut al-Juwaini, pendapat Mu’tazilah yang mengharuskan posisi dan martabat yang tinggi bagi pahala (yajib ‘ala al-rutbah al-ulya) adalah kurang proporsional. Sebab, dalam kenyataannya banyak sekali nikmat di dunia ini yang wajib disyukuri, ternyata bercampur dengan ujian dan kesulitan-kesulitan (masyubah bi al-mihan wa al-humum). Kenyataan tersebut tentu bisa dianalogikan kepada pahala yang oleh Mu’tazilah didefinisikan sebagai nikmat (al-na’im), demikian al-Juwaini.

Serupa dengan analogi di atas, analogi berikut merupakan jalan pikiran terbalik atau kebalikan dari jalan pikiran Mu’tazilah yang baru saja dijelaskan di atas. Menurut al-Juwaini, semua manusia mengetahui bahwa bila dari seseorang muncul satu perbuatan (negatif), kemudian ia akan diperkirakan (hidup) baqa` di akhirat, maka tidaklah pantas siksa yang akan ditimpakan padanya, akibat perbuatannya yang sekejap tersebut, akan bersifat abadi dan terus menerus (fala yahsun mu’akabatuh alaiha abadan sarmada). Sebab, bila hal itu terjadi yakni siksa juga berlangsung abadi dan terus menerus, akan sangat bertentangan dengan prinsip bahwa Tuhan Maha Rahim dan Maha Karim.

Dua tema teologi yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa kritik dan komentar al-Juwaini atas kedua tema tersebut didasarkan atas keinginannya untuk membela konsensus (ijma) kaum muslimin dan prinsip keagamaan yang telah dianut. Di samping itu, sistem penalaran logis dari al-Juwaini selalu tampak mencoba membanding sistem penalaran logis Mu’tazilah. Hal-hal yang baru kami sebutkan ini masih dapat dilihat pada komentar dan kritik al-Juwaini terhadap tema-tema lain berikut ini.

Dalam tema al-tahsin wa al-taqbih, al-Juwaini mengkritik pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-tahsin wa al-taqbih (kebaikan dan keburukan) adalah dua hal yang dapat diketahui oleh akal; pengetahuan terhadap keduanya tidak bergantung pada adanya wahyu; sifat dan esensi keduanyalah yang menyebabkan akal bisa mengetahui bahwa sesuatu itu baik atau buruk. Menurut al-Juwaini, tidak semua kalangan Mu’tazilah menganut pendapat demikian. Kritik al-Juwaini ini dapat dipahami dari ungkapannya: rubbama yatakhabbatun fiha wa yamtana’a ‘alaihim fi majari al-mazhab shirf al-husn wa al al-qubh ila shifatain li al-husn wa al-qubh ila shifatain li al-husn wa al-qubh”.

Masih dalam tema ini, al-Juwaini menunjuk lagi ketidak-sepakatan di kalangan Mu’tazilah menyangkut pendapat mereka bahwa yang baik dan buruk dapat diketahui secara dharuri atau apodiktik; (ma idda’aitum qubhuh aw husnuh dharuratan fa antum fih munazi’un).

Sekalipun kritikan al-Juwaini dalam hal ini tanpa menyebut kalangan mana dari antara Mu’tazilah yang tidak saling bersepakat, namun terdapat petunjuk tentang kecermatan kritik al-Juwaini tersebut. Dalam buku Al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, terdapat keterangan bahwa di kalangan Mu’tazilah ada yang berpendapat bahwa ada kebaikan dan keburukan yang tidak mampu diketahui oleh akal, misalnya, kebaikan bulan puasa di bulan Ramadhan dan keburukan mengerjakan puasa pada hari raya (‘id al-fithr). Pada buku lainnya dijumpai pula keterangan bahwa Abd al-Jabbar, salah seorang pemuka Mu’tazilah, menganut pendirian bahwa tidak semua yang baik bisa diketahui oleh akal.

Kecermatan kritik al-Juwaini tersebut bisa berarti bahwa pendirian Mu’tazilah menyangkut tema di atas mengandung segi-segi kelemahan, sebab di kalangan mereka (Mu’tazilah) sendiri tidak terdapat kesepakatan.

Bila kita beralih kepada tema ru’yat Allah (melihat Allah di akhirat), maka ada baiknya pokok-pokok pikiran Mu’tazilah dalam hal ini dikemukakan terlebih dulu. Pada dasarnya Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah mustahil dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. Guna menguatkan pendapatnya itu Mu’tazilah mengemukakan alasan pikiran di samping dalil syara’. Selaras dengan pandangan filosofis mereka bahwa karena antara Allah dan alam terdapat perbedaan prinsipil – Allah immateri dan alam bersifat materi – mereka memajukan alasan bahwa Allah mustahil dilihat karena immateri tersebut. Yang dapat dilihat adalah sesuatu yang materi, ber-jisim, dan bertempat. Mu’tazilah juga memajukan dalil syara’, seperti tersebut di bawah, guna mendukung pendiriannya.

Di samping menjadikan surat al-An’am ayat 103 sebagai dalil syara’ yang menafikan ru’yat Allah, Mu’tazilah juga mensejajarkan ayat tersebut dengan ayat 143 surah al-A’raf dengan mengatakan bahwa lafaz lan taraniy pada surah al-A’raf ini menunjukkan bahwa Tuhan mustahil untuk dapat dilihat. Juga menurut Mu’tazilah, Nabi Musa melakukan permintaan untuk melihat Tuhan adalah karena desakan dari kaumnya. Musa sendiri sesungguhnya sudah tahu bahwa permintaan tersebut adalah sesuatu yang mustahil. Musa melakukan desakan kaumnya itu dengan maksud membungkam sikap ingkar yang keterlaluan dari kaumnya.

Setelah mengemukakan argument akal dan naqli, Mu’tazilah membantah pengertian ayat 22 dan 23 surah al-Qiyamah, yang oleh kalangan Asy’ariyah termasuk al-Juwaini disepakati sebagai salah satu dalil naqli yang dengan tegas mengatakan, bahwa Tuhan dapat dilihat. Lafaz nazhirah pada ayat ini, bagi Mu’tazilah, tidak diartikan melihat tetapi diartikan memandang atau menanti. Argumen mereka ialah bahwa orang Arab bila mengatakan nazhartu ila al-hilal falam arah sama sekali tak bermaksud mengatakan raayt al-hilal fama raaytuh. Sebab, kalimat yang pertama berarti “Aku memandang bulan, tapi tak melihatnya”.

Demikian beberapa alasan Mu’tazilah yang dikemukakan di sini guna ditinjau dalam konteks komentar dan kritik al-Juwaini terhadapnya. Jika alasan bahwa Tuhan yang immateri merupakan faktor penghalang untuk melihat Tuhan, maka al-Juwaini memberi komentarnya, bahwa mengapa faktor penghalang tersebut hanya dibatasi pada faktor itu saja; apakah tidak mungkin memasukkan faktor lain yang berbeda dengan faktor penghalang yang diajukan oleh Mu’tazilah tersebut tidak kuat dan juga tak tegak di atas ilmu yang tegas (‘adam ‘utsurikum ‘ala dhabth al-mawani’ la yantashib ‘ilman qathi ‘an)

Terhadap ayat la tudrik al-abshar wa huw yudrik al-abshar, yang oleh Mu’tazilah dijadikan dalil bahwa Tuhan mustahil dapat dilihat, al-Juwaini memberi komentarnya bahwa menurut zhahir ayat, Tuhan tidak dapat diindera tapi (dapat) dilihat (inn al-rabb ta’ala la yudrak jariyan ‘ala zhahir al-ayah bal yura); hanya orang yang menempuh cara ini yang tercegah untuk memutlakkan al-idrak lantaran ia itu tercakup dan teriringi oleh hal yang punya batas-batas (innama imtana’a man salaka haza al-maslak min ithlaq al-idrak li inbaih al-ihathah wa tadhamunih al-luhuq wsa innama yalhaku zu al-ghayat) sedang Tuhan suci untuk dibatasi dengan keterhinggaan.

Selanjutnya, menurut al-Juwaini, ayat tersebut di atas bentuknya mutlak (muthlaqah), bukan mukhtashanah mengenai waktu. Ayat itu merupakan nash tentang penetapan ru’yah untuk waktu yang dimaklumi. Karena cara penakwilan membawa bentuk mutlak (al-muthlaq) kepada bentuk yang lebih khusus di dunia ini. Artinya, ayat tersebut berbicara tentang al-idrak di dunia ini.

Ketika tiba untuk mengomentari keterangan Mu’tazilah bahwa Nabi Musa melakukan hal yang telah disebutkan di atas adalah akibat desakan kaumnya, al-Juwaini menegaskan bahwa justeru lafaz lan taraniy serta keseluruhan ayat yang mencakup lafaz tersebut, merupakan dalil terkuat tentang penetapan bolehnya ru’yah (ashdaq al-adillah ‘ala tsubut jawaz al-ru’yah). Menurut logika al-Juwaini, justeru yang mustahil adalah Musa sebagai Nabi yang dipilih, yang diberi peluang bercakap dengan Allah (syarrafah bitaklimih) – sekali lagi – mustahil ia seorang yang bodoh dan meminta sesuatu yang ia ketahui bahwa hal itu sesuatu yang tidak mungkin, hanya karena desakan kaumnya dan hanya melihat “permintaan yang bodoh” itu sebagai satu-satunya cara untuk membungkam keingkaran kaumnya. Dalam hubungan keterangan (kalimat) yang terakhir, menurut al-Juwaini, mengapa Nabi Musa tidak mengemukakan jawaban yang sama ketika kaumnya meminta agar Musa mau membuatkan Tuhan untuk mereka, dengan berkata: Innakum qawm tajhalun.

Telah digambarkan bagaimana komentar dan kritik al-Juwaini terhadap Mu’talizah dalam tema ru’yah. Ia, dalam tema ini, tidak hanya menggunakan ayat-ayat Alquran sebagai dalil, tetapi juga mencoba mengoreksi pengertian yang ditarik oleh Mu’talizah dari ayat-ayat tersebut. Misalnya ketika ia menjelaskan bahwa lafaz al-nazhar menurut kaidah bahasa memang bisa memberi makna yang bermacam-macam. Akan tetapi bila lafaz tersebut berhubungan dengan kata ila, maka lafaz itu sama artinya dengan lafaz ru’yah, sehingga dengan demikian lafaz al-nazhar yang terdapat pada ayat yang didiskusikan di atas memberi pengertian bahwa ru’yah terhadap Tuhan bisa terjadi.

Sesungguhnya argumen-argumen al-Juwaini dalam tema ini memberi landasan lebih kokoh, baik aqli maupun naqli, terhadap pendirian pendahulunya, Imam al-Asy’ari. Sebab, seperti Asy’ari, ia pun berpendirian bahwa Tuhan kelak bisa dilihat di surga (ann al-ru’yah satakun fi al-jinan).

D. Penutup

Hanya sedikit tema teologis yang mampu diketengahkan dalam tulisan ini dalam hubungan “dialog” antara al-Juwaini dan Mu’tazilah. Hal ini juga bisa berarti bahwa betapa terbatasnya sebuah tulisan untuk mengungkap pemikiran tersebut. Tetapi, yang terutama, tentu adalah kelemahan penulisnya untuk bisa menyelami ufuk-ufuk pemikiran kedua tokoh tersebut. Meskipun demikian, dari sedikit tema yang sudah disajikan di sini, terbuka ufuk baru bagi kita yaitu pemikir yang datang lebih kemudian telah mencoba menerobos bidang cakrawala lain, yang sebelumnya mungkin belum pernah tersentuh oleh para pendahulunya. Itulah yang terjadi pada al-Juwaini. Ia telah menerobos bidang baru sekalipun itu dalam bentuk komentar dan kritiknya terhadap Mu’tazilah. Sehingga ia tidak saja mengukuhkan dan semakin memperkuat wawasan pendirian para pendahulunya, tetapi juga menambah dan memperluas dimensi wawasan yang mungkin saja belum terpikirkan oleh pihak yang dikritiknya.

Bagaimanapun, Imam al-Haramain al-Juwaini dan Mu’tazilah, telah tampil pada masanya dengan pemikiran-pemikiran kalamiyah mereka yang terbaik dan dengan cara serta metode berpikir yang teratur. Bahkan, cara dan metode yang khas rekayasa mereka sendiri bersama masanya. Sehingga sangat tidak beralasan bila masih terdapat tudingan bahwa fosilisasi kalamiyah mereka atau di antara mereka merupakan penyebab kemunduran umat Islam. Mungkin yang bijaksana ialah belajar dari Imam al-Haramain al-Juawaini bahwa setiap pemikiran yang disumbangkan, hatta ia sebuah komentar atau kritik sekalipun, hendaknya memiliki corak pembelaan terhadap agama.


Daftar Pustaka

Ahmad, Abd. al-Jabbar ibn. Syarh al-Ushul al-Khamsah, Cet. I,ditahkik oleh Abd al-Karim Ustman, Kairo, Maktabah Wahbah, 1965.

Badawi, Abd al-Rahman al-. Mazahib al-Islamiyah, Vol. I, Bairut, Dar al-Ilmi li al-Malayin, 1971.

Hasan, Hasan Ibrahim. Tarikh al-Islam fi Ashr al-Abbas al-Tsani, Jilid 3, Kairo, Maktab al-Nahdhah al-Mishriyah, 1979.

Jabbar, Abd al-. Al-Majmu’ fi al-Muhith bi al-Taklif, t.t., t.th., 1965.

Juwaini, Al-. Al-Irsyad ila Qawathi’ al-Adillah fi Ushul al-I’tiqad,, ditahkik oleh Muhammad Yusuf Musa dan Ali Abd al-Mun’im Abd al-Hamid, Kairo, Maktabah al-Khaniji, 1965.

Juwaini, Al-. Lam’ al-Adillah fi Qawaid Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, ditahkik oleh Fauqiah Husain Mahmud, Kairo, al-Dar al-Misriah li Ta’lif wa al-Anba wa al-Nasyr, 1965.

Kharsyad, Ibrahim Zaki dkk. Dairah al-Maarif al-Islamiyah, Jilid IV, t.t., Kitab al-Syab, t.th..

Musa, Jalal Muhammad. Nasy`ah al-Asy’ariyah wa Tathawwuruha, Bairut, Dar al-Kitab al-Banani, 1975.

Razi, Fakhr al-Din al-. Al-Mahshul fi ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Juz I, diedit oleh Thaha Jabir Fayyadh, Makkah, t.p., 1979.



Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)