Perspektif Lain tentang Fitnah dan Bala
menurut sebagian ahli, perbuatan menghasut, menghibah, dan menuduh itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan. Agaknya, pendapat ini tidak tepat sebab...
Tindakan represif menolak datangnya bala tidak perlu dilakukan, tidak perlu lagi upacara-upacara dan doa tolak bala, tetapi bagaimanapun manusia memang perlu tindakan prefentif agar bala tidak menggoyahkan imannya.
Perspektif Lain tentang Fitnah dan Balak
Al-Quran sebagai sumber ajaran agama Islam diwahyukan dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian kata dari bahasa Arab itu telah terserap ke dalam bahasa umat Islam di Nusantara, namun tidak sedikit di antara kita yang telah keliru dalam memahaminya, sehingga mengakibatkan kekeliruan dalam memahami pesan ajaran agamanya. Kata fitnah dan bala adalah di antara istilah serapan yang dimaksud.
Fitnah dan Bala dalam budaya Nusantara
Kata fitnah di Nusantara berarti umpatan, gunjing, gujirak, celaan, hujat, dan tuduhan jahat yang diada-adakan/dibuat-buat. Jadi, fitnah di sini bermakna perbuatan menjelekkan orang lain baik dengan cara mencela, menghasut, atau menggunjing supaya orang lain itu hilang harga dirinya. Sila perhatikan contoh kalimat: “Jangan memfitnah! karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”
Sementara, Fitnah dalam Bahasa Arab artinya perbedaan-perbedaan pendapat manusia dan kegoncangan pemikiran mereka (Kamus Al-Muhith dan Mu’jam Al-Wasith). Manakala salah seorang ulama ahli tafsir Al-Quran, Syaikh Muhammad As-Syinqity menjelaskan: “Penelitian al-Quran menunjukkan bahwa kata fitnah dalam al-Quran jika disebut secara mutlak memiliki makna cobaan dan ujian serta hasil yang jelek daripada cobaan. (Lihat Adhwa’ul Bayan 6: 254-255).
Istilah fitnah dalam bahasa Arab diartikan sebagai ”perpecahan yang timbul antara sesama sendiri, sehingga ketenangan fikiran sudah tidak wujud, oleh sebab antara satu dan lainnya saling tuduh-menuduh, cemburu-mencemburui dan salah-menyalahkan, sehingga timbul kehancuran”.
Kekeliruan masyarakat kita dalam memahami makna fitnah menimbulkan dampak khususnya dalam kehidupan moral beragama, karena fitnah disamakan dengan perbuatan menghasut, menghibah, dan mencemarkan nama baik seseorang. Bahkan, menurut sebagian ahli, perbuatan menghasut, menghibah, dan menuduh itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan. Agaknya, pendapat ini tidak tepat sebab dalil ayat yang digunakan yaitu ”al-fitnatu asyaddu min al-qatl” (fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan) tidak turun karena disebabkan oleh masalah ini. Coba bayangkan, kalau dalam Islam hukuman tartinggi bagi penjenayah dalam kes pembunuhan dengan sengaja adalah dibunuh (qishash) maka hukuman apa yang sesuai bagi pemfitnah? Sedangkan fitnah itu katanya lebih kejam daripada pembunuhan. Tentu setiap kejahatan itu ada hukumannya, namun hukuman memfitnah (dalam arti menuduh) tidaklah seberat itu.
Ayat al-Quran tentang fitnah (alfitnatu) sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya berkaiterat dengan kes peperangan (alqotl) yang harus segera diselesaikan sebab kalau tidak niscaya ia akan menimbulkan malapetaka bagi masyarakat ramai. Malapetaka dahsyat yang menjejaskan seluruh lapisan masyarakat itulah sebenarnya yang dimaksud fitnah menurut bahasa agama sebagaimana dikatakan oleh ayat Al-Quran yang lain:
“Dan peliharalah dirimu daripada fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim sahaja antara kamu” (Al-Anfal: 25).
(Lihat Tafsir Ibn Katsir, 1988: 558-560. Bandingkan dengan Hamka 1999: 2724-2726).
Malapetaka (fitnah) itu boleh diakibatkan sama ada oleh peperangan seperti fitnah al-kubra (kekacauan besar), fitnah ‘Ali (huru-hara pada masa Ali), fitnah Muawiyah (Huru-hara pada masa Muawiyah) dan lain-lain maupun oleh sebab lain. Bencana alam tsunami pada Desember 2004 yang mengharubirukan bumi Aceh (Indonesia), Kuala Muda (Kedah), Phuket (Thailand), Galle (Sri Lanka), Chennai (India), telah mengorbankan banyak orang yang bersalah dan tidak bersalah, kanak-kanak, orang dewasa, lelaki, perempuan, penjenayah, tuan guru, tentera dan banyak lagi yang lain, juga termasuk dalam kategori fitnah.
Kata fitnah dalam bahasa al-Quran sebenarnya mirip dengan musibah, tetapi berbeda dengan bala(k).
Kata bala(k) berasal dari bahasa Arab bala’, secara bahasa dalam Kamus Bahasa Melayu diartikan sebagai: gerombolan, pasukan (tentera), kemalangan, kegeruhan, kecelakaan, musibah, bencana, dll.
Dengan demikian, di sini bala diartikan sebagai kejadian buruk yang berlaku ke atas seseorang atau sesuatu tempat berupa kemalangan, bencana alam, dan lain-lain. Oleh sebab itu, manusia mesti lari daripada bala itu dengan cara apapun. Antaranya, muncul pelbagai kegiatan ritual amalan tolak bala yang dilakukan baik secara persendirian atau secara bersama-sama dalam satu kelompok dan masa tertentu. Para petani melakukan upacara tolak bala ketika datang musim tanam padi dan atau menjelang panen raya.
Dalam bahasa Arab dan al-Quran bala bermaksud ujian baik dan ujian buruk yang dihadapi seseorang. Bala (cobaan) pula boleh merupakan dalam perkara baik dan perkara tidak baik, menurut kamus tersebut. Jadi yang dimaksud bala dalam agama itu bukan hanya bencana sahaja, tetapi kemewahan hidup pun juga termasuk bala.
Allah berfirman: “Tiap-tiap diri akan merasai mati dan Kami menguji kamu dengan kejahatan dan kebaikan sebagai bala (cobaan), dan kepada Kamilah kamu semua akan dikembalikan” - (al-Anbia’: 35).
Semua bala, sama ada separti yang dimaksudkan dalam bahasa Melayu mahupun bahasa Arab dan al-Quran adalah datang daripada Allah yang diturunkan kepada umat manusia sebagai ujian kenaikan derajat. Mereka yang lulus ujian akan dinaikkan derajat kehidupannya ke derajat yang lebih tinggi (liyabluwakum ayyukum ahsanu amala). Sedangkan bagi yang tidak lulus akan tetap diuji hingga lulus.
Tindakan represif menolak datangnya bala tidak perlu dilakukan, tidak perlu lagi upacara-upacara dan doa tolak bala, tetapi bagaimanapun manusia memang perlu tindakan prefentif agar bala tidak menggoyahkan imannya. Di sini manusia perlu pertolongan Tuhannya agar kuat, tabah, dan sabar dalam menghadapi ujian-Nya yang akan selalu ada selama hayat masih di kandung badan.
Imam Ghazali menulis di dalam kitabnya Mukasyafah al-Qulub, ”Sesungguhnya bala merupakan pelita bagi orang arif, menyedarkan orang murtad, memperbaiki orang mukmin dan menghancurkan orang yang lupa. Tidak seorang pun akan mendapat manisnya iman sebelum dia ditimpa bala, sehingga rela dan bersabar.”
Setiap orang yang beriman pasti akan menerima cobaan. Setiap ujian pasti akan senantiasa kita alami sepanjang hayat, cuma tahap dan bentuknya mungkin berbeda-beda. Sebagaimana yang diriwayatkan dari sebuah hadis, Saad bin Abi Waqqas pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Siapakah orang yang paling berat cobaan-bala-nya?” Jawab baginda, “Antara orang-orang yang paling berat cobaan-bala-nya ialah para nabi, kemudian mereka yang seumpama dan seterusnya. Seseorang itu diuji sesuai dengan kadar ilmu agamanya. Jika dia mempunyai kekuatan dalam agamanya, maka beratlah ujian yang diterimanya. Sekira agamanya lemah, tentu dia akan diuji sesuai dengan kadar ilmu agamanya. Ujian akan selalu datang menimpa seorang hamba selagi dia masih berpijak di atas bumi, dan sehingga tiada lagi kesalahan padanya”. (Riwayat Tirmizi)
Akhirnya, jangan putus asa, jangan lari dari kenyataan, kita perlu menghadapi segala kejadian dengan syaja’ah keberanian dan futuwwah, kesatria. Wallahu a’lam.
Tindakan represif menolak datangnya bala tidak perlu dilakukan, tidak perlu lagi upacara-upacara dan doa tolak bala, tetapi bagaimanapun manusia memang perlu tindakan prefentif agar bala tidak menggoyahkan imannya.
Perspektif Lain tentang Fitnah dan Balak
Al-Quran sebagai sumber ajaran agama Islam diwahyukan dengan menggunakan bahasa Arab. Sebagian kata dari bahasa Arab itu telah terserap ke dalam bahasa umat Islam di Nusantara, namun tidak sedikit di antara kita yang telah keliru dalam memahaminya, sehingga mengakibatkan kekeliruan dalam memahami pesan ajaran agamanya. Kata fitnah dan bala adalah di antara istilah serapan yang dimaksud.
Fitnah dan Bala dalam budaya Nusantara
Kata fitnah di Nusantara berarti umpatan, gunjing, gujirak, celaan, hujat, dan tuduhan jahat yang diada-adakan/dibuat-buat. Jadi, fitnah di sini bermakna perbuatan menjelekkan orang lain baik dengan cara mencela, menghasut, atau menggunjing supaya orang lain itu hilang harga dirinya. Sila perhatikan contoh kalimat: “Jangan memfitnah! karena fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan”
Sementara, Fitnah dalam Bahasa Arab artinya perbedaan-perbedaan pendapat manusia dan kegoncangan pemikiran mereka (Kamus Al-Muhith dan Mu’jam Al-Wasith). Manakala salah seorang ulama ahli tafsir Al-Quran, Syaikh Muhammad As-Syinqity menjelaskan: “Penelitian al-Quran menunjukkan bahwa kata fitnah dalam al-Quran jika disebut secara mutlak memiliki makna cobaan dan ujian serta hasil yang jelek daripada cobaan. (Lihat Adhwa’ul Bayan 6: 254-255).
Istilah fitnah dalam bahasa Arab diartikan sebagai ”perpecahan yang timbul antara sesama sendiri, sehingga ketenangan fikiran sudah tidak wujud, oleh sebab antara satu dan lainnya saling tuduh-menuduh, cemburu-mencemburui dan salah-menyalahkan, sehingga timbul kehancuran”.
Kekeliruan masyarakat kita dalam memahami makna fitnah menimbulkan dampak khususnya dalam kehidupan moral beragama, karena fitnah disamakan dengan perbuatan menghasut, menghibah, dan mencemarkan nama baik seseorang. Bahkan, menurut sebagian ahli, perbuatan menghasut, menghibah, dan menuduh itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan. Agaknya, pendapat ini tidak tepat sebab dalil ayat yang digunakan yaitu ”al-fitnatu asyaddu min al-qatl” (fitnah itu lebih dahsyat daripada pembunuhan) tidak turun karena disebabkan oleh masalah ini. Coba bayangkan, kalau dalam Islam hukuman tartinggi bagi penjenayah dalam kes pembunuhan dengan sengaja adalah dibunuh (qishash) maka hukuman apa yang sesuai bagi pemfitnah? Sedangkan fitnah itu katanya lebih kejam daripada pembunuhan. Tentu setiap kejahatan itu ada hukumannya, namun hukuman memfitnah (dalam arti menuduh) tidaklah seberat itu.
Ayat al-Quran tentang fitnah (alfitnatu) sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya berkaiterat dengan kes peperangan (alqotl) yang harus segera diselesaikan sebab kalau tidak niscaya ia akan menimbulkan malapetaka bagi masyarakat ramai. Malapetaka dahsyat yang menjejaskan seluruh lapisan masyarakat itulah sebenarnya yang dimaksud fitnah menurut bahasa agama sebagaimana dikatakan oleh ayat Al-Quran yang lain:
“Dan peliharalah dirimu daripada fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim sahaja antara kamu” (Al-Anfal: 25).
(Lihat Tafsir Ibn Katsir, 1988: 558-560. Bandingkan dengan Hamka 1999: 2724-2726).
Malapetaka (fitnah) itu boleh diakibatkan sama ada oleh peperangan seperti fitnah al-kubra (kekacauan besar), fitnah ‘Ali (huru-hara pada masa Ali), fitnah Muawiyah (Huru-hara pada masa Muawiyah) dan lain-lain maupun oleh sebab lain. Bencana alam tsunami pada Desember 2004 yang mengharubirukan bumi Aceh (Indonesia), Kuala Muda (Kedah), Phuket (Thailand), Galle (Sri Lanka), Chennai (India), telah mengorbankan banyak orang yang bersalah dan tidak bersalah, kanak-kanak, orang dewasa, lelaki, perempuan, penjenayah, tuan guru, tentera dan banyak lagi yang lain, juga termasuk dalam kategori fitnah.
Kata fitnah dalam bahasa al-Quran sebenarnya mirip dengan musibah, tetapi berbeda dengan bala(k).
Kata bala(k) berasal dari bahasa Arab bala’, secara bahasa dalam Kamus Bahasa Melayu diartikan sebagai: gerombolan, pasukan (tentera), kemalangan, kegeruhan, kecelakaan, musibah, bencana, dll.
Dengan demikian, di sini bala diartikan sebagai kejadian buruk yang berlaku ke atas seseorang atau sesuatu tempat berupa kemalangan, bencana alam, dan lain-lain. Oleh sebab itu, manusia mesti lari daripada bala itu dengan cara apapun. Antaranya, muncul pelbagai kegiatan ritual amalan tolak bala yang dilakukan baik secara persendirian atau secara bersama-sama dalam satu kelompok dan masa tertentu. Para petani melakukan upacara tolak bala ketika datang musim tanam padi dan atau menjelang panen raya.
Dalam bahasa Arab dan al-Quran bala bermaksud ujian baik dan ujian buruk yang dihadapi seseorang. Bala (cobaan) pula boleh merupakan dalam perkara baik dan perkara tidak baik, menurut kamus tersebut. Jadi yang dimaksud bala dalam agama itu bukan hanya bencana sahaja, tetapi kemewahan hidup pun juga termasuk bala.
Allah berfirman: “Tiap-tiap diri akan merasai mati dan Kami menguji kamu dengan kejahatan dan kebaikan sebagai bala (cobaan), dan kepada Kamilah kamu semua akan dikembalikan” - (al-Anbia’: 35).
Semua bala, sama ada separti yang dimaksudkan dalam bahasa Melayu mahupun bahasa Arab dan al-Quran adalah datang daripada Allah yang diturunkan kepada umat manusia sebagai ujian kenaikan derajat. Mereka yang lulus ujian akan dinaikkan derajat kehidupannya ke derajat yang lebih tinggi (liyabluwakum ayyukum ahsanu amala). Sedangkan bagi yang tidak lulus akan tetap diuji hingga lulus.
Tindakan represif menolak datangnya bala tidak perlu dilakukan, tidak perlu lagi upacara-upacara dan doa tolak bala, tetapi bagaimanapun manusia memang perlu tindakan prefentif agar bala tidak menggoyahkan imannya. Di sini manusia perlu pertolongan Tuhannya agar kuat, tabah, dan sabar dalam menghadapi ujian-Nya yang akan selalu ada selama hayat masih di kandung badan.
Imam Ghazali menulis di dalam kitabnya Mukasyafah al-Qulub, ”Sesungguhnya bala merupakan pelita bagi orang arif, menyedarkan orang murtad, memperbaiki orang mukmin dan menghancurkan orang yang lupa. Tidak seorang pun akan mendapat manisnya iman sebelum dia ditimpa bala, sehingga rela dan bersabar.”
Setiap orang yang beriman pasti akan menerima cobaan. Setiap ujian pasti akan senantiasa kita alami sepanjang hayat, cuma tahap dan bentuknya mungkin berbeda-beda. Sebagaimana yang diriwayatkan dari sebuah hadis, Saad bin Abi Waqqas pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Siapakah orang yang paling berat cobaan-bala-nya?” Jawab baginda, “Antara orang-orang yang paling berat cobaan-bala-nya ialah para nabi, kemudian mereka yang seumpama dan seterusnya. Seseorang itu diuji sesuai dengan kadar ilmu agamanya. Jika dia mempunyai kekuatan dalam agamanya, maka beratlah ujian yang diterimanya. Sekira agamanya lemah, tentu dia akan diuji sesuai dengan kadar ilmu agamanya. Ujian akan selalu datang menimpa seorang hamba selagi dia masih berpijak di atas bumi, dan sehingga tiada lagi kesalahan padanya”. (Riwayat Tirmizi)
Akhirnya, jangan putus asa, jangan lari dari kenyataan, kita perlu menghadapi segala kejadian dengan syaja’ah keberanian dan futuwwah, kesatria. Wallahu a’lam.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI