Tragedi Ambulung: Manipulasi Kuasa atas Agama
Oleh : Humaidy
Pada acara bedah kitab Risalah Tuhfatur Raghibin karya Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari (Alias Datu Kalampayan) dan Durrun Nafis karya Syekh Muhammad Nafis Al- Banjari oleh Pusat Pengkajian Islam Kalimantan (PPIK) 6 Juni 2002 lalu, di IAIN Antasari Banjarmasin, terlontar dalam forum (dipelopori oleh Abdurrahman SH.MH, yang sekarang salah seorang personil Hakim Agung) untuk melakukan advokasi (pembelaan) in ab sentia atau tepatnya advokasi imajiner terhadap Datu Abulung (Habulung, Ambulung atau Syekh Abdul Hamid) yang menurut cacatan sejarah dianggap telah bersalah dan kemudian dihukum mati oleh kesultanan Banjar, konon atas fatwa Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (Datu Kalampayan), gara-gara ia dianggap mengajarkan doktrin tasawuf menyesatkan atau dalam istilah Banjar menyebarkan ilmu sabuku yang dianggap bisa mengakibatkan orang menjadi bid’ah, sesat, zindiq dan kafir.
Pembelaan cukup heroik tersebut berdasarkan argumen, pertama, ajaran Islam sangat melarang antar sesama muslim saling mengkafirkan termasuk didalamnya saling menyesatkan, karena hak mutlak menilai seseorang muslim itu kafir dan sesat adalah Tuhan, bukan manusia, manusia sebatas mengingatkan kemungkinan salah saja, tidak lebih dari itu. Jika melampaui batas tersebut yakni berani menuduh seseorang yang notabene sesama muslim kafir dan sesat, sama artinya merampas hak prerogatif Tuhan, seakan-akan ia sudah berperan sebagai Tuhan. Orang demikian adalah sudah sangat arogan, sombong, takabur dan perlu dilawan dengan segenap kemampuan.
Kedua, kalau dulu sudah terlanjur terjadi saling mengkafirkan dan menyesatkan antara sesama muslim, sekarang sudahlah, ditutup sampai disini saja, tidak usah dilanjutkan lagi oleh generasi kini yang sebenarnya tidak pernah terlibat dalam pertarungan memalukan tersebut. Apalagi orang-orang muslim sekarang sudah lebih dewasa, lebih pintar dan lebih berpengetahuan. Bisa lebih cerdas menilai bahwa manusia muslim bagaimanapun hebatnya tidaklah etis menuduh sesamanya kafir dan sesat, karena setiap manusia terkadang bisa salah bisa benar, ada punya kelebihan, ada punya kekurangan. Apalagi sesama muslim satu sama lain adalah saling bersaudara yang diumpamakan Nabi Muhammad SAW ibarat tubuh, apabila salah satu anggotanya mengalami sakit maka akan sakitlah seluruhnya (Hadits).
Ketiga, tragedi ini, telah mengakibatkan saling bermusuhan atau setidaknya hubungan tidak enak antara keluarga besar Datu Abulung dan keluarga besar Datu Kalampayan yang bertempat tinggal saling bertetangga dekat. Antara kampung Abulung dan kampung Dalam Pagar hanya dipisahkan oleh aliran Sungai Tuan yang lebarnya sekitar 10 meter (kedua kampung ini berada sekitar 3 km dari pusat kota Martapura, Kabupaten Banjar). Padahal kedua keturunan tersebut, sebenarnya tidak terlibat langsung dalam perseteruan itu, hanya lantaran termakan cerita-cerita yang tidak jelas kebenarannya selama ini.
Muncul pertanyaan betulkah ajaran tasawuf Abulung itu menyesatkan?. Apakah benar Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang menfatwakan hukuman mati terhadapnya?. Tulisan ini, mencoba menjawab dua pertanyaan tersebut.
Mengenal Selintas Datu Abulung
Sebelum menjawab pertanyaan yang cukup rumit ini, ada baiknya dikemukakan secara ringkas riwayat hidup Abulung, agar tergambar sedikit sosoknya yang selama ini dianggap kontroversial.
Abulung sebenarnya nama sebuah kampung yang bertetangga dengan kampung Dalam Pagar, tetapi kemudian nama tersebut dilekatkan juga pada Syekh Abdul Hamid menjadi Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung (ada juga yang menyebut Habulung atau Ambulung). Karena mungkin ia lahir di kampung ini, atau bisa jadi ia menyebarkan ajarannya berbasis di sini. Yang jelas sampai sekarang kuburannya berada cukup megah di kampung Abulung ini, dan banyak diziarahi masyarakat dari berbagai pelosok daerah serta banyak dijadikan tempat balampah (semedi, bertapa atau tahannus), para pencari ilmu ladunni dan ilmu supranatural.
Gelar Datu Abulung sebenarnya mengisyaratkan posisi kultural Abdul Hamid sebagai tokoh masyarakat Banjar yang disegani dan dihormati yang mungkin karena mempunyai kekuatan magis dan supranatural yang sejajar atau malah mengalahkan kekuatan dari Kepala Adat (termasuk kepala Suku dan Dukun). Demikian juga dengan predikat Syekh yang melekat pada Abdul Hamid namanya menunjukan status keilmuan yang tinggi terutama dalam ilmu agama sekaligus meliputi ketinggian ibadah dan akhlaknya. Syekh juga mengisyaratkan bahwa sang penyandang gelar tersebut, pernah menuntut ilmu cukup lama ke Haramain (Makkah dan Madinah) dan mempunyai banyak murid yang tersebar, meskipun mungkin tidak memiliki semacam lembaga pendidikan. Selain itu, Syekh juga mengimplisitkan bahwa orang tersebut mempunyai posisi sangat penting dalam dunia tasawuf dan tarikat, mungkin sebagai khalifah, mursyid, murabbi atau minimal badal.
Tidak di ketahui, kapan Abulung atau Syekh Abdul Hamid dilahirkan, yang jelas ia lebih tua sedikit dari Datu Kelampayan atau Syekh Muhammmad Arsyad Al- Banjari (1710 – 1812) Artinya, ia lebih dahulu berperan didalam kerajaan Banjar, ketimbang Arsyad. Bahkan mungkin, ia punya posisi penting sebagai penasehat Raja, mengingat ajaran tasawuf yang dominan sebelum Arsyad datang dari menuntut ilmu di Haramain adalah tasawuf yang disebarkan Abulung. Sejak awal berdirinya kerajaan Banjar mulai dari Sultan Suriansyah (alias Raga Samudera atau Pangeran Samudera 1527 –1545) sampai awal-awal pemerintahan Tahmidullah II (alias Susuhunan Nata Alam atau Pangeran Nata Dilaga 1761-1801) ajaran tasawuf yang dominan adalah tasawuf aliran wujudiyah. Bahkan aliran ini sempat menjadi paham resmi kerajaan yang dianut oleh para sultan dan masyarakat secara keseluruhan.[1]
Abulung konon mengajarkan tasawuf wujudiyah yang mungkin sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin Sumatrani atau lebih ditarik keatas pemikiran Suhrawardi, Al- Jilli, Burhanpuri, Ibnu Arabi, Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bisthami. Dalam ajaran ini, konon cenderung kurang menghargai aspek syariat yang terikat ketat dengan aturan-aturan ibadah terkadang sangat harfiah, padahal syariat hanyalah kulit belum sampai kepada isi atau hakikat.[2] Bahkan dalam perspektif aliran ini syariat bisa dipandang sebagai tirai penghalang untuk mencapai persatuan dengan Tuhan.
Menurut ceritera Abulung pernah mengatakan :
“ Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia.
Tiada aku melainkan Dia
Dialah aku
Dan aku adalah Dia “[3]
Versi lain mengatakan :
“ Tiada maujud, melainkan hanya Dia, tiada wujud yang lainnya
Tiada aku, melainkan Dia, aku adalah Dia “
Ketika Abulung di panggil menghadap sultan dia menjawab :” Tuhan tidak di perintah “.[4] Utusan sultan berkata :” Ada Abdul Hamid di rumah ? Tidak ada jawab Abulung yang ada Tuhan”. Ditanya lagi : “Adakah Tuhan “?.” Tidak ada” jawabnya,” yang ada hanya Abdul Hamid”. Terus dikejar lebih jauh lagi:”Adakah Tuhan dan Abdul Hamid “ ?. Abulung tidak menjawab diam, tanpa ada jawaban lagi.
Abulung pada akhirnya digiring menuju istana setelah terjadi proses panjang dialog ketuhanan, untuk menerima hukuman, sesuai perintah dari Sultan. Dalam perjalanan, menurut ceritera lisan, dia di perlakukan macam-macam, dicambuk, disayat, dibakar dan semacamnya, tetapi semuanya tidak bisa menyakiti tubuhnya, tetap seperti sedia kala. Rupanya ia tidak mempan atau kebal terhadap senjata apapun dan tahan berbagai jenis siksaan. Menjelang mendekati halaman istana konon dicoba lagi untuk membunuhnya dengan dijatuhi potongan-potongan batang pohon besar dari ketinggian, itupun juga tidak mempan. Mendekati altar hukuman, algojo sudah siap menggoroknya, tetapi inipun tidak mempan. Sudah beberapa kali dilakukan penusukan, penyayatan, pembakaran, tetapi tetap semuanya tidak mempan. Sesudah algojo hampir mencapai titik kulminasi rasa putus asa untuk menjalankan tugasnya karena selalu gagal terus menerus, konon datang Arsyad mendekati Abulung, lantas berbisik, entah apa yang dibicarakan, tidak jelas. Ada yang memperkirakan Arsyad menasehati Abulung agar menyerah secara ikhlas. Ada pula yang bilang memang Arsyad mengetahui atau mempunyai kekuatan untuk melumpuhkan kekebalan Abulung. Ada lagi yang berpendapat Abulung sudah mengetahui saat itu adalah sebagai detik-detik takdir kematiannya. Yang jelas, kemudian algojo mampu menghukum mati Abulung dengan tidak perlu bersusah payah lagi. Algojo konon sekedar menggoreskan pedang atau menusukkan keris ke leher Abulung.
Mengalirlah darah Abulung membasahi tanah, konon ceriteranya membentuk formasi kalimat yang indah, unik sekaligus ajaib La Ilaha Illallah “ Tiada Tuhan selain Allah “, diiringi jerit tangis para keluarga, kerabat, handai tolan, murid, pengikut dan sebagian masyarakat yang menyaksikan.[5]
Terjadilah tragedi kemanusiaan dan suatu episode sejarah hitam keagamaan, yang kembali berulang setelah pernah terjadi pada Syekh Siti Jenar di Jawa, Suhrawardi di Mesir dan Al-Hallaj di Baghdad, hanya gara-gara berbeda pemahaman keagamaan.
Analisis Ajaran Abulung
Dalam penelusuran berbagai literatur dan tradisi lisan, memang ajaran Abulung, tidak bisa terungkap sepenuhnya, karena yang bisa sampai kepada kita generasi kini sedikit sekali, hanya berupa potongan-potongan kalimat sederhana yang berbentuk semacam untaian puisi. Namun jejak sejarah yang sedikit ini mungkin masih bisa diberi makna bahkan dianalisis atau lebih jauh lagi diharapkan bisa menunjukkan bahwa ajaran Abulung sebenarnya tidak salah atau setidaknya, tidak layak untuk disesatkan apalagi sampai dikafirkan.
Mari kita mencermati potongan ajaran Abulung itu secara hati-hati dan ruang batin yang jernih :
“ Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia
Tiada aku melainkan Dia
Dialah Aku
Dan Aku adalah Dia “
Kesan dari kata-kata di atas memang seakan-akan Abulung mengajarkan tasawuf wujudiyah (ittihad, hulul dan wihdatul wujud). Perlu diketahui bahwa ajaran wujudiyah dimunculkan dan dikembangkan oleh Abu Yazid Al Bisthami, Al-Hallaj dan Ibnu Arabi.
Ajaran ini dalam memaknai keesaan Tuhan memang terasa seakan-akan sangat berlebihan yaitu adanya kesatuan Tuhan dan makhluk. Tuhan dapat turun memilih tubuh manusia tertentu dan mengambil tempat padanya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh tersebut dilenyapkan. Hal itu bisa terjadi karena Tuhan mempunyai dua sifat, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Lebih dari itu, segala yang ada (wujud) selalu mempunyai sifat ketuhanan dan kemahklukan. Dalam ungkapan lain, pada Tuhan ada sifat kemahklukan dan pada mahkluk terkandung sifat ketuhanan. Sebelum Tuhan menjadikan mahkluk, Ia hanya sendirian, Tuhan hanya melihat diri-Nya dengan segala kemuliaan dan ketinggian-Nya, dan Iapun cinta kepada zat-Nya sendiri. Cinta Tuhan itulah yang menjadi sebab wujud dan keadan yang banyak ini.Dengan demikian mahkluk adalah merupakan cermin Tuhan manakala Tuhan ingin melihat diri-Nya, di luar diri-Nya. Dikala Dia ingin melihat Diri-Nya, Ia melihat kepada makhluk-Nya. Oleh karena mahkluk mengandung diri-Nya, maka Dia memandang diri-Nya sendiri sebab diri-Nya adalah satu jua. Dengan demikian dapat berwujud persatuan Tuhan dengan mahkluk dalam bentuk inkarnasi tetmasuk pada manusia dan alam semesta.[6]
Nah ! termasukkah ajaran Abulung ke dalam tasawuf wujudiyah ? Tunggu dulu, lihat kembali kata-katanya, pertama, bandingkan dengan kata-kata Abu Yazid Al-Bisthami sebagai tokoh aliran Ittihad. Abulung masih berjarak dengan Tuhan ketika mengatakan aku adalah Dia, sedangkan Abu Yazid sudah bersatu dengan Tuhan ketika ia mengatakan :
“ Tuhan berfirman : semua mereka kecuali Engkau adalah mahkluk-Ku. Akupun berkata Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku dan Aku adalah Engkau “[7]
Kata kunci perbedaan adalah Abulung masih ber Dia-Dia, sedangkan Abu Yazid sudah sampai ber Engkau-Engkau dengan Tuhan. Kata Dia terasa masih jauh dan berjarak, sementara kata Engkau jelas sudah sedemikian dekat dan terasa sudah bersatu.
Di sini bisa dikatakan bahwa ajaran Abulung tidak bisa dimasukkan ke dalam aliran Ittihad. Dia masih berada pada tingkat Al-fana wal baqa yang masih bisa diterima dalam pandangan syariat. Kedua, jika dibanding ajarannya dengan ajaran Al-Hallaj tokoh aliran Hulul, terdapat juga perbedaan yang signifikan bahkan sangat prinsipil. Ketika Abulung mengatakan : Tiada Aku melainkan Dia, terasa betul ia telah melenyapkan dirinya yang tertinggal hanya wujud Tuhannya. Berbeda ketika Al-Hallaj mengatakan :
“Padu sudah roh-Mu dengan rohku jadi satu
Bagaikan khamar dengan air bening terpadu satu
Jika sesuatu menyentuh-Mu tersentuhlah aku karena itu Kau, dalam segala hal adalah aku”[8]
Terasa sekali Al-Hallaj telah lebur jadi satu dengan Tuhan, yang dalam istilah tasawuf telah mencapai Hulul. Artinya, Tuhan ada di
diri Al-Hallaj dan Al-Hallaj ada dalam Tuhan.
Jelas ajaran Abulung tidak bisa disamakan begitu saja dengan aliran Hulul ajaran Al-Hallaj, karena ia tidak lebur ke dalam Tuhan, ia tetap masih berjarak dengan Tuhan.
Selanjutnya, ketiga, jika dibandingkan ajarannya dengan ajaran Ibnu Arabi tokoh aliran Wihdatul Wujud, juga terdapat perbedaan yang jauh sekali. Kalau Abulung mengatakan: Dialah aku, jelas masih terdapat jarak dengan Tuhan, karena masih ber Dia- Dia, sedangkan bagi Ibnu Arabi sudah ber-Engkau-Engkau dengan tidak lagi memakai kalimat aku karena Tuhan meliputi segala-galanya seperti katanya :
“Ya Allah, dari diri- Mulah asal dari segala sesuatu
Engkau Tuhan, mengapa Engkau jadikan semuanya satu
Engkau jadikan barang yang tak berhenti adanya
Baik di tempat sempit maupun lapang
Kau ada di sana.[9]
Diantara tiga aliran ini meskipun kelihatannya serupa namun sebenarnya terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan Ittihad dengan Hulul adalah dalam Ittihad diri Abu Yazid hancur dan yang ada hanya Diri Allah, sedangkan dalam Hulul diri Al-Hallaj tidak hancur. Juga dalam Ittihad yang dilihat hanya satu wujud, sedangkan Hulul yang dilihat ada dua wujud, tetap bersatu dalam satu tubuh.[10] Sementara dengan Wihdatul Wujud, Tuhan meliputi segalanya, Ia adalah wujud mutlak yaitu zat yang mandiri, yang keberadaan-Nya tidak disebabkan oleh sesuatu apapun.[11]
Jadi sudah semakin jelas bahwa ajaran Abulung berbeda sekali dengan aliran Ittihad, Hulul dan Wihdatul Wujud, maka tentunya, tidak bisa digolongkan sebagai aliran wujudiyah, ia sekali lagi masih berada pada atau mirip aliran Al-Fana wal-Baqa dari Dzunun Al- Mishri.
Kalau boleh disederhanakan perbedaan antara keempat tokoh ini, bisa berbentuk kalimat semacam ini :
Abulung sebatas aku adalah Dia
Abu Yazid sudah memasuki aku adalah Engkau
Al-Hallaj lebih ke dalam Aku dalam Engkau, Engkau dalam Aku
Ibnu Arabi sudah lebih jauh lagi mencapai kesatuan Apapun adalah Engkau
Ajaran Abulung ini masih bisa ditolerir oleh syariat, bahkan ittihad menurut As-Sulaimi, At-Tusi dan Al-Qusyairi masih sejalan dengan Al-Quran dan As-Sunnah.[12] Demikian juga aliran Hulul dan Wihdatul Wujud masih sesuai dengan ajaran Islam bahkan menurut Abdussamad Al-Palembangi cocok bagi orang yang sudah mencapai tingkat muntahi yaitu orang yang telah sampai pengetahuan hakikatnya. Hatinya telah dibukakan oleh Allah. Ia telah dilimpahi ilmu ladunni dan telah mencapai ma’rifat dengan ainul yaqin dan haqqul yaqin.[13]
Untuk tidak mudah mengkafirkan dan menyesatkan seseorang, kita kata K.H. Muslih Abdurrahman dalam menyikapi ucapan para sufi—apalagi yang sudah mencapai tingkat ma’rifat-- yang ditinjau dari kalimat lahiriyahnya bertentangan dengan syariat, maka kita berhenti saja di situ, tidak usah mengambil kesimpulan yang salah, bahkan kalau perlu mohonlah petunjuk kepada Allah agar kita mengerti maksud yang sebenarnya, karena sebagian ucapan dari ahli sufi yang sudah sampai ditingkat kesempurnaan itu adalah isyarat-isyarat yang samar dan tidak mudah dipahami.[14]
Kata-kata Ahli sufi tidak boleh di artikan harfiah seperti kata Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: “Anta wahidun fis sama-i wa Ana wahidun fil ardli”, tidak diartikan Engkau Maha Esa di langit, sedangkan aku Maha Esa di bumi, melainkan diartikan : Ya Allah Engkau zat Maha Esa, yang mengusai langit dan bumi, ada pun saya adalah orang yang menpersatukan seluruh jiwa ragaku di bumi ini semata-mata untuk musyahadah, munasabah dan menyembah ke pada-Mu.
Susunan kalimat seperti yang diucapkan Abdul Qadir ini dalam tata bahasa Arab menurut ilmu balaghah disebut badi’ musyakalah yakni makna yang jauh dari pengertian harfiahnya.[15]Atau bisa juga dalam memahami ucapan-ucapan aneh para sufi tersebut sebagai kalimat syatahat (theo pattrical stamering) yakni, ucapan itu muncul pada seorang sufi dalam kata ganti orang pertama di luar sadarnya. Hal ini berarti bahwa dia telah fana dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat yang Maha Besar, sehingga dia mengeluarkan kata-kata dengan kalam yang Maha Besar, bukan ucapannya sendiri. Ungkapan-ungkapan yang diucapkan seorang sufi dalam kondisi begini, tidak ia ucapkan dalam kondisi normal. Sebab jika ungkapan demikian terjadi dalam keadan normal, jelas akan ditolak sendiri oleh orang yang mengucapkannya.
Kondisi tidak normal di sini, bisa berarti seorang sufi berbicara di bawah pengaruh ketidak sadaran dari ekstasi, di mana ia berada dalam keadaan dikendalikan Tuhan. Apa yang dia diucapkan sebenarnya bukan ucapan dia lagi, tetapi sudah ucapan Tuhan yang meminjam ucapannya.
Begitulah cara memahami tokoh-tokoh sufi yang kelihatan sepintas bertentangan dengan syariat, tetapi sebenarnya justru memberi ruh kehidupan sedemikian bermakna pada syariat. Abulung (termasuk Hamzah Fansuri, Siti Jenar, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Al-Hallaj dan Abu Yazid) dia tidak kafir dan sesat, masih berjalan di atas rel ajaran Islam karena menurut catatan sejarah lisan ia penganut tarikat Naqsyabandiyah yang sejak pemunculannya terkenal sangat berpegang teguh pada syariat.[16]
Peran Arsyad
Kemudian menjawab pertanyaan yang kedua, apakah benar Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang memfatwakan hukuman mati bagi Abulung? Sementara ini memang banyak informasi menyatakan Arsyad berperan dalam penghukuman tersebut. Sebut saja misalnya, tim peneliti IAIN ketika menerbitkan laporan hasil seminar Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Zafri Zamzam dalam bukunya Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Ulama Juru Dakwah, Abu Daudi dalam bukunya Maulana Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari Tuan Haji Besar, semua mengatakan Arsyad memfatwakannya demikian. Bahkan Asywadie Syukur dengan yakin bahwa Arsyad telah menfatwakannya. Fatwa tersebut, masih ada dan terpelihara dalam kitab Tuhfatur Raghibin salah satu dari sekian banyak karya Arsyad. Dalam ungkapan lebih eksplisit Asywadie menyatakan latar belakang penulisan kitab tersebut didorong dan atas permintaan sultan Tahmidullah II bin Tamjidillah untuk menghukum mati Abulung yang telah membingungkan, meresahkan dan terjadi saling menyalahkan dalam masyarakat.[17]
Namun ada juga segelintir orang termasuk Dr Abdurrahman SH.MH. tidak percaya Arsyad melakukan itu dan memang bukti sejarahnya sangat lemah dan sulit bisa dipertanggung jawabkan. Saya sudah berupaya mencari-cari catatan sejarah yang betul-betul menunjukkan secara langsung kalimat fatwa tersebut tidak tertemukan. Bahkan saya setelah membuka-buka kitab Tuhfatur Raghibin berulang-ulang sekali, tidak juga menemukan secara eskplisit arsyad mengkafirkan dan menyesatkan Abulung, tidak sebagaimana Nuruddin Ar Raniri jelas menyatakan Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani adalah sesat dan kafir seperti katanya :
“ Demikianlah i’tiqad Hamzah Fansuri, katanya dalam kitab Asrarul Arifin, bahwa cahaya yang pertama cerai dari pada zat Allah itu Nur Muhammad. Maka dari pada perkataan ini cenderung kepada madzhad Tanusukhiyah, dan serupa dengan kata falasifah bahwa adalah Haqq Ta’ala itu suatu jawhar yang basit. Dan demikian lagi i’tiqad Watsaniyyah yang dari pada qaum Barahimah dan Samiyyah yang Hululiyyah mengediami Negeri Tubbat dan seperti i’tiqad qaum yang mengediami negeri Halwuniyyah dan benua Hindustan, Katanya bahwa segala arwah dan segala sesuatu daripada suku-suku Allah dari karena Ia berbuat dan menjadikan segala sesuatu. Maka perbuatan-Nya dan demikiannya itu jadi daripada-Nya jua. Maka segala makhluqat itu suku-suku daripada Allah. Inilah mazhab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang dalalat keduanya”.[18]
Arsyad di dalam kitab tersebut hanya menyebutkan aliran tasawuf yang dianggp bid’ah dan sesat, secara umum ia menyebut aliran itu sebagai berikut:
a. Keyakinan bahwa bila seseorang hamba merasa sampai derajat kasih kepada Allah, sehingga tak ada lagi yang dikasihinya selain Allah, maka terangkatlah daripadanya kewajiban syariat segala yang haram jadi halal baginya salat dan puasa boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan, dan membiarkan auratnya terbuka.
b. Golongan Mutakasiliyah yaitu golongan sufi yang meninggalkan usaha dan ikhtiar. Mereka datang kerumah-rumah orang untuk mengemis guna mengisi perut setiap hari, juga mendatangi toko-toko orang hartawan untuk mengambil zakat dan memperoleh sedekah.
c. Keyakinan sementara orang sufi yang menganggap bahwa segala syariat yang diwajibkan seperti : salat, puasa, zakat dan ibadah haji adalah hanya untuk orang-orang awam, sedangkan bagi mereka yang “khas” itu tidak memerlukan semua itu karena mereka hanya berkehendak kepada yang hadir di dalam hati.
d. Golongan Wujudiyah yang berkeyakinan bahwa wujud Allah dalam kandungan segala makhluk, sekalian makhluk adalah wujud Allah Ta’ala di dalam wujud segala makhluk yang banyak. Akibatnya mereka mengaku bahwa wujud mereka sebangsa dengan wujud Allah dan wujud mereka satu dengan wujud Allah.[19] .
Apalagi kalau dilihat dari posisi Arsyad dalam struktur kekuasaan kesultanan Banjar, ia meskipun termasuk orang penting istana, tetapi tak pernah ia tercatat menjadi mufti kerajaan. Artinya, ia tak punya kewenangan untuk berfatwa, meskipun tidak menutup ke mungkinan ia bisa menasehatkan pendapat-pendapatnya ke Mahkamah Syar’iyah, salah satu lembaga bagian kerajaan yang bertugas mengeluarkan fatwa dalam masalah-masalah keagamaan secara resmi. Kebetulan memang yang memangku jabatan sebagai mufti waktu itu cucunya sendiri Muhammad As’ad putera dari hasil perkawinan Usman dan Syarifah.[20] Namun, ketika nasehatnya tersalurkan alias diratifikasi ke dalam lembaga, lantas difatwakan secara terbuka dan disebar luas, maka fatwa itu bukan lagi miliknya, melainkan milik lembaga dengan segala konsekwensinya. Biasanya, kalau sudah masuk ke dalam lembaga, suatu nasehat bagaimanapun baiknya sudah menjadi tidak murni lagi, sudah bercampur dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik yang sangat sulit untuk dihindari.
Kemudian, Arsyad yang meskipun dikenal sebagai ahli Fiqih, tetapi ia mendalami juga tasawuf bahkan pada zamannya ia dianggap ahli suluk dan khalwat [21] sehingga termasuk salah satu khalifah tarikat Sammaniyah yang didirikan oleh Syekh Muhammad Samman Al-Madani. Rasa-rasanya tidak masuk akal sesama penganut tarikat saling berbenturan dan saling menyesatkan-mengkafirkan satu sama lain. Apalagi tarikat Arsyad dan tarikat Abulung sama-sama dikategorikan oleh jumhur ulama tasawuf sebagai tarikat mu’tabarah yang silsilah sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Lebih dari itu, tarikat Naqsyabandiyah yang dianut Abulung dengan tarikat Sammaniyah yang dianut Arsyad keduanya mirip dan bersesuaian saja satu dengan yang lain. Bahkan dalam latar belakang sejarah kemunculan Sammaniyah terdapat dan melekat elemen Naqsyabandiyah sebagai salah satu pembentuknya. Sebab Sammaniyah sesungguhnya tarikat yang memadukan antara Khalwatiyah, Syadziliyah, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah.[22]Bagaimana mungkin antara keduanya saling menyesatkan-mengkafirkan ? Tidak mungkin. Karena kalau mereka melakukan sama dengan menuduh dirinya masing-masing sebagai sesat dan kafir.
Selain itu, dalam perjalanan hidup Arsyad yang mencapai 102 tahun, pernah sangat akrab dengan seorang sufi yang dianggap wali namanya Datu Sanggul (Syekh Muhammad Thahir) dari Tatakan (sekarang berada di sekitar Kabupaten Tapin, Rantau) yang notabene ajaran dan prilakunya mirip dengan Abulung. Konon menurut ceritera rakyat, Sanggul waktu itu dikenal orang kampung sebagai orang kurang waras yang terlihat tidak pernah salat berjamaah termasuk salat jum’at. Anehnya, justru Sanggul selalu terlihat di Haramain (Makkah dan Madinah) setiap musim haji dan malah ada yang mengatakan seminggu sekali, tiap-tiap hari jum’at.
Keakraban Arsyad dengan Sanggul, dimulai sejak ia menuntut ilmu di Haramain, setiap musim haji ia selalu ketemu Sanggul dengan pakaian khas Banjar yang sederhana sambil menjinjing butah (semacam keranjang terbuat dari anyaman rotan). Dalam pertemuan keduanya, sudah barang tentu tidak sekadar bicara soal kampung halaman, tetapi juga dapat diperkirakan dialog masalah-masalah keagamaan terutama dalam aspek kebatinan.
Hubungan mereka, bukan sekadar hubungan perkawanan biasa, tetapi sudah sebagai sahabat kental, yang tingkat keeratannya sudah mencapai seperti saudara sekandung yang saling mendukung dan membela, saling memberi dan menerima, saling mengerti dan percaya. Ini ditandai dengan di antara keduanya membuat kesepakatan bersama, membikin kitab hasil pikiran berdua yang dinamai kitab Barencong. Juga, mereka saling membuat wasiat, jika salah satu dari keduanya meninggal dunia, maka yang lain memandikannya.
Hal ini, semakin membuktikan, bahwa Arsyad tidak mungkin tega menfatwakan Abulung—yang ajarannya mirip Sanggul-- kafir dan sesat lantas di hukum mati. Karena kalau Arsyad lakukan, berarti ia tidak berlaku adil. Kenapa Abulung di hukum mati, sedangkan Sanggul tidak, tetapi justru dikawani sedemikian rupa akrabnya. Padahal ajaran keduanya sama dan sebanding, mungkin yang berbeda cuma pada afiliasi aliran tarikatnya saja.
Mungkin Arsyad, bukan sekadar tidak menfatwakaan hukuman mati pada Abulung, bahkan mungkin ia punya keakraban tersendiri yang tidak sempat terakses oleh sejarah, sebagaimana keakrabannya dengan Sanggul, sehingga mudah dimanipulasi oleh orang yang tidak senang dengan Abulung.
Kentalnya Nuansa Politik
Dari uraian di atas sudah jelas, persoalan terhukumnya Abulung tidak ada kaitannya dengan ajarannya, juga tidak ada hubungan sama sekali dengan Arsyad, karena antara keduanya tidak pernah konflik sedikit juapun, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Diperkirakan ada soal lain yang lebih bernuansa politis, paling tidak, mungkin Abulung merupakan bagian rezim lama yang perlu disingkirkan oleh rezim baru. Suatu yang biasa terjadi dalam dunia politik, rezim baru seringkali melakukan pembersihan total terhadap rezim lama, sekalipun tidak dianggap membahayakan. Mungkin Abulung dianggap rezim baru sebagai salah seorang sisa rezim lama yang membahayakan, karena ajarannya pernah menjadi ajaran resmi kerajaan dalam jangka waktu cukup lama, sejak awal-awal berdirinya kesultanan Banjar sampai masa Amirullah Bagus dan bahkan masih berakar kuat pada awal-awal masa pemerintahan Tahmidullah II. Hal ini, ditunjukkan adanya piagam (cap) Kesultanan Banjar yang berbentuk segi empat, di tengah-tengahnya tersusun angka-angka Arab dan tertulis di samping bawah kalimat dalam bahasa Arab “ La Ilaha Illallahu huwa Allahu maujud aku”[23]
Mungkin juga, Abulung dilibatkan oleh oknum keluarga bangsawan ke dalam konflik di dalam kesultanan Banjar yang selalu terjadi tak kunjung henti dari keturunan Pangeran Tumenggung dengan keturunan Suriansyah. Ketika Pangeran Tumenggung berkuasa muncul Sultan Suriansyah (1526-1545), memberontaknya. Ketika Amirullah Bagus (1660-1663) bertahta, Pangeran Adipati Anum (1663-1679) mengkudeta. Sebaliknya ketika Adipati Anum duduk di tampuk kekuasaan, Amirullah Bagus (1680-1700) mengganti melakukan kudeta. Kemudian ketika Tahmidullah II (1761-1801) naik kursi puncak kuasa, Pangeran Amir membuat makar dan perlawanan..[24]
Pada saat Abulung hidup dan menyebarkan ajarannya, sultan yang memerintah kerajaan Banjar adalah Tahmidullah II yang sebenarnya bukan sultan yang sah, hanya sebagai wali memegang kekuasaan sementara, menunggu pewarisnya yang sah tumbuh dewasa, tetapi rupanya, lama-kelamaan Tahmidullah II merasa keenakan berkuasa sehingga tidak mau lagi menyerahkan tahta kepada keponakannya Pengeran Abdullah, melainkan justru membunuhnya.
Bisa jadi, Abulung tidak setuju dengan sikap Tahmidullah II ini yang tidak tahu malu mengangkangi hak orang lain yang mestinya lebih berhak yakni hak keponakannya sendiri, Pangeran Abdullah. Ketidak setujuan itu, mungkin tidak saja ditampakkan Abulung pada penentangan terhadap kebijakan-kebijakan Tahmidullah II, lebih dari itu, mungkin ditunjukkannya juga secara kentara dengan mendukung perlawanan Pangeran Amir, adik Pangeran Abdullah yang ingin membalas dendam.
Berdasarkan itu semua, bisa dimaklumi, jika ada sekelompok orang ingin melakukaan pembelaan terhadap Abulung, meskipun sudah sedemikian jauh perbedaan masanya. Atau katakanlah pembelaan itu sudah sangat terlambat, tetapi bukankah terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Yang jelas memang rehabilitasi nama Abulung perlu terus-menerus digelorakan dan di perjuangkan sampai tercapai tingkat kejernihan yang bisa di sepakati bersama sehingga tidak ada lagi demdam di antara keturunan Arsyad dan keturunan Abulung yang tersisa, kalau perlu sampai tingkat rekonsiliasi yang mengenakkan semua pihak, terutama pihak yang bertikai. Karena sungguh Abulung tidak bersalah sama sekali, hanya disalahkan atas kepentingan politik penguasa yang ingin melestarikan kekuasaannya, bukan soal agama. Untuk pembenaran kesalahan politik, sengaja agama di bawa-bawa, biar lebih kuat dan mantap. Tidak cukup sampai di situ, untuk lebih meyakinkan lagi terhadap pembenaran itu, biasanya dilibatkan tokoh agama yang dianggap punya otoritas tak terbantahkan. Begitulah cara beroperasinya politik ke dalam wilayah agama, yang sering tidak disadari apalagi sampai mampu diantisipasi oleh pihak agama sendiri.
Sekali lagi saya tegaskan, Abulung dihukum mati bukan berkaitan dengan ajaran agama dan bukan atas fatwa Arsyad, tetapi lebih bermotif politis. Semoga niat baik ini tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama. Amien.
[1] Asywadi Syukur,”Kesultanan Banjar, Semenjak Suriansyah sampai Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari”, Banjarmasin Post, 18 Nopember 1988, h. 7
[2] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 95.
[3]Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjari Ulama Besar Juru Dakwah, (Banjarmasin: Karya, 1979), h.13.
[4] Ibid.,
[5] Wawancara dengan Ahmad Syadzali M. Hum, 28 Juni 2003
[6] M.Laily Mansur, Kitab Ad-Durun Nafis, Tinjauan Atas Suatu Ajaran Tasawuf, Skripsi Fakultas Usuluddin IAIN Antsari Banjarmsin, 1981, h. 26-29
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984), h. 85
[8] Abdul Al- Hakim Hassan, At-Tasawwuf fis Syi’ril Arabi, (Mesir : Maktabatul Anjalul Misriyah, 1954), h. 310
[9]Ibnu Arabi, Fushusul Hikam, (Kairo: Mustafa Babil Halabi, 1967), h. 109
[10] Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press Cet. II, 2002), h. 316
[11] Muhammad Yusuf Musa, Falsafatul Akhlaq fil Islam, (Kairo: Mu’assasatul Khariji, 1963), h. 232
[12] Asmaran, Op.cit., h. 303
[13] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, (Bandung: Mizan, 1995), h. 83
[14] Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1979), h. 287
[15] Ibid., h. 289
[16] Wawancara dengan Drs.H. Mugeni Hasar, 25 Juni 2003
[17] Asywadi Syukur, Tinjauan terhadap Risalah Tuhfatur Raghibin fi Bayani Haqiqatil Imanil Mu’minin wama Yufsiduhu min Riddatil Murtadin, (Banjarmasin: PPIK IAIN Antasari 2002), h. 8
[18] Nuruddin Ar-Raniri, Hujjatus Shiddiq li Daf’iz Zindiq, sebagaimana ditransliterasi oleh SMN Al-Attas, h. 489
[19] Zurkani Jahja, “Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Bidang Akidah Islam”, makalah seminar sehari Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, IAIN Antasari, Banjarmasin, 1988, h. 16-17
[20] Mahmud Shiddiq, Ranji Silsilah Al-Arif Billah Maulana Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari, (Banjarmasin: Hasanu, ttp.), h. 4
[21] Tim Peliti , Laporan Penelitian Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, (Banjarmasin: IAIN Antasari, 1989), h. 12
[22] Martin, Op. cit., h. 195
[23] GT. Abdul Muis,”Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan, makalah seminar, Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan, IAIN Antasari Banjarmasin, 23 September 1973, h. 30
[24] Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sejarah Kalimantan, (Banjarmasin: MAI Fajar,1953), h. 31
Setuju bangat nih, memang politik itu kejam.
ReplyDeleteyang kita tahu, syech ambulung ajarannya tidak salah untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang awam menjadikan orang bingung karena pemikiran dan ilmunya tidak sampai
ReplyDeletecerita fiktif .... asal usul orangnya tidak jelas ..gurunya siapa . .muridnya siapa .karangan kitab nya gak ada..maqam nya jg baru ditemukan ./gak pasti .. terus atas dasar. apa kita bisa mengambil manfaat ?
ReplyDelete