Selayang Pandang tentang Makrifat

Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengenalan. Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalbu). Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.


Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi di dalam kitabnya al-Luma’ mengatakan bahwa ma’rifah itu merupakan pengenalan hati terhadap obyek-obyek yang menjadi sasarannya. Inilah, menurut al-Gazali, pengetahuan yang meyakinkan dan merupakan pengetahuan yang hakiki.

Untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan tentang segala sesuatu, pertama-tama kata al-Gazali, haruslah diketahui arti pengetahuan atau ilmu yang benar dan meyakinkan itu. Dalam kitabnya al-Munqiz, al-Gazali mengatakan: “Al-’Ilm Al-Yaqini (ilmu yang meyakinkan) ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas, sehingga tak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu.” Sebagai contoh kata al-Gazali: “Jika kuketahui bahwa sepuluh lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubahnya menjadi ular dan itu memang terjadi dan kusaksikan sendiri, hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepluh lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal ini sama sekali tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku.

Dikatakan, ma’rifah berarti mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan:

a) Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.

b) Ma’rifah adalah cermin, kalau seorang ‘arif melihat ke cermin itu, yang akan dilihatnya hanya Allah.

c) Yang dilihat orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.

d) Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya; dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang gemilang.

Al-Junaid ketika ditanya tentang arti ma’rifah mengatakan: “Ma’rifah adalah hadirnya hati di antara pernyataan kebesaran Tuhan yang tak bisa dipahami dan pernyataan kehebatan-Nya yang tak bisa diutarakan.” Pada saat yang lain, ketika dia ditanya tentang pertanyaan yang sama, mengatakan: “Ma’rifah berarti mengetahui bahwa apa pun yang engkau bayangkan dalam hatimu, Tuhan merupakan kebalikannya.”

Pada prinsipnya dalam ilmu tasawuf, yang dimaksud dengan ma’rifah ialah mengenal Allah (ma’ifatullah). Dan ini merupakan “tujuan utama” dalam ilmu tasawuf, yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Dalam hubungan ini, Allah SW‎T berfirman: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (QS. 20:14).

Menurut Ibn Ataillah, ma’rifatullah adalah melihat Allah dengan pandangan mata hati, dengan pandangan batin, bukan dengan padangan mata kepala. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW pernah bersabda: “Hai Abu Zar, sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Dan jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu.”

Menurut H.M. Asywadie Syukur, bahwa setiap orang yang telah kenal kepada Tuhan, dan pengenalannya naik setingkat sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat, maka pengenalan yang demikian itu dinamakan “ma’rifah”.

Imam Al Qusyairi berkata, ”Ma’rifah‎ menurut para ulama ialah, setiap ilmu pengetahuan dinamakan ma’rifah, dan setiap ma’rifah dinamakan ilmu. Setiap orang yang berilmu pengetahuan dinamakan arif, dan setiap arif dinamakan alim”.

Karena itu menurut orang shufi, ma’rifah ialah sifat orang yang mengenal asma dan sifat Allah dan sebagai bukti pengenalannya ialah kedudukannya kepada Allah, dengan meninggalkan sifat-sifat yang tercela, selalu ingat kepada Allah, sehingga Allah mencintainya dan membeikan karunia kepadanya yang berupa kondisi mental yang tangguh, sehingga dengan mental yang demkian itu ia tidak dapat dipalingkan oleh apapun, ke arah yang tidak diridhai Allah.

Dengan kondisi mental yang tangguh ia menjadi orang yang asing di dalam hidup ini, karena terhindar dari pelbagai perbuatan yang kebiasaannya diperbuat orang yang lahir dari dorongan mental yang bejat. Dengan mental yang tangguh semua perbuatan dan tindak tanduknya bersih, pada setiap detik dan saat hubungannya dengan Allah tetap dan tidak pernah terputus sehingga Allah memberikan karunian-Nya yang lain lagi ialah pengetahuannya terhadap segala yang gaib. Sikap mental yang seperti itu dinamakan ma’rifah dan orangnya dinamakan arif.

Imam Ghazali menerangkan, “Bahwa ma’rifah menurut pengertian bahasa ialah ilmu pengetahuan yang tidak bercampur dengan keraguan, yang obyek pengetahuan tadi adalah zat dan sifat Allah”.

Abu Zakariya Anshari berkata , bahwa ma’rifah menurut pengertian bahasa ialah ilmu pengetahuan yang sampai ke tingkat keyakinan yang mutlak dalam mengesakan Allah”. Orang shufi tidak menamakan setiap orang yang memiliki pengetahuan dengan nama arif, melainkan orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang bersangkut-paut dengan Allah, Serta memikirkan segala yang diciptakan Allah sebagai bukti tentang adanya Allah”.

Ibnu Athillah juga berbicara tentang arti ma’rifah beliau mengatakan, “Ma’rifah ialah pengenalan terhadap sesuatu, baik zat maupun sifatnya yang sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Mengenal Allah adalah merupakan ilmu pengetahuan yang terpenting, karena Allah tidak ada bandingnya, kendatipun demikian Allah mewajibkan kepada setiap makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, baik jin, manusia, malaikat, dan setan untuk mengenal zat asma serta sifat-sifat Allah, bahkan diwajibkan kepada seluruh makhluk-Nya sesuai dengan keadaan makhluk itu sendiri”.

Zu al-Nun Al Misri berkata, “Sesungguhnya ma’rifah orang yang arif akan terus menerus bertambah, dengan bertambah ma’rifahnya maka bertambah juga dekatnya kepada Allah”. Kemudian Zu al-Nun ditanya dengan apa orang mengenal Tuhannya. Beliau menjawab, “Kukenal Tuhanku dengan (ni’mat) Tuhanku, kalaulah tidak (tidak dengan ni’mat Tuhanku), niscaya aku tidak mengenal Tuhanku”.

Ibnu Athaillah membagi ma’rifah menjadi dua macam. Beliau berkata, “Dan ia (ma’rifah) terbagi menjadi dua macam:

Ma’rifah yang umum ialah pengenalan yang diwajib kepada seluruh makhluk-Nya, makhluknya diwajibkan untuk mengenal zat-Nya, kemudian memuji dengan pujian yang sesuai dengan keadaan setiap makhluk masing-masing, serta memberikan sifat kepada Tuhannya, menurut yang telah ditetapkan Allah sendiri.

Ma’rifah yang khusus ialah pengenalan yang lahir dari musyahadah, maka seorang yang arif ialah orang yang telah mengenal zat, sifat, asma dan lafal Allah dengan perantaraan musyahadahnya. Sedang orang yang alim ialah orang yang mengenal Tuhannya tanpa melalui musyahadah, bahkan hanya melalui kepercayaan biasa saja. Karena itu ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ma’rifah ialah semacam ilmu pengetahuan yang didapat dari kesungguhan seseorang dalam ibadahnya”. Dalam hal ini Imam Ghazali pernah berkata, “Seseorang dapat mengenal Tuhannya melalui inderanya, dan pengenalan yang tertinggi ialah pengenaln dengan kurnia Tuhan sendiri. Karena itu seseorang tidak akan sampai ke tingkat ma’rifah yang sebenarnya, melainkan orang yang dikehendaki Allah, ialah para nabi dan orang yang siddiq. Nabi Muhammad sendiri pernah bersabda, “Aku tidak dapat menilai pujianku terhadap-Mu, sebagaimana yang kau puji terhadap zat-Mu”.

Menurut Imam Ghazali ma’rifah yang khusus ini ialah keinginan untuk mengenal zat Allah, sifat Allah dan menolak segala sifat kekurangan dan menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah. Ma’rifah yang demikian itu adalah wajib bagi setiap insan, sesuai dengan ajaran Alqur’an, Sunnah dan Ijma Umat, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama tentang wajibnya, hanya terdapat perbedaan pendapat mengenai definisinya”.

Imam Ghazali berkata, “Ma’rifah itu terbagi kepada dua macam ; ma’rifatuz zat dan ma’rifatus sifat”.

Yang dimaksudkan dengan ma’rifatuz zat ialah pengetahuan seseorang terhadap Allah, bahwa Allah ada, Maha Esa, tidak berbilang, Ia adalah zat yang Maha Agung, yang ada dengan sendirinya dan tidak ada yang lain yang mirip dengan-Nya.

Dan ma’rifatus sifat ialah pengetahuan bahwa Allah Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, Maha Melihat, dan seterusnya tentang sifat-sifat kesempurnaanya.

Adapun tanda orang yang betul-betul mengenal Allah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Ghazali ialah “hatinya selalu ingat dan memandang (musyahadah) kepada Allah. Karenanya Allah melimpahkan karunia-Nya kepadanya sehingga dengan karunia itulah seseorang kenal dan mengenal zat Tuhannya. Dengan karunia itu Allah menyingkapkan sebagian hijab yang melindungi sehingga hambanya-Nya kenal kepada sifat dan zat Tuhannya, dan tidaklah seluruh hijab itu disingkapkan dan hanya sebagiannya saja.”

Abu Ali Daqaq berkata, “Sebagai tanda ma’rifah Allah ialah timbul rasa takut yang mendalam kepada Allah, siapa yang bertambah ma’rifatnya bertambah juga takutnya kepada Allah”.

Ali bin Abi Thalib pernah ditanya, “Apakah kau menyembah sesuatu yang kau lihat atau yang kau tidak melihatnya?” Beliau menjawab, “Tidak, bahkan aku menyembah yang kulihat, namun bukan dengan penglihatan mata, tetapi dengan penglihatan hati”.

Juga Ja’far Sadiq pernah ditanya orang, apakah ia melihat Tuhannya? Beliau menjawab: “Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak kulihat.” Orang bertanya, “Bagaimana kau dapat melihatnya sedang Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala?” Beliau menjawab, “Memang tidak dapat dilihat dengan mata kepala, namun dapat dilihat dengan mata hati dan dengan mata hakekat iman”.

Sebagian orang shufi berkata, “Hakekat ma’rifah ialah musyahadah Allah, tanpa perantara, tidak melalui keadaan dan tidak pula melalui perbandingan”. Dan sebagain yang lain lagi berkata: ma’rifah yang sebenarnya ialah kosong jiwa dari segala keinginan, meninggalkan apa yang menjadi adat kebiasaannya, hati tenteram, menyerahkan segala urusan kepada Allah dan tidak berpaling kepada yang lainnya. Namun pengenalan manusia tidaklah sa hakekat zat Allah, hanya Allah sendiri. mpai ke tingkat hakekat zat, dan tidak ada yang mengenal bagaimana sebenarnya

Akhirnya Abu Bakar Razi menceritakan bahwa ia pernah mendengar dari Abu Umar Al Antaki, beliau pernah bercerita seorang laki-laki pernah datang bertanya kepada Junaidi katanya ada sebagian orang yang mengaku dirinya ahli ma’rifah namun mereka telah meninggalkan syariat agama, mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban agama yang akan mendatangkan kebajikan dan takwa (ibadah). Junaidi menjawab: pendapat yang mengatakan dengan meninggalkan amal-amal syariat sebagai tanda ahli ma’rifah, bagiku lebih baik orang yang mencuri dan berbuat zina, dari orang yang mengakui ahli ma’rifah tadi, karena orang yang kenal (ma’rifah) kepada Allah, mereka mengambil amal ibadah itu dari Allah, dan mereka kerjakan untuk Allah, mereka kembalikan semua itu kepada Allah. Kendatipun umur mereka sampai seribu tahun, tidaklah mereka mengurangi kewajiban mereka terhadap Allah, sekalipun hanya sedetik”.

Demikianlah peranan ma’rifah dalam pembinaan mental dan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah, dengan bertambah ma’rifah bertambah juga takwanya kepada Allah, dan bertambah dekatlah ia kepada Allah.

Menurut Hamka, ma’rifat artinya ialah ujung perjalanan dari Ilmu Pengetahuan. Ilmu ialah usaha mengetahui keadaan suatu barang, tetapi ma’rifat menanyakan sebabnya dan nilainya. Misalnya kata ilmu, dua kali dua sama dengan empat. Maka ma’rifat tidak hendak mencukupkan perjalanan sehingga itu saja. Dia masih bertanya: “Mengapa jadi empat, dan siapa yang menjadikan empat?”.

Orang yang mempunyai ma’rifat dinamai “Arif. Kumpulan pengetahuannya tentang Syari’at, dengan kesediaannya menempuh jalan (Thariqat) dan mencapainya akan Hakikat, semuanya itulah yang Ma’rifat. Jadi Ma’rifat adalah kumpulan Ilmu Pengetahuan, perasaan, pengalaman, amal dan ibadat. Kumpulan dari Ilmu, Filsafat dan Agama. Kumpulan dari Manthik (Logika), Keindahan (Aestetika) dan Cinta.



Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)