Sufisme vs Rezim Syariah di Kalimantan

 
Hubungan ulama syariat dan ulama hakikat atau dikenal sebagai Komunitas Abulung di Kalimantan Selatan, sepanjang sejarah hampir selalu konflik. Namun pada saat ini salah satu Komunitas Abulung yakni Komunitas Abulung Takisung telah berhasil menghindari konflik dengan rezim syariat melalui siasat-siasat yang cerdas sehingga ia dengan tenang bisa terus mempertahankan dan mengembangkan eksistensi ajarannya tanpa ada gangguan dan perasaan terancam.


1. Mengenal Syekh Abdul Hamid Abulung dan Ajarannya
Abulung sebenarnya nama sebuah kampung di daerah Martapura, Kalimantan Selatan, bertetangga dengan kampung Dalam Pagar, tetapi kemudian nama tersebut dilekatkan juga pada Syekh Abdul Hamid menjadi Syekh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung (ada juga yang menyebut Habulung dan Ambulung). Mungkin karena ia lahir di kampung ini, atau bisa jadi ia menyebarkan ajarannya berbasis di daerah ini. Yang jelas sampai sekarang kuburannya berada cukup megah di kampung Abulung ini, dan banyak diziarahi masyarakat dari berbagai pelosok daerah serta banyak dijadikan tempat balampah (semedi, bertapa atau tahannus), para pencari ilmu ladunni.

Gelar Datu Abulung sebenarnya mengisyaratkan posisi kultural Abdul Hamid sebagai tokoh masyarakat Banjar yang disegani yang biasanya mempunyai kekuatan magis dan supratural yang sejajar bahkan terkadang melebihi kedudukan Kepala Adat (termasuk Kepala Suku dan Dukun). Demikian juga dengan predikat Syekh yang melekat pada Abdul Hamid, menunjukkan status keilmuan yang tinggi terutama dalam ilmu agama sekaligus meliputi ketinggian ibadah dan akhlaknya. Syekh juga mengisyaratkan bahwa sang penyandang gelar tersebut pernah menuntut ilmu cukup lama di Haramain (Makkah dan Madinah) dan mempunyai banyaka murid yang tersebar meskipun mungkin tidak memiliki semacam lembaga pendidikan. Selain itu, Syekh juga mengimplisitkan bahwa orang tersebut mempunyai posisi sangat penting dalam dunia tasawuf dan tarikat, mungkin sebagai khalifah, mursyid, murabbi atau minimal badal.
Tidak diketahui, kapan Abdul Hamid dilahirkan, yang jelas ia lebih senior sedikit dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari atau Datu Kalampayan (!710-1812M). Artinya, ia lebih dahulu berperan di dalam kerajaan Banjar, jika dibandingkan Arsyad. Bisa jadi, ia punya posisi penting sebagai penasehat Raja, mengingat ajaran tasawuf yang dominan sebelum Arsyad datang dari menuntut ilmu di Haramain adalah tasawuf yang disebarkan oleh Abulung. Sejak awal berdirinya kerajaan Banjar, mulai dari Sultan Suriansyah (1527-1545 M) sampai awal-awal pemerintahan Sultan Tahmidullah II (1761-1801 M) ajaran tasawuf yang dominan adalah tasawuf aliran wujudiyah, bahkan paham ini sempat menjadi paham resmi keajaan yang dianut oleh para sultan dan masyarakat secara keseluruhan.[1]
Abulung konon mengajarkan tasawuf wujudiyah yang mungkin sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Samatrani atau lebih ditarik ke atas pengaruh pemikiran Al-Jilli, Burhanpuri, Ibnu Arabi, Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Bisthami. Dalam ajaran ini, cenderung kurang menghargai aspek syariat yang terikat ketat dengan aturan-aturan ibadah, bahkan terkadang sangat harfiyah, padahal syariat hanyalah kulit permukaan belum sampai kepada isi atau hakikat.[2] Dalam Perspektif aliran ini syariat bisa dipandang sebagai tirai penghalang untuk mencapai persatuan dengan Tuhan. Menurut ceritera Abulung pernah mengatakan :
Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia
Tiada aku melainkan Dia
Dialah Aku
Dan aku adalah Dia[3]
Versi lain mengatakan :
Tiada maujud, melainkan hanya Dia
Tiada wujud yang lainnya
Tiada aku, melainkan Dia
Aku adalah Dia
Ketika Abulung dipanggil menghadap Sultan, dia menjawab “Tuhan tidak diperintah”.[4] Utusan Sultan berkata:”Ada Abdul Hamid di rumah ?”. “Tidak ada” jawab Abdul Hamid,”yang ada Tuhan”. Ditanya lagi:”Adakah Tuhan?”.”Tidak ada”, jawabnya,”yang ada hanya Abdul Hamid”. Terus dikejar lebih jauh:”Adakah Tuhan dan Abdul Hamid ?”. Abdul Hamid diam tanpa ada jawaban lagi. 
Abulung mengajarkan pula Salat Da’im yakni selalu ingat atau zikir secara terus-menerus kepada Allah tanpa putus-putusnya. Dalam risalahnya Abulung Qada al-Fawait mengatakan, untuk Salat Da’im selain zikir hendaklah sembahyang dikerjakan setiap malam jum’at, hendaknya dikerjakan sebulan sekali, kalau tidak bisa, hendaknya dikerjakan setahun sekali, jika tidak bisa juga maka hendaknya dikerjakan sekali dalam seumur hidupnya.[5]
            Abulung pada akhirnya digiring menuju istana setelah terjadi proses panjang dialog ketuhanan, untuk menerima hukuman, sesuai perintah dari Sultan. Dalam perjalanan, menurut ceritera lisan yang berkembang di masyarakat, dia diperlakukan macam-macam, dicambuk, disayat, dibakar dan semacamnya, tetapi semuanya tidak mempan, tidak bisa menyakiti tubuhnya. Tubuhnya tetap kuat dan tak cidera seperti sedia kala. Rupa-rupanya ia punya kekebalan terhadap senjata apapun dan tahan berbagai jenis siksaan yang menyakitkan. Menjelang mendekati halaman istana konon dicoba lagi untuk membunuhnya dengan dijatuhi potongan-potongan batang pohon besar dari ketinggian. Itupun juga tidak mempan dan ia tetap dalam keadaan semula. Mendekati altar hukuman, algojo sudah siap menggoroknya, tetapi inipun tidak mempan. Sudah beberapa kali dilakukan penusukan, penyayatan dan pembakaran tetap semuanya tidak mempan. Saat algojo hampir mencapai titik kulminasi rasa putus asa untuk menjalankan tugasnya karena selalu gagal terus-menerus, konon datang Arsyad mendekati Abulung, lantas berbisik, entah apa yang dibisikkan tidak jelas. Ada yang memperkirakan Arsyad menasehati Abulung agar menyerah secara ikhlas. Ada pula yang menduga Arsyad memang mengetahui titik lemahnya atau ia mempunyai kekuatan untuk melumpuhkan kekebalan Abulung. Yang jelas kemudian algojo mampu menghukum mati Abulung dengan tidak perlu susah payah lagi, sekedar digoreskan pedang ke lehernya, muncratlah darahnya.
Mengalirlah darah Abulung membasahi tanah Banjar, konon ceriteranya membentuk formasi  yang indah, unik sekaligus ajaib La Ilaha illallah,”Tiada Tuahan selain Allah”, diiringi jerit tangis para keluarga, kerabat, handai tolan, murid, pengikut dan sebagian masyarakat yang menyaksikannya.[6] Terjadilah tragedi kemanusiaan dan suatu episode sejarah hitam keagamaan, yang kembali berulang setelah pernah terjadi pada Syekh Sidi Jenar di Jawa, Suhrawardi di Mesir dan Al-Hallaj di Baghdad, hanya gara-gara berbeda paham keagamaan.
  1. Komunitas Abulung Takisung
Kejadian tragis di atas, rupa-rupanya tidak menjadikan murid dan pengikutnya untuk berhenti mengajarkan ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung dari generasi ke generasi dari waktu ke waktu hingga sekarang ini. Bahkan saat ini banyak Komunitas Abulung tersebar di daerah-daerah Kalimantan Selatan bahkan sampai Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur dengan varian yang sangat beragam. Penelitian ini fokus pada satu Komunitas Abulung yang ada di daerah Takisung, Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Lokasi tepatnya adalah berada jauh sekitar 120 Km dari Kota Banjarmasin, Jalan Raya Takisung RT.01 RW.02, Desa Takisung.
Komunitas ini dipilih karena mengaku paling representatif sebagai pengikut Abulung. Di samping punya hubungan garis keluarga, juga punya hubungan silsilah ajaran. Pemimpin Komunitas Abulung di Takisung ini adalah H. Abdullah Mukti bin H. Muhammad Noor bin Ibrahim Hurani bin Muhammad Amin bin Abdullah Khatib bin Abul Hamim bin Abdul Hamid Abulung. Sementara dalam silsilah ajaran dari Abdullah Mukti—Muhammad Noor—Ibrahim Hurani—Muhammad Amin—Abdullah Khatib—Abul Hamim--Abdul Hamid Abulung—Saifuddin—Muhammad Ma’sum—Mujaddid al-Musafi—Ahmad Faruqi Sirhindi—Muhammad Baqi Billah—Muhammad Maulana Hayati—Muhammad Zahid—Abdullah Samarqandi—Ya’qub Carkhi—Alauddin Attar—Bahauddin Haq Muhammad Ghaus al-Naqsyabandi—Amir Sayyid Kulal al-Bukhari—Muhammad Baba al-Sammasi—Ali al-Ramitani—Mahmud Anjir Faghnawi—Arif al-Riwgari—Abdul Khaliq al-Ghujdawani—Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani—Abul Hasan al-Kharaqani—Abu Yazid Thaifur al-Bisthami—Ja’far al-Shadiq—Qasim—Salman al-Farisi—Abubakar al-Shiddiq—Nabi Muhammad SAW—Jibril—Allah SWT.[7]
Tuan guru Abdullah Mukti adalah putera keempat dari tuan guru Muhammad Noor dari isteri ke 16 yang bernama Sariyah. Ia lahir pada 10 Februari 1965 di Takisung. Sejak kecil Abdullah sudah tampak kecerdasannya melebihi saudara-saudara lainnya. Ia sepertinya sudah digadang-gadang sang ayah bakal menjadi penggantinya. Hal ini sudah tampak pada penamaannya sendiri Abdullah Mukti diambil sang ayah dari nama salah satu gurunya di Haramain yang sangat dihormati yakni Syekh Abdullah Mu’thi. Isyarat ini semakin nyata ketika sang ayah turun sendiri untuk mendidik dan membimbing Abdullah mengajarkan pendidikan agama  dalam berbagai aspeknya terutama ilmu Tafsir, Fiqih, Tauhid, tasawuf dan sebagainya dengan menggunakan materi kitab kuning hampir selama 20 tahun. Tidak cukup mengajar di rumah, Abdullah masih diajar sang ayah di madrasah yang dibanginnya sendiri. Bisa dikatakan Abdullah sudah demikian matang pendidikan agamanya di lingkungan rumah tangga dan madrasah sang ayah sebelum dididik orang lain. Sang ayah begitu serius mewariskan ilmunya kepada Abdullah yang memang cerdas dan berbakat sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ia sudah hampir menguasai keseluruhan ilmu yang dimiliki sang ayah. Namun meskipun sudah bisa dikatakan memadai pengajaran dari ayahnya, Abdullah tetap menambah dan memperkaya ilmunya kepada orang lain. Ia kemudian pergi menuntut ilmu ke Martapura, tepat sekolah di SMIH (Sekolah Menengah Islam Hidayatullah) di Kampung Kraton sekitar mulai tahun 1978. Ia di sana sangat tertarik belajar ilmu Hadis dan Bahasa Inggris terutama kepada guru Hasyim Mukhtar yang sangat piawai dalam penguasaan materi dan penyampaiannya. Di samping itu, ia sempat juga berguru kepada Habib Abubakar Al-Attas dan Ma’mun untuk memperdalam ilmu alat seperti Nahwu,Sharf, Balagah, Bayan, Qawaidul Lugah, Qawaid dan lain-lain. Hampir sekitar 8 tahun ia menuntut ilmu di Martapura, kemudian 1986 ia tinggalkan untuk melanjutkan menuntut ilmu ke Surabaya di Yayasan Masjid Sunan Ampel. Yayasan ini berada di Masjid Sunan Ampel, mempunyai salah satu bidang yang menggarap pendidikan dalam bentuk semi formal untuk pendalaman Ulumul Qur’an dan Bahasa Arab. Abdullah saat itu, sangat mengagumi salah satu gurunya yakni ustadz Anas yang mempunyai keahlian  dalam metode pengajaran al-Qur’an sekaligus Bahasa Arab dalam satu penyajian. Namun ia di sini, hanya 2 tahun, 1988 ia pulang kampung sebentar, tak berselang lama pergi lagi untuk menuntut ilmu di pondok Ibnul Amin Pamangkih Barabai (Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan) yang terkenal sebagai pesantren ilmu alat. Di sini ia belajar dengan beberapa guru dan sangat khusus belajar kepada tuan guru Makhfudz dan tuan guru Ahmad Zuhri. Bisa diperkirakan Abdullah yang sudah banyak mengembara menuntut ilmu dan juga putera tuan guru Muhammad Noor yang terkenal itu, tentu saja secara perlahan tetapi pasti menjadi santri yang menonjol  kematangan ilmunya, mengungguli santri-santri lain seangkatannya sehingga ia mempunyai posisi istimewa di mata guru-gurunya dan memang ternyata tuan Guru Ahmad Zuhri tertarik dan sangat menyayanginya serta dikemudian hari  meraihnya untuk diambil menantu.
Sekitar tahun 1990-an ia pulang ke Takisung memenuhi panggilan ayahnya untuk membantu menangani pesantren Mujahidin yang semakin berkembang pesat. Setelah 2 tahun ikut membina pesantren, pesantren semakin bertambah semarak. Jelas kedatangannya telah menghembuskan angin penyegaran di pesantren terutama dalam pengembangan institusi, metode pengajaran dan materi ajarnya.
Pada tahun 1992 ia berangkat ke Haramain untuk menunaikan ibadah haji dalam status masih bujangan. Sepulang dari berhaji, segera ia mengakhiri masa lajangnya dengan menyunting Sabina puteri tuan guru Ahmad Zuhri. Dari hasil perkawinannya selama 14 tahun, ia memperoleh 4 orang anak, terdiri dari 3 perempuan dan 1 laki-laki.
Selain mengabdi di Pondok Pesantren Mujahidin, Abdullah juga tetap meneruskan Pengajian Malam Rabu yang pernah dilakukan ayahnya untuk masyarakat umum. Di samping itu, ia juga masih sempat untuk mengisi ceramah-ceramah agama di Masjid, Langgar dan rumah penduduk pada waktu yang sudah ditentukan dan akan terasa sangat sibuk  ketika hari-hari besar Islam seperti bulan Maulud, Rajab, Sya’ban, Ramadan dan Muharram, hampir tak ada waktu untuk istirahat.[8]
            Sementara komunitasnya terdiri dari para santri Pondok Pesantren Mujahidin dan para murid Pengajian Malam Rabu. Jumlah santri Pondok Pesantren Mujahiddin ada 280 orang, terdiri dari 130 orang santri mukim dan 150 orang santri kalong. Khusus untuk santri mukim yang 130 orang terdiri dari 70 orang santri laki-laki dan 60 orang santri perempuan.[9] Pada umumnya kebanyakan mereka berasal dari daerah sekitar dan beberapa dari daerah yang jauh seperti Bati-bati, Martapura, Kintap, Tanah Bumbu, Kotabaru, Banjarmasin dan lain-lain. Latar belakang sosial-ekonominya adalah kelas menengah ke bawah, kebanyakan anak para petani, nelayan dan pedagang. Kemudian jumlah murid dalam Pengajian Malam Rabu rata-rata sampai ratusan orang terdiri dari laki-laki dan perempuan  yang kebanyakan berasal dari daerah sekitar seperti Tabanio, Peleihari, Batu Ampar, Tajau Pecah, Bejuin dan tentunya Takisung sendiri, tetapi ada juga sebagian berasal dari jauh seperti dari Martapura, Bati-bati, Binuang, Banjarmasin dan Marabahan. Latar belakang sosial-ekonomi mereka hampir bisa dikatakan sama dengan latar belakang sosial-ekonomi para santri Pondok Pesantren Mujahidin yakni terdiri dari petani, nelayan dan pedagang.[10]
   
  1. Ajarannya
Ajaran yang diajarkan oleh Abdullah Mukti terhadap komunitasnya yang terdiri dari sebagian santri Mujahidin dan sebagian murid pengajian malam Rabu yang berbakat adalah bersumber dari Syekh Abdul Hamid Abulung yang mewariskan ilmunya lewat catatan yang ditulis oleh cucunya Abdullah Khatib menjadi sebuah kitab yang bernama Bihablil Matin. Kitab ini berisi ajaran tarikat Naqsyabandiyah yang mempunyai varian tersendiri dalam soal zikir dan wirid, Muraqabah, Rabithah Mursyid, Khatm, Tawajjuh, Bai’at, Inabah, Memelihara hati, Syarat-syarat masuk Naqsyabandiyah, Rukun memasuki Naqsyabandiyah dan Ijazah. Sumber yang lain adalah  tulisan tangan Muhammad Noor yang berisi wasiat dan nasehat untuk anak keturunannya. Catatan ini berisi semacam proses perjalanan ruhaniyah Muhammad Noor hingga mencapai tingkat ulama yang diperhitungkan di Kalimantan Selatan, ada beberapa pesan yang diwasiatkan dan ada semacam ajaran-ajaran dalam melakukan tirakat dan suluk. Kemudian ada pula, tulisan tangan Abdullah Mukti sendiri mengenai cara melakukan tirakat dan suluk yang sempat diperlihatkan pada peneliti, tetapi tidak boleh difotocopy, kecuali jika sudah dibai’at sebagai murid. Sebagian dari uraian ajaran tersebut adalah sebagai berikut :
a.Tirakat
Untuk menjadi murid Abdullah Mukti dan kemudian menerima ajaran Abulung seseorang harus terlebih dahulu melakukan tirakat selama 3 tahun, baik bagi yang berbakat maupun tidak, yang cerdas atau kurang cerdas dan yang kuat magnet rohaninya ataupun lemah. Semuanya harus melewati tahap ini, kecuali mereka yang punya garis keturunan dari Syekhnya. Selama melakukan tirakat, hanya memakan nasi putih dan meminum air putih, itupun hanya pada waktu sahur menjelang subuh dan waktu magrib, seperti layaknya orang melakukan puasa, berniat di waktu sahur dan berbukanya di waktu magrib. Berikutnya membaca istighfar (astaghfirullahal adhim) 25 kali sesudah salat Subuh dan salat Magrib, membaca zikir sir Allah Allah 300 kali, zikir jahar la ilaha illallah 110 kali dan disudahi dengan la ilaha illallah Muhammadur rasulullah. Kemudian diteruskan membaca ilahi anta maqsudi waridlaka mathlubi secukupnya, tasbih 15 kali, salawat 15 kali dan fatihah 5 kali (untuk dihadiahkan kepada Nabi Muhammad SAW 1 kali, para sahabat 1 kali, para ahli tarikat 1 kali, orang tua-guru 1 kali dan kaum muslimin 1 kali. Sesudah itu, setiap hari membaca zikir sir Allah Allah 1000 kali sesudah salat Subuh 1000 kali, sesudah salat Dluha 1000 kali, sesudah salat Dhuhur 1000 kali, sesudah salat Ashar 1000 kali, sesudah salat Magrib 1000 kali, sesudah salat Isya 1000 kali dan sesudah salat Lail (Tahajud dan Witir) 1000 kali.
Ketika melakukan bacaan-bacaan ini, seorang murid dalam posisi duduk tahiyat, persis sebagaimana orang duduk tahiyat dalam salat, hanya saja bedanya kalau duduk tahiyat dalam salat telapak kaki kiri menumpu tangkai hasta kaki kanan, maka duduk tahiyat dalam tirakat ini telapak kaki kanan menumpu tangkai hasta kaki kiri membentuk semacam huruf mim dan ‘ain, sedangkan kedua tangan membentuk lam jalalah, kedua tangan menyilang, telapak tangan kanan menutup lutut kaki kiri dan telapak tangan kiri menutup lutut kaki kanan.
Dalam menjalankan tirakat tak diperkenankan mengabaikan, apalagi sampai meninggalkan kewajiban mencari nafkah untuk anak-isteri dan keluarga yang di bawah tanggung jawabnya. Karena tirakat adalah pekerjaan yang hukumnya sunat, sementara mencari nafkah itu hukumnya wajib. Tidak boleh, ibadah sunat mengalahkan ibadah wajib, justru sebaliknya ibadah wajib harus didahulukan dari ibadah sunat. Seseorang murid yang tidak bisa mengompromikan secara selaras dan seimbang, sebaiknya tidak usah melakukan tirakat atau sama sekali tak perlu masuk tarikat.
a.Suluk
Suluk adalah menempuh jalan spiritual dengan melakukan kegiatan menyepi dan melatih diri dengan bertapa selama beberapa hari, beberapa bulan dan beberapa tahun. Selama melakukan suluk, seseorang makan, minum dan tidur sedikit sekali, hampir seluruh waktunya dipakai untuk berzikir dan meditasi dan iapun tidak diperbolehkan berbicara kecuali dengan syekhnya atau dengan mitranya yang juga melakukan meditasi, dan itu pun terbatas pada soal-soal kerohanian.
Suluk yang diajarkan Tuan Guru Abdullah Mukti ada 7 tingkatan. Biasanya dilakukan atau memulai proses suluknya pada bulan puasa. Artinya sambil melaksanakan kewajiban puasa, dilakukan pula pelaksanaan suluk. Oleh karenanya memang puasa salah satu bagian penting dari suluk selain bagian-bagian penting lainnya. Beda puasanya hanya pada soal waktu makan sahur dan berbuka. Bagi bmereka yang tidak melakukan suluk mungkin bebas saja makan-minumnya asal halal, hanya dianjurkan jangan berlebihan. Namun lain lagi bagi yang melakukan suluk, makan-minumnya seperti di dalam tirakat yakni hanya memakan nasi putih dan meminum air putih dalam takaran sedikit. Tetap melaksanakan kewajibannya bekerka mencari nafkah buat isteri dan keluarganya. Suluk bisa dilakukan pada saat pagi sesudah sholat subuh dan malam sesudah sholat Magrib atau Isya di rumah atau tempat tertentu, sendiri auartu berdua-berjmaah dengan posisi duduk dalam tirakat. Adapun suluk-suluk tersebut sebagai berikut:
1)      Suluk pertama dengan membaca zikir khafi dalam hati Allah-Allah, sedang mulut hanya terucap Hu 3000 kali, berlangsung selama 3 hari. Pada tahap ini masih diperbolehkan sambil berpandangan dan bicara dengan teman, jika melakukan suluknya berdua atau berjamaah.
2)      Suluk kedua membaca jenis zikir dan posisi duduk yang sama, hanya saja jumlah zikirnya bertambah menjadi 21.000 kali, berlangsung selama 5 hari. Pada tahap ini, tidak diperkenankan lagi untuk saling berpandangan dan berbicara antar salik.
3)      Suluk ketiga masih tetap membaca jenis zikir dan posisi duduk yang sama, hanya saja jumlah zikir bertambah menjadi 35.000 kali, berlangsung selam 3 hari.
4)      Suluk keempat, zikirnya bertambah menjadi 50.000 kali, berlangsung selama 3 hari.
5)      Suluk kelima, zikirnya terus bertambah menjadi 55.000 kali, berlangsung selam 3 hati.
6)      Suluk keenam, zikirnya bertambah lagi menjadi 60.000 kali, berlangsung selama 5 hari.
7)      Suluk ketujuh, zikirnya masih terus bertambah menjadi 70.000 kali, berlangsung selama 3 hari.
Setiap malam selama menjalankan suluk dari tingkat satu sampai ketujuh dianjurkan membaca ya hayyu ya qayyum ahyi rizqi ya Allah semampunya atau sebrapa bisa.[11]
Sama seperti melakukan tirakat, suluk juga mengharuskan sang murid (salik) untuk tetap melaksanakan ibadah wajib, bekerja mencari nafkah buat anak, isteri dan keluarga yang berada di bawah tanggungjawabnya. Kalau tidak bisa melaksanakanibadah yang nyata-nyata wajib, lebih baik tidak usah melakukan suluk, karena ia hanya sebagai ibadah sunat. Meninggalkan ibadah wajib jelas berdosa, sedangkan meninggalkan ibadah sunat tidak apa-apa.
Ketika sudah mencapai tahap suluk kedua, biasanya banyak berdatangan ujian, cobaan dan godaan. Jika tidak kuat keyakinan, tak punya keteguhan hati dan perasaan yang tiada tertahan, bisa terjerumus ke dalam suasana paradoks, cara telah bertentangan dengan tujuan suluk itu sendiri, sehingga perjalanannya terhenti tidak pada tempatnya, lantas menjadi dukun, tukang ramal, ahli silat, pintar tenaga dalam dan tabib pengobatan.
Selain itu, dalam proses perjalanan suluk dari tahap ke satu sampai ke tujuh, biasanya terjadi peristiwa perolehan khirqah secara gaib, di mana seorang murid memperoleh pengakuan dari sang mursyid telah mencapai tingkat spiritual tertentu, pada kebanyakan tarekat, jika seorang murid telah memperoleh khirqah, maka secara otomatis ia berhak untuk menyebarkan ajaran tarekat dari gurunya kepada orang lain. Dengan kata lain, ia sudah menyandang status sebagai khalifah atau sekurang-kurangnya badal yang memperoleh izin dari gurunya untuk mengajar. Namun dalam tarekat yang diajarkan Abdullah, memperoleh khirqah, tidak otomatis diperbolehkan atau menjamin untuk mengajar. Hak dan izin mengajar akan diperoleh manakala sang salik sudah pernah ditunjuk sebagai Imam di dalam suluknya atau Nabi Muhammad SAW sendiri menyuruhnya atau mengizinkannya untuk mengajar.
Perolehan khirqah tidak tergantung pada tingkatan kuantitas, kualitas spiritual dan peringkat tertinggi perjalanan suluk sang murid, tapi terletak pada anugerah Tuhan yang tidak bisa direncanakan dan diikhtiari sama sekali oleh kehendak manusia. Bisa saja kalau Allah menghendaki seseorang memperoleh limpahan khirqah pada tahap suluk pertama atau kedua, hanya dalam waktu sangat singkat beberapa minggu saja. Namun tidak sedikit juga, yang sudah bertahun-tahun bahkan sampai 60 tahun melakukan suluk dan sudah lama mencapai tingkat suluk ke tujuh, tidak pula dapat-dapat khirqah yang didamba. Walaupun secara umum khirqah biasanya diperoleh sang salik pada tahap suluk ke enam dan ke tujuh, tetapi sekali lagi hal itu tidak menjamin secara mutlak, karena ia merupakan anugerah Tuhan. Untuk itu, khirqah tidak semata-mata ditunggu dengan pasrah belaka, melainkan harus diusahai sekuat tenaga tanpa ada rasa putus asa sedikit pun, sembari selalu berharap suatu saat akan datang jua pada dirinya, entah kapan waktunya.[12]
  1. Siasat yang dilakukan
Rezim syariah yang terdiri dari sebagian besar dari anggota MUI dan ulama fiqih yang memang masih berperan dominan dalam percaturan pemikiran Islam di Kalimantan Selatan, khususnya Takisung. Mereka selalu mengadakan pengawasan ketat terhadap paham keagamaan yang dianggap menyimpang atau tidak sesuai dengan yang selama ini mereka pahami. Apalagi ajaran Abulung yang jelas-jelas menurut mereka bertentangan dengan syariat, harus mereka tumpas atau sekurang-kurangnya melakukan peminggiran secara sistematis agar ajaran atau komunitas tersebut secara- perlahan-lahan akan bubar dan hilang dari peredaran sebagaimana yang terjadi pada Syekh Abdul Hamid Abulung dahulu. Demikian juga, sebagaimana yang terjadi pada ayahnya Abdullah Mukti, Tuan Guru H. Muhammad Noor yang selalu diawasi gerak-geriknya oleh MUI dan ulama fiqih lainnya kemanapun ia pergi dan seringkali ajarannya dituduh sebagai ajaran yang menyimpang, menyesatkan dan lantas mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat.  
Untuk menghindari konflik terbuka dengan ulama ahli fiqih dan MUI Kalimantan Selatan, Abdullah Mukti pertama sekali melakukan rekonstruksi sejarah bahwa Syekh Abdul Hamid Abulung tidak pernah mengajarkan ajaran yang selama ini dituduhkan sebagai ajaran wujudiyah yang bertentangan dengan syariat. Abulung hanya mengajarkan tarikat Naqsyabandiyah yang termasuk tarikat mu’tabarah dan tidak bertentangan dengan syariat bahkan justru terkenal sebagai tarikat yang sangat kuat memegang syariat. Informasi tentang Abulung yang mengajarkan wujudiyah selama ini adalah fitnah yang disebarkan oleh penjajah Belanda waktu itu untuk memecah belah dan mengadu domba sesama pimpinan Islam. Bisa juga, fitnah yang terjadi dilakukan penguasa waktu itu yang sebenarnya tidak sah, yang punya kepentingan politik karena kebetulan Abulung membela pihak yang berhak. Untuk pembenaran tindakannya sang penguasa menggunakan agama lewat tangan ulama memfatwakan ajaran Abulung sesat dan dapat mengacaukan masyarakat sehingga harus dihukum mati.
Kedua, dalam ceritera terbunuhnya Abulung, Abdullah mempunyai versi lain atau ceritera sendiri. Menurutnya waktu itu tak ada seorangpun dan tak ada senjata apapun yang bisa membunuh Abulung. Kematiannya dilakukan sendiri oleh Abulung dengan memakai daun sirih yang ia goreskan di dada. Sebelum kematiannya ia sempat berucap yang berupa pesan;” apabila yang mengalir darah merah, maka akulah yang salah dan apabila mengalir darah putih berarti akulah yang bersih (benar)”.Ternyata kejadiannya, memang darah putih yang mengalir dari tubuh Abulung membentuk formasi unik, indah sekaligus ajaib La Ilaha Illallah, Tiada Tuhan selain Allah.[13]
Ketiga, Abdullah Mukti berusaha merehabilitasi nama ayahnya Tuan Guru Muhammad Noor, sebagai orang yang tidak pernah mengajarkan ajaran Islam yang menyimpang, sesat apalagi sampai mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat. Itu semua fitnah yang disebarkan oleh orang-orang yang tidak senang atau iri-dengki. Ia mengajarkan apa yang seharusnya diajarkan, berdasarkan perintah Allah dan rasul-Nya untuk mengamalkan ilmu yang didapat.
Keempat, Abdullah Mukti lebih mengabdi di Pondok Pesantren Mujahidin yang didirikan ayahnya, untuk menunjukkan ajaran yang ia miliki bisa diuji dan bisa dipertanggung jawabkan baik di hadapan manusia maupun di hadirat Tuhan. Karena yang namanya pesantren sejak zaman dahulu sampai sekarang tidak pernah mengajarkan ajaran Islam yang menyimpang, menyesatkan dan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat, tetapi justru sebaliknya mengajarkan ajaran Islam yang sebenar-benarnya melalui silsilah atau sanad keilmuan yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW.[14]
Kelima, Abdullah Mukti ikut aktif dalam organisasi tarikat NU di Cabang NU Tanah Laut. Ia dan komunitasnya digolongkan sebagai kelompok yang menganut tarekat mu’tabarah yang tidak menyimpang dari ajaran Islam. Sudah barang tentu, rezim syariat melihat ini, tidak mungkin berani menuduh sembarangan karena menuduh ajaran Abdullah sesat akan melibatkan NU secara keseluruhan sebagai sesat. Padahal NU itu organisasi ulama paling besar di Indonesia yang sangat kuat memegang pengetahuan syariat.
Keenam, Abdullah Mukti aktif memberikan ceramah-ceramah keagamaan di masyarakat baik di masjid, langgar maupun di rumah penduduk. Hal ini untuk menunjukkan bahwa ia dan komunitasnya tidak pernah mengganggu ketertiban dan keamanan, justru sebaliknya sangat mendukung bahkan ikut serta dalam menciptakan situasi tersebut. Juga membuktikan ilmu yang diajarkannya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Di sini rezim syariat, menjadi bingung bertindak, karena wilayah yang selama ini mereka tekuni, kini juga ditekuni oleh orang yang selama ini ingin mereka awasi.
Ketujuh, Abdullah Mukti cukup aktif juga ikut mengaji di Sakumpul Martapura, tempat Majlis Ta’lim Tuan Guru H. Muhammad Zaini Ghani (populer sebagai Guru Ijai, sekarang sudah almarhum). Hal ini menambah legitimasi ia dan komunitasnya tetap berada di jalan yang benar, tidak pernah menyimpang, apalagi menyesatkan. Guru Ijai merupakan tokoh ulama besar yang kata-katanya, prilakunya dan teladannya sangat dipatuhi oleh masyarakat Banjar, termasuk para pejabat, tokoh masyarakat dan ulama-ulama lainnya baik yang ulama syariat maupun ulama hakikat. Seribu suara ulama masih kalah dengan satu suara Guru Ijai, yang dianggap masyarakat sebagai salah satu awliya Allah.[15]
Kedelapan, Abdullah Mukti dalam mengajar santri dan muridnya memakai kitab-kitab masyhur seperti Sabilal Muhtadin, Tuhfatur Raghibin karya Syekh Arsyad Al-Banjari dan Sirajut Thalibin karya Ihsan Jampes, sedangkan ajaran Abulung ia selipkan dengan tanpa terasa dan seolah-olah menjadi satu kesatuan dengan  kitab yang sedang dibacakan.[16]
Berbekal delapan siasat yang dijalankan Abdullah Mukti, relatif konflik terbuka dengan pihak rezim syariat bisa diredam secara baik, bahkan kejadian tidak mengenakkan yang pernah menimpa ayahnya tiada lagi terulang. Ia sekarang dengan mudah dapat terus mempertahankan bahkan mengembangkan eksistensi ajaran Abulung kepada komunitasnya tanpa ada lagi perasaan terancam dan pengawasan yang tidak nyaman.
Kesimpulan
Konflik baik antar agama maupun antar internal satu agama adalah karena perbedaan-perbedaan di kedepankan, sedangkan persamaan-persamaan diabaikan atau sengaja disingkirkan. Sebaliknya integrasi akan terjadi dalam hubungan antar agama dan antar internal satu agama, jika titik-titik temu selalu dicari dan titik-titik tengkar dihindarkan. Bisa juga salah satu pihak yang berkonflik menciptakan siasat-siasat untuk menuju upaya rekonsiliasi atau minimal konflik terbuka tidak terjadi.
Hubungan ulama syariat dan ulama hakikat atau dikenal sebagai Komunitas Abulung di Kalimantan Selatan, sepanjang sejarah hampir selalu konflik. Namun pada saat ini salah satu Komunitas Abulung yakni Komunitas Abulung Takisung telah berhasil menghindari konflik dengan rezim syariat melalui siasat-siasat yang cerdas sehingga ia dengan tenang bisa terus mempertahankan dan mengembangkan eksistensi ajarannya tanpa ada gangguan dan perasaan terancam.   
Artikel diadaptasi dari hasil penelitian Humaidy (Studi Kasus Kelompok Islam Marjinal di Takisung Kalimantan Selatan)


[1] Asywadi Syukur,”Kesultanan Banjar, Semenjak Suriansyah sampai Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari”, Banjarmasin Post, 18 Nopember 1988, h. 7.
[2] Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 95.
[3] Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Ulama Besar Juru Dakwah, (Banjarmasin: Karya, 1979), h. 13.
[4] Ibid.,
[5] Syafruddin,”Risalah Tasawuf Syekh Abdul Hamid Abulung”, Penelitian Vol. 9, No. 9 (Banjarmasin: Puslit IAIN Antasari, 2003), h. 10.
[6] Humaidy,”Tragedi Datu Abulung: Manipulasi Kuasa Atas Agama”, Kandil Edisi 2, Tahun 1, September (Banjarmasin: LK3, 2003), h. 50.
[7] Wawancara dengan Abdullah Mukti 20 Oktober 2006
[8] Wawancara dengan Abdullah Mukti 27 Oktober 2006.
[9] Tim LK3, Data Pondok Pesantren SeKalimantan Selatan, (Banjarmasin: LK3, t.th.), h. 336.
[10] Wawancara dengan Abdullah Mukti 27 Oktober 2006.
[11] Wawancara dengan Abdullah Mukti  27 Oktober 2006.
[12] Wawancara dengan Abdullah Mukti 20 Oktober 2006.
[13] Wawancara dengan Abdullah Mukti 27 Oktober 2006.
[14] Wawancara dengan Abdullah Mukti 20 Oktober 2006.
[15] Wawancara dengan Abdullah Mukti 27 Oktober 2006.
[16] Wawancara dengan Abdullah Mukti 20 Oktober 2006.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)