SEJARAH TASAWUF

Tasawuf atau Islamic esotericism baik sebagai praktik mahupun doktrin, telah melewati sejarah panjang. Praktik hidup sufi sendiri atau lebih dikenal dengan hidup zuhud (asketisme) sudah dijumpai pada zaman Nabi Saw. Bahkan Nabi Saw sendiri seperti yang dikatakan oleh para sejarawan ialah sufi. Namun, berbeza dengan kebanyakan kaum sufi, pengalaman spiritual Nabi tidak diarahkan untuk kebahagiaan sendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, sejalan dengan orientasi kesadaran kenabian di mana pengalaman spiritual tidak untuk dijadikan tujuan akhir atau dinikmati demi pengalaman itu sendiri, tetapi terutama untuk memberi arti tindakan dalam sejarah.



Pada mulanya Islam menanamkan kepada pengikut-pengikutnya yang awal, dalam tingkatan yang berbeza-beza, perasaan yang mendalam pada pertanggungjawapan di hadapan Tuhan. Oleh kerana itulah, kunci kesalehan pada abad ini--abad ke-1 H--adalah takut kepada Tuhan. Meskipun demikian, praktik hidup asketis yang dijalankan oleh Nabi tersebut pada gilirannya diikuti oleh para sahabat.
Berkembangnya kesalehan asketis di kalangan sahabat itu, sebagaimana dicatat oleh Fazlur Rahman, paling sedikit mendapat dorongan daripada dua arah: Pertama, persekitaran yang mewah dan kenikmatan duniawi yang pada umumnya merata di kalangan masyarakat Islam. Yang disebutkan terakhir merupakan akibat langsung dari kemantapan dan konsolidasi Dinasti Umawiyah yang luas. Kedua, pertentangan-pertentangan politik yang ditimbulkan, khususnya oleh paham Khawarij dan Syi’ah, sehingga muncul anjuran untuk berlepas tangan tidak hanya dari masalah politik, tetapi bahkan juga dari pentadbiran pemerintahan dan masalah-masalah umum masyarakat. Lebih jauh lagi, berupa anjuran berisi himbauan untuk berkhalwat di dalam gua dan meninggalkan masyarakat luas.
Lingkungan mewah dan kenikmatan duniawi yang melimpah itu mendapat reaksi keras daripada para sahabat yang mempraktikkan kesalehan asketis dalam hidupnya. Mereka mendesak agar penguasa menerima, mentaati, dan memberlakukan hukum keagamaan syariah dan tidak menjadikan kehendak dan rancangan mereka sendiri sebagai hukum negara. Jika ini diterima, mereka berharap ruh Islam yang asli akan hidup dengan sebenar-benarnya.
Namun, himbauan positif dan perlawanan terhadap kehidupan materialisme ini tidak mudah untuk direalisasikan, justru perlawanan ini semakin lemah setelah Ahli Bayt banyak yang mati syahid. Para ulama dihadapkan kepada pilihan yang dilematis antara sikap bersatu dan atau memutus hubungan dengan pemerintah.
Masa Umayyah adalah masa yang berdarah-darah (‘isyr iraqah al-dzima’). Pelanggaran pun dilakukan di Makkah dan Madinah, yang telah dilakukan oleh salah satu tokoh Bani Umayyah, seperti ‘Ubaydillah bin Ziyad dan Hajjaj bin al-Tsaqafi. Tidak sedikit nyawa kaum Muslim yang melayang, banyak dia antara kaum Muslim yang hidup dalam kondisi ketakutan, menganjurkan asketis dalam dunia, kerana mereka menganggap bahawa dunia tidak ada harganya.
Kehidupan sosial umat Islam pada masa Umayyah berubah drastis, tidak seperti kehidupan pada masa Nabi dan Khilafa al-Rasyidin. Di mana pada masa Umayyah, kaum Muslim telah menjelajah dan memperluas daerah kekuasaan. Semakin banyak daerah yang ditaklukkan, maka semakin banyak harta rampasan perang diraih. Para pembesar tenggelam dalam kehidupan hedonis dan gelamor.
Terhadap gejala yang sedemikian, terdapat sebahagian umat Islam yang rajin mengingatkan, dengan menganjurkan kepada kehidupan asketis, tidak hedonis, dan tidak tenggelam dalam lumpur syahwat. Antaranya adalah Sahabat Abu Dzar al-Ghifari telah mengkritik kehidupan mewah Umayyah dengan kritikan tajam. Al-Ghifari adalah salah seorang penganjur tegaknya ‘sosialisme Islam’ yang adil. Dan pada masa itu, muncul seorang asketis Islam, yang tergolong al-tabi’ien (generasi setelah sahabat), iaitu Sa’ied bin al-Musayyab, yang wafat pada tahun 90 H., yang telah memusuhi kepemerintahan Umyyah.
Dari keterangan di atas, nampak sekali pada masa ini (akhir abad ke-1 sampai abad ke-2 H.) adanya kecenderungan kehidupan tasawuf yang murni etis yang didominasi oleh interiorisasi (pembatinan) motivasi etikal. Antara wakil-wakil yang kemudian sangat terkemuka dari kesalehan etikal ini adalah Hasan al-Basri (w. 110/728) yang tidak hanya memperoleh pengakuan pada zamannya, tetapi juga memberikan salah satu pengaruh yang luar biasa besarnya di dalam seluruh sejarah spiritual Islam selama berabad-abad.
Atas dasar inilah kemudian al-Taftazani mencirikan tasawuf, tepatnya asketisme pada abad ke-1 dan ke-2 Hijriah sebagai berikut: Pertama, tasawuf pada masa ini ditandai oleh kesalehan asketis yang bertujuan menjauhi segala hal yang bersifat duniawi demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka. Kedua, tasawuf yang berkembang pada masa itu bercorak praktis. Para pendirinya belum berminat dan tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas tasawufnya itu. Oleh kerana itu, tasawufnya hanya mengarah kepada tujuan moral sahaja. Ketiga, tasawuf atau sikap asketis yang berkembang dimotivasi oleh rasa takut kepada Tuhan. Suatu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Tidak heran jika Nicholson menyebut tasawuf pada masa ini sebagai “bentuk tasawuf yang paling dini”, atau “para sufi angkatan pertama”.
Dalam bentuk tasawuf yang paling dini atau para sufi angkatan pertama itu belum ditemukan upaya untuk mengembangkan konsep-konsep dalam mendekatkan diri dengan Tuhan. Dari pada membangun konsep, tampaknya mereka lebih mengarahkan diri dalam usaha mempraktikkan jalan hidup sufi, atau tepatnya sufi sebagai way of life. Oleh kerana itu tidak salah jika dikatakan bahawa sufisme pada dua abad pertama Hijriah merupakan fenomena individual yang spontan dan belum tersusun dalam doktrin yang baku.
Sebenarnya sulit menentukan secara tepat bila peralihan waktu antara gerakan asketisme dan tasawuf. Perkembangan pemikiran sendiri jelas tidak terhad oleh masa. Meskipun demikian, kurang lebih pada permulaan abad ke-3 H. terjadi suatu peralihan yang boleh dikatakan bersifat kongkrit dari asketisme menuju tasawuf. Para asketis pada masa ini mulai mendapat julukan sufi. Mereka mulai mendiskusikan konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal, misalnya tentang moral, jiwa, dan tingkah laku; pembatasan arah yang harus ditempuh seorang penempuh jalan menuju Allah yang dikenal dengan istilah maqam ((مقامات, hal ( احوال), makrifat metode-metodenya; ittihad, fana, dan hulul. Selain itu, mereka juga menyusun prinsip teoritis dari semua konsepnya itu. Bahkan selain menyusun aturan-aturan praktis bagi tarekat, di kalangan mereka juga berkembang bahasa simbolis yang hanya dipahami oleh kalangan mereka sendiri.
Sejak itulah muncul karya-karya tentang tasawuf di dunia Islam. Para penulis pertama di bidang ini, sebagaimana dicatat oleh sejarah, adalah al-Muhasibi (w. 243 H.), al-Kharraz (w. 277 H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.). Oleh kerana itu, dapat dikatakan bahawa abad ke-3 dan ke-4 H. merupakan abad mulai tersusunnya ilmu tasawuf dalam pengertian yang selus-luasnya.
Di antara tokoh-tokoh sufi pada masa ini adalah yang bernama Zunnun al-Misri. Konon, Zunnun adalah sufi pertama yang menampilkan paham ma’rifat. Al-Ma’rifat menurut Zunnun, adalah cahaya yang dilontarkan oleh Tuhan kepada kalbu sufi. Sufi berusaha kemudian ia menunggu kasih dan rahmat Allah.
Sedangkan pada abad ke-5 Hijriah, muncul Al-Imam al-Ghazali. Ia sepenuhnya hanya mengakseptasi tasawuf yang bercorak Qurani dan Sunni serta tasawuf dalam bentuk ma’rifat, dan mahabbah dengan bertujuan hidup zuhud (sederhana), penyucian jiwa dan pembinaan moral. Pengetahuan tentang tasawuf dikaji, dibahas, dan diamalkannya sedemikian mengakar. menurut Al-Ghazali, tasawuf adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh kebenaran yang hakiki (pengetahuan yang keabsahannya benar-benar dapat diyakini). Pengetahuan (ma’rifat) seperti ini adalah pengetahuan yang diperoleh melalui kasyf (tersingkapnya tabir ketuhanan). Al-Ghazali berhasil menanamkan konsep dan prinsip tasawuf amali (akhlaki atau sunni). Tasawuf semacam ini semakin meluas dalam dunia Islam. Maka muncullah kemudian tokoh-tokoh sufi yang mengembangkan tariqat dalam rangka mendidik murid-murid mereka, seperti Sayyed Ahmad Rifa’i (w. 470 H.), yang melahirkan tarikat Rifaiyyah dan Sayyed Abdul Qadir Jaelani yang melahirkan Tarekat Qadiriyah.
Dalam perkembangan berikutnya, yakni pada abad keenam Hijriah, muncul sekelompok tokoh sufi yang mensintesakan tasawuf dengan falsafah, seperti Suhrawardi al-Maqtul (550--587 H.) yang di antaranya mengarang kitab Hikmat Isyraq (Tasawuf falsafi atau Iluminatif) dan syekh Akbar Muhyiddin Ibn Arabi (560--638 H.) yang di antaranya mengarang kitab tasawuf terkenal, Futuhat al-Makiyyah dan Fusus al-Hikam. Sufi ini memformulasikan tasawuf falsafi “wahdat al-wujud, haqiqat muhammadiyyah, dan wahdat al-adyan”. Konsep tasawuf falsafi Ibnu Arabi menjelaskan bahawa al-Khalq dan al-Haqq merupakan dua aspek dari setiap makhluk (semua benda, bukan hanya yang bernyawa saja). Aspek luar disebut al-khalq dan aspek dalam disebut al-haqq. Dengan begitu, dalam setiap makhluk ada aspek ketuhanan. Jadi bukan hanya dalam diri manusia sebagaimana yang disebut al-Hallaj dalam konsep tasawufnya hulul. Aspek batin itulah yang terpenting dan merupakan esensi dari setiap makhluk.
Tasawuf Al-Ghazali dan Ibn Arabi berkehendak untuk mewujudkan kehidupan yang islami dengan perilaku sufistik. Oleh kerana itu, Al-Ghazali mengajarkan paradigma hidup sufistik yang disebut dengan tasawuf ortodok. Sedangkan Ibn Arabi melanjutkan dengan tasawuf filosofis. Betapapun demikian, tidak sedikit daripada ulama yang meragukan keabsahan tindakan mistisisme dalam Islam.
Dengan munculnya para sufi yang bercorak falsafi, maka sufisme oleh sebahagian ahli dikategorikan menjadi sifisme sunni dan non-sunni. Sufisme non-sunni berupaya memadukan tasawuf dan falsafah. Sufisme ini ditandai dengan ungkapan mereka yang banyak mengandung isyarat dan simbol yang sukar dipahami. Para sufi yang juga filosof ini banyak mendapat kecaman, serangan, hujatan, dan debat dari para ulama (terutama kaum teolog dan fuqaha), yang justru semakin keras, kerana pernyataan mereka dalam bentuk “syathahat”. Maka tidaklah mengherankan jika kemudian muncul polemik dan kontroversi pemikiran antara teologi, fiqh, dan tasawuf.
Harun Nasution mengklasifikasikan tasawuf menjadi paham syi’i dan sunni. Tasawuf Sunni hanya sampai pada kajian ma’rifat (bercorak amali dan akhlaki), sedangkan tasawuf syi’i sampai kepada kajian ittihad (bercorak falsafi). Sementara itu, Abu al-Wafa al-Ghanimi mengemukakan bahawa klasifikasi tasawuf adalah sunni (amali, akhlaki, atau praktis), dan nazari (falsafi atau teoritis).
Di kalangan penganut tasawuf falsafi itu lahirlah teori-teori seperti fana, baqa dan ittihad (yang dipelopori oleh Abu Yazid al-Busthami, hulul (yang dipelopori oleh al-Hallaj), Wahdat al-Wujud (yang dipelopori oleh Ibn Arabi), Insan Kamil (yang dipelopori oileh al-Jilli), yang tidak diakui oleh kalangan tasawuf sunni. Kendati sufi sunni juga mengakui kedekatan manusia dengan Tuhannya, hanya saja masih dalam batas-batas syariat yang tetap membezakan manusia dengan Tuhan.
Paham "kesatuan" dalam tasawuf mengarahkan sufi melacak asal-usul dirinya dan segala wujud yang ada. Menurut mereka, manusia sebagai makhluk sempurna merupakan pancaran atau turunan dari wujud sejati yang menurunkan wujud-wujud-Nya dari alam rohani ke alam materi dalam bentuk manifestasi wujud secara berurutan (gradasi wujud, hierarki wujud). Proses penurunan wujud ini dalam perbendaharaan sufi dinamakan dengan tanazzul, yang dikenal melalui bentuk poenyingkapan diri (tajalli), baik tajalli dzati (ghaib) maupun tajalli syuhudi seperti yang dikonsepsikan oleh Ibnu Arabi. Konsep tanzil dan tajalli ini juga dapat ditemukan dalam pemikiran al-Jilli. Menurutnya proses tanazzul berupa tajalli Tuhan yang berlangsung secaraterus-menerus pada alam semseta terdiri atas lima martabat secara berturut-turum, iaitu uluhiyyah, ahadiyyah, wahidiyah, rahmaniyah, dan rububiyah. Memang, konsep ini mirip dengan teori emanasi dari al-Farabi.
Kedua-dua Konsep pemikiran tentang tanazzul, sama ada Ibn Arabi maupun al-Jilli memiliki pandangan yang sama, iaitu bahawa manusia sebagai manifestasi Tuhan merupakan akhir dari manifestasi-Nya dan sekaligus menjadi titik tolak untuk mengenal dan kembali kepadaNya. Dengan mengenali diri manusia maka Tuhan akan dikenal kerana segenap citra-Nya telah terangkum dalam diri manusia itu sendiri sebagai manusia sempurna (insan kamil). Inilah yang dimaksud dengan ungkapan, "barang siapa mengeal dirinya maka ia mengenal Tuhannya."
Selain penggambaran tanazzul yang telah disebutkan diatas, terdapat penggambaran lain yang khas yang digambarkan melalui dunia wujud. Penggambaran tersebut dilihat dari sudut pandang peringkat perwujudan dan diperolehi melalui ma'rifat, diistilahkan dengan al-hadharat (kehadiran-kehadiran), meliputi martabat asasi bagi wujud alam semesta yang tersusun dari tajalli-tajalli.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)