Gaya Bersedekah Ustadz Lihan
Saat itu Lihan (34) hendak menyelenggarakan halal bihalal dengan 1428 anak yatim dan panti asuhan di Banjarmasin. Ia akan mengundang seorang ustadz kondang dari Jakarta. Namun sampai menjelang hari H, uang belum tersedia.
Paparan di bawah ini dikutip dari tulisan Muhammad Rizqon tentang pengalaman dan pengamatannya terhadap fenomena sedekah dan motivasinya. Menarik untuk dijadikan renungan.
Dikisahkan:
Saat itu Lihan (34) hendak menyelenggarakan halal bihalal dengan 1428 anak yatim dan panti asuhan di Banjarmasin. Ia akan mengundang seorang ustadz kondang dari Jakarta. Namun sampai menjelang hari H, uang belum tersedia.
Hatinya makin galau ketika pihak event organizer meminta kepastian. Iseng-iseng, ia pergi ke bank mengecek rekening. Ajaib, ada uang Rp 1 miliar di dalamnya. Ia mengecek ke petugas bank kalau-kalau ada salah transfer, ternyata tidak. Namun nama pengirimnya “gelap”. Tak hanya sekali saja. Keesokan harinya, uangnya bertambah Rp 1 miliar lagi. “Sampai saat ini orang yang mengirim uang ke rekening saya tidak tahu, ” ujarnya. Padahal untuk membiayai acaranya, ia hanya butuh uang Rp 200 juta.
Itulah penggalan kisah keajaiban sedekah yang dimuat di koran nasional terbitan jum’at 25 April 2008 lalu.
Saat itu, kondisi keuangan kami lagi sangat menipis. Situasi ekonomi dan bisnis tengah dilanda kelesuan. Harga barang-barang menjadi meningkat sementara nilai real uang yang tersedia menjadi kecil. Pendapatan yang dulunya cukup untuk memenuhi kebutuhan, karena krisis ekonomi, menjadi tidak cukup lagi. Dalam situasi seperti itu, berhemat dan menekan nafsu terhadap kebutuhan yang kurang penting menjadi pilihan yang cukup bijaksana, selain mengupayakan sumber pendapatan lain yang bisa digali.
Di tengah keprihatian atas kondisi krisis saat itu, suatu ketika, isteri meminta tolong saya untuk mengecek saldo rekening di ATM. Seperti biasanya, saya selalu menanyakan siapa kira-kira yang akan mentranfer uang dan berapa jumlahnya. Dan biasanya pula, isteri selalu bisa menyebutkan siapa kira-kira yang akan mentransfer uang dan berapa jumlahnya. Hal tersebut dimungkinkan mengingat beberapa hari sebelumnya isteri telah memberitahukan kepada pelanggan (yang mengambil barang) kapan saat jatuh tempo pembayarannya dan berapa jumlah nominalnya. Namun kali itu, tanpa ada alasan yang rasional, isteri meminta saya mengecek saldo rekening dengan alasan “siapa tahu ada pelanggan yang transfer”, padahal tidak ada satupun yang memberitahu akan mentransfer sejumlah dana karena belum jatuh tempo pembayaran.
Saya menjadi tidak semangat memenuhi permintaannya itu. Meski demikian saya tetap melaksanakannya demi menjaga perasaan dan membahagiakan dirinya. Ketika saya mendapat giliran melakukan transaksi di mesin ATM setelah mengantri cukup lama, saya mendapati hal yang sesuai saya duga: tidak ada penambahan apapun di rekening isteri saya. Astaghfirullah al-adzim.
***
Kisah saya dan Lihan di atas adalah menampilkan fragmen kehidupan yang sama, yaitu sama-sama melakukan pengecekan atas saldo rekening ketika dihadapkan pada kesulitan keuangan. Bedanya, Lihan mendapati ada transferan dana sejumlah Rp 2 Miliar, sedangkan saya tidak mendapati transferan dana apapun, alias Rp 0 Miliar.
Kisah Lihan yang dimuat di koran nasional itu, mengisyaratkan sebuah pesan akan keajaiban sebuah sedekah. Uang sejumlah Rp 2 Miliar yang diterima Lihan dari orang yang tidak dikenal itu adalah balasan Allah Swt atas sedekah yang pernah dia lakukan sebelumnya.
Namun orang yang mengalami kisah sebaliknya —seperti saya dan isteri, tidak adanya transferan dana yang spektakuler dan tanpa terduga, tidak berarti Allah SWT tidak memenuhi janjinya dalam membalas orang-orang yang melakukan sedekah. Saya yakin banyak orang yang melakukan sedekah seperti halnya Lihan. Namun sangat sedikit orang yang mendapat kejutan seperti dirinya. Lantas apakah sedekah mereka tidak menemukan pembalasannya?
Balasan Allah Swt atas sedekah yang dilakukan orang tidak harus berupa uang tunai. Bisa jadi berupa terhindarnya seseorang yang penyakit atau mara bahaya, atau perasaan tentram di dalam jiwa, atau kehidupan yang penuh dengan keberkahan dan kemanfaatan, dan lain-lain, yang apabila dikonversi dengan uang boleh jadi akan bernilai Rp 1 Miliar atau bahkan lebih.
***
“Akh, antum mau kaya ga?” demikian seorang sahabat berujar kepada saya suatu hari. Kemudian ia melanjutkan, “Menjadi kaya itu gampang kok. Coba antum ingin uang berapa? Katakanlah Rp 1 millar. Berarti antum harus sedekah sebedar Rp 100 juta, karena pahala sedekah itu akan dilipatkan minimal sepuluh kali lipat!. Bahkan di Al-quran pahala sedekah ini akan dilipatkan menjadi minimal 700 kali lipat (QS 2:261). Ini adalah janji Allah, dan janji Allah itu pasti benar adanya.”
Saya menjadi tercenung beberapa saat. Hati saya bertanya, “apakah semudah itu?”. Saya tidak pernah menyangsikan keajaiban sedekah, tetapi saya tidak mengartikan bahwa sekedah harus berbalas dengan wujud materi. Jika memang harus demikian, tentu kita akan mendapati Rasulullah Saw yang senantiasa menyedekahkan seperlima dari harta rampasan perang, tentu akan memiliki harta yang berlipat. Demikian pula sahabat Abu Bakar Ash Shidiq yang pernah menyedekahkan seluruh hartanya, atau Usman Bin Affan yang menyedekahkan separoh hartanya, atau Umar bin Khattab yang menyedekahkan sebagian besar harta beliau, mereka tentu akan berlipat hartanya dengan sedekah yang dilakukannya. Namun kenyataannya mereka tetap hidup bersahaja. Meski demikian, kita tidak pernah menyangsikan bahwa ketaqwaan mereka sungguh teramat luar biasa. Dan mereka adalah sahabat-sahabat yang dikabarkan oleh Rasululllah Saw sebagai calon penghuni surga. Subhanallah.
Sedekah adalah pembukti iman. Manakala sedekah yang dilakukan seseorang itu ikhlas tanpa mengharap apapun selain keridhaan Allah Swt, maka sedekah yang dilakukannya menjadi saksi atas kebenaran imannya. Namun demikian, tidak sedikit kita menjumpai orang-orang yang bersedekah demi mengharap balasan dunia. Sedekah model begini bukan justru akanmenyelamatkan hidupnya, melainkanakan menjerumuskannya dalam sebuah dosa yang berakibat menghilangkan keberkahan hidup didunia dan ancaman kehidupan yang menyengsarakan di akhirat.
Atas maraknya fenomena bersedekah seperti saat ini, sebagaimana tergambar dalam sinetron-sinetron atau kisah-kisah keajaiban sedekah, saya mensyukurinya sebagai pemacu semangat bagi orang yang memiliki kelebihan harta untuk senantiasa melakukan sedekah hartanya. Namun pada sisi lain, timbul sebuah kekhawatiran, kisah-kisah itu dijadikan bukti dan legitimasi bahwa Allah SWT akan membalas sedekah secara tunai berujud kelipatan sejumlah uang yang disedekahkan. Padahal lipatan balasan itu tidak harus berujud demikian atau akan langsung diberikan di dunia ini.
Ada suatu kisah di mana orang yang melakukan kemaksiatan meyangka dirinya melakukan ketaatan kepada Allah Swt. Ada pula kisah orang yang sedang dibiarkan dalam kesesatan menyangka dirinya mendapat kemuliaan di sisi Allah Swt. Kita patut berhati-hati menyikapi hal-hal yang serupa dengan hal ini. Oleh karenanya, janganlah bersedekah dengan mengharap lipatan harta di dunia. Andaipun Allah Swt memberikan lipatan harta di dunia ini, berhatilah-hatilah untuk mengatakan bahwa itu adalah hasil dari sekedah yang kita lakukan. Siapa tahu Allah Swt sedang menguji kita.
Ada baiknya kita menyimak pendapat Prof. Dr. M. Mutawalli Asy Sya’rawi bahwa rezeki itu (apa yang diperoleh manusia)– seperti halnya semua takdir Allah yang lain- berjalan dengan hikmah kebijaksanaan yang tinggi yang tidak kita pahami.
Paparan di bawah ini dikutip dari tulisan Muhammad Rizqon tentang pengalaman dan pengamatannya terhadap fenomena sedekah dan motivasinya. Menarik untuk dijadikan renungan.
Dikisahkan:
Saat itu Lihan (34) hendak menyelenggarakan halal bihalal dengan 1428 anak yatim dan panti asuhan di Banjarmasin. Ia akan mengundang seorang ustadz kondang dari Jakarta. Namun sampai menjelang hari H, uang belum tersedia.
Hatinya makin galau ketika pihak event organizer meminta kepastian. Iseng-iseng, ia pergi ke bank mengecek rekening. Ajaib, ada uang Rp 1 miliar di dalamnya. Ia mengecek ke petugas bank kalau-kalau ada salah transfer, ternyata tidak. Namun nama pengirimnya “gelap”. Tak hanya sekali saja. Keesokan harinya, uangnya bertambah Rp 1 miliar lagi. “Sampai saat ini orang yang mengirim uang ke rekening saya tidak tahu, ” ujarnya. Padahal untuk membiayai acaranya, ia hanya butuh uang Rp 200 juta.
Itulah penggalan kisah keajaiban sedekah yang dimuat di koran nasional terbitan jum’at 25 April 2008 lalu.
Saat itu, kondisi keuangan kami lagi sangat menipis. Situasi ekonomi dan bisnis tengah dilanda kelesuan. Harga barang-barang menjadi meningkat sementara nilai real uang yang tersedia menjadi kecil. Pendapatan yang dulunya cukup untuk memenuhi kebutuhan, karena krisis ekonomi, menjadi tidak cukup lagi. Dalam situasi seperti itu, berhemat dan menekan nafsu terhadap kebutuhan yang kurang penting menjadi pilihan yang cukup bijaksana, selain mengupayakan sumber pendapatan lain yang bisa digali.
Di tengah keprihatian atas kondisi krisis saat itu, suatu ketika, isteri meminta tolong saya untuk mengecek saldo rekening di ATM. Seperti biasanya, saya selalu menanyakan siapa kira-kira yang akan mentranfer uang dan berapa jumlahnya. Dan biasanya pula, isteri selalu bisa menyebutkan siapa kira-kira yang akan mentransfer uang dan berapa jumlahnya. Hal tersebut dimungkinkan mengingat beberapa hari sebelumnya isteri telah memberitahukan kepada pelanggan (yang mengambil barang) kapan saat jatuh tempo pembayarannya dan berapa jumlah nominalnya. Namun kali itu, tanpa ada alasan yang rasional, isteri meminta saya mengecek saldo rekening dengan alasan “siapa tahu ada pelanggan yang transfer”, padahal tidak ada satupun yang memberitahu akan mentransfer sejumlah dana karena belum jatuh tempo pembayaran.
Saya menjadi tidak semangat memenuhi permintaannya itu. Meski demikian saya tetap melaksanakannya demi menjaga perasaan dan membahagiakan dirinya. Ketika saya mendapat giliran melakukan transaksi di mesin ATM setelah mengantri cukup lama, saya mendapati hal yang sesuai saya duga: tidak ada penambahan apapun di rekening isteri saya. Astaghfirullah al-adzim.
***
Kisah saya dan Lihan di atas adalah menampilkan fragmen kehidupan yang sama, yaitu sama-sama melakukan pengecekan atas saldo rekening ketika dihadapkan pada kesulitan keuangan. Bedanya, Lihan mendapati ada transferan dana sejumlah Rp 2 Miliar, sedangkan saya tidak mendapati transferan dana apapun, alias Rp 0 Miliar.
Kisah Lihan yang dimuat di koran nasional itu, mengisyaratkan sebuah pesan akan keajaiban sebuah sedekah. Uang sejumlah Rp 2 Miliar yang diterima Lihan dari orang yang tidak dikenal itu adalah balasan Allah Swt atas sedekah yang pernah dia lakukan sebelumnya.
Namun orang yang mengalami kisah sebaliknya —seperti saya dan isteri, tidak adanya transferan dana yang spektakuler dan tanpa terduga, tidak berarti Allah SWT tidak memenuhi janjinya dalam membalas orang-orang yang melakukan sedekah. Saya yakin banyak orang yang melakukan sedekah seperti halnya Lihan. Namun sangat sedikit orang yang mendapat kejutan seperti dirinya. Lantas apakah sedekah mereka tidak menemukan pembalasannya?
Balasan Allah Swt atas sedekah yang dilakukan orang tidak harus berupa uang tunai. Bisa jadi berupa terhindarnya seseorang yang penyakit atau mara bahaya, atau perasaan tentram di dalam jiwa, atau kehidupan yang penuh dengan keberkahan dan kemanfaatan, dan lain-lain, yang apabila dikonversi dengan uang boleh jadi akan bernilai Rp 1 Miliar atau bahkan lebih.
***
“Akh, antum mau kaya ga?” demikian seorang sahabat berujar kepada saya suatu hari. Kemudian ia melanjutkan, “Menjadi kaya itu gampang kok. Coba antum ingin uang berapa? Katakanlah Rp 1 millar. Berarti antum harus sedekah sebedar Rp 100 juta, karena pahala sedekah itu akan dilipatkan minimal sepuluh kali lipat!. Bahkan di Al-quran pahala sedekah ini akan dilipatkan menjadi minimal 700 kali lipat (QS 2:261). Ini adalah janji Allah, dan janji Allah itu pasti benar adanya.”
Saya menjadi tercenung beberapa saat. Hati saya bertanya, “apakah semudah itu?”. Saya tidak pernah menyangsikan keajaiban sedekah, tetapi saya tidak mengartikan bahwa sekedah harus berbalas dengan wujud materi. Jika memang harus demikian, tentu kita akan mendapati Rasulullah Saw yang senantiasa menyedekahkan seperlima dari harta rampasan perang, tentu akan memiliki harta yang berlipat. Demikian pula sahabat Abu Bakar Ash Shidiq yang pernah menyedekahkan seluruh hartanya, atau Usman Bin Affan yang menyedekahkan separoh hartanya, atau Umar bin Khattab yang menyedekahkan sebagian besar harta beliau, mereka tentu akan berlipat hartanya dengan sedekah yang dilakukannya. Namun kenyataannya mereka tetap hidup bersahaja. Meski demikian, kita tidak pernah menyangsikan bahwa ketaqwaan mereka sungguh teramat luar biasa. Dan mereka adalah sahabat-sahabat yang dikabarkan oleh Rasululllah Saw sebagai calon penghuni surga. Subhanallah.
Sedekah adalah pembukti iman. Manakala sedekah yang dilakukan seseorang itu ikhlas tanpa mengharap apapun selain keridhaan Allah Swt, maka sedekah yang dilakukannya menjadi saksi atas kebenaran imannya. Namun demikian, tidak sedikit kita menjumpai orang-orang yang bersedekah demi mengharap balasan dunia. Sedekah model begini bukan justru akanmenyelamatkan hidupnya, melainkanakan menjerumuskannya dalam sebuah dosa yang berakibat menghilangkan keberkahan hidup didunia dan ancaman kehidupan yang menyengsarakan di akhirat.
Atas maraknya fenomena bersedekah seperti saat ini, sebagaimana tergambar dalam sinetron-sinetron atau kisah-kisah keajaiban sedekah, saya mensyukurinya sebagai pemacu semangat bagi orang yang memiliki kelebihan harta untuk senantiasa melakukan sedekah hartanya. Namun pada sisi lain, timbul sebuah kekhawatiran, kisah-kisah itu dijadikan bukti dan legitimasi bahwa Allah SWT akan membalas sedekah secara tunai berujud kelipatan sejumlah uang yang disedekahkan. Padahal lipatan balasan itu tidak harus berujud demikian atau akan langsung diberikan di dunia ini.
Ada suatu kisah di mana orang yang melakukan kemaksiatan meyangka dirinya melakukan ketaatan kepada Allah Swt. Ada pula kisah orang yang sedang dibiarkan dalam kesesatan menyangka dirinya mendapat kemuliaan di sisi Allah Swt. Kita patut berhati-hati menyikapi hal-hal yang serupa dengan hal ini. Oleh karenanya, janganlah bersedekah dengan mengharap lipatan harta di dunia. Andaipun Allah Swt memberikan lipatan harta di dunia ini, berhatilah-hatilah untuk mengatakan bahwa itu adalah hasil dari sekedah yang kita lakukan. Siapa tahu Allah Swt sedang menguji kita.
Ada baiknya kita menyimak pendapat Prof. Dr. M. Mutawalli Asy Sya’rawi bahwa rezeki itu (apa yang diperoleh manusia)– seperti halnya semua takdir Allah yang lain- berjalan dengan hikmah kebijaksanaan yang tinggi yang tidak kita pahami.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI