Wajah Allah adalah aspek dzahir dari Dia



Artikel diadaptasi dari suluk.blogsome.com dari Jurnal Ruh Al-Quds; Volume 1 tahun 1; 2001: PICTS
WAJAH Allah Azza Wa Jalla adalah aspek dzahir dari Dia, yang dari sisi wajah-Nya ini memancar cahaya keindahan-Nya. Sebagaimana makna cahaya adalah sesuatu yang membuat dzahirnya segala sesuatu dengannya, maka An-Nuur secara mutlak merupakan isim (nama) dari asma-asma Allah Ta’ala yang mengibaratkan sesuatu yang sangat dzahir serta dzahir-nya segala sesuatu disebabkan keberadaannya. Wajah Allah merupakan hijab rahmat bagi semesta alam yang tanpa itu 18.000 alam akan musnah ditelan Wujud-Nya.
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dalam kegelapan, kemudian dia limpahkan atas mereka secercah cahaya-Nya.” (al-hadis au kama qala)
Semesta alam-alam yang Dia ciptakan dalam kegelapan, tanpa cahaya ar-Rahmaan tak akan mampu menyadari keberadaan penciptanya, bahkan dirinya sendiri. Tiupan rahmat dan pemeliharaan-Nya kemudian yang memekarkan setiap titik ciptaan dari status awalnya yang tanpa nama sehingga terpakaikan kepadanya pakaian wujud. Setiap wujud yang ditampakkan oleh cahaya-Nya merupakan pernyataan dari himpunan asma-asma Allah, bahkan asma-asma Allah itu sendiri yang tetap tegak oleh tajali ilahiyyah yang terus menerus.
Di antara himpunan asma-asma Nya yang tak terhitung terdapat asma teragung-Nya, Ismul A’zham, merupakan cahaya Allah paling terang di antara limpahan cahaya-cahaya yang menunjuk kepada-Nya. Cahaya Allah teragung ini merupakan cahaya sumber tempat cahaya-cahaya mengambil cahayanya.

“Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah misykat yang didalamnya terdapat pelita terang. Pelita tersebut didalam kaca, kaca itu seakan-akan kaukab yang berkilau dinyalakan (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya; pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya diatas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. An Nuur:35)
Dengan mempergunakan cahaya-Nya, Rabbul ‘Alamin mendzahirkan tujuh petala langit dan bumi. Tanpa cahaya-Nya seluruh ciptaan akan berada dalam kegelapan. Kehadiran cahaya Allah merupakan syarat utama atau sebab awal bagi tegaknya kaun (semesta) langit dan bumi.
Apa yang Allah Ta’ala ungkapkan dalam An-Nuur : 35 adalah tentang insan Ilahi, tentang manusia yang menyandang gelar cahaya Allah yang tanpa kehadiran cahaya Allah ini di alam syahadah maka seluruh jagat raya lenyap; insan cahaya ini merupakan segel yang menjaga petala langit dan bumi dari keruntuhannya, juga yang menyematkan kepada-Nya asma Al Hafidzh (Sang Penjaga).
“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki”, bagian ayat Allah ini menunjukan bahwa tidak semua manusia, bahkan sebagian besar manusia, tidak berperan sebagaimana yang semestinya, sebagai cahaya Allah.
Cahaya Allah atau insan Ilahi ini diibaratkan dengan misykat, fash, atau ceruk, lubang tak tembus yang didalamnya tedapat pelita terang. Misykat melambangkan kegelapan jasad insan, merupakan tempat bertemunya dua lautan, lautan yang mengalir dari mata air ubudiyyah hamba dan lautan yang bersumber dari ketinggian Uluhiyyah-Nya. Aspek ubudiyyah insan keluar dari sisi jasad dan jiwa insan (nafs), sedangkan apa yang datang dari aspek Uluhiyyah adalah Amr-Nya Ruh Al-Quds, yang dilambangkan dengan pelita atau api yang terang nyalanya.
Jasad insan merupakan wujud yang dibangun dari aspek al-ardh (kebumian); sedangkan nafs insan yang karena kejernihan wujudnya bagaikan kaca, dilabel oleh kata as-samaa’i (langit). Jadi as-samaa’i dun-ya dan al-ardh melambangkan pasangan jiwa dan raga insan yang pada jenjang tertentu keduanya telah berperan sebagai cahaya Allah Ta’ala, saksi Allah sejati. Dalam persoalan mengabdi kepada Al-Khaliq (sang pencipta), nafs insan merupakan imam bagi jasad dimana pasangan ini akan bertindak sebagai pelaku utama dalam persoalan pengungkapan khazanah Ilahi.
“Aku adalah harta tersembunyi (kanzun makhfiy), Aku rindu untuk dikenal, karena itu aku ciptakan makhluk agar aku diketahui.” (Hadits Qudsi)
Sedangkan tiupan atau nafas ruh (jamak: arwah) ke dalam diri insan merupakan ujung dari nafas panjang Rububiyyah, yang dilambangkan dengan cahaya jernih yang mengisi ruang-ruang petala langit, as-samawaati. Jadi nafs insan merupakan langit pertama, langit terdekat ke sisi jasad, dari tujuh langit malakut yang berlabuh didalam jasad insan.
Jasad atau jism insan merupakan rumah atau wadah bagi nafs insan, dan qalb dari nafs yang telah diterangi cahaya taqwa merupakan rumah bagi ar-Ruh yang datang dari sisi-Nya.
Kehadiran Ruh Al-Quds ke dalam nafs insan dan menetapnya ar-Ruh ini di dalam qalb merupakan satu persoalan yang mengakibatkan manusia tersebut digelari Rumah Cahaya Allah, baitullah.
“Tidak memuat-Ku bagi-Ku petala langit dan bumi-Ku, yang memuat-Ku hanyalah qalb hamba-hamba-Ku yang mu’min.” (Hadits Qudsi)
Zujajah atau bola kaca yang jernih melambangkan kejernihan qalb di dalam nafs yang kudus. Terangnya qalb merupakan syarat utama agar api Ruh menetap di qalb, merupakan cahaya yang memancar dari dalam nafs yang diberkati Allah Ta’ala; tidak ada tempat bagi cahaya kecuali cahaya. Zujajah yang terang ini bagaikan sebuah bola langit malam yang gemerlap oleh taburan benda-benda langit, bagaikan sebuah mutiara yang berkilau diterpa cahaya yang meneranginya.
Kaukab adalah benda langit yang menyala tetap dan hanya bercahaya jika ada cahaya yang menerpanya, sehingga bola langit yang dibangun oleh taburan kawaakib (jamak dari kaukab) yang bersinar cemerlang menghiasai ruang langit pertama, mengibaratkan qalb yang bersinar menerangi nafs mukmin.
Bersinarnya kaukab kalbu ini karena adanya minyak yang menyalakannya, minyak yang bercahaya walau tanpa disentuh api, minyak yang keluar dari pohon yang banyak berkahnya. Pohon yang tidak tumbuh disebelah barat, tidak pula disebelah timur; tidak tumbuh di barat, di tempat tenggelamnya matahari Al-Haqq, tidak pula di timur, di tempat terbitnya matahari Al-Haqq; di baratnya ada jasad insan dan di timurnya ada Ruh Allah . Pohon ini tumbuh tidak diufuk diri, tetapi tumbuh ditengah-tengah antara aspek jasad dan aspek ruh, yaitu di nafs insan.
Allah Ta’ala menanam benih pohon ini pada suatu lahan dipermukaan bumi diri yang telah dirahmati dengan kesucian iman dan kesuburan, pada batas persentuhan antara urusan bumi jasad dan langit jiwa. Dengan memohon taufiq dan rahmat-Nya, benih ini merupakan suatu persoalan yang harus ditumbuhkan di dalam diri setiap insan utama. Pohon ini ditumbuhkan dengan iman, amal shalih dan akhlaq mulia yang membuat ridha dan senang Sang Penanamnya, sehingga Dia memberkati pohon yang sedang tumbuh ini dengan perawatan dan perlindungan yang baik agar tumbuh kuat dan berbuah banyak.
Allah Ta’ala menamai pohon yang menjadi pemberi nyala kaukab qalb ini, yang tumbuh menjulang dari bumi diri dan cabang-cabangnya merentang dan berbuah di langit jiwa, sebagai al-kalimah, kalimah Allah, atau kalimah yang datang dari sisi-Nya.



“Tidakkah kamu melihat bagaimana Allah telah membuat perumpamaan bagi kalimah yang baik adalah bagaikan sebuah pohon yang baik, akarnya kokoh dan cabang-cabangnya (merentang) di langit. Pohon itu berbuah pada setiap musim dengan seizin Rabb-Nya. Dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia agar mereka selalu ingat.”(Q.S. Ibrahim : 24-25)
Akar pohon ini melambangkan aspek-aspek keimanan yang diteguhkan oleh Nur Iman, akarnya kokoh menghujam bumi diri dan bumi jagat secara mutasyabih. Batang pohon melambangkan ketaqwaan yang tumbuh diatas landasan akar keimanan yang kokoh; seperti yang Rasulullah SAW ungkapkan bahwa buah-buah keihsanan yang dihasilkan dari pohon taqwa ini, dari kalimah at-taqwa, adalah al-hasanah. Sari yang dihasilkan al-hasanah berupa minyak yang berkilau terang menampakkan wajah pengetahuan tersembunyi, pengetahuan tentang haqiqah kehidupan, pengetahuan tentang rahasia Al-Haqq.
“Iman itu telanjang, pakaiannya taqwa, buahnya ilmu dan hiasannya malu.” (Al-Hadits)

“Bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al-Baqarah : 282)
Tidak ada yang datang kepada cahaya kecuali cahaya, maka kaukab qalb yang ternyalakan indah oleh minyak zaitun merupakan arsy (singgasana) bagi api Al-Aziz, utusan-Nya; Arsy Allah ini berdiri diatas kursiy-Nya berupa kekuasaan atas dua kerajaan, yaitu kerajaan petala langit nafsiyyah dan bumi jism, malakut dan mulk. Ranting-ranting kaya minyak yang menghijau khidr diketinggian langit jiwa merupakan gambaran suburnya ketaqwaan, sebagai buah dari pengabdian dan penyerahan diri yang dalam kepada Al-Malikul Qudduus, akan segera terkuduskan oleh medan cahaya api suci-Nya yang penuh berkah, api Ruh Al-Quds.

“Yang menjadikan bagimu api dari pohon yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan dari pohon itu (api).” (Q.S. Yaasiin : 80)

“Bahwa ketika dia tiba di api itu, diserulah dia, ‘Diberkati orang-orang yang berada di dalam api dan orang-orang yang berada disekitarnya. Dan Subhanallah, Rabbul ‘Alamin.’”(Q.S. An-Naml : 8 )
Qalb yang suci bagaikan bola lampu kristal yang jernih dan tampak titik apinya, tempat bertemunya minyak dan api, dari luarnya diterangi oleh cahaya iman sedangkan di dalamnya diterangi cahaya ruh suci; sehingga terberkatilah dua rumah: rumah jiwa dan rumah jasad oleh cahaya-cahaya tersebut.
Lampu jiwa ini merupakan cahaya pemandu dan sumber kekuatan (sulthan) bagi nafs sebagai hakikat sejati insan, fokus utama pendidikan Ilahi tujuan alam semesta dihamparkan, agar mi’raj menembus tujuh lapis langit ruhani, untuk ma’rifatullah. Maka yang disebut insan Ilahi, cahaya Allah, adalah insan yang api jiwanya telah dinyalakan Allah Ta’ala, telah diperkuat oleh cahaya ilmu dan cahaya ma’rifat. Insan seperti ini memiliki struktur seperti yang digambarkan didalam surat An-Nuur ayat 35, cahaya diatas cahaya, nuurun alan-nuur.

Misykat, zujajah dan pohon zaitun adalah persoalan yang datang dari aspek ubudiyyah, merupakan pasangan bagi api al-misbah yaitu urusan yang datang dari aspek Uluhiyyah-Nya; persoalan yang diidentifikasi oleh hakikat pasangan perempuan dan laki-laki.
Lubang pada misykat yang mengarah kesatu arah, adalah pintu-pintu indra di jasad insan yang terbuka ke alam syahadah. Jika kaukab qalb menyala maka indera-indera jasad akan memperoleh kekuatan tambahan, kekuatan ruhaniah, sehingga cahaya yang terbit pada pintu-pintu indera tidak hanya menampakkan alam syahadah tetapi juga alam malakut yang menyertainya, yaitu hakikat kaun, hakikat ayat-ayat Allah yaitu wajah Al-Haqq.
Apa yang menyala di lubang-lubang misykat jasad adalah cahaya yang memperoleh saluran yang berbeda-beda ke alam syahadah, cahaya itu yang melihat, cahaya itu yang mendengar, cahaya itu yang merasa.

Terdapat kesimetrian persoalan pada apa-apa yang diliputi oleh misykat jasad dengan apa-apa yang diliputi oleh misykat jagat. Didalam misykat jasad insan berlabuh tujuh langit malakut sedangkan diatas jasad insan membentang tujuh langit kaun yang tegak berdiri tanpa tiang.
Batas terluar dari langit-langit jagat raya adalah misykat jagat. Setiap lapisan langit jagat tetap tegak terpelihara selama segel-segel yang bersesuaian hadir di alam semesta: seorang dengan maqam langit ke empat adalah segel bagi urusan-urusan di langit empat jagat. Sedangkan misykat jagat adalah kegelapan kaun, merupakan wadah jagat raya, batas luar dari satu urusan Rububiyyah-Nya.
Ruh yang memberi kehidupan pada jagat raya adalah cahaya yang menampakkan jagat raya, sehingga bertasbih mengikuti kehendak-Nya, adalah Nur Muhammadiyyah yang memancar dari qalb alam semesta. Jantungnya kehidupan semesta adalah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam yang tanpanya alam semesta tempat para Nabi dan Rabbani, sebagai kaukab-kaukab cahaya yang mengelilinginya, mengambil cahaya dan kekuatan ruhaninya. Maka seorang dengan maqam langit tujuh ini merupakan sebab awal sehingga tujuh petala langit jagat dipelihara oleh Rabb alam semesta.
Dibentuknya misykat jagat dan misykat diri tak lain agar dian (lentera) jagat dan dian-dian insan dinyalakan sehingga cahaya-cahaya keluar dari setiap lubang misykat menyala ke satu arah yaitu Wajah-Nya, menyala untuk kepentingan-Nya, dan kebahagiaan insan sejati terletak pada terhubungnya cahaya dengan cahaya-cahaya Kemuliaan-Nya.
Dari setiap langit kaun dikeluarkan masing-masing 1000 alam beserta urusan-urusan dan ahli-ahlinya yang ditata didalamnya; dari setiap langit jiwa keluar 1000 peringkat kejiwaan, urusan-urusan dan ahli-ahlinya, dan dari setiap unsur kebumian (tanah, air, api, udara) juga keluar 1000 alam beserta urusan-urusan dan ahli-ahlinya sehingga alam semesta dalam satu urusan Rububiyyah berjumlah 18.000 alam.

Perpaduan jasad dan nafs kudus insan ibaratnya perpaduan antara rasa dan kaca yang jernih, membentuk sebuah cermin yang sempurna, suatu kesempurnaan perwujudan insan yang tidak dimiliki baik oleh wujud hewan yang kusam maupun wujud malaikat yang jernih.
Cermin yang memantulkan wajah Al-Haqq secara sempurna adalah cermin insan kamil (manusia yang sempurna), cermin yang rasah (lapisan dasar kaca cermin yang memantulkan bayangan) jasad maupun kaca jiwanya telah digosok dan dikilapkan oleh syariat Allah, insan yang telah ditata dirinya dengan syari’at dzahir dan syari’at bathin.
Tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) membuka jalan bagi tajalli Ilahiyyah dimana Keindahan dan Kekuasaan-Nya akan membayang di cermin diri. Harta terpendam-Nya berupa pengetahuan Al-Haqq dan cahaya ma’rifah yang berlabuh di qalb jiwa yang taqwa, merembes ke jasad insan dan keluar dari lubang-lubang misykat, bagaikan curahan air yang keluar dari sejumlah mata air pengetahuan.
Kaun, alam semesta, selain sebagai cermin bagi insan kamil untuk melihat kekhususan dan keistimewaan dirinya ditengah-tengah kaun, juga sebagai buku pengetahuan yang harus diuraikan; dan Insan Kamil (manusia yang sempurna) selain berperan sebagai cermin sempurna bagi Dia untuk melihat Kesempurnaan-Nya, juga bagi-Nya sebagai hadrah (hadirat) tempat menguraikan dan mengeluarkan khazanah-khazanah terpendam-Nya agar menjadi rahmat bagi semua alam. Kaun adalah ayat-ayat yang membayang di dalamnya pengetahuan Ilahiyyah secara mutasyabihan, merupakan suatu beda potensial yang memancing air pengetahuan keluar dari sumber-sumbernya.
Manusia Ilahi dipercaya sebagai wakil Allah di alam semesta, selain sebagai segel alam semesta juga sebagai pintu bagi alam semesta untuk melihat Sang Pencipta, mengenal-Nya; kehadiran Keindahan dan Kekuasaan Ilahi yang membayang dalam diri insan Ilahi merupakan jembatan rahmat (penolong) bagi alam semesta untuk berjalan mengenal-Nya, insan Ilahi adalah tangan Kepemurahan-Nya (surratur-Rahmaan) yang membawa seluruh alam semesta menjadi peningkat derajatnya. Inilah amanah yang diembankan kepada insan Ilahi yang dipercaya sebagai ruh dan cahaya kehidupan bagi seluruh alam semesta, semuanya adalah cermin yang saling berhadap-hadapan, seimbang tanpa cacat.

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada petala langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikulnya dan mereka takut akan (amanah) ini, dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sedang keadaan manusia itu amat zalim dan amat bodoh”(Q.S. Al-Ahzab: 72)
Misykat jasad yang di dalamnya dinyalakan cahaya-cahaya qudrah-Nya adalah mereka yang telah menjadi baytullah, tempat yang terpercaya untuk dikumandangkan pengetahuan-pengetahuan tertinggi dan asma-asma -Nya.



“Di rumah-rumah yang diizinkan Allah untuk ditinggikan dan disebut didalamnya asma-Nya, bertasbih kepada-Nya didalamnya diwaktu pagi dan petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah dan mendirikan shalat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang qalb dan penglihatan mereka menjadi guncang.” (Q.S. An-Nuur : 36-37)
Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman, tidak akan bisa menyalakan zujajah kalbunya sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya, tidak akan pernah menjadi khalifah walau bagi dirinya sendiri. Maka insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita karena kusam tubuhnya dan padam lampunya, tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi, hawa nafsunya dan jejak syaithan; tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah seperti ini kecuali Allah Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam.

“Seperti gelap gulita di lautan yang dalam yang diliputi oleh ombak yang di atasnya ombak, di atasnya awan. Gelap gulita yang bertindih-tindih, apabila dia mengeluarkan tangannya hampir-hampir tidak melihatnya. Dan barangsiapa tidak diberi cahaya oleh Allah, tiadalah dia memiliki cahaya sedikitpun.”(Q.S. An-Nuur : 40)
P.S: tentang ‘Wajah-Nya’, ada baiknya anda juga membaca artikel ini (redaksi).



Comments

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)