Al-Muhasibi dan Zun Nun al-Misri dalam Sejarah Ilmu Tasawuf

Al-Muhasibi sebagai ulama yang cukup lama berkecimpung dalam ilmu hadis dan fikih maka tasawufnya yang dikembangkannya adalah tasawuf yang berlandaskan al-Qur’an dan Hadis dan tidak melanggar batas-batas syariat. Dan juga ia menaruh perhatian besar terhadap ilmu kalam, maka tasawufnya sangat menghargai akal. Ia sangat meyakini peranan hadis “Allah tidak akan menerima shalat, puasa, haji, umrah, sedekah, jihad, dan berbagai amal kebajikan yang diucapkan dari seseorang yang tidak memahaminya”.

Allah berkata kepada akal: Demi kemuaan-Ku dan keagungan-Ku, tidak ada makhluk yang Ku ciptakan yang lebih mulia dan lebih Ku-cintai darimu. Karena dengan Aku dikenal, disembah, dan dipuja, serta denganmu Aku memberi, menghukum, dan membagimu pahala”. Sejalan dengan itu ia berkata: setiap zahid, tingkat kezuhudannya bergantung pada tingkat pengetahuannya, tingkatan pengetahuannya bergantung pada kadar akalnya, dan kadar akalnya bergantung pada kadar imannya”.
Al-Muhasibi menulis karya tulis sebanyak 200 buah, yang berbentuk risalah. Dalam risalah itulah ia mengemukakan pandangannya, baik dalam bidang fikih dan ilmu kalam dan lebih banyak risalahnya yang berbicara tentang tasawuf. Namun dari sekian banyak karya tulisnya hanya sedikit yang sudah ditemukan yang di antaranya (1) Ar-Ri’ayat li Huquqillah (memelihara hak-hak Allah) (2) Al-Washiyah aw an-Nasaih (wasiat atau petunjuk) (3) Risalat al-Mustarsyidin (orang-orang yang memperoleh petunjuk) (4) Al-Masa’il fi ‘Amal al-Qulub wa al-Jawarih, wa al-Makasib wa al-Aql (tentang aktivitas hati, anggota tubuh, usaha dan akal), dan (5) Fi Fahmi al-Qur’an (memahami al-Qur’an).
Di antara sekian banyak murid al-Muhasibi di antaranya yang terkemuka Junaidi al-Bagdadi yang kemudian hari menjadi salah sesufi yang terkenal yang sangat mengagumi keagungan keperibadian al-Muhasibi, karenanya ia sangat bersedih ketika al-Muhasibi wafat.
Segabaimana diterangkan di atas, al-Muhasibi melanjutkan dan memperluas pandangan tasawuf Ma’ruf al-Karkhi. Kalau Ma’ruf al-Karkhi menyatakan bahwa puncak cinta itu apabila yang mencintai kenal (ma’rifah) kepada yang dicintai. Inilah puncak cinta yang sampai ke titik ketenangan. Al-Muhasibi menjelaskan lagi cinta seorang hamba kepada Allah adalah semata kurnia Allah, yang ditempatkan di dalam hati orang yang mencintai-Nya. Kalau cinta telah bersemayam dan tumbuh serta berkembang dalam jiwa, belum sampai kepada yang dituju sebelum ia merasakan bersatu (ittihad) dengan yang dicintainya. Inilah ajaran tasawuf al-Muhasibi yang nantinya dikembangkan lagi oleh para shufi di belakangnya.
Abu al-Faidh Zi Nun bin Iberahim al-Misri yang dilahirkan di Akhmim, daerah Naubah yang terletak antara Mesir dan Sudan yang dahulunya dikenal dengan Mesir Hulu. Ia dilahirkan pada tahun 155 H/773 M dan wafat di Mesir pada tahun 245 H/860 M.
Pada usia muda, ia hidup sebagai pedagang dan setelah ia menunaikan ibadah haji, ia mulai mempelajari ilmu agama. Di antara gurunya yang ia pernah belajar adalah Imam Malik, al-Laisi bin Saad, Sofyan bin Uyainah, Fudail bin Iyad, Muslim al-Khawas dan Ibnu Lahiyah dengan mereka itu ia mempelajari ilmu hadis. Dan ia juga pernah bertemu dengan tokoh-tokoh shufi seperti Ma’ruf al-Karkhi, Sirri al-Saqati, Bisyar al-Khafi, dan guru-gurunya dalam bdiang tasawuf Syagran al-Abid al-Magribi. Di samping ilmu hadis dan tasawuf ia juga ahli dalam bidang sastra Arab, kimia dan filsafat. Di samping ketekunannya mempelajari ilmu-ilmu lahir ia lebih cenderung mempelajari ilmu batin, sehingga menjadi seorang ulama yang terkemuka di zamannya, baik keluasan wawasannya maupun sebagai sesufi yang menjadi panutan shufi pada zamannya.
Dalam ajaran tasawufnya, ia sangat memperhatikan ketaatan kepada syariat agama bahkan ketekunannya dalam beribadah melebihi apa yang dilakukan oleh ulama syariat. Ia pernah berkata: Di antara tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya Rasulullah, baik kahlak, perbuatan, perintah maupun sunnahnya. Hendaklah kau mencintai apa yang dicintai Allah dan membenci apa yang dimurkai-Nya. Hendaklah kau mengerjakan setiap kebaikan dan menolak apa saja yang melupakan Allah. Demi Allah janganlah kau takut pada celaan pencela, bersikaplah lembut kepada kaum beriman dan tegaslah kepada kaum kafir, serta ikuti Rasulullah dalam urusan agama. Dalam kesempatan lain ia berkata: Ciri seorang yang arif (yang memperoleh ma’rifat hakiki ada tiga: (1) cahaya ma’rifahnya tidaklah memadamkan cahaya kewaraannya (2) tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin menghancurkan hukumphukum yang lahir dan banyak nikmat Allah mendorongnya kepada perbuatan merobek tirai-tirai larangan Allah”.
Ia juga mengecam sebagian ulama yang telah menyimpang dari jalan yang benar, katanya: “Dewasa ini sikap menganggap enteng dosa telah melanda ulama ahli ibadat (ubbad dan nussak) dan para qura’ (ulama) sehingga mereka tenggelam dalam syahwat perut dan seks, mereka tidak melihat cacat pada diri mereka, maka hancurlah mereka tanpa mereka sadari, mereka cenderung memakan yang haram dan tidak mencari yang halal, mereka menyenangi ilmu kebanding berbuat amal, mereka malu mengatakan aku tidak tahu kendatipun sedang membicarakan sesuatu yang mereka tidak ketahui. Mereka adalah budak dunia, bukan ulama syariat (agama), sekiranya mereka mengetahui syariat tentu mereka tertegah dari perbuatan buruk”.
Zi Nun dianggap sebagai orang yang penting dalam dunia tasawuf, karena ia banyak berbicara tentang ma’rifat dan memberikan batasan tentang ma’rifat. Ma’rifat menurut Zi Nun dibagi menjadi tiga tingkatan: (1) Ma’rifat Mu’minin biasanya mengenal Tuhan karena demikian ajaran yang diterimanya (2) Ma’rifat Ahlu Mutakalimin dan Hukama mencari Allah dengan akalnya maka dengan akallah mereka dapat menyatakan adanya Allah tetapi belum tentu dapat dirasainya akan kelezatannya dan (3) Ma’rifat Muqarabin mencari Tuhan dengan berpedoman kepada cinta yang dikurniakan Tuhan kepadanya. Zi Nun berkata: Ma’rifat yang hakiki adalah ma’rifat yang ketiga yakni ma’rifat muqarrabin, bukanlah pengetahuan tentang Tuhan berdasarkan syahadat tauhid seperti yang dimiliki oleh setiap orang mu’min, bukan pula yang berdasarkan argumentasi dan penjelasan, seperti yang dimiliki oleh para filousuf (hukama) dan teolog (mutakallimin), tetapi adalah pengetahuan tentang ke-Esaan Allah, yang dimiliki oleh para shufi dan para wali yang menyaksikan Allah dengan mata hati. Tasawuf Zi Nun bukan sekedar tasawuf ibadah atau zuhud, baik dengan emosi takut kepada Allah atau cinta yang membara kepada-Nya, tetapi meningkat menjadi tasawuf ma’rifat yakni tasawuf yang bertujuan tercapainya ma’rifatullah (pengenalan tentang Allah) melalui penyaksian mata batin (hati) secara langsung. Cinta timbal balik antara makhluk dan khalik, antara yang mencintai dan yang dicintai dengan demikian makhluk tertarik lebih dari tarikan besi berani terhadap besi biasa. Kian lama kian mendekat kepada yang dicintainya sehingga akhirnya bersatu (ittihad), tenggelam zatnya ke dalam zat Tuhan (ma’rifat hakiki). Ini hanya didapat dan dirasai setelah menempuh maqam-maqam tertentu. Ma’rifat hakiki itulah yang melahirkan cinta kepada-Nya dan rasa bahagia pada diri shufi yang memperolehnya ke puncak yang tertinggi.
Zi Nun al-Misri yang memiliki ilmu dan amal yang mendalam juga dikenal dalam kalangan shufi memiliki keramat. Gelar yang disandangnya “Zi Nun” yang artinya pemilik ikan diberikan orang setelah mereka menyaksikan terjadinya keajaiban pada dirinya ketika ia sedang berada di atas kapal, ia dituduh oleh para penumpang sebagai pencuri permata yang hilang. Setelah ia berseru: Ya Allah Engkau Yang Maha Tahu tiba-tiba bermunculan ikan-ikan dengan sebuah permata di mulutnya masing-masing. Zi Nun mengambil satu dan menyerahkannya kepada pemiliknya. Semua mereka yang menuduh bertaubat dan meminta maaf kepadanya dan sejak itulah ia digelar Zi Nun.
Zi Nun dikenal sebagai seorang yang berbudi pekerti yang baik, tetapi ia tak luput dari fitnah dan tuduhan bahwa ia zindik dan kafir. Ia dibawa ke Bagdad untuk dihadapkan kepada khalifah al-Mutawakkil. Ketika ditanya oleh al-Mutawakkil ia diam, tentang tuduhan yang dihadapkan kepadanya, apakah tuduhan benar atau bohong. Tetapi setelah ditanya mengapa ia diam baru ia menyawab: “Jika kujawab bohong berarti aku menyatakan bahwa kaum muslimin yang menuduhku bohong dan jika kukatakan benar berarti aku berbohong untuk menyalahkan diriku”. Setelah mendengar jawaban itu akhirnya al-Mutawakkil menangis serta memuliakan shufi yang tertuduh, ia diizinkan pulang ke Mesir dengan segala keagungan peribadinya bahkan al-Mutawakkil selalu ingat kepadanya.
Panadangan tasawuf Zi Nun tentang cinta (mahabbah) dan pengenalan kepada Allah (ma’rifah) yang mempengaruhi pemikiran para shufi di belakangnya. Dan ia juga merupakan puncak ajaran tasawuf pada tingkat tabi’in ini yang merentangkan jalan untuk menuju Allah.




Comments

  1. salam kenal dan mhn ijin nyantri kepada ustaz

    ReplyDelete
  2. salam kenal juga sdr quantum illahi
    Senang berkenalan dengan anda
    Kang Kolis juga masih lagi nyantri
    Jadi sesama santri, kita sharing dan semoga mendapat guru yang betul

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)