Aliran Isyraqi dalam Tasawuf Falsafi
Pendiri aliran ini adalah Abul Futuh Suhrawardi yang lahir pada tahun 549 H/1154 M dan wafat di Aleppo (Syria) pada tahun 587 H/1191 M. Suhrawardi pada usia remajanya selalu berpindah-pindah untuk menuntut ilmu pengetahuan. Ia pergi ke Maraga belajar ilmu fikih dan ilmu kalam dengan Majduddin al-Jili. Dari Maraga ke Ispahan ia belajar ilmu logika dengan Sahlamas Sawi, kemudian ke pelbagai daerah di Iran dan Irak dan Asia Tengah dan perjalanannya berakhir di Alepo ia dijatuhi hukuman mati.
Suhrawardi banyak menulis buku yang menggembarkan mode tasawufnya, sehingga karya tulisnya berjumlah 50 judul dalam bahawa Arab dan Persi (Pahlevi), sebegian mengenai filsafat dan sebagian lein mengenai tasawuf. Di antara karya tulisnya yang terpenting “I’tikad al-Hukama” (Keyakinan para Filusuf), “Hayakilu al-Nur” (Bentuk Cahaya), “Bustanu al-Qulub” (Taman Hati), “Risalah al-Mi’raj” (Risalah Mi’raj), “Al-Waridat” (Temuan Hati), “Al-Taqdisaat” (Yang Dimuliakan). Suhrawardi menamakan ajaran tasawufnya dengan “Hikmat al-Isyraq” (Filsafat Pancaran) atau “illuminationisme” Aliran isyraqi merupakan aliran filsafat yang bercorak khas bangsa Iran yang menggabungkan antara tasawuf dengan filsafat dan ajaran agama Zoroaster dan aliran ini berpengaruh besar di Iran sampai dengan abad kedelapan belas.
Menurutnya Allah adalah Nur al-Anwar (Cahaya dari Segala Cahaya) yang memancarkan cahayanya kepada yang lain. Ia adalah cahaya dari segala cahaya. Wujud lainnya adalah pancaran langsung atau tidak langsung dari dirinya. Allah sebagai cahaya dari segala cahaya memandang dirinya, maka aktivitas itu menyebabkan terpancar cahaya pertama. Cahaya pertama memandang keagungan Tuhan dan memandang kekurangan dirinya sendiri, maka dari aktivitas kedua memancar langit pertama. Cahaya kadua melakukan dua aktivitas seperti yang dilakukan cahaya pertama, dari aktivitas pertama memancar cahaya ketiga dan dari aktivitas kedua memancar lapisan langit berikutnya. Begitulah seterusnya sampai cahaya sepuluh.
Pokok segala ma’rifat ialah ilham dan untuk mencapai ilham hendaknya memperkuat kebatinan dengan cara sedikit makan, memperbanyak bangun malam, mempererat hubungan dengan jiwa falak yaitu alam malaikat dan dari sana terus membuat hubungan dengan Maha Pencipta (Nurul Anwar).
Dalam bukunya “Hayakil al-Nur”, ia menerangkan tentang adanya pertarungan antara roh (rohani) dengan kegelapan (benda). Berbagai kekuatan yang mengatur perjalanan falak dinamainya “Anwarul Qahirah” (Cahaya yang Mengendalikan). Jiwa manusia dinamainya “Al-Anwaru al-Mujarradah” (Semata Cahaya), Allah dinamainya Nur al-Anwar (Cahaya dari Segala Cahaya), tubuh (jisim) dinamainya “Jauharu al-Muzlim” (Benda Gelap) dan alam ajsam dinamainya “Barzah”.
Jadi dasar tasawufnya bahwa Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari Nur Allah itulah keluar Nur yang lain, baik alam rohani maupun alam materi. Dan segala kekuatan yang belakangnya tidak lain hanya kesatuan dari cahaya-cahaya yang menggerakkan seluruh falak dan mengaturnya.
Ia membagi penuntut hikmah itu kepada tiga macam: peneliti yang menggunakan akal semata ialah filusuf, peneliti yang ingin mencari Tuhan itulah kaum shufi dan peneliti yang menggunakan akal dan mementingkan rasa untuk mencapai tujuan yaitu Allah itulah filusuf ketuhanan dan inilah yang paling tinngi nilainya.
Suhrawardi membagi segala yang ada yaitu cahaya (Nur) dan kegelapan (zalam). Cahaya adalah semua imateri seperti Tuhan, alam malaikat. Cahaya itu juga disebut timur atau tempat terbit matahari (syarq). Kegelapan tidak lain dari dua materi yang juga disebutnya barat atau tempat terbenam matahari (garb), Timur adalah wujud-wujud cahaya yang tinggi atau mulia adalah cahaya segala cahaya yakni Tuhan. Sedang barat (materi) rendah status keberadaannya.
Menurut Syuhrawardi jiwa manusia yang jahat setelah kematian tersiksa dan sengsara oleh kejahilan dan oleh kerinduannya untuk kembali ke alam materi, tetapi tidak akan pernah terpenuhi lagi. Daya-daya jiwa telah dicabut tidak bermata untuk melihat, tidak mendengar terputus dari cahaya alam materi dan jiwa setelah kematian. Adapun jiwa manusia yang saleh berada dalam lingkungan Allah, memperoleh apa yang tidak pernah dilihat oleh mata kepala atau didengar oleh telinga biasa dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan yang diperoleh itu adalah menyaksikan cahaya kebenaran dan menyelam dalam laut cahaya. Cahaya-cahaya yang tinggi menyaksikan kenikmatan dan kebahagiaan yang tak pernah putus.
Suhrawardi telah meneliti dan mempelajari sedalam-dalamnya filsafat kuno seperti filsafat India, Persia, dan Yunani sehingga setelah menempuh studi yang panjang dan mendalam akhirnya berkesimpulan bahwa para petapa di India, filusuf Yunani, dan ahli hikmah di Persia, semua berjalan menuju satu tujuan dan berlindung ke bawah satu bendera yaitu filsafat isyraqi ialah menuntut cahaya kebenaran dan cahaya segala cahaya yaitu Allah. Suhrawardi mencoba hendak memilih jalan gabungan antara filsafat mendalam dengan tasawuf mendalam sehingga lahir filsafat isyraqi yang bukan tasawuf murni dan bukan filsafat murni. Karena itu tidak heran kalau pikiran-pikirannya menuai pertentangan dengan para ulama. Setelah Suhrawardi bergaul dengan para ulama dan bertukar pikiran dengan para ulama di Aleppo ia menyatakan pendiriannya, sehingga ia diserang oleh para ulama fikih dan dituduh sebagai seorang yang zindik (ahlul bid’ah) dan mulhid (tidak bertuhan). Atas desakan para ulama fikih kepada Sultan Salahuddin al-Ayubi untuk mengadilinya, Sultan Salahuddin memerintahkan anaknya al-Maliku al-Zair menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara di Aleppo dan selama dalam penjara ia mogok makan sampai meninggal pada tahun 587 H/1191 M.
Suhrawardi banyak menulis buku yang menggembarkan mode tasawufnya, sehingga karya tulisnya berjumlah 50 judul dalam bahawa Arab dan Persi (Pahlevi), sebegian mengenai filsafat dan sebagian lein mengenai tasawuf. Di antara karya tulisnya yang terpenting “I’tikad al-Hukama” (Keyakinan para Filusuf), “Hayakilu al-Nur” (Bentuk Cahaya), “Bustanu al-Qulub” (Taman Hati), “Risalah al-Mi’raj” (Risalah Mi’raj), “Al-Waridat” (Temuan Hati), “Al-Taqdisaat” (Yang Dimuliakan). Suhrawardi menamakan ajaran tasawufnya dengan “Hikmat al-Isyraq” (Filsafat Pancaran) atau “illuminationisme” Aliran isyraqi merupakan aliran filsafat yang bercorak khas bangsa Iran yang menggabungkan antara tasawuf dengan filsafat dan ajaran agama Zoroaster dan aliran ini berpengaruh besar di Iran sampai dengan abad kedelapan belas.
Menurutnya Allah adalah Nur al-Anwar (Cahaya dari Segala Cahaya) yang memancarkan cahayanya kepada yang lain. Ia adalah cahaya dari segala cahaya. Wujud lainnya adalah pancaran langsung atau tidak langsung dari dirinya. Allah sebagai cahaya dari segala cahaya memandang dirinya, maka aktivitas itu menyebabkan terpancar cahaya pertama. Cahaya pertama memandang keagungan Tuhan dan memandang kekurangan dirinya sendiri, maka dari aktivitas kedua memancar langit pertama. Cahaya kadua melakukan dua aktivitas seperti yang dilakukan cahaya pertama, dari aktivitas pertama memancar cahaya ketiga dan dari aktivitas kedua memancar lapisan langit berikutnya. Begitulah seterusnya sampai cahaya sepuluh.
Pokok segala ma’rifat ialah ilham dan untuk mencapai ilham hendaknya memperkuat kebatinan dengan cara sedikit makan, memperbanyak bangun malam, mempererat hubungan dengan jiwa falak yaitu alam malaikat dan dari sana terus membuat hubungan dengan Maha Pencipta (Nurul Anwar).
Dalam bukunya “Hayakil al-Nur”, ia menerangkan tentang adanya pertarungan antara roh (rohani) dengan kegelapan (benda). Berbagai kekuatan yang mengatur perjalanan falak dinamainya “Anwarul Qahirah” (Cahaya yang Mengendalikan). Jiwa manusia dinamainya “Al-Anwaru al-Mujarradah” (Semata Cahaya), Allah dinamainya Nur al-Anwar (Cahaya dari Segala Cahaya), tubuh (jisim) dinamainya “Jauharu al-Muzlim” (Benda Gelap) dan alam ajsam dinamainya “Barzah”.
Jadi dasar tasawufnya bahwa Allah adalah cahaya dari segala cahaya dan sumber dari segala yang ada. Dari Nur Allah itulah keluar Nur yang lain, baik alam rohani maupun alam materi. Dan segala kekuatan yang belakangnya tidak lain hanya kesatuan dari cahaya-cahaya yang menggerakkan seluruh falak dan mengaturnya.
Ia membagi penuntut hikmah itu kepada tiga macam: peneliti yang menggunakan akal semata ialah filusuf, peneliti yang ingin mencari Tuhan itulah kaum shufi dan peneliti yang menggunakan akal dan mementingkan rasa untuk mencapai tujuan yaitu Allah itulah filusuf ketuhanan dan inilah yang paling tinngi nilainya.
Suhrawardi membagi segala yang ada yaitu cahaya (Nur) dan kegelapan (zalam). Cahaya adalah semua imateri seperti Tuhan, alam malaikat. Cahaya itu juga disebut timur atau tempat terbit matahari (syarq). Kegelapan tidak lain dari dua materi yang juga disebutnya barat atau tempat terbenam matahari (garb), Timur adalah wujud-wujud cahaya yang tinggi atau mulia adalah cahaya segala cahaya yakni Tuhan. Sedang barat (materi) rendah status keberadaannya.
Menurut Syuhrawardi jiwa manusia yang jahat setelah kematian tersiksa dan sengsara oleh kejahilan dan oleh kerinduannya untuk kembali ke alam materi, tetapi tidak akan pernah terpenuhi lagi. Daya-daya jiwa telah dicabut tidak bermata untuk melihat, tidak mendengar terputus dari cahaya alam materi dan jiwa setelah kematian. Adapun jiwa manusia yang saleh berada dalam lingkungan Allah, memperoleh apa yang tidak pernah dilihat oleh mata kepala atau didengar oleh telinga biasa dan tidak pernah terbayang dalam angan-angan yang diperoleh itu adalah menyaksikan cahaya kebenaran dan menyelam dalam laut cahaya. Cahaya-cahaya yang tinggi menyaksikan kenikmatan dan kebahagiaan yang tak pernah putus.
Suhrawardi telah meneliti dan mempelajari sedalam-dalamnya filsafat kuno seperti filsafat India, Persia, dan Yunani sehingga setelah menempuh studi yang panjang dan mendalam akhirnya berkesimpulan bahwa para petapa di India, filusuf Yunani, dan ahli hikmah di Persia, semua berjalan menuju satu tujuan dan berlindung ke bawah satu bendera yaitu filsafat isyraqi ialah menuntut cahaya kebenaran dan cahaya segala cahaya yaitu Allah. Suhrawardi mencoba hendak memilih jalan gabungan antara filsafat mendalam dengan tasawuf mendalam sehingga lahir filsafat isyraqi yang bukan tasawuf murni dan bukan filsafat murni. Karena itu tidak heran kalau pikiran-pikirannya menuai pertentangan dengan para ulama. Setelah Suhrawardi bergaul dengan para ulama dan bertukar pikiran dengan para ulama di Aleppo ia menyatakan pendiriannya, sehingga ia diserang oleh para ulama fikih dan dituduh sebagai seorang yang zindik (ahlul bid’ah) dan mulhid (tidak bertuhan). Atas desakan para ulama fikih kepada Sultan Salahuddin al-Ayubi untuk mengadilinya, Sultan Salahuddin memerintahkan anaknya al-Maliku al-Zair menangkapnya dan memasukkannya ke dalam penjara di Aleppo dan selama dalam penjara ia mogok makan sampai meninggal pada tahun 587 H/1191 M.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI