Alquran, Sufisme, dan Ide Spiritual Pihak Lain (1)

Al-Qur’ân menamakan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” (hudan li an-nâs). Oleh karena itu, al-Qur’ân tentu saja memuat segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah bagaimana al-Qur’ân menyikapi adanya sebagian umat manusia yang tidak beriman kepada Alqur’an itu sendiri. Hal ini terkait dengan turunnya al-Qur’ân sebagai sumber pertama dan utama agama Islam di tengah-tengah masyarakat yang telah memiliki berbagai agama dan/atau kepercayaan lain. Lebih penting lagi, tentu saja, merupakan petunjuk dan pedoman bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan pemeluk agama dan/atau kepercayaan lain; kapan harus bersikap toleran dan kapan harus bersikap tegas.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan sikap al-Qur’ân terhadap agama dan/atau kepercayaan lain, yang selanjutnya diistilahkan dengan pihak lain, dengan pendekatan tekstual dan kontekstual.


Al-Qur’ân menamakan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” (hudan li an-nâs). Oleh karena itu, al-Qur’ân tentu saja memuat segala aspek kehidupan. Salah satunya adalah bagaimana al-Qur’ân menyikapi adanya sebagian umat manusia yang tidak beriman kepada Alqur’an itu sendiri. Hal ini terkait dengan turunnya al-Qur’ân sebagai sumber pertama dan utama agama Islam di tengah-tengah masyarakat yang telah memiliki berbagai agama dan/atau kepercayaan lain. Lebih penting lagi, tentu saja, merupakan petunjuk dan pedoman bagi umat Islam dalam berinteraksi dengan pemeluk agama dan/atau kepercayaan lain; kapan harus bersikap toleran dan kapan harus bersikap tegas.

Tulisan ini mencoba mengungkapkan sikap al-Qur’ân terhadap agama dan/atau kepercayaan lain, yang selanjutnya diistilahkan dengan pihak lain, dengan pendekatan tekstual dan kontekstual.

Ada di antara para peneliti Barat yang berkesimpulan bahwa tasawuf Islam bersumber dari ajaran Islam sendiri atau dengan kata lain dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi, karena bayak ayat dan hadis yang berbicara tentang ketuhanan hubungan manusia dengan Tuhan dan kebersihan rohani. Dan di antara yang berpendapat demikian seorang orientalis Barat yang bernama Nicholsn. Nicholson sangat menentang pendapat yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf Islam terambil dari ajaran lain, yang dimasukkan ke dalam Islam.

Namun banyak pula orientalis Barat yang berpendapat bahwa pokok pengambilan tasawuf Islam ialah dari pihak lain yaitu ajaran Persia atau Hindu atau Yahudi atau Nasrani atau Filsafat Yunani Khususnya filsafat Neo-Platonisme atau dari semua sumber itu. Para orientalis yang berpendapat demikian di antaranya; Masignon, Marx, Jones, Harten, Blocet, Goldziher, dan Brown. Mereka beralasan bahwa kata tasawuf itu sendiri terambil dari kata “theasophy” yang artinya ‘hikmah ketuhanan”. Dan dalam ajaran tasawuf itu sendiri ada dua ajaran; (1) mencari ma’rifah (pengenalan) atau genostic yang menurut mereka ajaran ini berasal dari ajaran filsafat Yunani dan 92) semacam lagi yang berusaha untuk membersihkan rohani dengan memisah diri (uzlah) dari masyarakat dan kehidupan dunia (infirad), fana (passing-away) dan baqa’ (subsistence) dalam Tuhan. Ajaran ini menurut mereka berasal dari ajaran Hindu dan Budha yang mempercayai Nirwana atau Nibbana, dan dianggap itulah tujuan yang tertinggi dalam hubungan manusia dengan Tuhan.

MENDEFINISIKAN PIHAK LAIN
Istilah pihak lain atau orang lain atau yang lain atau dalam bahasa Inggris diungkapkan dengan other, bukanlah sesuatu hal yang baru. Dalam sebuah keluarga saja, misalnya, sering terungkap istilah orang lain, yaitu orang yang bukan bagian dari suatu keluarga tersebut. Bahkan dalam hubungan suami-istri juga dikenal istilah WIL (Wanita Idaman Lain) atau PIL (Pria Idaman Lain) yang pengertiannya mengacu pada adanya affair suami dengan wanita yang bukan isterinya (WIL) atau affair isteri dengan pria yang bukan suaminya (PIL).

Begitu pula halnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dikenal istilah negara lain atau bangsa lain. Artinya bahwa suatu negara memandang negara selain negaranya sebagai pihak lain. Negara Indonesia, misalnya, memandang negara Malaysia, Singapura, Amerika, Australia, Inggris, dan lain-lain sebagai pihak lain. Selain itu istilah pihak lain juga bisa dikaitkan dengan masalah peradaban, sebagaimana tulisan Ibrahim M. Abu-Rabi' mengenai pemikiran modern Arab sejak Muhammad Abduh hingga Abdallah Laroui prihal peradaban Barat (western civilization) yang dianggap sebagai pihak lain bagi peradaban Arab.

Dalam hal keagamaan juga dikenal istilah pihak lain, yaitu suatu agama memandang agama lainnya dengan istilah pihak lain. Sebagai contoh, agama Islam memandang agama lain dengan sebutan pihak lain, sebagaimana buku karya Ismail Raji al-Faruqi yang berjudul Islam and Other Faiths (=Islam dan Agama Lain). Atau buku karya Hans Kung dan kawan-kawan yang berjudul Christianity and the World Religions, dimana dalam salah satu sub bahasannya berisi tentang Islam and Other Religions (=Islam dan Agama Lain).

Contoh lain, umat Kristen memandang umat di luar agama mereka juga sebagai pihak lain, sebagaimana istilah yang digunakan Paul F. Knitter dalam pembahasannya tentang pandangan umat Kristen terhadap agama di luar agama mereka dengan istilah other (pihak lain). Tentunya tidak akan berbeda dengan agama Hindu, Budha, Yahudi, atau agama lainnya dalam memandang agama lain, juga diistilahkan dengan pihak lain.

Dalam al-Qur’ân, istilah pihak lain atau orang lain atau yang lain diungkapkan dengan kata akhar atau akharun/akharin atau ukhra atau ukhar. Kata akhar dan bentuk-bentuknya yang lain ini digunakan al-Qur’ân sebanyak 70 kali. Adapun penggunaannya antara lain berkisar untuk mengungkapkan tentang tuhan selain Allah, tentang suatu kelompok atau golongan atau bangsa selain kelompok atau golongan atau bangsa tertentu, tentang agama/pemeluk agama selain Islam, dan lain-lain.

Dari penjelasan dan beberapa contoh di atas, dapat didefinisikan bahwa yang dimaksud dengan istilah pihak lain atau orang lain atau yang lain atau other (b. Inggris) atau akhar dan bentuk-bentuknya yang lain (b. Arab) adalah sesuatu yang bukan (di luar) diri atau kelompok atau golongan tertentu, baik posisinya sebagai orang kedua (kamu/kalian), atau sebagai orang ketiga (dia/mereka), dimana antara diri atau kelompok atau golongan tertentu itu dengan yang bukan (di luar) diri atau kelompok atau golongan tertentu tersebut, terjadi suatu hubungan atau interaksi untuk saling mengenal satu dengan yang lainnya karena adanya perasaan berbeda.

Definisi pihak lain di atas tentunya sesuai pula dengan realitas akan adanya tuntutan setiap orang untuk mengetahui keberadaan atau keadaan orang lain terhadap diri sendiri karena adanya perbedaan.

Persoalan pihak lain ini muncul sebagai suatu wacana didasarkan atas dua tesis yang dipegang oleh para filosuf besar sejak Descartes, yaitu; pertama, paham Dualisme Cartesian yang mengatakan bahwa manusia tersusun dari dua bagian yang independen, yaitu jiwa dan raga (mind and body), dan bahwa kedua bagian ini secara logis berbeda (distinct). Yang dimaksud dengan berbeda (distinct) di sini adalah bahwa seseorang tidak bisa secara valid menarik kesimpulan mengenai jiwa atas dasar pengetahuan tentang raga. Kedua, menyangkut sifat ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan pernyataan dasar empirisme, dimana pengetahuan barasal dari rasa. Namun dengan rasa seseorang hanya bisa mengetahui usulan-usulan yang dideskripsikan oleh data sensori dan yang dapat disimpulkan dari data sensori itu.

Dari dua tesis inilah muncul pembahasan mengenai pihak lain, dimana seseorang tidak memiliki hubungan sensori langsung dengan orang lain. Sebagai contoh, saat seseorang mengalami kemarahan orang lain, dia tidak bisa merasakan secara tepat apa yang dirasakan seseorang yang sedang marah. Di sini dia akan merasakan adanya pihak lain. Oleh karena itulah, seseorang pasti mengakui adanya orang lain dan ingin menjelaskannya. Sartre mereferensikan pengalaman tentang orang lain sebagai cogito kedua. Walau bagaimana pun seseorang lebih tidak bisa meragukan eksistensi orang lain ketimbang meragukan eksistensi dirinya sendiri.

Oleh karena itu, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Edward Said bahwa setiap masa dan kelompok selalu berhadapan dengan pihak lainnya masing-masing. Permasalahannya sekarang adalah, apa atau siapa yang disebut sebagai pihak lain dalam al-Qur’ân ?

Jawaban pertanyaan ini tentu saja terkait erat dengan status Alquran sebagai kitab suci bagi agama Islam. Jadi yang dimaksudkan dengan pihak lain dalam al-Qur’ân dalam konteks ini tentunya mengacu kepada agama dan/atau kepercayaan selain Islam atau orang-orang non-Muslim. Adapun agama dan/atau kepercayaan selain Islam atau orang-orang non-Muslim dalam al-Qur’ân yang diistilahkan sebagai pihak lain adalah Kafir, Musyrik dan para pemeluk agama selain Islam, seperti, Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi`ûn/Shabi`în dan Ahli Kitâb.


TASAWUF DAN IDE SPIRITUAL PIHAK LAIN

Dalam tradisi tasawuf, perjumpaan ide dengan pemikiran spiritual lain, budaya dan agama lokal telah berlaku secara arif dalam wujud dialog produktif, khasnya mengikut konsep tasawuf wahdat al-wujud Ibnu Arabi dan atau model wahdat al-adyan al-Hallaj. Hal ini sekaligus membezakannya daripada ilmu kalam dan fiqah yang tidak empati dan cenderung menonjolkan dialog radikal ketika berhadapan dengan ide dan keyakinan di luar Islam.

Para teosuf dalam menghayati dan memikirkan ajaran yang dianut, tidak serta-merta menentang habis-habisan ide spiritual lain, justru mereka mengadopsinya dalam upaya mensistematiskan dan mengisi nilai-nilai spiritual yang ada pada lokus Islam. Barangkali telah merupakan rahsia umum bahawa referensi yang dipakai kaum teosuf bukan hanya berasal daripada tradisi Islam (al-Qur`an dan hadith) an sich.

Tidak syak lagi boleh dikatakan bahawa para teosuf, dalam menghadapi ide spiritualiti lain sentiasa mengutamakan sikap adaptif, dialogis, apresiatif dan bahkan boleh mengadopsi kebenaran wisdom (hikmah/kebijaksanaan) di luar Islam untuk dikombinasikan dengan perenungan dirinya serta tetap dengan pijakan tradisi Islam. Tentunya tetap dengan berprinsip pada sebuah kaidah: “khudzil al-hikmah walau min wi’âin ukhrijat, walau min fasiqîen aw min kafirîen” (ambillah wisdom dari bejana manapun ia keluar, meski dari orang fasik atau bahkan kafir). Ujaran Sayidina Ali ini menggambarkan adanya sebuah toleransi radikal, bahawa semua ilmu dan kebijaksanaan yang ditemukan manusia adalah berasal daripada sumber (masydar) yang sama, iaitu daripada zat yang Maha Tahu dan Mengetahui. Kerana itu, tak ada batasan atau had bagi kebenaran ilmu dan kebijaksanaan. Ia bersifat tak terbatas dan amat luas lantaran ia bersumber daripada Dzat Yang Maha Benar dan Maha Luas.

Sikap terbuka bagi pemikiran dan tradisi spiritual lain ini di lain pihak telah menyebabkan tasawuf dicuriagai sebagai tidak otentik berasal daripada Islam, bahkan kecurigaan ini berasal daripada sebahagian kalangan tasawuf sendiri. Para sufi dalam perjalanan sejarah sering diposisikan sebagai kelompok subaltern (sempalan yang terpinggirkan), kerana dianggap mereka cenderung meninggalkan ortodoksi dan literalisme Islam, namun justru hal ini bagi sufi adalah sesuatu yang bernilai positif, oleh sebab telah memberi “ruang bebas gerak’’ untuk diisi dengan berfikir, berintuisi dan berkontemplasi secara dinamis sehingga boleh menjadikannya sebagai ibnu waqtihi (ikon bagi zamannya).”

Ada sesuatu yang bersifat perenial dan fitrah, yang dapat diraih oleh sesiapa sahaja, dengan bersungguh-sungguh menggunakan akal sihat dan ketajaman intuisi. Sehingga jika ada titik kesamaan dalam rumusan spiritual, tidak boleh secara terburu-buru dianggap sebagai “plagiatisme spiritual”. Ada pemikiran spiritual yang secara kebetulan sama antara pemikiran teosuf Islam dan pemikiran lain, bukan dari proses saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Inilah barang kali, yang menjadi batasan atau had antara pemikiran yang orisinil dan pemikiran yang diadopsi dari pemikiran pihak lain. Sebagai misal, wacana al-hub al-Ilahi (the love for god) telah terlebih dahulu ada di dalam tradisi Kristian yang menyatakan bahawa Kristian adalah agama cinta kasih. Dan wacana tersebut juga ada di dalam tradisi sufistik, bahkan sangat ramai didiskusikan oleh para teosuf muslim.

Orang yang pertama kali memunculkan wacana cinta Ilahi secara transparan dalam Islam ialah sufi perempuan, Rabi’ah al-‘Adawiyah, yang untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam, dia memperkenalkan konsep cinta ilahi sebagai sendi utama bagi kehidupan keagamaan. Meskipun terma “cinta ilahi” ada di dalam al-Qur`an (al-Maidah, ayat: 53), akan tetapi sebelum Rabi'ah mewacanakan, tidak ada satu pun dari kalangan sufi Islam yang menyentuh dan menegaskan konsep cinta ilahi sebagai maenstream. Konsep ini nampak ekstrim kerana sebelumnya, di sisi lain, al-Hasan al-Basri, sufi Islam awal, telah mewacanakan konsep zuhud (asketis) dan takut kepada siksa neraka dan sangat antusias untuk mendapatkan balasan surga.

Konsep Rabi’ah tentang cinta ilahi oleh para ahli dianggap langkah lebih maju daripada pemikiran tasawuf sebelumnya. Pemikiran Rabi’ah tentang al-hub al-ilahi nampak dalam ungkapkan cintanya kepada Tuhan melalui beberapa bait syair berikut ini:

Aku cinta kepada-Mu dengan dua cinta; cinta kasmaran
dan cinta kerana memang Kau patut dicinta
Cinta kasmaran ialah keadaanku yang tidak boleh mengingat selain diri-Mu
Sementara cinta kedua kerana Kau telah menyibakkan tabir
hingga aku dapat melihat-Mu
Betapa pun, cintaku tidak bererti apa-apa bagi-Mu
Sementara cinta-Mu bererti segala-galanya bagiku

Rabi’ah telah melontarkan konsep cinta ilahi secara terang. Dia membahaginya kedalam dua bahagian: pertama, cinta kasmaran (hub al-hawa), perasaan cinta yang memotifasi mengingat Tuhan dan lalai dengan yang lain-Nya; cinta kepada esensi Tuhan; sebuah cinta keelokan ketuhanan. Dan kedua, cinta suci dari kasmaran (hawa) dan nafsu. Cinta ini lebih tinggi daripada cinta yang pertama. Berkenaan dengan cinta kedua, dia berujar, “Tuhanku, jika aku beribadah pada-Mu kerana aku takut Neraka, maka bakarlah aku dengan bara apinya. Jika aku beribadah kepada-Mu kerana mengharapkan surga, maka laranglah. Aku beribadah pada-Mu murni kerana cintamu. Maka jangan halang-halangi aku untuk dapat melihat keelokan-Mu yang abadi, wahai Tuhaku.” Dan di saat Sufyan al-Tsauri menanyakan tentang hakekat iman, Rabi'ah menjawab, “Ini adalah sebuah ibadah yang bertujuan bukan kerana takut neraka dan cinta atau mengharapkan surga.”

Ungkapan Rabi’ah tentang cinta Ilahi yang diwujudkan dengan ketidakpamrihannya pada surga dan tidak takut pada neraka, secara kebetulan senada dengan pertemuan Yesus (Isa As.) dengan tiga rombongan. Seperti kisah dialog Yesus dengan tiga orang, yang dikutip oleh Reynold A. Necohlson, demikian:

“Tiga orang melintas di depan Yesus. Mereka bertubuh kurus dan wajahnya pucat. Mereka ditanya, “Apakah yang engkau cari sehingga tubuhmu demikian?” Mereka menjawab serentak, “Kami takut pada api neraka!” Yesus kemudian berkata lagi, “Engkau takut pada sesuatu, padahal, sesuatu itu adalah milik Tuhan, sudah barang tentu engkau akan diselamatkannya dari sesuatu yang engkau takuti.”

Kemudian Yesus bertemu dengan tiga orang lagi. Tubuhnya lebih kurus, wajahnya lebih pucat. Yesus bertanya kepada mereka, “Apakah gerangan yang engkau cari?” Mereka menjawab serempak, “Kami mencari surga.” Yesus pun menjawab, “Kamu mencari sesuatu yang diciptakan, namun yang kamu cari itu ciptaan Tuhan. Semoga apa yang kamu cari dikaruniai oleh-Nya.”

Yesus masih bertemu lagi dengan tiga orang yang tubuhnya sangat kurus dan wajahnya sangat pucat jika dibandingkan dengan dua rombongan sebelumnya. Sehingga, wajah mereka mirip seperti cermin yang memantulkan cahaya. Yesus kemudian bertanya, “Saudara apakah yang membawamu kemari sehingga tubuhmu demikian!” Serempak mereka menjawab, “Cinta kami kepada Tuhan!” Yesus kemudian menimpali mereka, “Kalian senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan maka Dia pun akan selalu mendekati kalian.”

Meski Nicholson mengira bahawa kutipan kisah di atas telah memberi inspirasi kepada kaum sufi, akan tetapi Abd Rahman Badawi berpendapat bahawa, pengaruh Kristian kepada konsep cinta ilahi Rabi’ah hanya sebuah hipotesa yang tidak kuat. Namun keterpengaruhan cinta kasih Kristian sedikit banyak telah memberikan inspirasi kepada para teosuf Islam setelah Rabi’ah adalah mungkin.

Rabi’ah adalah sufi akhir abad ke-1 dan masuk awal abad ke-2. Selanjutnya masuk abad ke-3, konsep cinta ilahi dikembangkan oleh generasi sufi. Di antara yang mengembangkan konsep cinta ilahi, iaitu Ma’ruf al-Karkhi (w. 200 atau 201 H.), al-Junaid (w. 297 H.), al-Mahasibi (w. 243 H.), Dzu al-Nun al-Mishri (w. 245 H.), Yahya bin Mu'adz al-Razi (w. 258 H.), yang dikatakan oleh Louis Massignon sebagai orang yang pertama kali menyuarakan cinta Ilahi dalam syair dengan sistematika yang jelas, Abu Mansur al-Hallaj (w. 309 .H), dan sampai konsep cinta ilahi menjadi ide konvensional di kalangan kaum sufi. Akhirnya dikatakan, agama yang diidam-idamkan kaum sufi adalah “agama cinta”, seperti yang diidam-idamkan kaum Kristian terhadap agamanya.

Di dalam tradisi sufistik, ada golongan sufi yang terkenal dengan nama golongan “bukkâ`în” (para sufi yang selalu meratap dengan tangisan). Ketika mereka teringat Tuhan dan mengoreksi diri bahawa betapa diri sangat kotor dengan lumpur noda dan dosa, maka mereka meratapi dan menangis tersedu-sedan. Golongan bukkâ`în menurut Reynold A. Necholson adalah golongan sufi yang terpengaruh oleh para spiritual Kristian. Akan tetapi Ali Syami al-Nasyar berpendapat bahawa, golongan bukkâ`în bukanlah para sufi yang terpengaruh oleh para spiritual Kristian, melainkan murni dari hasil pencarian dan pergulatan batin sufi sendiri. Sejarah peradaban Islam menyatakan, betapa goncangan keadaan politik, mengakibatkan sebahagian kaum muslimin tenggelam dalam kehidupan spiritual dan isolasi diri daripada masuk ke gelanggang pertikaian yang terus-menerus berlangsung. Masa dinasti Umayyah—dengan mengecualikan masa Umar bin Abdul Aziz—ramai orang yang teraniaya diakibatkan oleh penindasan yang sangat keji terhadap lawan-lawan politik. Keadaan ini secara semula jadi menguatkan trend asketis dan kehidupan ‘uzlah bagi individu-individu kaum Muslim.

Sebagai contoh akan kelaliman Bani Mu’awiyah adalah terbunuhnya al-Hasan bin Ali dengan diracun oleh Ja’dah binti al-Sy’at dan al-Husein bin Ali dibunuh secara syahid oleh Yazid bin Mu’awiyah dan bala tentaranya di padang Karbala, dan hari demi hari kelaliman Bani Mu’awiyah semakin menjadi-jadi. Mengakibatkan sebahagian dari golongan pengikut setia al-Hasan dan al-Husein hanya boleh ber-i’tikaf di dalam rumahnya masing-masing, sibuk dengan ilmu pengetahuan dan ritual. Semaraknya kehidupan Tasawuf muncul sebagai reaksi atas ketamakan dunia dan jabatan, gaya hidup hedonistik dan gelamor para penguasa.

Bukkaien, semisal, adalah sekelompok Syi’ah yang meratapi dunia yang begitu suram, dan menangisi betapa para Imam, keturunan dan anak cucu Rasulullah Saw dibunuh dan bibantai dengan keji oleh rezim Mu’awiyyah. Kerana itu, pandangan Reynold A. Necholson sangat keliru kalau ia mengatakan bahawa bukkaîen adalah bukti keterpengaruhan tasawuf oleh asketisme Kristian. Lantaran sejatinya bukkaîen adalah murni muncul dari pengalaman spiritual para sufi Syi’ah pada masa awal Islam.

Barang kali, seperti yang dikatakan Adam Mith bahawa, ide sufistik pada periode awal, sekitar abad ke-1 dan awal ke-2, relatif murni dari pengaruh luar, hanya ada kesamaan-kesamaan yang bersifat kebetulan. Namun pada abad ke-3, ide sufistik mulai berinteraksi dengan ide spiritual dan pemikiran lain. Bentuk spiritual Islam telah berubah sekitar pertengahan antara abad ke-3 dan ke-4, dengan masuknya aliran pemikiran Kristian dan yang lainnya ke dalam agama ini. Setidaknya ada beberapa sumber di luar tradisi Islam yang diduga turut mewarnai wajah sufistik Islam, di antaranya iaitu, Kristian, Genostik, Hindu-Budha, Neo-Platonisme dan Agama yang berkembang di Persia.

Al-Hallaj telah membezakan antara al-lâhût dan al-nâsût dalam esensi Ilahi. Kedua-duanya (al-lâhût dan al-nâsût) adalah terma yang masih tabu (asing) dalam Islam, di mana asal dari kedua-duanya merujuk kepada apa yang digunakan oleh kaum Kristian Suryani di Gereja Timur dalam membahas berkenaan dengan asal kejadian (tabi’ah) Yesus al-Masih. Al-Hallaj juga berpendapat bahawa Tuhan akan menghukum di antara manusia di hari kiamat dengan al-nâsûtiyah (humanity). Model pemikiran ini ada dalam pemikiran manusia klasik di dalam tradisi Yunani, yang menurut madzhab Gnostik disebut dengan proon anthropos. Dalam hal ini, al-Hallaj sama dengan Ibnu ‘Arabi yang mendualismekan antara al-Lâhût dan al-Nâsût bagi hakekat wujud yang satu.

Irama Kristian sangat jelas berdendang dalam kecenderungan al-Hallaj. Dia berpendapat bahawa, esensi Dzat Tuhan adalah cinta. Al-Haq mencintai esensi-Nya sebelum menciptakan makhluk di dalam keesaan-Nya yang mutlak. Dan dengan cinta Dia memanifestasikan esensi-Nya di dalam diri-Nya.

Terdapat hubungan nasab dan persamaan antara pemikiran al-Hallaj dan madzhab Gnostik. Dalam pemikiran Basilides, yang konon katanya, termasuk bermadzhab Irenaeus, bahawa bapak telah melahirkan logos, phronesis (wisdom/hikmah), dynamis dan sophia. Demikian juga al-Hallaj ketika berbicara dalam Tha Shiyn al-Masyiah bertolak daripada empat devisi kehendak, iaitu; pertama, kehendak-Nya, kedua, kebijaksanaan-Nya (wisdom), ketiga, kekuasaan-Nya (dynamis), dan keempat, pengetahuan dan keabadian-Nya (sophia). Jalan men-tamsil-kan devisi-devisi telah ditemukan pada madzhab Gnostik dengan istilah celsus. Kaum Gnostik mengumpamakan akal dengan bentuk ”laboratorium” atau makmal, sementara al-Hallaj mengumpamakannya dengan ”kotak empat persegi panjang”. Pada kaum Gnostik ada pemikiran tentang sterilisasi atau penyucian manusia dan fase-fase penyucian dari tabiat kemanusiaan; dan al-Hallaj secara eksplisit menjelaskan bahawa Isa As. adalah al-Matsal al-A'lâ, iaitu manusia yang telah selesai dalam penyuciannya.

Bukan terhad pada Kristian sahaja yang turut mewarnai corak pemikiran para teosuf Islam, akan tetapi Hindu dan Budha juga turut menorehkan tintanya. Kerana Hindu dan Budha sudah tergolong cukup tua bercokol di komuniti Arab, dengan dibawa oleh para pedagang dari India dan dari kebudayaan Persia yang sudah terjadi percampuran budaya dengan budaya India. Ahmad Amin mensinyalir bahawa, pengaruh kebudayaan India pada kebudayaan Islam berlaku dari dua aspek. Pertama aspek langsung. Dengan berinteraksinya kaum muslim dengan India melalui jalur perdagangan dan jalan imperialisme Arab (al-fath). Imperialisme berlangsung sampai menguasai daerah Sindi, yang termasuk bahagian dari kekuasaan Islam, yang tunduk pada undang-undang Islam. Banyak dari kaum muslim yang imigran ke Sindi, dan India juga berimigan ke daerah Islam yang lain. Mereka membawa serta kebudayaannya masing-masing yang selanjutnya berlaku akulturasi budaya; tukar menukar budaya secara luas.

Kedua, aspek tidak langsung; iaitu kebudayaan mereka, India, ditransformasikan melalui perantara orang Persia. Persia sebelum imperialisme Islam, memiliki hubungan yang sangat akrab dengan India, dan mereka saling mempengaruhi. Masyarakat Persia, banyak sekali mengadopsi kebudayaan India dan memasukkannya ke dalam kebudayaan mereka, kemudian kebudayaan Persia yang telah dibentuk dengan kebuyaan India ditransformasikan kepada dunia Arab. Dari sinilah agama Hindu dan Budha masuk ke dunia Arab-Islam.

Termasuk bukti adanya pengaruh Budha dalam tasawuf adalah sebuah kisah salah seorang sufi dalam Islam yang menyerupai perjalanan hidup Budha, iaitu kisah seorang wali Ibrahim bin Adham (w. antara 160 H. dan 162 H./ 776 M. dan 778 M.), yang muncul dalam legenda muslim sebagai seorang putra mahkota dari kerajaan Balkh. Di dalam sebahagian riwayat mengatakan bahawa, sesuatu yang mengendalikan dia adalah sesuatu yang dia dengar dari langit yang memanggil-manggilnya. Pada riwayat yang lain dikatakan bahawa, oleh sebab berfikir tentang kehidupan yang tidak terusik oleh perebutan kekuasaan dan keperluan yang selalu tercukupi, dan ketika dari sebalik tingkap istananya ia nampak lelaki sangat miskin, ia menanggalkan baju kebesaran dan membuangnya jauh-jauh, menukarnya dengan kain sang pengemis. Dia mulai meninggalkan istana dan segala sesuatu yang berhubungan dengan dia; dunia, istri dan anak-anaknya, berkelana ke padang pasir dalam hidupnya menjadi pengembara spiritual dan memilih hidup sebagai Darwis. Kisah ini juga berlaku dalam kehidupan Budha.

Ide sufi tentang peniadaan personal (al-fanâ` al-shakhsyiyyah) pada esensinya terdapat kesamaan dengan pemikiran Hindu-Budha, iaitu Atman, meskipun tidak sama betul. Di dalam tradisi Budha, seseorang boleh sampai pada level fana harus melalui pendakian dari satu fase ke fase yang lain secara berurutan sehingga lapan fase. Dalam tradisi sufi, orang-orang yang berjalan melalui fase-fase itu dikenal dengan ahl al-salik.

Petunjuk \jalan menurut para Budha dan sufi adalah sama-sama bertitik tolak dari satu landasan. Baik Budha mahupun sufi, kedua-duanya sepakat bahawa meditasi, atau murâqabah dan al-Diyânah dalam istilah sufi, selalu menempati tempat yang penting sebagai fase persiapan untuk melangkah pada fase yang lebih tinggi menuju kesempurnaan, di mana pelaku meditasi dan obyek yang direnungkan adalah satu. Menurut kaum sufi, Ini adalah ketauhidan yang sesungguhnya, sangat berbeza dengan keyakinan tauhid Islam konvensional. Menurut sufi orang yang menganggap bahawa dirinya telah mengetahui Tuhan adalah syirik, kerana anggapan ini mengandaikan adanya dualisme antara orang yang mengetahui dan obyek yang diketahui (Tuhan). Kebetulan pandangan semacam ini juga ditemukan pada teosofi India.

Seorang eksponen mistisisme pantheistik yang mempunyai pelbagai klaim hiperbolik dan syathahât, Abu Yazid al-Basthami, dilahirkan di kota Bistham sebelah barat Khurasan, belajar tasawuf di bawah bimbingan seorang guru India, iaitu Abu 'Ali al-Sindi. Kepadanya al-Busthami belajar mengenai rahsia ajaran fanâ` (peniadaan diri).

Beberapa pemikir Islam kontemporer telah berjaya mengumpulkan ungkapan mistis (syathahât al-shûfiyyah) versi Abu Yazid al-Basthami, antaranya 'Abd al-Rahman al-Badawi dan Qasim Muhammad Qasim. Ungkapan mistisnya hampir senada dengan al-Hallaj. Kerana itu, kedua-duanya dikelompokkan pada golongan sufi yang mengusung ide pantheistik dan menyorong ide peniadaan diri manusia hingga keluar dari batas-batas logisnya. Pada suatu kesempatan al-Basthami ber-shatahat, “Mahasuci diriku, maha agung diriku!” Dan R.C. Zaehner dalam buku, Hindu and Muslim Mysticism, yang telah dikutip oleh Majid Fakhri, mengatakan bahawa, “Semua ucapan yang dinisbatkan kepadanya mengungkapkan konsep tentang peleburan total dengan sifat ketuhanan (wahdatul wujud). Tidak sedikit contoh yang serupa terdapat dalam kitab Vedanta dan Upanisad.”

R. C. Zaehner mengatakan bahawa “Apa pun pendapat Abu Yazid semuanya dapat dijelaskan dari sumber-sumber India, pendapat-pendapat tersebut akrab dengan Upanisad Svetasvara. Antara pernyataan Abu Yazid yang mengejutkan para ulama adalah peryataan subhani, ma ‘adhama sha’ny (maha suci diriku, Yang Maha Agung jadilah diriku, betapa besar keagunganku), dan paling menonjol lagi ‘aku adalah Tuhan yang paling tinggi’. Ungkapan subhani, ‘maha suci aku’, terkesan menghina Tuhan bagi pendengaran orang-orang Muslim, dan hal demikian tidak terdapat dalam tradisi sebelum Abu Yazid. Dalam sumber Hindu terdapat bahasa Sansekerta yang serupa dengan terma-terma tersebut, yakni dalam Upanisad, Bhratsannyasa, di mana kita baca mahyam eva namo namah (sembahlah, sembahlah aku).”

Sementara, ‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani berpandangan bahawa pemikiran teofanik Abu Yazid tetap dianggap sebagai pandangan Islam yang orisinil, tanpa terkontaminasi oleh pandangan lain (baca: non-Islam). Adalah wajar jika pandangan sufi Abu Yazid mengundang kontrofersial dan menyebabkan multi-tafsir bagi para pengkaji, lantaran Abu Yazid dalam mendendangkan pengalaman spiritualnya menggunakan ungkapan syath (ujaran aforisma) yang susah ditangkap erti sebenarnya. R. C. Zaehner secara mentah-mentah menangkap maksud literal dari kata-kata yang diungkapkan Abu Yazid, dengan tanpa penafsiran lebih lanjut dan empati, dan menyimpulkannya bahawa pandangan Abu Yazid selaras dengan Upanisad.

‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani, seorang sufi kenamaan Mesir, menyadari betul bahawa ujaran aforisma sufistik (syath) tidak boleh didekati secara sebarang pemahaman. Bahasa aforisma tidak muncul dari bahasa yang terkonsepsikan dan tersekematisasikan. Ia adalah anti-tesa dari “berpikir identiti”. Namun ia adalah bahasa yang hadir—meskipun sejenak—untuk mewakili bahasa pengalaman spiritual, yang pada tataran lebih dalam, tidak boleh diwakili sepenuhnya. Kerana itu, ‘Abdul al-Wahab al-Sya’rani menyikapi bahasa aforisma al-Bustami dan para sufi yang lain dengan sebuah takwil. Al-Sya’rani relatif berjaya—dengan takwilnya—membuktikan bahawa ujaran-ujaran para sufi, sejenis al-Bustami, tidak keluar dari aturan dan nilai-nilai Syari’ah Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Salah satu takwilnya adalah ketika ia mentakwil ucapan subhany (maha suci diriku):

“Dan sungguh Abu Yazid Ra., pada satu kesempatan, telah berkata: “subhanallah” (maha suci Allah). Tiba-tiba, suara tanpa rupa dari lidah al-Haq berkata: “apakah diriku ada ‘aib (cacat) dan kekurangan, sehingga kamu mensucikan diriku darinya?” Abu Yazid berkata: “tidak, wahai Tuhan”. Al-Haq berkata: “maka sucikanlah dirimu sendiri”. Abu Yazid berkata: “diriku telah menerima latihan spiritual (riadlah) sampai bersih dari kekurangan, kemudian kala itu aku berkata: “subhany” (maha suci diriku)”.

Abu Yazid al-Bastami mengucapkan “subhany” (maha suci diriku) dalam konteks pembersihan dan penyucian diri dari kekurangan dan cacat sebagaimana lumrahnya manusia sebagai tempatnya kesalahan dan kelalaian, bukan dalam konteks dimana ia mensakralkan dirinya sejajar dengan Tuhan.

Berikut penulis kutipkan sebahagian pendapat al-Basthami, yang telah dikutip Reynold A. Nicholson dari buku klasik Hilyat al-Auliyâ`;
“Makhluk adalah subjek dari perubahan keadaan. Tetapi kaum Gnostik tidak memiliki keadaan, kerana sisa-sisa tanda kehadirannya ikut musnah, dan esensi dirinya pun lenyap oleh esensi orang lain, bekas-bekas dirinya pun musnah dalam jejak orang lain.”
“Sudah tiga puluh tahun al-haq (Tuhan) kujadikan cerminku. Dan kini aku menjadi cermin bagi diriku sendiri.”
“Aku adalah aku, dan tidak lebih, sehingga kehadiran 'Aku dan Tuhan' hanya akan merusakkan kesatuan (keesaan) Tuhan. Kerana itu cukup dengan aku sahaja, maka al-Haq yang tinggi adalah cermin-Nya. Bahkan lihatlah! al-Haq menjadi cerminku, kerana dia berbicara dengan lidahku, sementara aku telah fana.”

Menurut Nicholson--senada dengan pendapat R.C. Zaehner di atas--bahawa, “Ini bukan Budhisme, melainkan pantheisme dari Vedanta.” Namun Adam Mith berpendapat bahawa, fana adalah berasal dari ide nirwana Budhisme. Hal ini dia ungkapkan ketika menjelaskan salah satu murid Dzu al-Nun al-Mishri. Dia berkata, “Abu Sa'id al-Hazzaz al-Baghdady (w. 277 .H/890 .M), salah satu murid Dzu al-Nun al-Mishri, adalah orang yang pertama kali menggulirkan wacana fana, ini adalah ide gnostik klasik, dan tidak berlebihan bila dikatakan bersumber dari nirwana, India.”

Memang benar bahawa fana dalam tasawuf dan nirvana kedua-duanya menjelaskan tentang peniadaan individualiti, tetapi ada perbezaan di antara kedua-duanya. Nirwana sepenuhnya negatif, menghilangkan segala sesuatu yang menimbulkan dosa, dan memenuhi pikiran dan hati, mengikut misteri agung tentang karma, merupakan penyebab ekstensi pribadi yang diperbaharui. Sementara itu fana bertalian dengan baqa, iaitu kehidupan Tuhan yang abadi. Dalam fana, hati kaum sufi telah jatuh cinta kepada Tuhan, sehingga dirinya hilang dalam kehidupan kontemplasi ekstase, terserap ke dalam keindahan Ilahi. Apa yang dialami sufi ini tentu sangat berbeza dengan ketenangan (kehidupan) tanpa nafsu intelektual yang berlaku pada Arahat, dan yang membezakan pula adalah tidak ada doktrin karma dalam Islam.

Di sisi lain, dalam tasawuf Islam ada corak fana yang benuansa Kristian, iaitu fana versi al-Hallaj, yang menganggap bahawa belum boleh mencapai kebahgiaan kecuali setelah melepaskan ruh dari jasad. Kebahagiaan hanya boleh dicapai dengan menghancurkan jasad yang telah menghalang-halangi ruh yang rindu bersatu dengan kekasih abadinya. Jasad kasar adalah penghalang (hijâb) bagi ruh dengan Tuhan, sang kekasih abadi. Al-Hallaj berujar, “Di antara aku dan Kamu terdapat penghalang. Maka singkapkanlah dengan keutamaan-Mu, sehingga aku menjadi jelas.”

Jadi fana terdapat dua macam, pertama, fanâ` fî al-baqâ`, iaitu peniadaan noda dan karakter buruk dengan tetap menganggap jasad dan ruh adalah hal yang penting, seperti fana versi para teosuf aliran wihdat al-wujûd seperti Ibnu Arabi dan para sufi Syi’ah pada umumnya. Kedua, fanâ` fî al-fanâ`, iaitu menghancurkan badan untuk bertemu dan menyatu dengan Tuhan, seperti al-Hallaj.

Al-Qusaeri berpendapat bahawa “di dalam doktrin fana terdapat tiga hirarki atau peringkat fana, iaitu fana (lenyap) dari eksistensi diri dan karakteristik manusiawinya dan kekal (baqa) dengan karakteristik al-Haq (Sang Maha Benar). Kemudian lenyap dari karakteristik al-Haq dengan sebab dia, sang sufi, musyahadah (menyaksikan) akan kehadiran al-Haq. Kemudian lenyap dari persaksian akan lenyapnya diri dengan hancur-leburnya diri di dalam wujud al-Haq”.

Muhammad ‘Abid al-Jabiri memberikan penafsiran atas ketiga-tiga hierarki fana di atas bahawa, “al-baqa (kekal) dengan karakteristik al-Haq” ertinya adalah bersih atau bebas dari semua sifat-sifat tercela, dan hanya dihiasi dengan sifat-sifat terpuji, di mana sifat-sifat itu adalah sifat-sifat Allah (seperti sifat belas kasih, kasihsayang, mulia, dll). Dalam bahasa agama menghiasi diri dengan sifat-sifat Allah disebut berakhlak dengan akhlak yang baik, dan tidak ada akhlak yang lebih baik dari akhlak tersebut.

Maksud dari “lenyap dari karakteristik al-Haq dengan menyaksikan akan kehadiran al-Haq”, iaitu lenyapnya sang sufi dari semua sifat, kerana dia tidak merasa meyaksikan apa-apa kecuali Allah. Dia tidak merasakan kekal kecuali dia merasakan kehadiran Allah, dan ini adalah level yang disebut oleh sebahagian sufi dengan “wahdatul al-syuhud”, seakan subjek yang menyaksikan dan objek yang disaksikan adalah entiti yang satu.

Sedangkan maksud dari “lenyap dari persaksian akan lenyapnya diri dengan hancur-leburnya diri di dalam wujud al-Haq” iaitu, bahawa ungkapan ini dengan jelas menunjukkan paham “wihdatul al-wujud”, kerana subjek yang menyaksikan dan objek yang disaksikan, di dalam semua keadaan, adalah dua entiti wujud, di mana kedua-duanya menyatu menjadi satu entiti wujud.

Falsafah Greek setelah berpindah ke Iskandaria, dia tidak sekedar menjadi spekulasi rasional yang dangkal dan kering. Di Iskandaria muncul madzhab falsafah baru iaitu Neo-Platonisme, yang berusaha menggabungkan rasionaliti Yunani dan agama. Ketika dikahwinkan antara falsafah dan agama, yang terjadi adalah “memfalsafahi” mistis dan merasionalkan yang irasional. Kerana itu, wacana metafisika, spiritualiti dan sufisme tumbuh subur di kalangan madzhab Neo-Platonisme. Neo-Platonisme adalah salah satu aliran pemikiran yang telah banyak memberikan inspirasi atau mengilhami para filosuf Islam dan kaum sufi.

Konsep wihdat al-wujûd atau ittihâd al-'âqil wa al-ma'qûl adalah diduga sebagai wujud pengaruh daripada pemikiran Neo-Platonisme bahawa alam dan Tuhan adalah satu entiti kesatuan. Qasim Ghani, pemikir Iran, dengan sangat berani mengatakan bahawa, yang memiliki kecenderungan pada pemikiran wihdat al-wujûd tersebut bukan hanya para teosuf dan kaum sufi, akan tetapi juga seorang filosuf Islam Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang tergolong pada filosuf paripatetik. Konsep ketuhanan Ibnu Sina dalam karyanya Mantiq al-Masyriqiyyîn, Ibnu Tufail dalam buku Hay bin Yaqzhân dan Ibnu Rusyd dalam buku Tahâfut al-Tahâfut nampak ada pengaruh Neo-Platonisme di dalamnya, iaitu kecenderungan kepada sebuah pemikiran bahawa alam dan Tuhan menyatu, tidak ada dualisme di antara kedua-duanya. Agaknya memang wihdat al-wujûd adalah salah satu pemikiran Neo-Platonisme yang telah diyakini kebenarannya oleh para sufi. Mereka berpendapat bahawa, alam adalah cermin bagi al-Haq dan segala yang ‘maujud’ adalah seperti cermin di mana Tuhan memanifestasikan diri di dalamnya, hanya sahaja semua cermin adalah kulit eksoteris, sementara wujud mutlak dan hakiki adalah Tuhan.

Jalaluddin al-Rumi adalah dianggap sebagai orang yang paling bagus dalam menghuraikan pemikiran Plato dan Neo-Platonisme. Sedangkan teori emanasi Neo-Platonisme adalah diduga salah satu teori yang bayak diapresiasi dan diamini oleh para teosuf Islam.

Di tangan Ibnu Arabi (569 H./1169 M.-638 H./1417 M.), konsep wihdat al-wujûd menjadi konsep yang komprehensif. Sementara, seperti menurut Abul al-‘Ala ‘Afifi, Ibnu Arabi telah mengadopsi dimensi falsafah wihdat al-wujûd dari Rasâ`il Ikhwân al-Shafa, mengambil pemikiran emanasi dari Ikhwan al-Shafa dan memasukkannya ke dalam madzhab wihdat al-wujûd. Maka kita pun menemukan korelasi antara dia, Ibnu Arabi, dan Rasa'il tersebut dalam pemikiran al-Insân al-Kâmil (perfect man/manusia sempurna). Ikhwan al-Shafa (persaudaraan suci) adalah komuniti yang struktur filosofinya diilhami oleh falsafah Greek. Namun antara Ikhwan al-Shafa dan Ibnu Arabi berbeza dalam tataran terminologi sahaja, misalnya Ikhwan al-Shafa menggunakan istilah manusia utama (al-fâdhil), sementara Ibnu Arabi menggunakan istilah al-insân al-kâmil. Namun pada tataran esensi, kedua-duanya adalah sama.

Ibnu Arabi dan Abdul al-Karim al-Jili (w. 805 H./1417 M.) dalam memaparkan al-Insan al-Kamil dengan cara mendikotomisasikan posisi antara manusia dan alam semesta. Mereka menganggap bahawa manusia adalah alam kecil (micor cosmos/’alam al-shaghir) dan alam semesta adalah manusia besar (macro cosmos/insan al-kabir). Pemikiran micro cosmos dan macro cosmos adalah pemikiran klasik, telah ada di dalam pemikiran falsafah Yunani klasik sebelum Socrates. Orang yang pertama kali mengungkapkan adalah Heraclitus (Abad ke-6 S.M.). Pemikiran ini ditransformasikan sampai kepada falsafah Islam melalui legasi (khazanah klasik) Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Ikhwan al-Shafa dalam Rasâ`il-nya, nampak sangat apresiatif dengan pemikiran Neo-Platonisme. Abd al-Lathif Muhammad al-Abd mengatakan bahawa madzhab Neo-Platonisme sangat berpengaruh terhadap Rasâ`il. Ikhwan al-Shafa sepakat dengan Neo-Platonisme bahawa alam adalah satu organisme yang hidup yang sempurna, yang berdenyut seiring dengan perjalanan roh di semua organnya. Lalu Tuhan menciptakan akal awal, dan dari aktifiti akal memancar nafas universal dengan menduduki pada pergerakan huyûli awal; panjang, lebar dan dalam. Maka darinya muncul jasad mutlak yang terstruktur berupa cakrawala, bintang gemintang dan pilar. Kemudian muncul bahan tambang (logam), tumbuh-tumbuhan dan binatang. Sedangkan metafisika menurut Ikhwan al-Shafa terletak pada tritunggal yang sakral, iaitu: yang esa, ruh dan nafas. Pemikiran seperti ini pun kita temukan pada Neo-Platonisme.

Ihwal pemikiran tentang jiwa manusia, Ibnu Arabi pun diduga dipengaruhi oleh Neo-Platonisme, akan tetapi tidak secara total, di sana ada orisinaliti dan dia setuju pada sebahagian dan tidak pada sebahagian yang lain. Majid Fakhri berkata, “Ihwal jiwa manusia, sebagai lazimnya kaum Neo-Platonis, Ibnu Arabi membezakan antara jiwa manusia yang rasional dan jiwa binatang yang irasional. Kendatipun demikian, Ibnu Arabi menolak gagasan Plato dengan tegas tentang terjadinya kontak (ittishâl) antara jiwa rasional dan Akal Aktif di tepian (periphery) alam dunia ini. Sebaliknya dia berpendapat setelah berpisah dari raganya, jiwa manusia akan berpindah ke falak (sphere) yang tidak berbeza dengan dunia rendahan ini. Falak itu secara khusus diciptakan oleh Tuhan sebagai tempat tinggal yang kekal. Secara tegas Ibnu Arabi menyatakan bahawa jiwa adalah substansi yang sepenuhnya terpisah dari raga.”

Aspek lain daripada Neo-Platonisme yang diduga mempengaruhi pemikiran Ibn Arabi adalah penggunaan terminologi falsafah Platonisme dalam penafsirannya terhadap permulaan penciptaan. Dia berpendapat bahawa benda awal yang pertama diciptakan Tuhan adalah benda-benda al-arwâh al-malakiyyah al-muhaymah (roh-roh malaki yang domain) dalam kebesaran Tuhan. Di antaranya, akal pertama, nafas universal, dan benda-benda iluminatif (al-nûriyyah) yang diciptakan dari Nur Muhammad, cahaya sang maha besar. Sangat wajar jika Ibnu Arabi telah dijuluki sebagai Ibn Aflâthûn (Anak Plato) atau Platonis, disamping tersohor juga dengan gelar Muhyi al-Din (penghidup agama) dan al-Syeikh al-Akbar (doctor maximus).
Pengaruh Neo-Platonisme bukan hanya pada para teosuf Islam yang tergolong tasawuf falsafi, akan tetapi juga meramba pada sosok al-Ghazali yang tergolong seorang yang aktif mensintesakan tasawuf dan syari’ah. Abul al-‘Ala ‘Afifi berkata bahawa, “al-Ghazali dan kebanyakan para filosuf Muslim menggunakan terma Neo-Platonisme, akan tetapi dengan pembacaan yang pantas dan menghasilkan makna baru. Mereka menghadapinya dengan mengeluarkan makna asal dari terma tersebut. Ini adalah inovasi dan orisiniliti pemikiran mereka, tidak sekedar meniru.”


Comments

  1. Artikelnya bagus menambah wawasan dan pengalaman saya trims ya…lanjutkan artikelnya saya tunggu. Boleh saya minta komentar dari teman untuk artikel di blog saya? Kalau Boleh Kunjungi blog saya, hari ini saya baru posting artikel tolong komentarnya, komentarnya harus berkaitan dengan artikel yang di pilih teman. Ini alamatnya : http://regedit.blog.telkomspeedy.com/ terima kasih banyak.

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)