Anakku...

Anakku...
Akal saja belumlah cukup, kita perlu hati, hati yg memiliki nurani, hati yang diterangi oleh Cahaya Ilahi, Cahaya yang dicampakkan kepada para wali dan Nabi, Nurun Nabi, Nur Muhammad.


Hati adalah kita yang memilikinya. Ia ada di dalam dada ini dan di dalam hati ini jua nurani kita tersimpan. Namun kita sering melakukan perbuatan yang kita sendiri tahu itu salah. Kita ingkari nurani.

Hari ini kita senang terhadap sesuatu, boleh jadi esok kita akan sangat menyesal karena kemarin kenapa kita menyukainya. Maha Besar Tuhan yang berkuasa membolak-balikkan hati kita.

Hati sifatnya seperti yang diisyaratkan oleh kata padanannya, ”kalbu” yang artinya ”membalik”—berpotensi untuk berbolak-balik; yaitu di satu saat merasa senang, di saat lain merasa susah; suatu kali mau menerima dan suatu kali menolak. Memang, hati tidak konsisten, kecuali yang mendapat bimbingan Nur, cahaya Ilahi.

Adapun bisikan ”kata hati”, tidaklah selalu benar. Karena, kadang-kadang ia merupakan lammah malakiyah (bisikan malaikat), dan kadang merupakan lammah syaithaniyah (bisikan setan)—yaitu saat setan memperdaya hati. Bahkan, boleh jadi ”kata hati” kadang juga merupakan bisikan nafsu.

Bisikan yang datang dari setan, biasanya mengajak manusia untuk memenuhi panggilan syahwat, perut, seks, atau ambisi dalam berbagai ragamnya. Bisikan yang datang dari nafsu biasanya enggan berhenti sebelum keinginannya terpenuhi, dan tidak pernah merasa puas kecuali meraih apa yang diinginkannya itu. Bahkan kadang juga tidak merasa puas meskipun yang diinginkannya itu ditukar dengan sesuatu yang lain yang memiliki nilai lebih ketimbang yang pertama. Sementara itu, bisikan setan, bila gagal merayu di satu bidang, ia beralih ke bidang lain, karena tujuannya adalah menjerumuskan manusia ke jurang mana pun ia terjatuh. Semoga Allah melindungi kita dari yang sedemikian.

Adapun bisikan yang datang dari Malaikat itulah ilham yang dipancarkan Tuhan guna menerangi jalan manusia. Salah satu tanda bahwa bisikan itu ilham adalah persesuaiannya dengan Kitab Suci al-Qur’an atau Sunnah Nabi Saw.

Kalbu yang disinari oleh cahaya Ilahi ini memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi akal, dan sifat terangnya pun berbeda. Terangnya akal bersumber dari analisis informasi pancaindera yang bersifat material. Karena itu, cahayanya tidak jarang gagal menembus kegelapan; sulit baginya menyingkap yang tersirat dari yang tersurat, bahkan akal itu tidak mampu menembus alam metafisika. Kalau daya akal diibaratkan dengan kemampuan berenang, maka pada saat ombak dan gelombang membahana, yang pandai berenang dan yang tidak bisa berenang tidak ada bedanya. Ketika itu yang dibutuhkan kedua-duanya adalah pelampung.

Syukurlah Allah Swt menganugerahi kita potensi lain di samping potensi jasmani dan akal, yakni ”kalbu”. Dengan kalbu ini kita dapat berimajinasi, merasakan dan mengekspresikan keindahan. Melalui kalbu ini pulalah kita dapat percaya dan berhubungan dengan Tuhan serta menangkap cahaya (hidayah)-Nya.

Seringkali cahaya hidayah itu datang secara tiba-tiba, tanpa disertai analisis, bahkan kadang tidak terpikirkan sebelumnya. Kedatangannya bagaikan kilat baik dalam sinar maupun kecepatannya, sehingga manusia tak dapat menolak kehadirannya, tapi tak juga dapat mengundangnya. Potensi untu meraih cahaya Ilahi ini ada di dalam diri setiap insan, walaupun peringkat dan kekuatannya berbeda-beda. Ada yang sedemikian kuat sehingga tak ubahnya seperti informasi yang didapat oleh indera: ia begitu meyakinkannya sehingga melebihi keyakinan terbitnya matahari dari sebelah Timur. Tetapi, ada juga yang begitu lemah sehingga tidak dapat dirasakan oleh yang menerimanya, atau bahkan tidak diakui kehadirannya.

Itulah gelombang cahaya hati yang dipancarkan oleh Allah. Dan itulah nurani, intuisi, atau—kami menyebutnya ilmu laduni.

Sayangku...
Gelombang cahaya hati, adalah rahasia yang dititipkan Tuhan ke dalam hati yang paling dalam. Nurani bahasa Arabnya ”an-nuuraaniy”, artinya sejenis cahaya. Cahaya apa? Ialah cahaya kehidupan, Cahaya Ilahi yang amat terpuji. Dialah sinar Tuhan yang boleh membuat dada kita menjadi terang-benderang bagaikan bumi diterangi oleh matahari siang. Sedangkan ketiadaannya membuat ruang di dada kita menjadi gelap gulita bagaikan malam tanpa bintang.

Cahaya itu walaupun abstrak sebenarnya tidak pernah hilang, ia selalu ada dalam hati kita. Di dalam hati yang suci, gelombang cahaya nurani berkilauan begitu indah, amat indah, karena terpancar dari sumbernya yang Maha Indah, yaitu al-Haqq. Tuhan yang Maha Benar telah nampak oleh mata hati. Di sini nurani dapat menjadi sumber kebenaran yang sekaligus mengalahkan akal dan fikiran.

Mata hati nurani dapat melihat apa yang sangat jauh dan yang sangat dekat sekalipun, tidak ada beda antara kedua-duanya. Dengan sekejap, mata hati dapat naik ke langit yang paling tinggi, dan sekejap turun kembali ke perut bumi. Mata hati itu tidak tertakluk kepada tanggapan atau idea "jauh" dan "dekat", yang mana kedua-dua idea itu terpakai dalam alam kebendaan saja.

Semoga Tuhan memandikan kita dengan cahaya-Nya, membasahi celah dan rongga jasmani, menyejukkan jiwa dan menyegarkan rohani.

Salam


Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)