Hasan Basri dalam Sejarah Ilmu Tasawuf

Hasan Basri (21-110 H./642-728 M.) yang nama lengkapnya Abu Sa’id Hasan Basri adalah seorang yang terkemuka di kalangan tabi’in. Ia sangat terkenal di bidang ilmu tauhid, ilmu fikih, bahkan dalam bidang ilmu tasawuf namanya sangat dikenal. Kelebihan ini diperolehnya karena ia langsung bertemu dengan tiga ratus orang sahabat dan tujuh puluh orang sahabat yang ikut dalam pertempuran Badar, dan langsung menimba ilmu pengetahuan agama dari Abu Zar al-Gifari dan Huzaifah bin Yaman.

Ayahnya bernama Yasar salah seorang perajurit Kerajaan Persia yang ditawan yang berasal dari Maisan dan dibawa ke Medinah, yang kemudian memeluk Islam dan menjadi maula (anggota keluarga) Zaid bin Tsabit. Ia dikawinkan dengan seorang wanita maula Umu Salmah yang bernama Khairah. Dari perkawinan ini lahirlah Hasan Basri yang dilahirkan di Medinah pada tahun 21 H./642 M. Dalam usia belasan tahun ia berada di Mekah kemudian dibawa oleh ayahnya berpindah ke Basrah. Di kota itu ayahnya membuka usaha dagang sehingga menjadi seorang yang kaya raya. Hasan Basri seorang anak yang sangat cerdas dan berbudi luhur, karena ia mendapat pujian dai Ali bin Abi Thalib ketika berkunjung ke Basrah. Pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib masuk ke dalam sebuah mesjid di kota Basrah, dilihatnya banyak anak-anak sedang asyik bercerita dalam mesjid itu. Ali bin Abi Thalib mengusir anak-anak itu tetapi ketika ia sampai kesatu kelompok yang sedang mengelilingi seorang anak yang tampan yang sedang bercerita ialah Hasan Basri, Ali sangat tertarik kepada ceritanya. Namun, untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban dalam mesjid, ia mengemukakan pertanyaan: Hai anak muda, aku ingin bertanya kepadamu dua perkata, kalau engkau dapat menjawabnya akan kubiarkan kau berbicara terus, tetapi kalau kau tidak dapat menjawabnya akan kukeluarkan dari mesjid ini. Anak itu berkata: bertanyalah wahai Amiral Mukminin. Ali bberkata: ceritakan kepadaku apa-apa yang menyebabkan agama itu baik dan apa pula yang menyebabkan agama itu rusak. Anak muda itu menjawab: yang menyebabkan agama itu baik adalah hidup wara’ (hanya mengambil yang halal) dan yang merusak agama adalah hidup tamak (rakus). Ali berkata: kau bena dan silakan meneruskan ceritamu.
Hasan Basri sempat menyaksikan pelbagai peristiwa yang sangat memilukan di kalangan umat Islam. Ia menyaksikan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, peristiwa Waq’utul Jamal, pertempuran Siffin dan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan ia pernah dikirim sebagai salah seorang prajurit ke Asia Tengah dan pernah menjabat sekretaris gubernur Asia Tengah.
Dalam usia dua puluh tahun ia kembali ke Basrah membuka khalaqat (pengajian) di mesjid Basrah dan dihadiri oleh banyak pengunjung. Syahrastani menulis dalam bukunya “Al-Milal wan Nihal” menceritakan pada suatu hari salah seorang meridnya yang bernama Washil bin Atha (80-131 H.) datang menemuinya dan bertanya: Wahai pemuka agama telah lahir di zaman kita ini sekelompok orang yang mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa besar. Dosa besar menurut mereka yang menyebabkan kekafiran dan kelompok ini adalah kaum Khawarij. Ada lagi sekelompok orang yang menyerahkan urusannya kepada Allah tentang orang yang berbuat dosa besar. Menurut mereka dosa besar tidak mempengaruhi iman, karena perbuatan menurut mereka tidak termasuk rukun iman, iman tidak akan rusak karena berbuat dosa besar demikain juga ketaatan tidak rusak oleh kekafiran. Kelompok ini dinamakan Murjiah. Karena itu bagaimana pendapatmu tentang pendirian dari kedua kelompok ini?
Hasan Basri berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban pertanyaan itu. Namun Washil bin Atha lebih dahulu menjawab pertanyaannya sendiri katanya: Kukatakan orang yang melakukan dosa besar masih dianggap beriman dan bukan kafir. Setelah mengucapkan ucapan itu ia keluar dari mesjid dan ia mempertahankan pendiriannya di hadapan murid-murid Hasan Basri. Hasan Basri berkata: Telah memisahkan diri (i’tazala) Washil dari kelompok kita. Karena itu Washil dan teman-temannya yang sama pendiriannya dengan Washil dinamakan Mu’tazilah yakni orang yang memisahkan diri dan pendiriannya yang mengatakan orang yang berbuat dosa besar bukan muslim penuh dan bukan pula kafir penuh tetapi berada pada dua posisi (baina manzilatain)
Hasan Basri sebagai tokoh terbesar pada zamannya tidak meninggalkan sebuah tulisan jua pun, namun keterangan dan pemikirannya dikutip oleh sejumlah murid-muridnya. Kebesaran dan keluasan wawasannya melebihi tokoh besar lainnya yang meninggalkan karya tulis.

Menurut penelitian orang bahwa Hasan Basri yang mula-mula sekali yang menyediakan waktunya untuk membicarakan ilmu kebatinan, kemurnian akhlak dan usaha-usaha untuk membersihkan jiwa di mesjid Basrah. Segala uraiannya dan penjelasannya tentang kerohanian senantiasa diukur dengan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Karena begitu penting perannya dalam mengembangkan ilmu tasawuf ini dan idanggap sebagai tokoh besar dalam ilmu tasawuf, sebagian silsilah shufi menyertakan diri Hasan Basri.
Dasar tasawuf Hasan Basri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahan dunia, semata-mata menuju Allah, bertawakkal kepada Allah. Khauf (takut) dan raja’ (pengharapan). Zuhud artinya, hati kurang tertarik kepada dunia, berpaling dari keindahan dan kemewahan dunia, karena berbuat taat kepada Allah.
Zuhud menurut sufi adalah suatu tingkatan jiwa (maqam) yang tertinggi dan maqam ini baru dapat dicapai apabila telah tertanam rasa takut dan harapan di dalam hati. Takut bukan taku kepada Allah tetapi takut terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan yang akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah. Demikian pandangan tasawuf Hasan Basri selalu bersedih hati, senantiasa takut dan gentar kalau tidak dapat menunaikan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menghentikan larangan Allah sepenuhnya, karena diseret oleh syaitan dan nafsu. Tetapi kalau juga manusia telah berusaha memenuhi perintah dan berusaha menjauhkan diri dari kemaksiatan, karena kelalaian dan nafsunya juga masih terseret ke dalam kejahatan, manusia tidak boleh berputus asa tetapi selalu menanmkan harapan terhadap keampunan Allah, karena Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Menurut Hasan Basri antara rasa takut kepada kemurkaan Allah harus diikuti ketakutan itu dengan harapan. Takun akan kemurkaan Allah tetapi mengharap keampunan Allah. Namun rasa takut lebih utama dari harapan dan kalau harapan lebih dahulu dari rasa takut, niscaya hati menjadi kosong. Tujuan pokok khauf dan raja’ ialah ingin mencapai kebebasan dari kejahatan dan mencapai kebaikan dan ketakwaan.
Mahmud bin Isa dalam bukunya “Al-Washiyayah” membawakan kutipan dari ucapan Hasan Basri kepada murid-muridnya:

Seseorang hendaknya berusaha memiliki sepuluh sifat anjing, yakni (1) Hendaknya menyedikitkan tidur malam, yang merupakan ciri kekuatan jiwa yang sejati. (2) Hendaknya tidak mengeluh lantaran kepanasan ataupun kedinginan yang merupakan pertanda dari hati yang sabar. (3) Tidak meninggalkan sebuah warisan yang merupakan perangai pengabdian yang sejati. (4) Tidak pernah marah atau iri hati yang merupakan perangai mukmin yang sejati. (5) Membuang jauh sifat-sifat orang yang rakus yang merupakan pertanda orang fakir (6) Tidak memiliki tempat tinggal menetap yang merupakan corak utama seorang pengembara (7) Hendaknya puas dengan apa yang tersedia untuk dimakan yang merupakan simbol kesederhanaan (8) Hendaknya tidur ketika menjumpai diri sendiri yang merupakan ciri hati yang pasrah (9) Tidak pernah bersikap salah terhadap majikan (tuan) jika sang tuan memukul kita, justru kita akan menurut kepadanya, ini merupakan simbol hati yang berkesadaran dan senantiasa merasa lapar merupakan karakteri orang besar... dan (10) Hendaklah menjadi gelap gulita sebagai penerang hati”.
Hasan Basri sebagai seorang tokoh besar dan zahid yang terkenal selalu menunjukkan keberaniannya dalam menyampaikan nasehat dan kritik kepada para penguasa. Ia pernah mengirim surat kepada khalifah Abdul Malik bin Marwan kepada panglima besar jenderal al-Hajaj dan kepada gubernur Irak Umar bin Hubairat.
Hasan Basri menjelang hari tuanya sering sakit dan pada awal bulan Rajab tahun 110 H. Bertepatan dengan tanggal 10 Oktober 728 M. Hasan Basri berpulang kerahmatullah dalam usia 81 tahun. Berita wafatnya Hasan Basri tersebar ke seluruh pelosok kota Basrah sehingga masyarakat kota Basrah menshalatkannya di mesjid Basrah dan dimakamkan di kota itu juga.

Dalam sejarah dicatat ada dua orang wanita yang hidup zuhud dan shufi, yang pertama Rabiatul Adawiyah yang hidup di kota Yerusalem yang meninggal sekitar tahun 135 H./753 M., yang kuburannya terdapat di pinggiran kota Yerusalem yang sampai saat ini diziarahi orang. Kedua Rabiatul Adawiyah yang akan dibicarakan dalam uraian berikut ini. Rabiatul Adawiyah yang nama lengkapnya Rabiatul Adawiyah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah dari suku Qais bin Adi adalah sesufi dan zahid wanita yang terkenal pada abad kedua hijriyah atau abad kedelapan Masehi. Ia dilahirkan pada tahun 95 H./713 M. Diperkampungan orang miskin yang terletak di luar kota Basrah. Ia wafat di kota itu pada tahun 185 H./801 M. dalam usia 90 tahun dan dimakamkan di kota Basrah.
Rabiatul Adawiyah dilahirkan sebagai puteri keempat yang dari keluarga yang sangat miskin karena itu ia dinamakan Rabi’ah yang artinya yang keempat. Kedua orang tuanya wafat ketika ia masih kecil, ketika terjadi keleparan yang melanda kota Basrah, ia diculik oleh perampok dan dijual kepada satu keluarga di kota Basrah dengan harga enam dirham. Kemudian ia dijual lagi kepada keluarga Atik. Pada keluarga Atik ia menjadi sebagai seorang budak yang diperlakukan dengan penuh kekerasan, namun ia tetap sabar dan selalu berdoa untuk dibebaskan dari penderitaan itu. Pada suatu hari ia dimasukkan ke dalam sebuah kamar yang gelap, pada malam itu ia terus mengerjakan shalat dan berdoa dan menangis. Keluarga Atik mengintip apa yang dikerjakan Rabi’atul Adawiyah di kamar itu dan kelihatan cahaya yang menerangi keliling tubuhnya. Karena peristiwa itu ia dibebaskan dari perbudakan. Kepadanya diberi kebebasan untuk memilih tinggal bersama dengan keluarga Atik atau keluar dari rumah itu, namun ia memilih keluar dan berpindah ke sebuah gubum di luar kota Basrah. Di gubuk itulah ia melakukan kegiatan sambil bergabung dengan para shufi lainnya melakukan latihan zikir di mesjid Basrah. Di gubuk ia memberikan pelajaran kepada murid-muridnya yang terdiri dari kaum wanita dan banyak juga dikunjungi oleh orang yang zahid untuk bertukar pikiran dengannya yang di antaranya yang pernah berkunjung ke tempatnya adalah Malik bin Dinar (130 H./748 M), Sofyan as Sauri (161 H/778 M) dan Syaqiq al-Balhi (194 H/810 H).

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)