HUBUNGAN ILMU TASAWUF DAN FIKIH
Ushuluddin merupakan ilmu pengetahuan pokok dalam Islam. Karena ilmu ini menyangkut kepercayaan dan keyakinan seorang muslim yang tercakup dalam rukun iman ialah kepercayaan tentang adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari Kiamat dan Takdir. Dasar pembahasan dalam bidang ini berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang sesuai dengan ratio yang sehat. Syamsuddin Syarakhsyi dalam bukunya ”Al-Mabsuth”, menerangkan bahwa dasar ilmu ushuluddin (tauhid) ialah berpegang kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhi mengikuti hawa nafsu dan perbuatan bid’ah. Katuhanan dan kepercayaan dalam Islam bukan hanya berdasarkan dogmatis yang harus ditelan bulat tetapi manusia disuruh berpikir dan memikirkan segala sesuatu untuk memperkokoh kepercayaan kepada yang wajib dipercayai dan diyakini dalam agama.
Di samping ilmu ushuluddin timbul ilmu fikih ialah ilmu untuk mengetahui cara memahami syariat, baik yang berhubungan dengan perintah larangan, yang wajib dan yang sunat, yang haram dan yang makruh dan yang mubah.
Ushuluddin merupakan ilmu pengetahuan pokok dalam Islam. Karena ilmu ini menyangkut kepercayaan dan keyakinan seorang muslim yang tercakup dalam rukun iman ialah kepercayaan tentang adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari Kiamat dan Takdir. Dasar pembahasan dalam bidang ini berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang sesuai dengan ratio yang sehat. Syamsuddin Syarakhsyi dalam bukunya ”Al-Mabsuth”, menerangkan bahwa dasar ilmu ushuluddin (tauhid) ialah berpegang kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhi mengikuti hawa nafsu dan perbuatan bid’ah. Katuhanan dan kepercayaan dalam Islam bukan hanya berdasarkan dogmatis yang harus ditelan bulat tetapi manusia disuruh berpikir dan memikirkan segala sesuatu untuk memperkokoh kepercayaan kepada yang wajib dipercayai dan diyakini dalam agama.
Di samping ilmu ushuluddin timbul ilmu fikih ialah ilmu untuk mengetahui cara memahami syariat, baik yang berhubungan dengan perintah larangan, yang wajib dan yang sunat, yang haram dan yang makruh dan yang mubah. Ilmu fikih ini terbagi menjadi dua kategori besar:
a. Ibadah ialah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal). Bidang ibadah hanya meliputi muqadimah ibadah (thaharah) dan maqashid ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
b. Muamalat ialah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hubungan horizontal). Bidang ini sangat luas karena mencakup semua aspek pergaulan hidup manusia sesama manusia, baik dalam lingkungan keluarga, kebendaan, maupun dengan masyarakat dan negara.
Kedua ilmu dia atas mengenai amalan (perbuatan) lahiriyah, karena itu dinamakan juga dengan ilmu zahir, yang disesuaikan dengan yang diaturnya ialah gerak dan diam anggota tubuh manusia. Di samping itu dengan sendirinya lahir pula ilmu batin atau ilmu tasawuf yang mengatur sikap batin atau jiwa manusia.
Ilmu tasawuf atau ilmu batin bertujuan agar manusia terdorong untuk menghindar diri dari semua sifat yang tercela. Kemudian tertarik kepada kebeikan dan berbudi pekerti luhur dan dalam ilmu ini adalah berlandaskan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Abul Ala al-Maududi dalam bukunya ”Toward Understanding Islam”, mengatakan fikih adalah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dilihat, memenuhi tugas dan kewajiban seperti yang telah ditetapkan. Dan apa yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan jiwa (batin) dinakan tasawuf. Kemudian katanya contohnya ketika kita berbicara tentang shalat fikih mendorong kita untuk memenuhi kewajiban dan tugas seperti bersuci, menghadap kiblat, memelihara waktu shalat dan jumlah rakaat, sedang tasawuf akan membawa kita dalam shalat selalu khusyu’, ingat kepada Allah, membersihkan dan mengikhlaskan jiwa, sehingga shalat kita akan memberi pengaruh dalam membentuk tingkah laku”. Oleh karena itu, kaum fikih (fukaha) hanya mengutamakan pikiran, berusaha melaksanakan tugas dan kewajiban dalam bentuk formalitas, sedang orang shufi selalu mengutamakan rasa, berusaha untuk mencapai hikmah (tujuan) ibadah itu, kadang kala mereka tidak bertemu lagi, kerapkali terjadi pertentangan sebagai akibat berbeda sudut pandang.
Para fukaha menganggap shalat yang dikerjakan sesuai dengan syarat dan rukun seperti yang tercantum di dalam fikih sudah dianggap sah sekalipun hati orang yang mengerjakan shalat itu lupa kepada Allah dan tergerak di dalam jiwanya ingin minta dipuji. Tetapi orang shufi menganggap shalat yang seperti itu tidak sah karena tujuan dan sasaran shalat belum tercapai ialah menjadi manusia selalu ingat kepada Allah dan terhindar dari kejahatan dan kemaksiatan. Namun orang shufi yang besar dan juga merupakan fakih yang besar, seperti imam malik dan imam Syafi’i memandang penggabungan ilmu batin dengan ibadah yang lahir merupakan kulmunasi kebahagiaan dalam tasawuf. Abul Ala al-Maududi dalam bukunya ”Toward Understanding Islam” mengatakan justeru itu, tasawuf Islam yang benar ialah merupakan ukuran jiwa dalam mentaati dan menghormati Allah, sedang fikih mengatur pelaksanaan perintah kepada pelaksanaannya secara rinci. Demikian tasawuf merupakan pakaian hati di dalam melaksanakan amal ibadah rukun dan syarat. Sebagai seorang shufi sejati menjunjung tinggi akan syariat dan mentaatinya dengan penuh kesadaran tanpa banyak tanya demikian pula halnya ulama fikih yang benar.
HAMKA menulis dalam bukunya ”Perkembangan Tasari dari Abad ke Abad” menerangkan bahwa salah seorang mantan muridnya di Bagdad ialah Ahmad bin Hanbal. Pada malam itu Ahmad bin Hanbal memperingatkan anaknya agar tidak mengadakan kegaduhan ketika melintasi kamar di mana Imam Syafi’i tidur. Pada tengah malam ketika Ahmad bin Hanbal pergi melintasi kamar Imam Syafi’i untuk mengambil wudhu ia masih melihat Imam Syafi’i duduk mengerjakan zikir dan membaca wirid, ia kerjakan sampai menjelang shalat subuh. Begitulah kehidupan seorang fakih besar tidak memisahkan antara kehidupan fakih dan kehidupan shufi. Najamuddin Amin Kurdi menulis dalam bukunya ”Tanwiru al-Qulub” berkata:
كل صوفي فقيه
Artinya: “setiap shufi adalah fakih”.
Ibnu Ubad menulis dalam bukunya ”Syarah Hikam Ibnu Athaillah” berkata: Junaidi al-Bagdadi pernah ditanya tentang orang yang telah mencapai ma’rifah (pengenalan) yang tinggi dan luas wawasannya dalam ilmu tasawuf yang selalu mengabaikan dan tidak menjalankan syariat (ibadah). Junaidi berkata: bagiku orang yang berbuat zina dan mencuri, lebih baik dari orang yang berbuat demikian. Imam Gazali menulis dalam bukunya ”Raudatu al-Thalibin” bahwa tidak benar keyakinan seorang murid (penuntut) sehingga Allah dan Rasul selalu menjadi buah ingatannya, sepanjang harinya diisinya dengan puasa, sehingga lidahnya dapat ditahan dari berkata yang sia-sia, karena terlalu banyak berbicara, makan dan tidur akan menyebabkan hati menjadi beku..... dan pada malam hari diisi dengan mengerjakan shalat, ruku dan sujud sehingga hatinya selalu bersih dan lidahnya selalu menyebut nama Allah.
Kemurnian hati dan kesempurnaan cinta, dalam ajaran Islam adalah dalam penggabungan tasawuf dan fikih, gabungan rasa dan akal. Dengan fikih menentukan batas hukum halal dan haram dan dengan tasawuf memberi pelita dalam jiwa sehingga tidak lagi merasa berat melakukan segala perintah agama. Kalau kembali kepada arti islam, Iman dan Ihsan nampak ketiga ilmu itu yaitu ushuluddin, fikih dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga kesimpulan agama Islam. Untuk mengetahui Rukun Iman orang mempelajari ushuluddin, untuk mengetahui hukum Islam orang harus belajar fikih, dan untuk mengetahui kesempurnaan Ihsan orang masuh kedalam tasawuf. Ilmu yang terpilih tiga; Iman, Islam, dan Ihsan dapat dicapai melalui tiga macam ilmu itu.
Di samping ilmu ushuluddin timbul ilmu fikih ialah ilmu untuk mengetahui cara memahami syariat, baik yang berhubungan dengan perintah larangan, yang wajib dan yang sunat, yang haram dan yang makruh dan yang mubah.
Ushuluddin merupakan ilmu pengetahuan pokok dalam Islam. Karena ilmu ini menyangkut kepercayaan dan keyakinan seorang muslim yang tercakup dalam rukun iman ialah kepercayaan tentang adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari Kiamat dan Takdir. Dasar pembahasan dalam bidang ini berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang sesuai dengan ratio yang sehat. Syamsuddin Syarakhsyi dalam bukunya ”Al-Mabsuth”, menerangkan bahwa dasar ilmu ushuluddin (tauhid) ialah berpegang kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah, serta menjauhi mengikuti hawa nafsu dan perbuatan bid’ah. Katuhanan dan kepercayaan dalam Islam bukan hanya berdasarkan dogmatis yang harus ditelan bulat tetapi manusia disuruh berpikir dan memikirkan segala sesuatu untuk memperkokoh kepercayaan kepada yang wajib dipercayai dan diyakini dalam agama.
Di samping ilmu ushuluddin timbul ilmu fikih ialah ilmu untuk mengetahui cara memahami syariat, baik yang berhubungan dengan perintah larangan, yang wajib dan yang sunat, yang haram dan yang makruh dan yang mubah. Ilmu fikih ini terbagi menjadi dua kategori besar:
a. Ibadah ialah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal). Bidang ibadah hanya meliputi muqadimah ibadah (thaharah) dan maqashid ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
b. Muamalat ialah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (hubungan horizontal). Bidang ini sangat luas karena mencakup semua aspek pergaulan hidup manusia sesama manusia, baik dalam lingkungan keluarga, kebendaan, maupun dengan masyarakat dan negara.
Kedua ilmu dia atas mengenai amalan (perbuatan) lahiriyah, karena itu dinamakan juga dengan ilmu zahir, yang disesuaikan dengan yang diaturnya ialah gerak dan diam anggota tubuh manusia. Di samping itu dengan sendirinya lahir pula ilmu batin atau ilmu tasawuf yang mengatur sikap batin atau jiwa manusia.
Ilmu tasawuf atau ilmu batin bertujuan agar manusia terdorong untuk menghindar diri dari semua sifat yang tercela. Kemudian tertarik kepada kebeikan dan berbudi pekerti luhur dan dalam ilmu ini adalah berlandaskan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Abul Ala al-Maududi dalam bukunya ”Toward Understanding Islam”, mengatakan fikih adalah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dilihat, memenuhi tugas dan kewajiban seperti yang telah ditetapkan. Dan apa yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan jiwa (batin) dinakan tasawuf. Kemudian katanya contohnya ketika kita berbicara tentang shalat fikih mendorong kita untuk memenuhi kewajiban dan tugas seperti bersuci, menghadap kiblat, memelihara waktu shalat dan jumlah rakaat, sedang tasawuf akan membawa kita dalam shalat selalu khusyu’, ingat kepada Allah, membersihkan dan mengikhlaskan jiwa, sehingga shalat kita akan memberi pengaruh dalam membentuk tingkah laku”. Oleh karena itu, kaum fikih (fukaha) hanya mengutamakan pikiran, berusaha melaksanakan tugas dan kewajiban dalam bentuk formalitas, sedang orang shufi selalu mengutamakan rasa, berusaha untuk mencapai hikmah (tujuan) ibadah itu, kadang kala mereka tidak bertemu lagi, kerapkali terjadi pertentangan sebagai akibat berbeda sudut pandang.
Para fukaha menganggap shalat yang dikerjakan sesuai dengan syarat dan rukun seperti yang tercantum di dalam fikih sudah dianggap sah sekalipun hati orang yang mengerjakan shalat itu lupa kepada Allah dan tergerak di dalam jiwanya ingin minta dipuji. Tetapi orang shufi menganggap shalat yang seperti itu tidak sah karena tujuan dan sasaran shalat belum tercapai ialah menjadi manusia selalu ingat kepada Allah dan terhindar dari kejahatan dan kemaksiatan. Namun orang shufi yang besar dan juga merupakan fakih yang besar, seperti imam malik dan imam Syafi’i memandang penggabungan ilmu batin dengan ibadah yang lahir merupakan kulmunasi kebahagiaan dalam tasawuf. Abul Ala al-Maududi dalam bukunya ”Toward Understanding Islam” mengatakan justeru itu, tasawuf Islam yang benar ialah merupakan ukuran jiwa dalam mentaati dan menghormati Allah, sedang fikih mengatur pelaksanaan perintah kepada pelaksanaannya secara rinci. Demikian tasawuf merupakan pakaian hati di dalam melaksanakan amal ibadah rukun dan syarat. Sebagai seorang shufi sejati menjunjung tinggi akan syariat dan mentaatinya dengan penuh kesadaran tanpa banyak tanya demikian pula halnya ulama fikih yang benar.
HAMKA menulis dalam bukunya ”Perkembangan Tasari dari Abad ke Abad” menerangkan bahwa salah seorang mantan muridnya di Bagdad ialah Ahmad bin Hanbal. Pada malam itu Ahmad bin Hanbal memperingatkan anaknya agar tidak mengadakan kegaduhan ketika melintasi kamar di mana Imam Syafi’i tidur. Pada tengah malam ketika Ahmad bin Hanbal pergi melintasi kamar Imam Syafi’i untuk mengambil wudhu ia masih melihat Imam Syafi’i duduk mengerjakan zikir dan membaca wirid, ia kerjakan sampai menjelang shalat subuh. Begitulah kehidupan seorang fakih besar tidak memisahkan antara kehidupan fakih dan kehidupan shufi. Najamuddin Amin Kurdi menulis dalam bukunya ”Tanwiru al-Qulub” berkata:
كل صوفي فقيه
Artinya: “setiap shufi adalah fakih”.
Ibnu Ubad menulis dalam bukunya ”Syarah Hikam Ibnu Athaillah” berkata: Junaidi al-Bagdadi pernah ditanya tentang orang yang telah mencapai ma’rifah (pengenalan) yang tinggi dan luas wawasannya dalam ilmu tasawuf yang selalu mengabaikan dan tidak menjalankan syariat (ibadah). Junaidi berkata: bagiku orang yang berbuat zina dan mencuri, lebih baik dari orang yang berbuat demikian. Imam Gazali menulis dalam bukunya ”Raudatu al-Thalibin” bahwa tidak benar keyakinan seorang murid (penuntut) sehingga Allah dan Rasul selalu menjadi buah ingatannya, sepanjang harinya diisinya dengan puasa, sehingga lidahnya dapat ditahan dari berkata yang sia-sia, karena terlalu banyak berbicara, makan dan tidur akan menyebabkan hati menjadi beku..... dan pada malam hari diisi dengan mengerjakan shalat, ruku dan sujud sehingga hatinya selalu bersih dan lidahnya selalu menyebut nama Allah.
Kemurnian hati dan kesempurnaan cinta, dalam ajaran Islam adalah dalam penggabungan tasawuf dan fikih, gabungan rasa dan akal. Dengan fikih menentukan batas hukum halal dan haram dan dengan tasawuf memberi pelita dalam jiwa sehingga tidak lagi merasa berat melakukan segala perintah agama. Kalau kembali kepada arti islam, Iman dan Ihsan nampak ketiga ilmu itu yaitu ushuluddin, fikih dan tasawuf telah dapat menyempurnakan ketiga kesimpulan agama Islam. Untuk mengetahui Rukun Iman orang mempelajari ushuluddin, untuk mengetahui hukum Islam orang harus belajar fikih, dan untuk mengetahui kesempurnaan Ihsan orang masuh kedalam tasawuf. Ilmu yang terpilih tiga; Iman, Islam, dan Ihsan dapat dicapai melalui tiga macam ilmu itu.
Penulis buku diskusi Tasawuf MODERN AGUS MUSTOFA
ReplyDeleteAsslam. kok gak bisa di kutip ya...
ReplyDeletetrimaksih atas informasinya
ReplyDeleteass.wr.wb mohon izin artikel hub tasauf dan ilmu copy
ReplyDeleteIlmu tasawuf dengan memiliki hubungan yang sangat erat, karena tasawuf dapat dilihat dari amalan fiqh
ReplyDeleteassalamu'alaikum sy tdk pro apa yg dktkn tasawuf itu sesat.krn pisang punya kulit ada isi.klo kulit pisang tdk dbuka kita tdk nampak isi.klo ingin tw isiny buka donk kulit ny... Mf klo saya slh mnympikn kalimat ini
ReplyDelete