Ittihad: Ajaran Tasawuf Falsafi Abu Yazid

Abu Yazid yang nama lengkapnya Taifur bin Sarushan dilahirkan di kota Bistam, Iran Utara pada tahun 180 H/804 M dan wafat pada tahun 261 H/875 M di kota Bistam dan dikuburkan di kota itu juga. Kakeknya menganut agama Zoroaster (Majusi) dan kedua orang tuanya menganut agama Islam dan menjadi penganut yang saleh dan wara’.

Semenjak kecil Abu Yazid sebagai anak orang muslim mendalami al-Qur’an dan Hadis dan belajar fikih mazhab Hanafi. Kemudian menjelang usia dewasa ia belajar tasawuf dengan seorang mistikus yang bernama Ali al-Sindi yang berasal dari India yang tidak mengerti bahasa Arab. Karena itu, tidaklah heran kalau Abu yazid sangat terpengaruh dengan filsafat agama Hindu melalui gurunya.
Kalau diperhatikan dari ucapan-ucapannya, bahwa ia sangat memperhatikan syariat dn keteladanan Nabi. Dalam salah satu kesempatan ia berkata: Kalau kau melihat orang yang mampu melakukan pekerjaan keramat seperti duduk di udara maka jangan kau terpedaya olehnya. Perhatikan apakah ia melaksanakan suruhan, menjauhi larangan dan menjaga batas-batas syariat. Tetapi pada ucapan-ucapannya yang lain ia berkata: bahwa batin hamba adalah batin Tuhan dan batin Tuhan adalah batin hamba. Katanya Mahasuci Aku, alangkah agungnya Aku. Sesungguhnya aku adalah Allah, tiada Tuhan selain dari Aku, sembahlah Aku. Menurut pengakuannya ia sendiri telah mi’raj (fligh) ke alam yang tinggi (supersensible) sebagaimana Nabi Muhammad dan pada saat itulah Allah menganugerahkan kepadanya sehingga ia dapat bersatu (ittihad) dengan-Nya.
Karena adanya ucapan-ucapan yang disandarkan kepada Abu Yazid yang berisikan kepercayaan bahwa hamba dan Tuhan dapat bersatu (ittihad) maka sebagian ulama memandang dari segi agama, apa yang dikatakan Abu Yazid tersesat dan menuduh Abu Yazid telah keluar dari agama Islam, dengan adanya pengakuan itu. Namun sebagian ulama yang bersikap moderat membela Abu Yazid dengan mengatakan bahwa ucapan-ucapan yang seperti itu yang dinamakan “syathahat” (hypric utterances) yang artinya ucapan khayal yang tidak dapat diperpegangi dan tidak dapat pula orang yang mengucapkannya dikatakan salah, karena pada saat itu ia dalam keadaan tidak sadar atau dalam keadaan mabuk (sakar) dan mabuknya (intoxication) karena fana, tenggelam dalam lautan tafakkur. Karena itu menurut Abu Thalib al-Maki, Qusyairi dan al-Gazali tasawuf yang sampai kepada ma’rifat masih dianggap berada dalam koridor syariat sebagai penjabaran al-Qur’an dan Sunnah. Kendatipun demikian para ulama dalam kalangan manapun sepakat bahwa kata-kata syatahat adalah kata yang jelas dapat membawa kepada kesesatan yang tidak dapat dibenarkan dalam agama.

Menurut penelitian orang sekalipun dasar-dasar ittihad telah dikenal sebelum Abu Yazid namun dianggap orang Abu Yazidlah sebagai pendiri aliran ini di dalam filsafat tasawuf. Ittihad berarti bersatu, menyatu dan kesatuan. Ittihad antara shufi dengan Tuhan tidak lebih dari merasa bersatu dengan Tuhan dalam batin, setelah pengembangan redha kepada Tuhan dan cinta yang membara. Apabila di saat hamba sampai kepuncak cinta terhadap yang dicintainya, terbuka hijab keindahan kekasihnya menjadi tampak oleh mata batinnya, maka fana-lah seluruh makhluk dalam kesatuan. Pada saat itu ia hanya merasa bersama dengan Tuhan (baqa) dan sekali gus merasa dirinya bersatu dengan-Nya (ittihad). Dalam ittihad yang dipandang hanya satu wujud, yaitu Tuhan. Kehadiran Tuhan dalam perasaan yang sangat mendalam sehingga tidak ada tempat bagi kehadiran makhluk lain selain dari Tuhan. Lenyaplah makhluk dari kesadaran pada waktu ittihad seperti lenyapnya cahaya bintang dalam cahaya matahari di siang bolong. Ittihad tidak berlaku terus menerus berlangsung dalam perasaan orang yang mengalaminya. Namun setelah sesaat atau beberapa saat, orang kembali kepada kesadaran biasa. Menurut sebagian ulama ittihad yang seperti ini tidak dapat divonis sebagai tasawuf yang menyimpang, ia hanya sebagai kelanjutan yang wajar dari perasaan cinta yang membara kepada Allah. Al-Qur’an dan Sunnah mengajarkan agar mencintai Tuhan lebih dari mencintai yang lainnya. Cinta yang seperti yang dikembankan Abu Yazid sehingga ia sampai kepada puncaknya merasa bersatu dengan Tuhan.

Dasar tasawuf Abu Yazid adalah ajaran fana (kesirnaan), baqa’ (kekekalan) dan ittihad. Ketiganya merupakan tiga aspek dari pengalaman setelah tercapai ma’rifat. Yang dimaksud dengan fana adalah lenyapnya kesadaran diri seorang shufi tentang alam ini termasuk dirinya sendiri. Dengan terjadinya fana terjadi pula baqa’, kesadaran tentang selain Allah fana tapi kesadaran tentang Allah terus menerus berlangsung (baqa’). Di sisi lain apa yang disebut fana dan baqa’ itu dapat pula disebut ittihad (bersatu) dengan Tuhan. Ia merasa hidup dan tenggelam dalam lautan ketuhanan akan merasa seperti besi yang berada dalam lautan api.

Menurut penelitian teori ittihad Abu Yazid dari ajaran filsafat Hindu dan Budha. Dalam Bagawatgita salah satu kitab suci umat Hindu mengajarkan dalam menaklukkan kekuatan-kekuatan jahat yang ada dalam diri manusia adalah melalui yoga. Yoga berarti jalan, jalan yang harus ditempuh untuk bersatu dengan Tuhan. Yoga yang dimaksud ada beberapa macam; jnana yoga (jalan ilmu pengetahuan), karma yoga (jalan tindakan kerja), bhakti yoga (jalan kebaktian dan kasih sayang) dan raja yoga (jalan meditasi). Kulminasi atau puncak tertinggi dari jalan yoga ini tida pada suatu titik di mana manusia bersatu dengan Tuhan dan Tuhan menjelma ke dalam manusia. Itulah yang disebut Nirwana dalam bahasa Sansekerta atau Nibbara dalam bahasa Pali. Krisna menceritakan kepada Arjuna tentang Nirwana katanya “Dia yang menemui kebahagiaan pada dirinya, ketenteraman pada dirinya, cahaya pada dirinya, yogi yang begini ini jadi suci, memasuki nirwana bersatu dengan Illahi” (Bhagawatgita V: 24).
Demikian konflik batin akan tersingkap kalau Tuhan telah menyinari jiwanya, yang dapat meningkatkan kesadaran kemanusiaan, melalui yoga, melalui yoga manusia mencapai spiritual, dapat bersatu dengan Tuhan, pada saat itu lenyaplah (fana = passing away) kemanusiaan kedalam Tuhan dan hanya Tuhanlah yang ada (baqa’, subsistence), Tuhan telah menjelma kedalam manusia. Krisna yang sudah menjadi penjelmaan Brahmana berpesan kepada Arjuna “Pusatkan pikiranmu pada-Ku, berbakti pada-Ku, bersujud pada-Ku, sembahlah Aku...” (Bhagawatgita XVIII: 65).

Dhamapada kitab suci umat Budha mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan tertingggi atau Nibbana melalui samadhi, kalau samadhi dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan tercapai kebahagiaan tertinggi dan kebahagiaan tertinggi akan dapat dicapai di dunia ini. Demikianlah dicantumkan dalam Dhamapada: “para bijaksana ini bersamadhi, teguh terhadap apa yang dilakukannya, senantiasa berdaya upaya sungguh-sungguh untuk mencapai Nibbana, kebebasan mutlak dan kebahagiaan tertinggi” (Dhamapada 2: 3). “Barangsiapa yang bersamadhi dengan kesungguhan tekad akan mencapai kebahagiaan tertinggi” (Dhamapada 2:7). “Mereka yang berpikiran benar di dalam tujuh faktor penerangan, yang tanpa terikat apapun senang karena bebas dari ikatan, yang telah menguasai nafsu-nafsunya, yang terang benderang, mencapai Nibbana di dunia ini” (Dhamapada 2: 14).

Abu Yazid tidak menulis ajaran tasawufnyya dan tidak pula mengajarkannya. Hanya ajaran tasawufnya ini diketahui melalui ucapan dan dialognya dengan orang lain, itupun melalui cerita yang bersambung dari mulut ke mulut. Barulah pada tahun 389 H. Abu Fadal bin Ali mengumpulkan ucapan Abu Yazid dalam sebuah buku yang berjudul “Kitabun Nur fi Kalimati Abi Yazid Taifur”, ditulisnya dalam bahasa Pahlevi (Persia) dan kemudian al-Siraj menulis lagi sebuah buku tentang perilaku Abu Yazid. Buku itu berjudul “al-Luma” dalam bahasa Pahlevi yang kemudian kedua buku ini diterjemahkan kedalam bahasa Arab, maka melalui kedua buku inilah ajaran tasawuf Abu Yazid dikenal orang. Demikian juga kuburan Abu Yazid telah dilupakan orang beberapa abad lamanya, barulah pada tahun 711 H. Dengan dipugarnya kuburan yang diperkirakan kuburan Abu Yazid, orang mengenal kuburnya dan menziarahinya.


Comments

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)