Makruf al-Karkhi dalam Sejarah Ilmu Tasawuf

Ma’ruf al-Karkhi sesufi yang tinggal di kota Bagdad. Tahun kelahirannya tidak diketahui dengan jelas dan hanya diketahui tahun wafatnya pada tahun 200 H./815 M. Kalau dilihat dari namanya ia berasal dari Karkh yang menurut sebagian pakar sejarah merupakan bagian dari kota Bagdad dan menurut sebagian lagi Karkh berada di luar kota Bagdad di sebelah Timur.

Menurut pakar sejarah, kedua orang tuanya memeluk agama Kristen dan menurut yang lain menganut agama Sabiah. Diriwayatkan katika Ma’ruf al-Karkhi pada usia meningkat remaja ia sangat menentang ajaran gurunya yang mengatakan bahwa Allah merupakan salah satu oknum Tuham. Ma’ruf al-Karkhi menentang pendapat ini katanya Tuhan hanya satu. Karena pendapatnya yang berbeda dengan pendapat gurunya, ia dipukul oleh gurunya dan ia melarikan diri dan bersembunyi. Karena kedua orang tuanya telah kehilangan anak yang dicintainya dan mengharap kepulangan anaknya dan orang tuanya berjanji kalau anaknya mau pulang agama apa saja yang dipeluk anaknya dianut juga oleh kedua orang tuanya. Setelah sekian lama ia memeluk agama Islam di bawah bimbingan Ali bin Musa al-Ridha, setelah ia pulang dengan mengatakan bahwa ia telah memeluk agama Islam yang kemudian disusul oleh kedua orang tuanya.
Ma’ruf al-Karkhi mempelajari agama Islam melalui sejumlah ulama di Bagdad yang di antaranya Daud al-Thai. Bakar bin Humais dan Farqad as-Sabukhi. Karena ketekunannya dan ketabahannya dalam menuntut ilmu pengetahuan dan khususnya ilmu tasawuf, ia berhasil menjadi sesufi yang terkemuka di Bagdad. Ia membuka halaqah pengajian dan di antara murid-muridnya yang terkenal di kemudian hari adalah Sari al-Saqati. Sebagai sesufi ia juga dikenal di kalangan fukaha sebagai seorang fakih. Diriwayatkan ada dua orang fakih Bagdad yang terkemuka; Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ibnu Main berdiskusi tentang sujud sahwi dan keduanya belum sepakat. Untuk lebih lanjut mereka berdua ingin menanyakan pendapat Ma’ruf al-Karkhi. Ma’ruf al-Karkhi menjawab dari sudut pendang tasawuf katanya: sujud sahwi merupakan hukuman kepada hati karena lalai mengingat Allah.
Ma’ruf al-Karkhi menurut pada peneliti tasawuf sebagai tokoh yang memperkembangkan ajaran tasawuf. Ia menambah hasil perolehan jiwa dari cinta yang telah ditemukan oleh Rabiatul Adawiyah. Menurutnya cinta harus dilanjutkan sampai ke titik thuma’ninah (ketenangan) jiwa. Karena cinta dan ketenangan itulah yang menjadi tujuan tasawuf. Kebahagiaan yang sebenarnya dan yang kekal, bukan harta benda tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati. Kekayaan hati hanya dapat dicapai melalui ma’rifah (pengenalan) akan yang dicinta. Apabila yang dicintai telah dikenal, terwujudlah kebahagiaan dan ketenteraman dalam hati dan kecillah segala urusan kebendaan dalam penglihatan hati. Ma’ruf al-Kakhi dipandang oleh para peneliti tasawuf sebagai tokoh penting yang merupakan pengembang ajaran tasawuf yakni memunculkan teori baru dalam tasawuf ialah melalui mencari ma’rifah sebagai inti ajaran tasawufnya. Kalau dahulu ajaran tasawuf baru berkisar berupa ajaran zuhud dan tekun beribadah untuk memperoleh keredhaan Allah. Pandangan ini berdasarkan penelitian kepada makna tasawuf itu sendiri. Di antara makna tasawuf yang dibawakan Ma’ruf al-Karkhi ialah tasawuf adalah memperoleh hakikat (ma’rifat) dan tidak mengharap sama sekali apa yang berada di tangan makhluk. Mencari hakikat tidaklah berbeda dengan mencari ma’rifat itu sendiri karena ma’rifat adalah ujung ilmu pengetahuan yang dikembangkan sufi ialah ilmu syariat, ilmu thareqat, ilmu hakikat, dan ilmu ma’rifat.
Ma’ruf al-Karkhi menurut sufi sebagai shufi yang dikuasai oleh perasaan cinta yang membara kepada Allah seperti halnya Rabiatul Adawiyah. Berkenaan dengan cinta kepada Allah Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya bukanlah diperoleh melalui pengajaran ia merupakan pemberian atau kurnia Tuhan. Pernyataan ini yakni cinta kepada Allah menurutnya bukan termasuk maqam (posisi yang didapat melalui usaha) tetapi termasuk hal (keadaan jiwa) yang dikurniakan Allah.
Menurut para peneliti Barat yang di antaranya Nicholson yang mencoba menghubungkan antara timbulnya ide memperoleh hakikat (ma’rifat) dengan latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi di masa kecilnya. Menurut Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu ialah Kristen atau Sabiah. Pendapat yang seperti ini hanya merupakan dugaan alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal ajaran tentang hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena usianya yang masih muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja hasil dari tafakur atau renungannya dalam tasawuf.
Menurut sufi martabat yang tinggi yang dicapai oleh Ma’ruf al-Karkhi tidak disangsikan lagi. Mereka beralasan dengan mimpi Ahmad bin Fath yang bertemu dengan Bisyir bin Haris yang telah wafat lebih dahulu. Ahmad bin Fath menyatakan tentang keadaan yang dialami Ma’ruf al-Karkhi dirinya diampuni Allah. Kulihat Ahmad bin Hanbal berdiri sedang antara mereka terdapat pembatas. Karena Ma’ruf al-Karkhi menyembah Tuhan bukan mengharap surga, tidak pula karena takut kepada neraka, karena itu ia diangkat ke tempat yang tinggi yang tidak ada pembatas antaranya dengan Tuhan. Begitulah pengakuan orang-sufi tentang martabat Ma’ruf al-Karkhi.
Menurut sufi bahwa Ma’ruf al-Karkhi seperti halnya para zahid dan shufi lainnya. Ma’ruf al-Karkhi terkenal di kalangan shufi memiliki banyak keramat yang di antaranya ketika terjadi kemarau panjang ia berdoa dalam shalat istisqa meminta hujan, sebelum doanya selesai hujan turun.
Kemudian di belakangnya datang lagi Haris al-Muhasibi, yang menambah ajaran tasawuf Ma’ruf al-Karkhi dengan persatuan (ittihad). Haris al-Muhasibi nama lengkapnya Abu Abdullah al-Haris bin Asad al-Basri adalah ulama yang namanya sangat menonjol dalam bidang tasawuf di zamannya. Ia dilahirkan di kota Basrah pada tahun 165 H/781 M kemudian pindah ke Bagdad ibu kota negara Bani Abbasiyah dan meninggal di kota itu pada tahun 242 H/895 M pada usia 78 tahun.
Pada awal kehidupan intelektual al-Muhasibi berkecimpung dan menggeluti ilmu hadis dan tasawuf sehingga ia sangat matang dalam kedua ilmu itu. Al-Muhasibi menimba ilmu hadis dan fikih dari para ulama yang terkenal di zamannya. Di antaranya guru-gurunya dalam fikih ia belajar dengan Imam Syafi’i, Abu Ubaid al-Qasimi bin Salam, dan Kadi Abu Yusuf. Dan dalam bidang ilmu hadis ia belajar dengan Hasyim, Syuraih bin Yunus, Yazid bin Haran, Abu an Nadar, dan Suwaid bin Daud.
Al-Muhasibi tidak seperti ulama-ulama hadis dan fikih di masa itu yang membatasi telaahan pada bidang yang ditekuninya tetapi al-Muhasibi juga memberikan perhatian besar terhadap perkembangan politik dan kehidupan sosial. Perkembangan pemikiran teologi Islam (ilmu kalam) di masanya, diikutinya denga seksama, ia mempelajari dan memahami dengan baik pemikiran Mu’azilah, Syi’ah, Khawarij, jabariyah, dan Qadariyah. Sekalipun al-Muhasibi tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah namun aliran ini sangat mempengaruhi cara berpikirnya di antaranya menghargai akal dalam memahami agama dan untuk mencapai kebenaran. Dalam dua ilmu yang ia tekuni, ia juga menelaah perilaku dan ucapan-ucapan para zahid (ahli ibadah) yang hidup sebelumnya, seperti Hasan Basri, Iberahim bin Adham, Daud al-Thai dan Fudhail bin Iyad dan juga pemikiran-pemikiran para zahid di zamannya seperti Syaqiq al-Balkhi, Ma’ruf al-Karkhi, Bisyar Khafi, Zi Nun al-Misri dan Sirri al-Saqati.
Telaahannya yang begitu luas yang menjadikan dirinya menjadi ulama terkemuka di zamannya. Persaksian dari tiga orang penulis sejarah tasawuf di belakangnya mengakui keluasan wawasan ilmu al-Muhasibi seperti al-Qusyairi yang menulis dalam bukunya “al-Risalah al-Qusyairiyah” menyatakan al-Muhasibi adalah seorang ulama yang tidak ada tolok bandingnya di zamannya, baik dalam bidang fikih maupun dalam bidang tasawuf. Al-Tamimi menggambarkan bahwa al-Muhasibi merupakan imam kaum muslimin dalam bidang hadis, fikih, ilmu kalam, dan tasawuf. Dan Ibnu Khaldun menulis dalam bukunya “Al-Muqaddimah” mengakui al-Muhasibi menghimpun ilmu fikih batin, ilmu fikih lahir, ilmu fikih wara’, dan ilmu akhirat.
Di samping ilmu-ilmu yang dimilikinya al-Muhasibi dalam bidang hadis dan fikih, ia juga menggeluti ilmu dalam bidang tasawuf bahkan namanya sangat populer di kalangan para shufi. Ia mempelajari tasawuf pada usia tiga puluh tahu, dalam pengakuannya katanya “telah berlalu masa selama tiga puluh tahun dan selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari kepalaku. Kemudian berlalu pula masa selama tiga puluh tahun yang selama itu aku tidak pernah mendengar sesuatu kecuali dari Allah”.
Dalam ungkapan di atas, ia menegaskan setelah ia bergaul selama tiga puluh tahun dengan ilmu pengetahuan yang memerlukan analisa pemikiran seperti fikih dan ilmu kalam, ia berpindah ke bidang ilmu tasawuf untuk membersihkan batinnya, mempertajam kesadaran hatinya agar memperoleh bisikan suci dari Allah. Kesungguhannya untuk menggabungkan dan menjaga kebersihan batinnya luar biasa. Ia selalu mengadakan perhitungan (muhasabah) sehingga ia digelar al-Muhasibi, ia selalu memperhitungkan semua aktivitas batinya.


Comments

  1. kang kolis... tulisannya sudah ok, kembangkan terus..sekarang di malaisia, jatim apa banjarmasin..... dari teman sejawat di Bjm

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)