Rabiatu al-Adawiyah dalam Sejarah Ilmu Tasawuf
Rabiatul Adawiyah sebagai seorang yang hidup saleh dan zahid sepanjang harinya ia berpuasa dan mengerjakan shalat sunat sebanyak 1000 rakaat. Al-Manawi menulis di dalam bukunya “Al-Kawakibu al-Durriyah” mengatakan bahwa Rabiatul Adawiyah mengerjakan shalat sunat sebanyak 1000 rakaat dalam sehari semalam. Orang bertanya: apa yang kau inginkan dengan shalatmu itu? Katanya: Aku tidak menginginkan pahala, tetapi kukerjakan agar Rasulullah bergembira pada hari kiamat nanti berkata kepada para nabi bahwa aku adalah seorang wanita dari umatnya, lihatlah ibadahnya.”
Sebagai seorang yang zahid (yang tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) ia tidak pernah meminta tolong kepada orang lain ketika ia ditanya mengapa ia bersikap demikian ia menjawab: aku malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi kepada orang yang bukan pemilik sesuatu itu. Allah telah memberikan rezeki kepadaku dan kepada orang kaya. Apakah Dia yang memberi rezeki kepada orang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang miskin? Sekiranya Dia yang menghendaki bagiku maka aku harus menyadari posisiku sebagai hamba-Nya dan haruslah menerimanya dengan hati yang lapang”.
Zuhud yang tadinya telah dirintis oleh Hasan al-Basri yaitu takut (khauf) kepada kemurkaan Allah dan mengharap kepada keampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabiatul Adawiyah kepada zuhud karena cinta (hubb). Cinta yang murni lebih tinggi dari takut dan pengharapan, karena cinta tidak mengharap apa-apa dari yang dicintai. Karena itu dalam syi’ir-syi’ir yang masyhur, ia berkata tentang tujuan zuhudnya yaitu kepada Allah, karena Allah bukan kepada Allah karena mengharap. Rabiatul Adawiyah menganggap soal surga atau soal neraka adalah nomor dua atau bukan sama sekali, sebab cinta itu sendiri merupakan suatu ni’mat yang paling besar dan tidak ada tolok bandingannya. Dalam syi’irnya ia berbicara karena apa ia cinta kepada Allah katanya:
أحبك حبين حب الهوى وحبا لأنك اهل لذاكا
فأما الذى هو حب الهوى فشغلى بذكرك عمن سواكا
وأما الذى أنت أهل له فكشفك للجب حتى أراكا
فلا الحمد فى ذا ولا ذاك لى ولكن لك الحمد فى ذا وذاكا
Artinya: “aku mencintai-Mu dengan dua (macam) cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Dan cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu menyingkap tabir hingga Kau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu, pukian bukanlah bagiku tapi bagi-Mu lah pujian untuk semuanya”.
Dalam syi’ir di atas cinta menurut Rabiatul Adawiyah ada dua tingkatan; pertama cinta karena rindu kepada Allah karena Allah telah menganugerahkannya hidup sehingga dapat menyebut nama Allah. Karena itulah tidak ada lagi yang lain jadi buah kenangannya dan buah tuturnya melainkan Allah. Kedua cinta dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu cinta karena Allah berhak dan bersedia menerimanya ialah cinta karena menyaksikan keindahan (jamal) dan kebesaran (jalal) yang kian hari kian terbuka baginya hijab, pembatas yang memisahkan dirinya dengan Tuhannya. Itulah tujuan cinta yaitu melihat Allah (musyahadah) dengan hatinya.
Kalau hati telah dipenuhi dengan rasa cinta, cinta yang membara dari yang mencintai kepada yang dicintai, ia tidak mengharapkan apa-apa dari yang dicintai selain dari merindukan yang dicintai. Dalam sebuah munajatnya Rabiah Adawiyah berkata: Tuhanku jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengharap surga jauhkanlah aku dari padanya, tetapi jika Kau kupuja semata-mata karena Kau, janganlah Kau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal dari padaku”.
Satu-satunya yang diharapkan oleh orang yang mencintai ialah bertemu dengan orang yang dicintai. Di waktu tiba malam hari ia berkata: “Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap kekasih telah menyendiri dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu”. Sewaktu fajar telah menyingsing ia berkata: “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri, aku gelisah apakah amalanku Kau terima hingga aku merasa bahagia ataukah Kau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemuliaan-Mu, inilah yang kulakukan selama aku Kau berikan hayat. Sekiranya Kau usir dari depan pintu-Mu aku tidak akan pergi Cinta pada-mu telah merasuk lubuk hatiku”. Puncak cintanya kepada Allah digambarkannya dalam ucapannya: wahai kekasih hati, hanya Kau-lah yang kucintai, beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiat-Mu”.
Gubuk tempat tinggal Rabiatul Adawiyah tidak dijumpai lampu dan makanan untuk besok hari. Tetapi setiap malam ia bangun mengerjakan shalat, cahaya selalu mengelilinginya, demikian juga makanan selalu datang di waktu lapar. Fariduddin Attar menulis dalam bukunya “Tazkiratu al-Auliya” mengatakan “ketika Rabiatul Adawiyah pada suatu hari berangkat menunaikan ibadah haji, ia menunggang seekor keledai yang tergantung di punggungnya perbekalan. Ia bertemu dengan rombongan lain yang juga hendak menunaikan ibadah haji menuju Mekah, mereka berkata: biarkan kami yang membawa perbekalanmu. Rabiatul Adawiyah menjawab: aku tidak ingin membebani orang, teruskan perjalanan kamu. Begitu Rabiatul Adawiyah menggerakkan keledainya ia lebih dahulu dari rombongan itu. Pada suatu malam masuk pencuri ke dalam rumahnya mencari sesuatu yang ada dalam rumah itu, sedang Rabiatul Adawiyah shalat dan sesudah shalat ia berdoa: Ya Allah hamba-Mu ini mencari sesuatu yang tidak ada padaku dan hanya ada pada-Mu. Penduri itu tertekun karena ia sadar bahwa keberadaannya dalam rumah diketahui olehnya. Pencuri meminta maaf. Pada pagi itu ada seorang pejabat yang membawa hadiah-hadiah yang akan diserahkan kepada Rabiatul Adawiyah namun Rabiatul Adawiyah menyuruh agar menyerahkan hadiah itu kepada pencuri itu.
Pada saat menjelang wafatnya ia meminta kepada orang yang hadir di kamar tidurnya keluar kamar tidurnya. Katanya “keluarlah dan berikanlah tempat untuk para utusan Allah”. Ketika mereka keluar dan pintu kamarnya ditutup kedengaran ia mengucapkan syahadat, kemudian menyusul jawaban suatau malaikan yang menjemput rohnya:
يا أيتها النفس المطمئنة ارجعى الى ربك راضية مرضية فادخلى فى عبادى وادخلى جنتى
Artinya “wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu, masuklah dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” (S. Al-Fajr 27-30).
Menurut penelitian orang bahwa Rabiatul Adawiyahlah sebagai sesufi wanita, sebagai tonggak penting dalam sejarah tasawuf. Ia telah merubah ajaran tasawuf dari fase dominasi emosi takut (khauf) kepada Allah yang diletakkan oleh Hasan Basri kepada fase pengembangan emosi cinta yang maksimal kepada Allah. Melalui cinta yang mendalam akan terwujud kehidupan zuhud yang sejati.
Sebagai seorang yang zahid (yang tak tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) ia tidak pernah meminta tolong kepada orang lain ketika ia ditanya mengapa ia bersikap demikian ia menjawab: aku malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi kepada orang yang bukan pemilik sesuatu itu. Allah telah memberikan rezeki kepadaku dan kepada orang kaya. Apakah Dia yang memberi rezeki kepada orang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang miskin? Sekiranya Dia yang menghendaki bagiku maka aku harus menyadari posisiku sebagai hamba-Nya dan haruslah menerimanya dengan hati yang lapang”.
Zuhud yang tadinya telah dirintis oleh Hasan al-Basri yaitu takut (khauf) kepada kemurkaan Allah dan mengharap kepada keampunan Allah, ditingkatkan oleh Rabiatul Adawiyah kepada zuhud karena cinta (hubb). Cinta yang murni lebih tinggi dari takut dan pengharapan, karena cinta tidak mengharap apa-apa dari yang dicintai. Karena itu dalam syi’ir-syi’ir yang masyhur, ia berkata tentang tujuan zuhudnya yaitu kepada Allah, karena Allah bukan kepada Allah karena mengharap. Rabiatul Adawiyah menganggap soal surga atau soal neraka adalah nomor dua atau bukan sama sekali, sebab cinta itu sendiri merupakan suatu ni’mat yang paling besar dan tidak ada tolok bandingannya. Dalam syi’irnya ia berbicara karena apa ia cinta kepada Allah katanya:
أحبك حبين حب الهوى وحبا لأنك اهل لذاكا
فأما الذى هو حب الهوى فشغلى بذكرك عمن سواكا
وأما الذى أنت أهل له فكشفك للجب حتى أراكا
فلا الحمد فى ذا ولا ذاك لى ولكن لك الحمد فى ذا وذاكا
Artinya: “aku mencintai-Mu dengan dua (macam) cinta. Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu. Cinta karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu. Dan cinta karena diri-Mu adalah keadaan-Mu menyingkap tabir hingga Kau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk itu, pukian bukanlah bagiku tapi bagi-Mu lah pujian untuk semuanya”.
Dalam syi’ir di atas cinta menurut Rabiatul Adawiyah ada dua tingkatan; pertama cinta karena rindu kepada Allah karena Allah telah menganugerahkannya hidup sehingga dapat menyebut nama Allah. Karena itulah tidak ada lagi yang lain jadi buah kenangannya dan buah tuturnya melainkan Allah. Kedua cinta dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu cinta karena Allah berhak dan bersedia menerimanya ialah cinta karena menyaksikan keindahan (jamal) dan kebesaran (jalal) yang kian hari kian terbuka baginya hijab, pembatas yang memisahkan dirinya dengan Tuhannya. Itulah tujuan cinta yaitu melihat Allah (musyahadah) dengan hatinya.
Kalau hati telah dipenuhi dengan rasa cinta, cinta yang membara dari yang mencintai kepada yang dicintai, ia tidak mengharapkan apa-apa dari yang dicintai selain dari merindukan yang dicintai. Dalam sebuah munajatnya Rabiah Adawiyah berkata: Tuhanku jika aku mengabdi kepada-Mu karena mengharap surga jauhkanlah aku dari padanya, tetapi jika Kau kupuja semata-mata karena Kau, janganlah Kau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal dari padaku”.
Satu-satunya yang diharapkan oleh orang yang mencintai ialah bertemu dengan orang yang dicintai. Di waktu tiba malam hari ia berkata: “Ya Tuhan, bintang di langit telah gemerlapan orang telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap kekasih telah menyendiri dengan kekasihnya, dan inilah aku di hadirat-Mu”. Sewaktu fajar telah menyingsing ia berkata: “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan diri, aku gelisah apakah amalanku Kau terima hingga aku merasa bahagia ataukah Kau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi kemuliaan-Mu, inilah yang kulakukan selama aku Kau berikan hayat. Sekiranya Kau usir dari depan pintu-Mu aku tidak akan pergi Cinta pada-mu telah merasuk lubuk hatiku”. Puncak cintanya kepada Allah digambarkannya dalam ucapannya: wahai kekasih hati, hanya Kau-lah yang kucintai, beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiat-Mu”.
Gubuk tempat tinggal Rabiatul Adawiyah tidak dijumpai lampu dan makanan untuk besok hari. Tetapi setiap malam ia bangun mengerjakan shalat, cahaya selalu mengelilinginya, demikian juga makanan selalu datang di waktu lapar. Fariduddin Attar menulis dalam bukunya “Tazkiratu al-Auliya” mengatakan “ketika Rabiatul Adawiyah pada suatu hari berangkat menunaikan ibadah haji, ia menunggang seekor keledai yang tergantung di punggungnya perbekalan. Ia bertemu dengan rombongan lain yang juga hendak menunaikan ibadah haji menuju Mekah, mereka berkata: biarkan kami yang membawa perbekalanmu. Rabiatul Adawiyah menjawab: aku tidak ingin membebani orang, teruskan perjalanan kamu. Begitu Rabiatul Adawiyah menggerakkan keledainya ia lebih dahulu dari rombongan itu. Pada suatu malam masuk pencuri ke dalam rumahnya mencari sesuatu yang ada dalam rumah itu, sedang Rabiatul Adawiyah shalat dan sesudah shalat ia berdoa: Ya Allah hamba-Mu ini mencari sesuatu yang tidak ada padaku dan hanya ada pada-Mu. Penduri itu tertekun karena ia sadar bahwa keberadaannya dalam rumah diketahui olehnya. Pencuri meminta maaf. Pada pagi itu ada seorang pejabat yang membawa hadiah-hadiah yang akan diserahkan kepada Rabiatul Adawiyah namun Rabiatul Adawiyah menyuruh agar menyerahkan hadiah itu kepada pencuri itu.
Pada saat menjelang wafatnya ia meminta kepada orang yang hadir di kamar tidurnya keluar kamar tidurnya. Katanya “keluarlah dan berikanlah tempat untuk para utusan Allah”. Ketika mereka keluar dan pintu kamarnya ditutup kedengaran ia mengucapkan syahadat, kemudian menyusul jawaban suatau malaikan yang menjemput rohnya:
يا أيتها النفس المطمئنة ارجعى الى ربك راضية مرضية فادخلى فى عبادى وادخلى جنتى
Artinya “wahai jiwa yang tenang kembalilah kepada Tuhanmu, masuklah dalam kelompok hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku” (S. Al-Fajr 27-30).
Menurut penelitian orang bahwa Rabiatul Adawiyahlah sebagai sesufi wanita, sebagai tonggak penting dalam sejarah tasawuf. Ia telah merubah ajaran tasawuf dari fase dominasi emosi takut (khauf) kepada Allah yang diletakkan oleh Hasan Basri kepada fase pengembangan emosi cinta yang maksimal kepada Allah. Melalui cinta yang mendalam akan terwujud kehidupan zuhud yang sejati.
assalamualaikum........
ReplyDeletesalam kenal ya.....
subkhanalloh...lika sangat suka sama tulisan2mu...
tolong di kembangkan lagi ya....
kalo perlu lebih banyak syair2 cita tentang Alloh...
biyar lebih adem di dalam hati...
mandalika lika
As. salam persahabatan.......Wanita-wanita jaman sekarang perlu membaca kisah-kisah seperti ini,semoga menjadi renungan untuk kehidupan yang lebih bermartabat
ReplyDelete