STRATA BUKU DAN PENUNTUT TASAWUF

Menurut orang shufi, murid (orang yang menuntut tasawuf) terbagi menjadi tiga strata (tingkatan). Karena itu buku pelajaran tasawfu juga dibagi menjadi tiga kelompok yang menjadi bahan pelajaran pada setiap strata; pembagian ini berdasarkan wawasan dan pengalaman murid sendiri.


Menurut orang shufi, murid (orang yang menuntut tasawuf) terbagi menjadi tiga strata (tingkatan). Karena itu buku pelajaran tasawfu juga dibagi menjadi tiga kelompok yang menjadi bahan pelajaran pada setiap strata; pembagian ini berdasarkan wawasan dan pengalaman murid sendiri. Tiga strata ini ialah:

a. Mubtadi
Mubtadi ialah murid yang baru mempelajari ilmu syariat seperti tauhid dan fikih. Hati mereka belum bersih, perbuatan mereka belum bersih dari kemaksiatan lahir dan batin. Untuk strata ini diharuskan membaca dan mempelajari buku-buku yang memang ditulis untuk strata ini di antaranya:

a) Tanwir al-Qulub oleh Najmuddin Amin Kurdi yang secara sistematis menguraikan ilmu-ilmu dasar agama. Pada buku pertama diuraikan tentang akidah, baik kepaa Allah, Rasul dan masalah sam’iyat. Buku kedua dibicarakan fikih secara lengkap kemudian pada buku yang ketiga dibicarakan ajaran tasawuf dan diakhiri dengan uraian thariqat Naqsyabandiyah.

b) Bidayatu al-Mujtahid oleh Imam Gazali yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dengan judul “Hidayatu al-Salikin” oleh Abdussamad Palimbani, yang berbicara tentang ibadah-ibadah yang sunat, akhlak yang terpuji.

c) Al-Risalah al-Qusyairiyah oleh Abu Kasin al-Qusyairi yang memuat istilah-istilah shufi, tokoh-tokoh shufi dan sifat-sifat yang terpuji.

d) Awarifu al-Ma’arif oleh Umar Surawardi yang membicarakan maqamat shufi

b. Muthawasith
ialah orang yang sudah matang dalam ilmu syariat dan sedang mendalami thariqat. Dalam ilmu thariqat ia mempelajari cara atau metode pembersihan hati dari kemaksiatan batin. Untuk strata ini dianjurkan mempelajari dan membaca buku-buku di antaranya:

a) Kitab Hikam oleh Ibni Athaillah yang memuat maqam shufi, sifat-sifat yang terpuji dan yang tercela serta tauhidu al-af’al dan tauhidu al-shifat dan asma’.

b) Minhaju al-Abidin oleh Gazali yang isinya membicarakan penghalang-penghalang menuju Allah seperti ilmu pengetahuan yang keliru, gangguan manusia, syaitan dan nafsu, semuanya harus diatasi dalam kemurnian jiwa dan pembersihan tingkah laku.

c. Muntahi
ialah orang yang sudah berkembang ilmu dan amalnya, telah matang dalam ilmu syariat, telah menjalankan thariqat, hati dan perbuatannya sudah suci dari kemaksiatan dan hatinya tidak pernah lupa dari mengingat Allah. Orang yang sampai pada strata ini biasanya dinamakan “arif billah” yakni sudah sampai kepada hakikat. Orang yang sampai ke tingkat ini dianjurkan mempelajari buku-buku yang memuat ilmu laduni, ilmu ma’rifat, yakni ilmu yang sampai kepada ainul yakin dan hakkul yakin. Buku-buku yang dikhususkan untuk strata ini di antaranya:

a. Durun Nafis oleh Muhammad Nafis al-Banjari yang memuat tauhidul af’al, tauhidus shifat, tauhidul asma’ dan tauhiduz zat dan pembahasan tentang martabat tujuh yang juga dinamakan tanziluz zat yang oleh penulisnya dikatakan rahasia Allah yang tidak boleh diajarkan kepada orang yang bukan ahlinya.

b. Di antara buku-buku yang dapat dipelajari oleh orang yang telah sampai kepada strata ini di antaranya kitab “Fushushul Hikam”, “Mawaqi’un Nujum” dan “Futuhatul Makkiyah” oleh Ibnu Arabi, kitab Misykatul Anwar”, Sirru al-manun” dan “al-Maqshadul Aqsha” oleh Gazali dan kitab “Insan Kamil” oleh Abdul Karim al-Jilli
Bagi orang yang belum mencapai strata muntahi diharamkan mempelajari buku-buku di atas, karena kemungkinan akan membawa kesalahpahaman sehingga mengakibatkan kesesatan. Biasanya dalam ilmu hakikat penulisnya membawakan ungkapan-ungkapan yang sulit dipahami. Kalau dapat dipahami seperti yang tertulis tetapi bukan yang dimaksud oleh penulisnya. Ketika buku-buku Ibnu Arabi dikritik habis-habisan oleh para ulama, ia hanya berkata:
فاصرف الخاطر عن ظاهرها # واطلب الباطن حتى تعلم
Artinya: “Palingkan perhatianmu dari yang tersurat tetapi carilah apa yang tersifat barulah engkau ketahui”. Muhammad Nafis dalam risalah “Durun Nafis” menulis “ketahuilah olehmu bahwasanya segala ilmu yang fakir sebutkan di dalam risalah ini yaitu rahasia yang amat halus dan perkataannya pun amat dalam, tidak mengetahui dia melainkan ulama yang rasikh yakni yang tetap yang dahulu cahayanya dari perkataannya karena ia rahasia anbiya dan auliya… Dan tidak berizin oleh syara’ menyatakan dia kepada yang bukan ahlinya”. Karena itu sering terjadi kekeliruan memilih buku yang semestinya bukan untuk stratanya yang akibatnya salah memahaminya dan kesesatanlah yang didapat. Tetapi apabila telah sampai masanya ilmunya telah berkembang dan mendalam pula pengalaman syariat dan telah pula menjalani thariqat, maka sangat dianjurkan membaca dan mempelajari buku-buku ilmu hakikat, dan pada waktu itu tidak perlu lagi melalui bimbingan guru karena tingkatan muntahi ini, orang sudah dianggap layak membaca dan mempelajari sendiri.


Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)