Wahdatu al-Syuhud

Dalam buku “Tarikh al-Islam” dikatakan “taswuf Islam berkembang dengan pesat di kalangan kaum muslimin khususnya di kalangan orang-orang Persia yang masuk Islam. Dalam perkembangan yang terakhir, tasawuf Islam berpadu dengan ajaran filsafat sehingga menjadi satu mode tasawuf yang dinamakan filsafat tasawuf”. Filsafat tasawuf yang merupakan perpaduan ajaran filsafat Neo Platonisme dan di pihak lain dengan ajaran filsafat Persia dan India”.

Browne dalam bukunya “Literary History of Persia” mengutip ucapan Von Kramer yang mengatakan “jelas ajaran tasawuf menghimpunkan dua unsur ajaran yang berbeda, yang satu dari ajaran hidup zuhud (sederhana) yang diajarkan agama Kristen yang masuk ke dalam Islam semenjak abad pertama kemudian disusul dengan ajaran samedhi Budha yang dibawa oleh orang-orang Persia ke dalam Islam. Ajaran inilah yang sangat mempengaruhi ajaran tasawuf sehingga tasawuf Islam kehilangan kemurniannya”. Maka pada suasana yang seperti ini lahirlah pemikir besar al-Gazali yang berusaha memadukan kembali antara pemikiran yang berseberangan dan ajaran yang dianggap sudah menyimpang dengan teori “wahdatu al-Syuhud”.
Wahdatu al-Syuhud yang secara harfi mengandung arti keesaan penyaksian adalah satu paham dalam tasawuf tentang keesaan Tuhan sekaligus keesaan wujud yang tampak dalam penyaksian hati nurani. Menurut paham wahdatu al-Syuhud, keesaan Allah disaksikan oleh mata batin manusia yang mampu menfanakan dirinya di dalam Tuhan atau sesudah lenyapnya (fana) hijab atau dinding yang membatasi mata hati dengan Tuhan. Sebagai akibat dari penyaksian mata batin itu, keyakinan tentang keesaan Allah meningkat ke tarap yang tertinggi atau dengan kata lain lebih tinggi dari tarap keyakinan yang hanya berupa membenarkan berita al-Qur’an dan Hadis yang diperkuat dengan argumentasi rasional. Penyaksian keesaan Tuhan sekaligus berarti pengakuan satu-satunya wujud yang hakiki hanya Allah yang disaksikan oleh mata batin seseorang yang memperoleh kasyaf. Wujud semua alam empiris termasuk dirinya pada saat itu lenyap, baik dari mata batin maupun dari mata hati.
Kehadiran Tuhan dalam penyaksian batin seseorang telah menyebabkan lenyapnya kehadiran alam empiris dan dirinya sendiri yang dicontohkan seperti kehadiran matahari yang terang benderang yang menyebabkan lenyapnya bintang-bintang dari mata kepala manusia. Perona keindahan wuud Tuhan sehingga dapat menyerap segenap perhatian hati orang yang menyaksikannya dengan kepalanya. Kendatipun tempak masih terbuka dan berhadapan dengan alam empiris menjadi tertutup oleh kehadiran wujud-Nya dalam penyaksian mata hatinya. Keberadaan alam empiris dan dirinya menjadi tersembunyi di balik kehadiran wujud Tuhan. Hanya wujud Tuhan saja dengan berbagai rahasia-Nya yang tampak oleh penyaksian mata batinnya. Bila kasyaf atau penyaksian atau telah berakhir alam empiris dan dirinya kembali tampak oleh mata kepalanya atau hadir dalam kesadarannya yang biasa.
Al-Gazali sebagai seorang shufi yang meletakkan dasar teori wahdatu al-Syuhud yang nama lengkapnya Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Tusi al-Gazali. Ia dilahirkan di kota Tus di Iran pada tahun 450 H/1055 M, tetapi akhir namanya dinisbahkan kepada kampung dekat kota Tus yang bernama Gazalah di mana keluarganya dahulu tinggal.
Pada masa muda al-Gazali belajar di kota Tus, kemudian ke Naisabur dan di sana ia belajar ilmu kalam dan ilmu fikih dengan Imam al-Haramain dan al-Gazali termasuk seorang murid yang terpandai. Setelah Imam al-Haramain meninggal pada tahun 475 H, al-Gazali meninggalkan Naisabur dan berangkat ke Astar dan bertemu dengan Nizamu al-Daulah Menteri Sultan Malik Syah Sultan Bani Saljuk. Nizam al-Daulah mengangkatnya menjadi rektor Akademi Nizamiyah di Bagdad ialah sebuah perguruan tinggi Islam yang terkenal yang dibangun oleh Nizamu al-Daulah pada tahun 485 H atau 1088 M.
Kemudian al-Gazali mendapat persoalan dalam dirinya sendiri yaitu pertentangan antara agama dan akal. Oleh karena itu dengan secara diam-diam ia meninggalkan pekerjaannya dan pegi berkelana ke pelbagai tempat seperti ke Mekah, Damaskus, Yerusalem, dan Aleksanderia dan dalam pengembaraannya ini ia tidak pernah memberitahukan namanya. Tetapi kemudian ia kembali ke Tus memulai kehidupan berpikir dan merenung tentang kehidupan ini dan ia hidup sebagai seorang shufi dan memulai mengarang. Ia lakukan seperti ini ialah untuk mencari jalan bagaimana membuktikan bahwa agama Islam lebih baik dari filsafat dan dari semua agama yang lain, karena itulah ia digelar “Hujjatul Islam”.
Kemudian beberapa tahun setelah itu, al-Gazali berhenti mengarang dan kembali sebagai dosen di Akademi Nizamiyah namun hanya beberapa tahun saja ia menjalankan tugas ini, dan kembali ke Tus dan hidup sebagai seorang shufi serta mendirikan tempat latihan shufi (zawiyah) sampai ia mencapai usia 55 tahun dan ia meninggal pada tahun 505 H.
Al-Gazali dianggap sebagai pemikir Islam yang besar. Semenjak kecil ia gemar mempelajari ilmu pengetahuan, kendatipun dalam menuntut ilmu pengetahuan ini ia selalu mendapat kesukaran. Sedang sepanjang hidupnya dipergunakan untuk meneliti pemikrian yang berkembang di kalangan umat Islam, baik pada masa lampau maupun pada masanya untuk membuktikan pemikiran mana yang cocok dengan ajaran Islam dan mana yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Al-Gazali banyak menulis buku dan risalah tentang agama dan filsafat, Bukunya yang sangat berharga sebanyak 70 buah dan di antaranya: (1) Munqiz min al-Dhalal (Pelepasan dari Kesesatan), (2) Tahafutu al-Falasifah (Kekacaubalauan Filsafat) (3) Mizanul Amal (Timbangan Amal) (4) Ihyau Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama) (5) Al-Wajiz (Singkatan) (6) Mahku al-Nazar (Semata Pikiran) (7) Maqashidu al-Falasifah (Pengantar Ilmu Filsafat), dan (8) Al-Mushtasfa. Buku-buku al-Gazali sebagian besar diterjemahkan ke dalam bahasa latin, Hebrew, dan Inggeris dan al-Gazali tergolong salah seorang fukaha Syafi’iyah yang terkenal dan terkemuka serta pendukung mazhab al-Asy’ariyah yang terkenal.
Asy’ariyah (Ahlu Sunnah) dengan golongan shufi yang menganut aliran Hulul (tranmisi) yang diajarkan oleh al-Hallaj dan aliran Wahdatu al-Wujud yang sudah sampai ke puncaknya. Dalam hal ini al-Gazali memihak kepada Ahlu Sunnah yang menentang aliran tasawuf al-Hallaj bahkan menentang pendapat Mu’tazilah dan filusuf. Kendatipun demikian pendirian al-Gazali tentang filsafat dan tasawuf, namun orang mengatakan al-Gazali sebagai adalah seorang filusuf dan seorang shufi hanyalah tasawuf al-Gazali yang intinya kehidupan zuhud, kesederhanaan dan latihan jiwa yang sesuai dengan ajaran Islam.
Al-Gazali menerangkan dalam bukunya “Ihya Ulumiddin” bahwa alam ini ada dua macam; alam lahir dan alam batin. Indera adalah alat untuk mencapai alam lahir sedang alam batin hanya dapat dicapai dengan kurnia Allah dan ilham. Kesempurnaan kurnia Allah bukanlah dengan jalan bersatu (ittishal) atau melalui hulul (penjelmaan) seperti dalam ajaran shufi lainnya tetapi kesempurnaan tersingkap tirai (kasyaf) rohani yang terjadi di kala tidur atau bangun dan penolakannya terhadap dunia dan keindahannya adalah puncak keutamaan.
Al-Gazali mengemukakan kecamannya terhadap filsafat dalam bukunya “Al-Munqizu min al-Dhalal”. Di antara kecamannya karena adanya kekeliruan dan kekeliruan itu yang di antaranya (1) mengakui bahwa jiwa falak mengetahui segala yang ada dalam alam ini sedang pengetahuan Allah hanya terbatas pada asal-muasal (2) mengakui bahwa benda-benda falak merupakan bintang yang selalu tunduk kepada Allah dalam perjalanannya pada falaknya masing-masing (3) kepastian adanya hubungan sebab akibat (4) ketidakmampuan para filusuf mengemukakan argumentasi tentang jiwa manusia yang terdiri dari jauhar (substansi) rohani yang tidak diciptakan. (5) jiwa manusia dapat ditempati oleh tiada (6) penolakan para filusuf bahwa Allah Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan Maha Berkehendak (7) ketidakmampuan para filusuf membuktikan Allah Maha Esa (8) Ketidakmampuan para filusuf membuktikan Allah mengetahui zat-Nya (9) ketidakmampuan para filusuf membuktikan adanya pencipta alam raya ini. Di samping itu ada hal yang menyebabkan para filusuf menjadi kafir ialah (1) mengakui bahwa Allah tidak mengetahui perkembangan yang ada dalam alam raya ini (2) mengakui bahwa alam ini kekal dan abadi dan (3) menolak terjadinya hari kebangkitan dengan jasad tetapi hanya roh saja”.
Sebelum al-Gazali para ulama kalam mempergunakan filsafat untuk memperkuat dasar ilmu kalam. Tetapi al-Gazali berpendapat bahwa argumentasi yang diambil dari filsafat sangat dangkal. Orang hanya tertarik dengan ujung filsafat tetapi tidak menggali sampai ke akarnya. Padahal sekiranya digali sampai ke akarnya, filsafat tidak memperkokoh pendirian ke-Tuhan-an hanyalah akan menggoyahkannya. Maka ditulisnya beberapa buah buku untuk menyetakan pendapatnya seperti buku “al-Munqia min al-Dhalal” dan “Tahafutu al-Falasifah”. Menurutnya makin bertambah dalam mempelajari filsafat bukan keyakinan bertambah melainkan akan karam dalam keraguan. Karena dapat mencapai kebenaran, keadilan, kecintaan, dan keyakinan karena akal tidak mampu mencapai nilai.
Al-Gazali lebih tertarik kepada tasawuf karena dalam tasawuf bukan semata akal, kendatipun demikian ia mengakui juga banyak kesalahan yang dibikin oleh orang shufi yang dahulu, namun kesalahan itu masih dapat diperbaiki asal saja dua hal jangan dipisahkan yaitu amal dan ilmu. Ia tertarik dengan tasawuf karena di dalam tasawuf terdapat latihan jiwa untuk menahan dorongan nafsu untuk meninggalkan sifat-sifat yang tercela. Malalui latihan-latihan hati menjadi bersih dengan hati yang bersih, orang dapat mendekatkan diri kepada Allah, apalagi kalau senantiasa dihiasi dengan zikir (ingat) terus menerus kepada Allah. Sesudah al-Gazali mempelajari buku-buku tasawuf ia berkesimpulan tasawuf bukan ilmu sembarangan yang semata berdasarkan akal tetapi yang dipentingkan adalah rasa. Melalui latihan-latihan jiwa dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi hingga sampai kepada kebahagiaan. Kebahagiaan tidak dapat dilukiskan dengan tulisan, tidak dapat dibayangkan dengan indera tetai kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan akhirat. Untuk mencapai kebahagiaan, orang harus menyediakan bekal ialah takwa. Tuhan dapat didekati dengan menahan nafsu, memutuskan ikatan dengan dunia dan melepaskan segala ikatan yang selalu merintangi di dalam menuju kepada keridhaan Allah. Untuk menggambarkan semua itu, ditulisnya sebuah buku yang berjudul “Ihyau Ulumiddin” suatu jelmaan pikiran dan seorang yang tidak hanya berpegang kepada akal semata. Dalam buku itu ia mengawinkan kembali antara lahir dan batin, antara fikih dan tasawuf dan ilmu kalam.
Ma’rifat menurut al-Gazali tidak semata diperoleh dengan akal, ma’rifat kepada Allah ialah suatu keyakinan yang menganggap tidak ada yang maujud yang sebenarnya melainkan Allah, tidak ada perbuatan yang sebenarnya melainkan perbuatan Allah. Allah dan perbuatannya adalah dua, Allah Pencipta dan makhluk yang diciptakan, bukan satu sebagaimana yang diyakinkan oleh aliran Wahdatu al-Wujud. Kesatuan hanya ada pada pandangan batin bukan lahirnya. Demikian al-Ghazali menjelaskan pendiriannya yang berbeda dengan al-Hallaj dan shufi lainnya yang berpendapat bahwa wujud hanya satu (wahdatu al-wujud). Wujud Allah adalah juga wujud makhluknya dan makhluk adalah wujud Allah. Menurut al-Gazali seluruh alam ini adalah makhluk yang menjadi bukti tentang adanya khalik yang nempaknya adlah bekas kekuasaan dan kebesaran-Nya. Apabila telah jelas dan nyata (tajalli) dalam syuhud (pandangan) hati tentang hakikat ketuhanan ini, pada sifat dan af’aln-Nya, serta hikmah yang terkandung dalam dunia dan akhirat itulah kebahagiaan. Menurut al-gazali bagi orang awam tidak perlu memasuki persoalan-persoalan yang mendalam yang akan lebih banyak menimbulkan keraguan dalam hatinya sendiri. Ilmu yang sulit lebih banyak merusak dari pada memperbaiki. Bagi orang awam cukup jika ia berpegang kepada al-Qur’an dan Sunnah, tak usah banyak tanya, tak usah ikut menta’wilkan, karena ta’wil bagi orang awam laksana orang yang tidak pandai berenang mencoba merenangi lautan. Ada lagi sebagian orang yang ilmunya baru setengah perjalanan, baru mempelajari perkakas, tetapi bukan alat dan hasilnya sendiri hanyalah diambil dari orang lain. Belum ada kemampuan membanding, maka timbullah keraguan dalam hatinya. Tetapi ada orang yang sudah mencapai tingkat yang lebih tinggi, orang itu tidak lagi semata berpegang kepada kulit lahir nash. Al-Gazali merasa belum cukup dengan hasil penelitian akal, tetapi meningkat kepada yang lebih baik yaitu ilmu yang lebih banyak dirasakan daripada dikatakan. Itulah anugerah istimewa Allah, ia dapat menyaksikan yang Haq dengan Nur (cahaya) keyakinannya.
Al-Gazali membagi tingkatan iman dan keyakinan kepada tiga tingkatan: (1) Iman orang awam. Orang awam percaya kepada orang yang dipercaya kebenarannya. (2) Iman orang alim. Ia memperoleh kepercayaan dengan cara membanding, meneliti dan menarik kesimpulan dengan kesungguhan akalnya (3) Iman orang arifin. Ia beriman dan keyakinannya tumbuh setelah menyaksikan sendiri akan kebenaran itu dengan tidak ada dindingnya.
Dicontohkannya dengan adanya seorang dalam rumah. Orang yang mendengar berita adanya seorang dalam rumah dari orang bahwa si A ada dalam rumah, ia percaya terhadap berita itu. Orang alim menyaksikan tanda-tanda misalnya baju yang tersangkut, sandal terletak di depan pintu, dengan melalui tanda-tanda itu ia menyimpulkan bahwa si A memang ada di dalam rumah. Orang arif telah masuk ke dalam rumah dan bertemu dengan si A. Untuk mencapai iman arifin dapat ditempuh dengan melepaskan diri dari pengaruh dunia, bahkan dari pengaruh kemegahan mendapat ilmu pengetahuan itu sendiri dan menetapkan tujuan menuju akhirat, semata-mata menghadap Allah, Suluk adalah jalan yang harus ditempuh untuk menguasai diri dengan melatih diri dan menguasai hawa nafsu. Apabila suluk telah dijalani terbukalah hijab yang mendindingi hamba dengan Tuhannya, sehingga dapat menyaksikan sendiri (musyahadah) dengan penglihatan hati bukan dengan penglihatan mata kasat. Apabila telah tersingkap hilanglah keraguan dan tumbuhlah keyakinan. Orang yang sudah sampai ketingkat ini dinamakan “wali”, sedang derajat wali di bawah derajat nabi, nabi mendapat wahyu sedang wali mendapat ilham. Memang manusia selalu ingin tahu, karena ia datang kedunia ini dengan serba tidak tahu. Apabila ia telah tahu terasa ketenangan hati. Tingkat ketenangan ada dua; lezat (kepuasan) dan sa’adah (kebahagiaan). Bertambah banyak yang diketahuinya, bertambah naik tingkat kepuasan dan bertambah mendalam kebahagiaan. Inilah sebabnya lebih merasa bahagia daripada orang yang rendah ilmu pengetahuannya. Menurut al-Gazali puncak dari kepuasan dan kebahagiaan itu ma’rifah (mengenal Tuhan). Karena puncak segala keindahan, kepuasan dan kebahagiaan ialah mengenal pokok pangkal kejadian, pokok pangkal segala keindahan adalah Allah. Diumpamakan dengan seorang yang merasa berbahagia jika ia dapat berkenalan dengan Perdana Menteri, tentunya tingkat kebahagiaannya akan naik lagi kalau ia dapat berkenalan dengan Raja, dan rasa puas dan bahagia kalau ia dapat berkenalan dengan raja dari segala raja.

Tidak diragukan betapa besar pengaruh tasawuf karya al-Gazali yang telah dapat mempertemukan kembali Ilmu Kebatinan dengan Ilmu Zahir. Al-Gazali dengan teorinya mencapai hakikat bukan semata dengan akal tetapi adalah juga dengan perasaan. Tetapi rupanya arus perkembangan tasawuf falsafi begitu keras dapat melanda teori al-Gazali hingga pada abad keenam hijriyah muncul lagi aliran baru dalam tasawuf yaitu sinkritisme (perpaduan) antara ajaran tasawuf dengan filsafat, khususnya filsafat Neo Platonisme yaitu aliran wahdatu al-wujud dan isyraqi.


Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)