Cahaya Ilahi
Terjemahan Bahasa Indonesia:
Allah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahayaNya, adalah seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada sebuah pelita besar. Pelita itu di dalam kaca, kaca itu seakan-akan bintang seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak disebelah timur dan tidak pula disebelah barat, yang minyaknya hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala suatu.
Terjemahan Bahasa Malaysia:
Allah yang menerangi langit dan bumi. Bandingan nur hidayah petunjuk Allah adalah sebagai sebuah "misykaat" yang berisi sebuah lampu; lampu itu dalam geluk kaca, geluk kaca itu pula laksana bintang yang bersinar cemerlang; lampu itu dinyalakan dengan minyak dari pokok yang banyak manfaatnya, pokok zaitun yang bukan sahaja disinari matahari semasa naiknya dan bukan sahaja semasa turunnya; hampir-hampir minyaknya itu - dengan sendirinya - memancarkan cahaya bersinar walaupun ia tidak disentuh api: cahaya berlapis cahaya. Allah memimpin sesiapa yang dikehendakiNya kepada nur hidayahNya itu; dan Allah mengemukakan berbagai-bagai misal perbandingan untuk umat manusia; dan Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.
Imam al-Ghazali (w 1111), dalam karya agungnya “Misykat al-Anwar”, menyajikan pandangan ekslusifnya tentang cahaya, pada prinsipnya adalah tafsir sufistik terhadap ayat al-Qur’an (surat al-Nur: 35) yang menyatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi, sebagaimana disebutkan di atas.
Namun kepiawaian al-Gazali dalam karya tersebut terlihat dalam pemberian tafsir sufistik terhadap “ayat cahaya” tersebut. Dengan tafsirnya itu, kita jadi mengerti apa yang dimaksud dengan cahaya Ilahi dan cahaya-cahaya lainnya yang tercantum dalam keseluruhan ayat tersebut melalui symbol-simbol tertentu, seperti Misykat, al-Mishbah, al-Zujajah, Syajarah Mubarakah, Zaitun, dan Nur ala al-Nur. Menurut al-Gazali, istilah-istilah tersebut merujuk kepada berbagai jenis cahaya yang ada di alam raya dan juga pada diri manusia. Maka dikatakan oleh beliau bahwa ketika Allah dirujuk dalam ayat tersebut sebagai cahaya langit dan bumi, maka menurut beliau hanya Allah-lah yang paling patut disebut sebagai cahaya dalam arti yang sebenarnya, sedangkan cahaya-cahaya selainnya hanya bisa disebut secara majazi (aligoris). Ia adalah sumber dari segala yang ada dan sumber dari segala cahaya ada di langit maupun di bumi.
Selain itu al-Gazali juga mendiskusikan jenis cahaya lain, yang biasanya tidak kita sebut cahaya, tetapi al-Gazali justru menyebut cahaya yang lebih baik daripada cahaya fisik yang biasa kita kenal. Cahaya didefinisikannya sebagai sesuatu yang terang pada dirinya, dan bisa membuat terang bagi lainnya. Dan itu bisa diterapkan pada cahaya seperti yang kita kenal selama ini, tetapi juga dalam arti yang simbolis. Dari sini kemudian kita tahu bahwa yang dimaksud dengan istilah misykat dalam ayat di atas tidak lain dari indera-indera yang dimiliki manusia. Indera-indera ini pun disebut oleh al-Gazali sebagai cahaya.
Selain misykat yang arti harfiahnya adalah ceruk atau relung, ayat tersebut juga menyinggung istilah mishbah (lampu), yang bagi al-Gazali juga merujuk pada jenis cahaya yang lebih kuat pada manusia, yang tidak lain adalah qalbu. Qalbu yang di dalamnya ada akal, menurutnya, lebih patut disebut cahaya – karena kekuatan akal qalbu ini lebih kuat daripada inderawi, misalnya mata – tidak bisa melihat benda yang terlalu jauh atau terlalu dekat (benda yang dipantulkan pada mata, misalnya tidak akan dilihat oleh mata). Namun akal sekali ia dapat memahami sebuah obyek, maka jarak tidak akan menjadi penghubung bagi pemahamannya.
Istilah lain yang ditafsirkan secara sufistik – filosofis oleh al-Gazali adalah ”zujajah” yang arti harfiahnya adalah kaca. Kaca di sini menurut al-Gazali merujuk pada daya lain yang dimiliki manusia, yaitu imajinasi. Seperti kaca, maka imajinasi menurut al-Gazali, dapat membantu memperkuat cahaya lampu (akal qalbu). Selain dapat melindungi api lampu tersebut dari terpaan badai yang bisa mematikannya. Tetapi sebaliknya, kalau imajinasi ini dibiarkan kotor – dalam arti tidak pernah dibersihkan dari debu-debunya, maka imajinasi tidak akan menambah daya pancar akal qalbu.
Syajarah mubarakah, menurut al-Gazali, merujuk pada daya lain yang dimiliki manusia, yaitu daya fikir (al-ruh al-fikriyyah). Melalui daya ini manusia akan mampu menyusun pohon ilmu pengetahuan yang memiliki pohon cabang, ranting, dan buah, sehingga disebut mubarakah (yang diberkati). Menurut beliau daya fikir ini memiliki dua jenis daya (fakulty), yakni daya fikir yang perlu dilatih untuk pengembangannya, dan daya fikir yang tidak perlu dilatih untuk pengaktualannya. Daya fikir yang belakangan ini diistilahkan dengan ”minyak zaitun yang hampir menyala, meski tidak disentuh oleh api”. Adapun yang dimaksud dengan ”minyak zaitun” tersebut adalah ”daya suci kenabian” (al-nur al-nabawi al-qudsi). Daya-daya kenabian – baca Nur Muhammad - inilah yang digunakan para nabi dalam menerima wahyu dari Allah, tanpa melalui latihan bahkan tanpa guru atau tutor.
Adapun istilah ”Nur ala al-Nur”--(cahaya di atas cahaya) adalah merujuk atas kekuatan nabawi di atas, tetapi sekaligus menunjukkan betapa cahaya tersebut—memiliki hirarki dari yang satu di atas yang lainnya. Inilah dimensi mistis dari cahaya yang dikembangkan, seperti dikembangkan oleh para sufi.
Marilah sekarang kita beralih kepada dimensi filosofis dari cahaya sebagaimana dikembangkan oleh para filosof. Adapun filosof Muslim yang paling banyak dan bersemangat dalam memanfaatkan simbolisme cahaya dalam filsafatnya adalah Suhrawardi al-Maqtul (w. 1191). Cahaya, bagi Suhrawardi, merupakan realitas yang paling fundamental, dan itu tidak lain adalah Tuhan itu sendiri—yang ia sebut sebagai ”cahaya dari segala cahaya” (Nur al-Anwar). Pentinganya cahaya ini terpantul jelas dalam karya utamanya yang berjudul ”Hikmat al-Isyraq” yang berarti ”filsafat ilmuminasi”.
Bagi Suhrawardi, cahaya adalah realitas yang paling fundamental dari segala yang ada, sehingga tidak perlu didefinisikan. Ciri utama cahaya adalah terang pada dirinya, dan bisa membuat terang bagi yang lain. Cahaya mengalami hirarki, dan yang berada di puncak hirarki adalah Tuhan yyang disebutnya wahyu—cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar), yang merupakan sumber segala cahaya. Segala sesuatu ada karena adanya cahaya, tanpa cahaya, maka yang ada hanyalah kegelapan, yang pada dirinya bersifat negatif. Artinya tidak punya realitas yang positif pada dirinya. Ia ada hanyalah karena ketiadaan cahaya. Begitu cahaya hadir, maka kegelapan serta merta sirna. Meskipun begitu, hanya Tuhan yang bisa disebut cahaya murni. Adapun yang membedakan suatu benda/wujud dengan benda/wujud lain hanyalah intensitasnya.
(Disarikan dari Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara dalam Dedy Suardi, 2007, Cahaya, Jakarta, RM Books)
Terjemahan Bahasa Malaysia:
Allah yang menerangi langit dan bumi. Bandingan nur hidayah petunjuk Allah adalah sebagai sebuah "misykaat" yang berisi sebuah lampu; lampu itu dalam geluk kaca, geluk kaca itu pula laksana bintang yang bersinar cemerlang; lampu itu dinyalakan dengan minyak dari pokok yang banyak manfaatnya, pokok zaitun yang bukan sahaja disinari matahari semasa naiknya dan bukan sahaja semasa turunnya; hampir-hampir minyaknya itu - dengan sendirinya - memancarkan cahaya bersinar walaupun ia tidak disentuh api: cahaya berlapis cahaya. Allah memimpin sesiapa yang dikehendakiNya kepada nur hidayahNya itu; dan Allah mengemukakan berbagai-bagai misal perbandingan untuk umat manusia; dan Allah Maha Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu.
Imam al-Ghazali (w 1111), dalam karya agungnya “Misykat al-Anwar”, menyajikan pandangan ekslusifnya tentang cahaya, pada prinsipnya adalah tafsir sufistik terhadap ayat al-Qur’an (surat al-Nur: 35) yang menyatakan bahwa Allah adalah cahaya langit dan bumi, sebagaimana disebutkan di atas.
Namun kepiawaian al-Gazali dalam karya tersebut terlihat dalam pemberian tafsir sufistik terhadap “ayat cahaya” tersebut. Dengan tafsirnya itu, kita jadi mengerti apa yang dimaksud dengan cahaya Ilahi dan cahaya-cahaya lainnya yang tercantum dalam keseluruhan ayat tersebut melalui symbol-simbol tertentu, seperti Misykat, al-Mishbah, al-Zujajah, Syajarah Mubarakah, Zaitun, dan Nur ala al-Nur. Menurut al-Gazali, istilah-istilah tersebut merujuk kepada berbagai jenis cahaya yang ada di alam raya dan juga pada diri manusia. Maka dikatakan oleh beliau bahwa ketika Allah dirujuk dalam ayat tersebut sebagai cahaya langit dan bumi, maka menurut beliau hanya Allah-lah yang paling patut disebut sebagai cahaya dalam arti yang sebenarnya, sedangkan cahaya-cahaya selainnya hanya bisa disebut secara majazi (aligoris). Ia adalah sumber dari segala yang ada dan sumber dari segala cahaya ada di langit maupun di bumi.
Selain itu al-Gazali juga mendiskusikan jenis cahaya lain, yang biasanya tidak kita sebut cahaya, tetapi al-Gazali justru menyebut cahaya yang lebih baik daripada cahaya fisik yang biasa kita kenal. Cahaya didefinisikannya sebagai sesuatu yang terang pada dirinya, dan bisa membuat terang bagi lainnya. Dan itu bisa diterapkan pada cahaya seperti yang kita kenal selama ini, tetapi juga dalam arti yang simbolis. Dari sini kemudian kita tahu bahwa yang dimaksud dengan istilah misykat dalam ayat di atas tidak lain dari indera-indera yang dimiliki manusia. Indera-indera ini pun disebut oleh al-Gazali sebagai cahaya.
Selain misykat yang arti harfiahnya adalah ceruk atau relung, ayat tersebut juga menyinggung istilah mishbah (lampu), yang bagi al-Gazali juga merujuk pada jenis cahaya yang lebih kuat pada manusia, yang tidak lain adalah qalbu. Qalbu yang di dalamnya ada akal, menurutnya, lebih patut disebut cahaya – karena kekuatan akal qalbu ini lebih kuat daripada inderawi, misalnya mata – tidak bisa melihat benda yang terlalu jauh atau terlalu dekat (benda yang dipantulkan pada mata, misalnya tidak akan dilihat oleh mata). Namun akal sekali ia dapat memahami sebuah obyek, maka jarak tidak akan menjadi penghubung bagi pemahamannya.
Istilah lain yang ditafsirkan secara sufistik – filosofis oleh al-Gazali adalah ”zujajah” yang arti harfiahnya adalah kaca. Kaca di sini menurut al-Gazali merujuk pada daya lain yang dimiliki manusia, yaitu imajinasi. Seperti kaca, maka imajinasi menurut al-Gazali, dapat membantu memperkuat cahaya lampu (akal qalbu). Selain dapat melindungi api lampu tersebut dari terpaan badai yang bisa mematikannya. Tetapi sebaliknya, kalau imajinasi ini dibiarkan kotor – dalam arti tidak pernah dibersihkan dari debu-debunya, maka imajinasi tidak akan menambah daya pancar akal qalbu.
Syajarah mubarakah, menurut al-Gazali, merujuk pada daya lain yang dimiliki manusia, yaitu daya fikir (al-ruh al-fikriyyah). Melalui daya ini manusia akan mampu menyusun pohon ilmu pengetahuan yang memiliki pohon cabang, ranting, dan buah, sehingga disebut mubarakah (yang diberkati). Menurut beliau daya fikir ini memiliki dua jenis daya (fakulty), yakni daya fikir yang perlu dilatih untuk pengembangannya, dan daya fikir yang tidak perlu dilatih untuk pengaktualannya. Daya fikir yang belakangan ini diistilahkan dengan ”minyak zaitun yang hampir menyala, meski tidak disentuh oleh api”. Adapun yang dimaksud dengan ”minyak zaitun” tersebut adalah ”daya suci kenabian” (al-nur al-nabawi al-qudsi). Daya-daya kenabian – baca Nur Muhammad - inilah yang digunakan para nabi dalam menerima wahyu dari Allah, tanpa melalui latihan bahkan tanpa guru atau tutor.
Adapun istilah ”Nur ala al-Nur”--(cahaya di atas cahaya) adalah merujuk atas kekuatan nabawi di atas, tetapi sekaligus menunjukkan betapa cahaya tersebut—memiliki hirarki dari yang satu di atas yang lainnya. Inilah dimensi mistis dari cahaya yang dikembangkan, seperti dikembangkan oleh para sufi.
Marilah sekarang kita beralih kepada dimensi filosofis dari cahaya sebagaimana dikembangkan oleh para filosof. Adapun filosof Muslim yang paling banyak dan bersemangat dalam memanfaatkan simbolisme cahaya dalam filsafatnya adalah Suhrawardi al-Maqtul (w. 1191). Cahaya, bagi Suhrawardi, merupakan realitas yang paling fundamental, dan itu tidak lain adalah Tuhan itu sendiri—yang ia sebut sebagai ”cahaya dari segala cahaya” (Nur al-Anwar). Pentinganya cahaya ini terpantul jelas dalam karya utamanya yang berjudul ”Hikmat al-Isyraq” yang berarti ”filsafat ilmuminasi”.
Bagi Suhrawardi, cahaya adalah realitas yang paling fundamental dari segala yang ada, sehingga tidak perlu didefinisikan. Ciri utama cahaya adalah terang pada dirinya, dan bisa membuat terang bagi yang lain. Cahaya mengalami hirarki, dan yang berada di puncak hirarki adalah Tuhan yyang disebutnya wahyu—cahaya di atas cahaya (Nur al-Anwar), yang merupakan sumber segala cahaya. Segala sesuatu ada karena adanya cahaya, tanpa cahaya, maka yang ada hanyalah kegelapan, yang pada dirinya bersifat negatif. Artinya tidak punya realitas yang positif pada dirinya. Ia ada hanyalah karena ketiadaan cahaya. Begitu cahaya hadir, maka kegelapan serta merta sirna. Meskipun begitu, hanya Tuhan yang bisa disebut cahaya murni. Adapun yang membedakan suatu benda/wujud dengan benda/wujud lain hanyalah intensitasnya.
(Disarikan dari Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara dalam Dedy Suardi, 2007, Cahaya, Jakarta, RM Books)
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI