Lembaga Bahtsu Masa’ilil Ummah IAIN Antasari
Sebagai orang banua, nalar saya tersentuh ketika mendengar di almamater IAIN Antasari sedang dibentuk Lembaga Bahtsu Masailil Ummah. Ada setumpuk harapan yang besar bagi perjalanan seterusnya forum ummah ini, mengingat yang juga forum ulama ini akan ada di tengah fenomena kepelbagaian masyarakat banua.
Di banua ini, ekspresi keislaman masyarkatnya bisa dibedakan antara yang cenderung ortodoks dan yang lebih heterodoks. Menyikapi pluralitas ini, harapan utama saya adalah hilangkan ambisi untuk merangkum keberagaman ke dalam satu cluster pemikiran yang ekslusif, biarkan mereka dengan segala keanekaragamannya, karena satu-satunya yang mampu menjadi perekatnya adalah maqashid al-syari`ah.
Maqashid al-syari’ah sebenarnya adalah pesan moral yang menjadi inti kenabian Muhammad Saw ”innama bu’itstu liutammima makarima al-akhlaq” (sesunnguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia), ia adalah akhlak itu sendiri. Karena itulah, akhlak sebenarnya adalah yang mungkin mempersatukan kita semua. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Dengan demikian, kata Kang Jalal, ketika terjadi perbedaan pada level fikih, maka dahulukan akhlak.
Kesalahan fatal kita terhadap fikih ialah apabila selama ini kita memahami fikih hanya sebagai ilmu yang membahas tentang ritual dan tata cara ibadah an sich dan membebaskannya dari nilai-nilai kemanusiaan. Antara kita lebih asyik menempelkan dahi di atas sajadah sementara tetangga mengerang kelaparan. Kita lebih merasa berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada berbohong, menipu dan korupsi. Kenyataan ini berlaku karena fiqh kita pahami hanya sebagai ibadah antara manusia dan Tuhan saja. Kita hanya gemar menghapal syarat sah, syarat wajib, dan rukun ibadah dari pada efek ibadah itu sendiri. Padahal pada awalnya fiqh mencakup pula persoalan tauhid dan akhlak seperti yang terdapat dalam Kitab al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah atau Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali dan juga buku fikihnya, Bidayatul Hidayah.
Dalam kitab Bidayatul HIdayah, Imam al-Ghazali berbicara fikih dalam konteks pengajaran tasawuf; mencari rahasia di sebalik ritual, di sebalik syariat yang tetap berpusat pada fikih karena fikih adalah al-hukm biz dzawahir. Jadi, fikih itu secara umum memang berpegang teguh pada hal-hal yang lahiriah. Sementara, al-Ghazali sendiri membedakan antara khalq dan khuluq, walaupun dalam penulisan Arabnya sama. Khalq adalah gambaran lahir atau tubuh kita, sementara khuluq gambaran batin. Jadi, khalq itu urusan fikih, sementara khuluq sepatutnya diurus oleh tasawuf.
Jadi, walau kita mungkin belajar fikih tidak boleh terlepas dari akhlak, bahkan fikih harus menyempurnakan akhlak, dalam kenyataan sehari-hari, kita tetap sering menemukan tuntutan fikih yang bertentangan dengan tuntutan akhlak. Misalnya, tuntutan fikih orang Muhammadiyah adalah bid’ah hukumnya membaca qunut waktu subuh, sementara orang NU menghukuminya sunnah ab'ad. Nah ketika kita berada dalam komunitas yang berbeda, apabila tidak punya tuntutan akhlak untuk menjaga silaturahmi dengan masyarakat sekitar, lalu tidak qunut ketika menjadi imam salat subuh di mesjid NU, pecahlah silaturahmi dengan kaum nahdliyyin karena perbedaan fikih.
Dalam Kitabul Fiqh `alal Madzahib al-‘Arba`ah, yang selama ini kita pedomani, sudah tidak ada lagi pembicaraan soal akhlak. Dan di kampus kita, silabus pengajaran fiqh juga kurang mengarah pada Fiqh Maqashidy, yaitu tamamul akhlaq. Bahkan tidak pernah ada silabus yang khusus membahas tentang Maqashid al-Syari’ah. Karenanya, tidaklah heran ekses fiqh tidak berpengaruh pada tataran amaliyyah yaumiyyah, ia lebih pada tataran fardhiyyah syakhsiyyah. Akhirnya, shalat dan ibadah rajin, korupsi jalan terus. Inilah gambaran bagaimana fikih itu mati, ambigu, sangat ushuly tidak hidup dan tidak maqashidy.
Harapan penulis, semoga lembaga bahtsu masailil ummah IAIN Antasari ini dapat mengkampanyekan sesuatu yang sangat penting ini, yaitu maqashid al-syari’ah sebagai pesan moral kerasulan Muhammad Saw di samping ushul fiqh itu sendiri.
Selanjutnya, keberadaan forum Bahtsu Masail Ummah setidaknya dapat menjadi wahana mengedukasi masyarakat agar tidak fanatik pada salah satu mazhab pemikiran. Artinya, di tengah masyarakat Banjar yang hanya bersandar pada mazhab Syafi’i ini, Lembaga Bahtsu Masailil Ummah mampu membuka ruang bagi diikutinya mazhab lain bahkan yang dikenal rasional sekalipun seperti Imam Abu Hanifah.
Dalam kegiatan forum bahtsul masail, tak selayaknya hanya mengutip para imam mazhab dari rumpun keislaman Sunni sahaja, melainkan juga dari kelompok lain seperti Mu`tazilah dan Syi`ah. Tak salah kiranya bila para ahli yang terlibat merujuk Tafsir al-Zamakhsyari yang berhaluan Mu`tazilah dan fikih Ja`fari yang Syi`ah. Tak lupa tafsir al-Kasysyaf yang ditulis al-Zamakhsyari baik juga dijadikan rujukan.
Kita turut bangga karena di antara para ahli yang akan terlibat aktif dalam forum Bahtsu Masail Ummah IAIN Antasari ini secara diam-diam telah dan senantiasa melahap buku-buku keislaman progresif yang ditulis misalnya oleh Hassan Hanafi, Mohamed Arkoen, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Khalil Abdul Karim.
Dalam soal pemikiran keislaman, sikap seorang ulama adalah clear-cut; “lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan” (unzhur ma qala wa la tanzhur man qala). Kesahihan sebuah pemikiran tak diukur dari siapa yang mengatakannya, tapi apa yang dikatakannya--seperti apa argumennya dan bagaimana kemanfaatannya.
Problem yang sangat besar manakala forum bahtsu masailil ummah ini mencoba mem-final-kan pemahaman keislamannya sebagai sebuah blue print yang harus diikuti oleh umat. Pemahaman seperti ini sampai kapanpun akan sulit menerima kenyataan pluralnya pemikiran dan pemahaman atas Islam. Paradigma seperti ini juga akan dapat menutup setiap pintu dialog dalam rangka pemahaman Islam menuju kesempurnaan, bahkan berpotensi besar bagi terciptanya disintegrasi di kalangan umat.
QS. Al-Baqarah: 251 menyebutkan “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan”. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui”. Jaudat Said menafsirkan kata “thaghut” dalam ayat itu sebagai orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh karakter orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
Ayat la ikraha fi al-din, menegaskan bahwa di dalam Islam tak ada anjuran untuk membunuh--baik dengan lidah maupun senjata--karakter orang lain yang berbeda pemikiran, agama, dan keyakinan. Pemaksaan dalam agama tak dibenarkan. Menjadi hak setiap orang untuk percaya bahwa agamanya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyat syahshiyyat) dari setiap orang, sehingga tak boleh ada paksaan.
Sejarah menyatakan kekacauan umat Islam abad pertengahan disebabkan oleh lebih berkembangnya paradigma totaliter dan wacana blue print daripada paradigma dialog. Sementara itu fenomena taklid dapat terjadi ketika terdapat satu kelompok yang mewajibkan dilaksanakannya satu model pemahaman keagamaan terhadap pengikutnya yang notabene adalah lemah secara intelektual. Taklid juga dapat terjadi manakala suatu kelompok keagamaan menakut-nakuti pengikutnya akan suatu kesesatan atau kemurtadan apabila tidak diikutinya model pemahaman keagamaan pemimpinnya.
Hindari fatwa sesat bagi pihak yang tidak mengikuti pemahaman keagamaan sejenis. Sebab fatwa sesat dapat mematikan potensi kreatifitas intelektual ummah. Mewacanakan sesat, setidaknya akan melahirkan tiga dampak yang semuanya negatif. Pertama, sikap fanatik yang berlebihan hingga menjurus kepada ekslusifisme ekstrim. Kedua, dalam jangka panjang dan pendek akan melahirkan umat yang bodoh dan tidak kreatif secara intelektual. Ketiga, berpotensi bagi terpupuknya sikap mengagung-agungkan seorang pemimpin layaknya dewa atau tuhan, hingga menyanggah pendapatnya bisa diklaim sebagai sesat, murtad, dan kafir.
Kita sepakat bahwa kemasalahatan bersama—meminjam istilah Abdul Moqsit--adalah jangkar dari seluruh diskursus keislaman. Izz al-Din Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H.) berkata, “seluruh ketentuan dan ajaran di dalam Islam dikembalikan sepenuhnya kepada kemaslahatan” (innama al-takalif kulluha raji`atun ila mashalih al-`ibad fi dunyahum wa ukhrahum). Akhirnya, basis kemaslahtan inilah yang menjadi parameter keabsahan sebuah pemikiran dalam Islam dan semoga ini juga yang akan terus mendinamisasi pemikiran dalam batang tubuh Lembaga Bahtsu Masailil Ummah IAIN Antasari.
Tokoh al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna, suatu hari masuk sebuah masjid pada bulan puasa ketika orang-orang sedang bertengkar soal jumlah rakaat tarawih. Satu kempok bilang 11, yang lain condong ke 23 rakaat. Itu jelas pertengkaran fikih. Al-Banna lalu bertanya pada kelompok yang mendukung 11 rakaat: “Menurut kalian, apa hukumnya salat tarawih?” “Sunnah!” jawab mereka. Kepada yang 23 juga ditanya hal sama. Jawabnya: “Sunnah!” Lalu dia bertanya lagi: “Apa hukum bertengkar antara sesama kaum muslimin di masjid?” Semua sepakat menjawab “haram”. Al-Banna lalu menyadarkan mereka, “Mengapa kalian melakukan yang haram demi mempertahankan yang sunnah?”.
Mengutamakan akhlak dan mendendangkan alunan lagu cinta dari hati nurani dalam seluruh aktifitas forum ini amatlah diharapkan. Hati nurani yang suci adalah sebangsa cahaya, ia adalah manifestasi cahaya tuhan sebagaimana termanifes ke dalam dada para nabi dan wali. Ia adalah Nur Muhammad. Senafas dengan Kang Jalal, dahulukan akhlak daripada fikih, Jangan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan.
Tuhan…
Berilah saudara-saudaraku karunia yang membuat mereka selalu bersyukur kepadaMu,
Janganlah kami ENGKAU pecah belah
Janganlah kepada kami ENGKAU titipkan dendam kesumat, iri dengki dan sifat-sifat tercela,
Tapi titipkanlah di hati kami sifat saling menyayangi dan mencintai sesama…
Bimbinglah hati kami dengan sejuta cahaya Mu
Cahaya hakikat
Cahaya kebenaran
Cahaya kesucian
Cahaya Rasulullah
Nur Muhammad........
Hari ini dan untuk selamanya
Akhirnya, saya ucapkan Tahniah atas terbentuknya Lembaga Eksekutif Bahtsu Masailil Ummah IAIN Antasari yang dikomandani oleh al-Mukarram Drs. Sukarni, M.Ag.
Salam
Maqashid al-syari’ah sebenarnya adalah pesan moral yang menjadi inti kenabian Muhammad Saw ”innama bu’itstu liutammima makarima al-akhlaq” (sesunnguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia), ia adalah akhlak itu sendiri. Karena itulah, akhlak sebenarnya adalah yang mungkin mempersatukan kita semua. Dalam bidang akhlak, semua orang bisa bersetuju, apapun mazhabnya. Dengan demikian, kata Kang Jalal, ketika terjadi perbedaan pada level fikih, maka dahulukan akhlak.
Kesalahan fatal kita terhadap fikih ialah apabila selama ini kita memahami fikih hanya sebagai ilmu yang membahas tentang ritual dan tata cara ibadah an sich dan membebaskannya dari nilai-nilai kemanusiaan. Antara kita lebih asyik menempelkan dahi di atas sajadah sementara tetangga mengerang kelaparan. Kita lebih merasa berdosa tidak berdzikir setelah shalat atau makan daging anjing dari pada berbohong, menipu dan korupsi. Kenyataan ini berlaku karena fiqh kita pahami hanya sebagai ibadah antara manusia dan Tuhan saja. Kita hanya gemar menghapal syarat sah, syarat wajib, dan rukun ibadah dari pada efek ibadah itu sendiri. Padahal pada awalnya fiqh mencakup pula persoalan tauhid dan akhlak seperti yang terdapat dalam Kitab al-Fiqh al-Akbar karya Imam Abu Hanifah atau Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali dan juga buku fikihnya, Bidayatul Hidayah.
Dalam kitab Bidayatul HIdayah, Imam al-Ghazali berbicara fikih dalam konteks pengajaran tasawuf; mencari rahasia di sebalik ritual, di sebalik syariat yang tetap berpusat pada fikih karena fikih adalah al-hukm biz dzawahir. Jadi, fikih itu secara umum memang berpegang teguh pada hal-hal yang lahiriah. Sementara, al-Ghazali sendiri membedakan antara khalq dan khuluq, walaupun dalam penulisan Arabnya sama. Khalq adalah gambaran lahir atau tubuh kita, sementara khuluq gambaran batin. Jadi, khalq itu urusan fikih, sementara khuluq sepatutnya diurus oleh tasawuf.
Jadi, walau kita mungkin belajar fikih tidak boleh terlepas dari akhlak, bahkan fikih harus menyempurnakan akhlak, dalam kenyataan sehari-hari, kita tetap sering menemukan tuntutan fikih yang bertentangan dengan tuntutan akhlak. Misalnya, tuntutan fikih orang Muhammadiyah adalah bid’ah hukumnya membaca qunut waktu subuh, sementara orang NU menghukuminya sunnah ab'ad. Nah ketika kita berada dalam komunitas yang berbeda, apabila tidak punya tuntutan akhlak untuk menjaga silaturahmi dengan masyarakat sekitar, lalu tidak qunut ketika menjadi imam salat subuh di mesjid NU, pecahlah silaturahmi dengan kaum nahdliyyin karena perbedaan fikih.
Dalam Kitabul Fiqh `alal Madzahib al-‘Arba`ah, yang selama ini kita pedomani, sudah tidak ada lagi pembicaraan soal akhlak. Dan di kampus kita, silabus pengajaran fiqh juga kurang mengarah pada Fiqh Maqashidy, yaitu tamamul akhlaq. Bahkan tidak pernah ada silabus yang khusus membahas tentang Maqashid al-Syari’ah. Karenanya, tidaklah heran ekses fiqh tidak berpengaruh pada tataran amaliyyah yaumiyyah, ia lebih pada tataran fardhiyyah syakhsiyyah. Akhirnya, shalat dan ibadah rajin, korupsi jalan terus. Inilah gambaran bagaimana fikih itu mati, ambigu, sangat ushuly tidak hidup dan tidak maqashidy.
Harapan penulis, semoga lembaga bahtsu masailil ummah IAIN Antasari ini dapat mengkampanyekan sesuatu yang sangat penting ini, yaitu maqashid al-syari’ah sebagai pesan moral kerasulan Muhammad Saw di samping ushul fiqh itu sendiri.
Selanjutnya, keberadaan forum Bahtsu Masail Ummah setidaknya dapat menjadi wahana mengedukasi masyarakat agar tidak fanatik pada salah satu mazhab pemikiran. Artinya, di tengah masyarakat Banjar yang hanya bersandar pada mazhab Syafi’i ini, Lembaga Bahtsu Masailil Ummah mampu membuka ruang bagi diikutinya mazhab lain bahkan yang dikenal rasional sekalipun seperti Imam Abu Hanifah.
Dalam kegiatan forum bahtsul masail, tak selayaknya hanya mengutip para imam mazhab dari rumpun keislaman Sunni sahaja, melainkan juga dari kelompok lain seperti Mu`tazilah dan Syi`ah. Tak salah kiranya bila para ahli yang terlibat merujuk Tafsir al-Zamakhsyari yang berhaluan Mu`tazilah dan fikih Ja`fari yang Syi`ah. Tak lupa tafsir al-Kasysyaf yang ditulis al-Zamakhsyari baik juga dijadikan rujukan.
Kita turut bangga karena di antara para ahli yang akan terlibat aktif dalam forum Bahtsu Masail Ummah IAIN Antasari ini secara diam-diam telah dan senantiasa melahap buku-buku keislaman progresif yang ditulis misalnya oleh Hassan Hanafi, Mohamed Arkoen, Nashr Hamid Abu Zaid, Muhammad Syahrur, dan Khalil Abdul Karim.
Dalam soal pemikiran keislaman, sikap seorang ulama adalah clear-cut; “lihat apa yang dikatakan bukan siapa yang mengatakan” (unzhur ma qala wa la tanzhur man qala). Kesahihan sebuah pemikiran tak diukur dari siapa yang mengatakannya, tapi apa yang dikatakannya--seperti apa argumennya dan bagaimana kemanfaatannya.
Problem yang sangat besar manakala forum bahtsu masailil ummah ini mencoba mem-final-kan pemahaman keislamannya sebagai sebuah blue print yang harus diikuti oleh umat. Pemahaman seperti ini sampai kapanpun akan sulit menerima kenyataan pluralnya pemikiran dan pemahaman atas Islam. Paradigma seperti ini juga akan dapat menutup setiap pintu dialog dalam rangka pemahaman Islam menuju kesempurnaan, bahkan berpotensi besar bagi terciptanya disintegrasi di kalangan umat.
QS. Al-Baqarah: 251 menyebutkan “Tidak boleh ada paksaan dalam agama. Sungguh telah nyata (berbeda) kebenaran dan kesesatan”. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tak akan putus. Allah Maha Mendengar dan Mengetahui”. Jaudat Said menafsirkan kata “thaghut” dalam ayat itu sebagai orang yang memaksakan pemikiran dan keyakinannya kepada orang lain, dan membunuh karakter orang yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
Ayat la ikraha fi al-din, menegaskan bahwa di dalam Islam tak ada anjuran untuk membunuh--baik dengan lidah maupun senjata--karakter orang lain yang berbeda pemikiran, agama, dan keyakinan. Pemaksaan dalam agama tak dibenarkan. Menjadi hak setiap orang untuk percaya bahwa agamanya benar. Namun, dalam waktu bersamaan, seseorang harus menghormati jika orang lain berpikiran serupa. Sebab, persoalan keyakinan merupakan perkara pribadi (qadliyat syahshiyyat) dari setiap orang, sehingga tak boleh ada paksaan.
Sejarah menyatakan kekacauan umat Islam abad pertengahan disebabkan oleh lebih berkembangnya paradigma totaliter dan wacana blue print daripada paradigma dialog. Sementara itu fenomena taklid dapat terjadi ketika terdapat satu kelompok yang mewajibkan dilaksanakannya satu model pemahaman keagamaan terhadap pengikutnya yang notabene adalah lemah secara intelektual. Taklid juga dapat terjadi manakala suatu kelompok keagamaan menakut-nakuti pengikutnya akan suatu kesesatan atau kemurtadan apabila tidak diikutinya model pemahaman keagamaan pemimpinnya.
Hindari fatwa sesat bagi pihak yang tidak mengikuti pemahaman keagamaan sejenis. Sebab fatwa sesat dapat mematikan potensi kreatifitas intelektual ummah. Mewacanakan sesat, setidaknya akan melahirkan tiga dampak yang semuanya negatif. Pertama, sikap fanatik yang berlebihan hingga menjurus kepada ekslusifisme ekstrim. Kedua, dalam jangka panjang dan pendek akan melahirkan umat yang bodoh dan tidak kreatif secara intelektual. Ketiga, berpotensi bagi terpupuknya sikap mengagung-agungkan seorang pemimpin layaknya dewa atau tuhan, hingga menyanggah pendapatnya bisa diklaim sebagai sesat, murtad, dan kafir.
Kita sepakat bahwa kemasalahatan bersama—meminjam istilah Abdul Moqsit--adalah jangkar dari seluruh diskursus keislaman. Izz al-Din Ibn Abdi al-Salam (w. 660 H.) berkata, “seluruh ketentuan dan ajaran di dalam Islam dikembalikan sepenuhnya kepada kemaslahatan” (innama al-takalif kulluha raji`atun ila mashalih al-`ibad fi dunyahum wa ukhrahum). Akhirnya, basis kemaslahtan inilah yang menjadi parameter keabsahan sebuah pemikiran dalam Islam dan semoga ini juga yang akan terus mendinamisasi pemikiran dalam batang tubuh Lembaga Bahtsu Masailil Ummah IAIN Antasari.
Tokoh al-Ikhwan al-Muslimun, Hasan al-Banna, suatu hari masuk sebuah masjid pada bulan puasa ketika orang-orang sedang bertengkar soal jumlah rakaat tarawih. Satu kempok bilang 11, yang lain condong ke 23 rakaat. Itu jelas pertengkaran fikih. Al-Banna lalu bertanya pada kelompok yang mendukung 11 rakaat: “Menurut kalian, apa hukumnya salat tarawih?” “Sunnah!” jawab mereka. Kepada yang 23 juga ditanya hal sama. Jawabnya: “Sunnah!” Lalu dia bertanya lagi: “Apa hukum bertengkar antara sesama kaum muslimin di masjid?” Semua sepakat menjawab “haram”. Al-Banna lalu menyadarkan mereka, “Mengapa kalian melakukan yang haram demi mempertahankan yang sunnah?”.
Mengutamakan akhlak dan mendendangkan alunan lagu cinta dari hati nurani dalam seluruh aktifitas forum ini amatlah diharapkan. Hati nurani yang suci adalah sebangsa cahaya, ia adalah manifestasi cahaya tuhan sebagaimana termanifes ke dalam dada para nabi dan wali. Ia adalah Nur Muhammad. Senafas dengan Kang Jalal, dahulukan akhlak daripada fikih, Jangan meninggalkan akhlak ketika menghadapi perbedaan dalam paham keagamaan.
Tuhan…
Berilah saudara-saudaraku karunia yang membuat mereka selalu bersyukur kepadaMu,
Janganlah kami ENGKAU pecah belah
Janganlah kepada kami ENGKAU titipkan dendam kesumat, iri dengki dan sifat-sifat tercela,
Tapi titipkanlah di hati kami sifat saling menyayangi dan mencintai sesama…
Bimbinglah hati kami dengan sejuta cahaya Mu
Cahaya hakikat
Cahaya kebenaran
Cahaya kesucian
Cahaya Rasulullah
Nur Muhammad........
Hari ini dan untuk selamanya
Akhirnya, saya ucapkan Tahniah atas terbentuknya Lembaga Eksekutif Bahtsu Masailil Ummah IAIN Antasari yang dikomandani oleh al-Mukarram Drs. Sukarni, M.Ag.
Salam
fiqh sangat luas, fiqh ibadah hanya salah satunya saja.Keliru kalau fiqh dianggap hanya fiqh ibadah, fiqh ibadah hanya salah satu saja dari fiqh yang sangat luas itu. Banyak aspek fiqh yang lebih mendunia seperi fiqh mu'amalat menyangkut ekonomi Islam, perbankan syaria'h, politik Islam , pidana, kawin, hukum waris dsb
ReplyDelete