Mengenal Diri: Ta'alluq, Takhalluq, dan Tahaqquq
Mengenal diri adalah cara sufi dalam mengenal Tuhannya. Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi: Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbahu --Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia telah mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah pintu yang harus dimasuki dalam rangka berkenalan dengan Ketuhanan.
Mengapa perlu mengenal diri manusia? Karena pada dasarnya manusia adalah puncak ciptaan Tuhan dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun, Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih setengah jadi, sehingga harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu, Allah juga mengutus guru sejati, Muhammad Rasulullah pembawa kitab suci sebagai petunjuk (QS. 4:174).
Persoalannya adalah, bagaimana cara mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaan kita? Sedangkan potret tentang realitas manusia telah terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan.
Satu sisi, psikolog dengan pendekatan ilmu jiwa memahami sosok manusia berdasarkan gejala-gejala yang nampak, Dokter mengidentifikasi berdasarkan analisa terhadap anatomi tubuh, ahli fikih memahami manusia sebagai subjek yang dibebani hukum-hukum taklif, dst masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. Perbedaan metode setiap disiplin ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya yang kadang membuatnya terjebak dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:
Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this development our modern theory of man lost its intellectual center. We acquired instead a complete anarchy of thought. (Ernst Cassier, 1978, p.21)
Di kalangan muslim, terjadinya pembagian ilmu-ilmu agama telah menyebabkan perbedaan persepsi dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Sang diktator, sementara manusia adalah subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya. Ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, dan ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar.
Ada dua paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi (downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat imateri (upward causation).
Mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi karena antara lain, faham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious being.
Sedangkan sufi memahami bahwa manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3), bahkan manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, sufi cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang (martabat) dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Dari jenjang (martabat) pertama sampai ke tiga, aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.
Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan juga pada agama lain, hatta dalam tradisi pemikiran filsafat. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal. Pendeknya, nurani manusia yang terdapat dalam selubung cahaya suci (baca Nur Muhammad) senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.89:27).
Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada ke Esaan Tuhan yang Maha Tunggal. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. La maujuda illallah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."
Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba-Nya.
Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn 'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.
Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi sufi.
Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?
Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York, 1980.
Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul 'Arabi, Lahore, 1938
Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.
Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.
Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan III, Princeton, 1982.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, 1973
Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, 1976.
Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.
Artikel diadaptasi dari Qomaruddin Hidayat: Menjadi Perkasa dengan Mengenal Diri.
Mengapa perlu mengenal diri manusia? Karena pada dasarnya manusia adalah puncak ciptaan Tuhan dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun, Allah juga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih setengah jadi, sehingga harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu, Allah juga mengutus guru sejati, Muhammad Rasulullah pembawa kitab suci sebagai petunjuk (QS. 4:174).
Persoalannya adalah, bagaimana cara mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaan kita? Sedangkan potret tentang realitas manusia telah terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan.
Satu sisi, psikolog dengan pendekatan ilmu jiwa memahami sosok manusia berdasarkan gejala-gejala yang nampak, Dokter mengidentifikasi berdasarkan analisa terhadap anatomi tubuh, ahli fikih memahami manusia sebagai subjek yang dibebani hukum-hukum taklif, dst masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. Perbedaan metode setiap disiplin ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya yang kadang membuatnya terjebak dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisit dikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya:
Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes the sexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Each theory becomes a Procrustean bed in which the empirical facts are stretched to fit a preconceived pattern. Owing to this development our modern theory of man lost its intellectual center. We acquired instead a complete anarchy of thought. (Ernst Cassier, 1978, p.21)
Di kalangan muslim, terjadinya pembagian ilmu-ilmu agama telah menyebabkan perbedaan persepsi dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Sang diktator, sementara manusia adalah subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya. Ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, dan ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar.
Ada dua paradigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigma materialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yang pertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi (downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwa dunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yang bersifat imateri (upward causation).
Mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metode berpikir empirisme-materialistik sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi karena antara lain, faham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious being.
Sedangkan sufi memahami bahwa manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan 'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS. 2:3), bahkan manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapa penafsiran yang berbeda. Meski demikian, sufi cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "min ruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjang (martabat) dan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnya ialah minerality, vegetality, animality, dan humanity.
Dari jenjang (martabat) pertama sampai ke tiga, aktivitas dan daya jangkau manusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan dunia materi selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yang saling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilah yang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang dunia materi adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makin berkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaran realitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampu mengenal dirinya secara utuh.
Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa berada sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaran spiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islam melainkan juga pada agama lain, hatta dalam tradisi pemikiran filsafat. Dari kenyataan ini maka tidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusia ke arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal. Pendeknya, nurani manusia yang terdapat dalam selubung cahaya suci (baca Nur Muhammad) senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan "jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana "imateri" dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah, yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality.
Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorang bagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkan kesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai dan juga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.89:27).
Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkan kualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atau ta'alluq pada ke Esaan Tuhan yang Maha Tunggal. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. La maujuda illallah. Di manapun seorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir dan berdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir ini meningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadar meniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memiliki sifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa juga disebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkan Hadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah."
Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untuk mengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagai seorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yang digemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorang mukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat dan intimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatan hamba-Nya.
Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apa yang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yang metafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwa hati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanya bagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatan kerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja.
Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secara fisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia, namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihi luasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsy Tuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn 'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallub yang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hati sang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nya Tuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalam makhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekian makhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang paling mampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilaku kemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138). Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkan dengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akan mengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" atau jagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhan bukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang Maha Absolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yang Dhahir, bukannya Yang Bathin.
Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itu dilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan, maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dan karenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadi sufi.
Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulit diterima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukup tegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwa kewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehingga kesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya?
Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, maka seorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengan kapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dan damai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalah sekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surga di muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyek untuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yang saleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secara karikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidak asing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotel mewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York, 1980.
Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul 'Arabi, Lahore, 1938
Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978.
Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation in Islamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977.
Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II dan III, Princeton, 1982.
Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, 1973
Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962.
Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta, 1976.
Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.
Artikel diadaptasi dari Qomaruddin Hidayat: Menjadi Perkasa dengan Mengenal Diri.
yes
ReplyDeletepusing klo mikirin sufi...aneh2 mending yang gampang aja JALANKAN APA DI DIKERJAKAN NABI JAUHI APA YANG DILARANG semodel sufi2 ini...no progress lah
ReplyDeletesangat mencerahkan, semoga menjadi ibrah dan renungan bagi Insan2 Allah yg hendak bertaqarub kepadaNYA dengan sebenar-benarnya
ReplyDelete