Doa, Hizb, Wird, dan Ratib
Doa dapat memberi dampak sangat besar dalam mewuujudkan harapan. Dr. Alexis Carrel (1873-1941 M.) ahli bedah Prancis peraih hadiah Nobel di bidang kedokteran, menulis dalam bukunya Doa, tentang pengalaman-pengalamannya dalam mengobati pasien. Katanya, ”banyak di antara mereka yang memperoleh kesembuhan dengan jalan berdoa”. Menurutnya, doa adlah gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada saat itu jiwa manusia terbang menuju Tuhannya.
Kahidupan ini, suka atau tidak, rela atau menolak, pasti mengandungi penderitaan, kesedihan, dan kegagalan, di samping kegembiraan, prestasi dan keberhasilan. Memang, boleh jadi banyak kepedihan yang dapat dicegah melalui usaha sungguh-sungguh serta ketabahan dalam menanggulanginya. Walau demikian, beberapa kejadian tidak dapat dicegah atau diahpus dengan upaya apa pun, kecuali dengan bantuan Allah semata. Nah, di sinilah manusia mengandalkan doa, dan di sanalah dia akan merasa betapa doa sangat bermanfaat baginya. Kalaupun apa yang dimohonkan tidak segera tercapai, dengan doa tersebut seseorang telah hidup dalam optimisme, harapan, dan hal ini tidak syak lagi mempunyai dapak sangat baik dalam kehidupan.
Wujud Tuhan yang mutlak dan dirasakan jiwa manusia, seta keyakinan terhadap hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, tidak boleh mengantar manusia mengabaikan doa. Sebab, berlakunya hukum-hukum itu tidak mengakibatkan ”terbebasnya” Tuhan dari perbuatan dan kebijaksanaan-Nya. Apakah Anda menduga Allah seperti pabrik yang memproduksi ”jam” kemudian membiarkannya berjalan secara otomatis di tangan Anda? Jangan menduga demikian! Ada sunnatullah (hukum-hukum Allah) yang mengatur alam raya dan ada juga ’inayatullah (pertolongan Allah) yang tidak kalah dari sunnah-Nya. Inayah-Nya itu ditujukannya kepada mereka yang bernar-benar berdoa kepada-Nya.
Keliru—tulis Oliver Lodge, ahli ilmu alam itu—yang menduga doa berada di luar fenomena alam ini. Kita harus memperhitungkannya, seperti memperhitungkan penyebab peristiwa lain yang terjadi dalam kehidupan manusiia. Kalau doa dinilai sebagai salah satu sarana pendidikan kejiwaan, maka mengapa yang menentangnya tidak menduga ia pun dapat merupakan sebab terjadinya beberapa kejadian, sebagaimana sebab lain?
Doa dapat memberi dampak sangat besar dalam mewuujudkan harapan. Dr. Alexis Carrel (1873-1941 M.) ahli bedah Prancis peraih hadiah Nobel di bidang kedokteran, menulis dalam bukunya Doa, tentang pengalaman-pengalamannya dalam mengobati pasien. Katanya, ”banyak di antara mereka yang memperoleh kesembuhan dengan jalan berdoa”. Menurutnya, doa adlah gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada saat itu jiwa manusia terbang menuju Tuhannya.
Manusia makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran, lebih-lebih pada situasi cemas dan mengharap. Selama rasa cemas dan harap masih merupakan ciri kehidupan manusia, selama itu juga doa tidak dapat diabaikannya.
Kenyataan sehari-hari membuktikan, menggantungkan diri pada sesama makhluk, betapapun kuat dan kuasanya dia, sering kali tidak membuahkan hasil. Yang mampu memberi hasil hanyalah Tuhan semata. Ini menurut al-Qur’an, saat mengecam kaum musyrikin, karena: ”Yang kamu seru selain Allah tidak memiliki apa-apa walau setipis kulit ari sekalipun. Jika kamu meminta kepada mereka, mereka tidakmendengar permintaanmu dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan” (QS. Fathir [35]: 13-14).
Banyak orang yang berdoa hanya pada saat-saat krisis yang mencekam, karena memang saat-saat demikian tidak ada yang dapat mengurangi kecemasan kecuali doa. Sikap semacam ini sangat dikecam agama. Al-Qur’an, surah Yunus [10]: 22-23 melukiskan gejolak jiwa manusia—khsusnya yang durhaka—pada saat-saat cemas, bahwa: Allah swt yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan di alutan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa mereka dengan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai dan datang pula gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka menduga bahwa mereka telah terkepung, maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan diri kepada-Nya. (Mereka berkata): ”Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang syukur.” Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka melampaui batas dengan membuat kezaliman di bumi tanpa hak.
Demikianlah manusia durhaka. Saat terjepit, mengalami kesulitan, mereka bermohon kepada-Nya disertai janji untuk taat dan patuh. Tetapi begitu kesulitan teratasi, dia lupa janji-janjinya, bahkan kembali durhaka.
Allah mengarahkan manusia agar berdoa memohon kepada-Nya, serta mengingat-Nya setiap saat, dalam situasi sulit atau tenang, susah atau senang. Merujuk kepada Nabi saw tidak ada suatu peristiwa pun yang beliau alami tanpa doa, sejak bangun tidur hingga akan tidur, makan, mandi, bahkan masuk ke kamar kecil. Melihat kilat atau mendengar guntur, mendapat musibah atau memperoleh rahmat, semua disambut dengan zikir dan doa. Al-Qur’am secara tegas menyatakan: Katakanlah (hai Muhammad): ”Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu seandainya kalian tidak berdoa (beribadah) dan karena kalian mengingkari, maka menjadi pastilah kelak (siksa Kami atas kamu)” (QS. Al-Furqan [25]: 77).
Bukan hanya dalam soal-soal yang pelik dan besar, tetapi juga dalam hal-hal yang kecil dan remeh Nabi saw menganjurkan umatnya berdoa. Sahabat Nabi saw, Anas bin Malik, menyampaikan bahwa Rasul saw bersabda: ”Hendaklahs alah seorang di antara kamu bermohon kepada Tuhan-nya menyangkut seluruh hajatnya, walau yang berkaitan dengan sandalnya bila putus/rusak.” Riwayat lain menyatakan” ”Siapa yang tidak bermohon kepada Allah, maka Dia murka kepadanya.”
Tahukah Anda bahwa Allah ”malu”, untuk tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya dengan tulus. Begitu diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui sabahat Nabi saw, Salman al-Farisi. Memang al-Qur’an secara tegas menyatakan: Tuhan kamu berfirman; ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan permintaan kamu”. (QS. Ghafir [40]: 60).
Namun demikian perlu diingat bahwa ada syarat pengabulan doa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman: ”Aku memerkenankan doa seorang yang berdoa, apabila ia berdoa maka hendaklah ia memerkenankan (panggilan) Ku dan percaya pada-Ku” (QS. al-Baqarah [2]: 186). Kalimat ”seorang yang berdoa apabila dia berdoa” menunjukkan bahwa boleh jadi ada seorang yang bermohon kepada-Nya tetapi dia belum lagi dinilai-Nya berdoa. Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa yang pertama dan utama dituntut dari yang berdoa adalah ”memerkenankan panggilan/melaksanakan ajaran agama.” Karena itu pula, Nabi saw menguraikan keadaan seseorang yang melakukan perjalanan jauh, pakaian lusuh, wajahnya berdebu, mengangkat tangannya ke langit sambil berdoa: ”Wahai Tuha, Wahai Tuhan (perkenankan doaku) tetapi makanan yang dimakannya haram, munumnya haram, pakaian yang dikenakannya haram, diberi makan haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?” (HR. Muslim melalui Abu Hurairah)
Selanjutnya, ayat di atas memerintahkan agar percaya kepada-Nya. Bukan saja dalam arti mengakui keesaan-Nya, tetapi juga percaya Allah akan memilih yang terbaik untuk si pemohon. Dia tidak akan menyia-nyiakan doanya itu. Hanya saja boleh jadi Allah memperlakukannya seperti perlakuan seorang ayah kepada anaknya. Sekali memberi sesuai permintaannya, di kali lain diberinya yang lain dan lebih baik dari yang dimintanya, tetapi tidak jarang pula Allah tidak mengabulkan (menolak) permintaannya namun memberinya sesuatu yang lebih baik di masa mendatang. Kalau tidak di dunia, maka di akhirat kelak. Bukankah ayah yang baik tidak memberi sesuatu yang merugikan anaknya walau sang anak mendesak? Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui. Demikian penegasan al-Qur’an (QS. Ali Imran [3]: 66), dan karena itu pula Rasul saw bersabda: ”Berdoalah kepada Allah disertai dengan keyakinan bahwa Allah tidak menerima doa dari kalbu yang lalai lagi lengah” (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui Salman).
Al-Qur’an dan sunnah memerintahkan kita berdoa untuk saudara-saudara kita seiman yang telah mendahului kita. Ini bukan saja dalam bentuk shalat gaib yang pada hakikatnya adalah doa untuk yang meninggal dan yang ditinggal, tetapi juga memberi contoh-contoh doa yang sebaiknya diucapkan buat mereka.
Sahabat-sahabat Nabi saw tidak jarang mencetuskan ucapan-ucapan yang berupa doa dan zikir yang mengagumkan. Bukan hanya kita manusia biasa, bahkan Rasulullah saw dan para malaikat pun terkagum-kagum. Imam an-Nasai dan at-Tirmidzi meriwayatkan, sahabat Nabi saw Rif’at bin Rafi, menceritakan, satu ketika ia shalat di belakang Rasulullah Saw, tiba-tiba dia bersin lantas mengucapkan: ”Al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi kama yuhibbu wa yardha” (segala puji bagi Allah, pujian yang banyak lagi diberkati sebagaimana disukai lagi diridhai Allah). Selesai shalat, Nabi saw bertanya: ”Siapa yang berucap tadi?” Tidak seorang pun menjawab, sehingga Nabi saw bertanya tiga kali. Ketika itu—kata Rif’at melanjutkan ceritanya—barulah aku mengaku kalau aku yang mengucapkannya. Nabi saw bersabda: ”Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, tiga puluh sekian malaikat berpacu untuk mengantar ucapan itu ke langit.” Demikian, terlihat doa yang dicetuskan seseorang—walau bukan dari ayat al-Qur’an atau teks yang diajarkan Nabi saw—dapat merupakan doa yang sangat baik dan menimbulkan kekaguman Rasul saw dan pada malaikat.
Atas dasar itu, banyak ulam yang menyusun doa-doa dengan bahasa mereka. Ada juga yang menghimpun sekian banyak ayat al-Qur’an dan doa-doa Nabi saw (hizb) untuk mereka baca pada saat-saat tertentu. Wird al-Lathif yang dibaca di pagi hari, atau Ratib al-Haddad yang dibaca di malam hari adalah kumpulan doa-doa yang kesemuanya bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an serta hadis-hadis shahih.
Kahidupan ini, suka atau tidak, rela atau menolak, pasti mengandungi penderitaan, kesedihan, dan kegagalan, di samping kegembiraan, prestasi dan keberhasilan. Memang, boleh jadi banyak kepedihan yang dapat dicegah melalui usaha sungguh-sungguh serta ketabahan dalam menanggulanginya. Walau demikian, beberapa kejadian tidak dapat dicegah atau diahpus dengan upaya apa pun, kecuali dengan bantuan Allah semata. Nah, di sinilah manusia mengandalkan doa, dan di sanalah dia akan merasa betapa doa sangat bermanfaat baginya. Kalaupun apa yang dimohonkan tidak segera tercapai, dengan doa tersebut seseorang telah hidup dalam optimisme, harapan, dan hal ini tidak syak lagi mempunyai dapak sangat baik dalam kehidupan.
Wujud Tuhan yang mutlak dan dirasakan jiwa manusia, seta keyakinan terhadap hukum-hukum alam yang ditetapkan-Nya, tidak boleh mengantar manusia mengabaikan doa. Sebab, berlakunya hukum-hukum itu tidak mengakibatkan ”terbebasnya” Tuhan dari perbuatan dan kebijaksanaan-Nya. Apakah Anda menduga Allah seperti pabrik yang memproduksi ”jam” kemudian membiarkannya berjalan secara otomatis di tangan Anda? Jangan menduga demikian! Ada sunnatullah (hukum-hukum Allah) yang mengatur alam raya dan ada juga ’inayatullah (pertolongan Allah) yang tidak kalah dari sunnah-Nya. Inayah-Nya itu ditujukannya kepada mereka yang bernar-benar berdoa kepada-Nya.
Keliru—tulis Oliver Lodge, ahli ilmu alam itu—yang menduga doa berada di luar fenomena alam ini. Kita harus memperhitungkannya, seperti memperhitungkan penyebab peristiwa lain yang terjadi dalam kehidupan manusiia. Kalau doa dinilai sebagai salah satu sarana pendidikan kejiwaan, maka mengapa yang menentangnya tidak menduga ia pun dapat merupakan sebab terjadinya beberapa kejadian, sebagaimana sebab lain?
Doa dapat memberi dampak sangat besar dalam mewuujudkan harapan. Dr. Alexis Carrel (1873-1941 M.) ahli bedah Prancis peraih hadiah Nobel di bidang kedokteran, menulis dalam bukunya Doa, tentang pengalaman-pengalamannya dalam mengobati pasien. Katanya, ”banyak di antara mereka yang memperoleh kesembuhan dengan jalan berdoa”. Menurutnya, doa adlah gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada saat itu jiwa manusia terbang menuju Tuhannya.
Manusia makhluk yang memiliki naluri cemas dan mengharap. Ia selalu membutuhkan sandaran, lebih-lebih pada situasi cemas dan mengharap. Selama rasa cemas dan harap masih merupakan ciri kehidupan manusia, selama itu juga doa tidak dapat diabaikannya.
Kenyataan sehari-hari membuktikan, menggantungkan diri pada sesama makhluk, betapapun kuat dan kuasanya dia, sering kali tidak membuahkan hasil. Yang mampu memberi hasil hanyalah Tuhan semata. Ini menurut al-Qur’an, saat mengecam kaum musyrikin, karena: ”Yang kamu seru selain Allah tidak memiliki apa-apa walau setipis kulit ari sekalipun. Jika kamu meminta kepada mereka, mereka tidakmendengar permintaanmu dan kalaupun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan” (QS. Fathir [35]: 13-14).
Banyak orang yang berdoa hanya pada saat-saat krisis yang mencekam, karena memang saat-saat demikian tidak ada yang dapat mengurangi kecemasan kecuali doa. Sikap semacam ini sangat dikecam agama. Al-Qur’an, surah Yunus [10]: 22-23 melukiskan gejolak jiwa manusia—khsusnya yang durhaka—pada saat-saat cemas, bahwa: Allah swt yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan dan di alutan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu membawa mereka dengan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai dan datang pula gelombang dari segenap penjuru menimpa mereka, dan mereka menduga bahwa mereka telah terkepung, maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan diri kepada-Nya. (Mereka berkata): ”Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari ini, pastilah kami akan termasuk orang-orang syukur.” Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, tiba-tiba mereka melampaui batas dengan membuat kezaliman di bumi tanpa hak.
Demikianlah manusia durhaka. Saat terjepit, mengalami kesulitan, mereka bermohon kepada-Nya disertai janji untuk taat dan patuh. Tetapi begitu kesulitan teratasi, dia lupa janji-janjinya, bahkan kembali durhaka.
Allah mengarahkan manusia agar berdoa memohon kepada-Nya, serta mengingat-Nya setiap saat, dalam situasi sulit atau tenang, susah atau senang. Merujuk kepada Nabi saw tidak ada suatu peristiwa pun yang beliau alami tanpa doa, sejak bangun tidur hingga akan tidur, makan, mandi, bahkan masuk ke kamar kecil. Melihat kilat atau mendengar guntur, mendapat musibah atau memperoleh rahmat, semua disambut dengan zikir dan doa. Al-Qur’am secara tegas menyatakan: Katakanlah (hai Muhammad): ”Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu seandainya kalian tidak berdoa (beribadah) dan karena kalian mengingkari, maka menjadi pastilah kelak (siksa Kami atas kamu)” (QS. Al-Furqan [25]: 77).
Bukan hanya dalam soal-soal yang pelik dan besar, tetapi juga dalam hal-hal yang kecil dan remeh Nabi saw menganjurkan umatnya berdoa. Sahabat Nabi saw, Anas bin Malik, menyampaikan bahwa Rasul saw bersabda: ”Hendaklahs alah seorang di antara kamu bermohon kepada Tuhan-nya menyangkut seluruh hajatnya, walau yang berkaitan dengan sandalnya bila putus/rusak.” Riwayat lain menyatakan” ”Siapa yang tidak bermohon kepada Allah, maka Dia murka kepadanya.”
Tahukah Anda bahwa Allah ”malu”, untuk tidak mengabulkan permintaan hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya dengan tulus. Begitu diriwayatkan oleh Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui sabahat Nabi saw, Salman al-Farisi. Memang al-Qur’an secara tegas menyatakan: Tuhan kamu berfirman; ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan permintaan kamu”. (QS. Ghafir [40]: 60).
Namun demikian perlu diingat bahwa ada syarat pengabulan doa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah berfirman: ”Aku memerkenankan doa seorang yang berdoa, apabila ia berdoa maka hendaklah ia memerkenankan (panggilan) Ku dan percaya pada-Ku” (QS. al-Baqarah [2]: 186). Kalimat ”seorang yang berdoa apabila dia berdoa” menunjukkan bahwa boleh jadi ada seorang yang bermohon kepada-Nya tetapi dia belum lagi dinilai-Nya berdoa. Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa yang pertama dan utama dituntut dari yang berdoa adalah ”memerkenankan panggilan/melaksanakan ajaran agama.” Karena itu pula, Nabi saw menguraikan keadaan seseorang yang melakukan perjalanan jauh, pakaian lusuh, wajahnya berdebu, mengangkat tangannya ke langit sambil berdoa: ”Wahai Tuha, Wahai Tuhan (perkenankan doaku) tetapi makanan yang dimakannya haram, munumnya haram, pakaian yang dikenakannya haram, diberi makan haram, maka bagaimana mungkin dikabulkan doanya?” (HR. Muslim melalui Abu Hurairah)
Selanjutnya, ayat di atas memerintahkan agar percaya kepada-Nya. Bukan saja dalam arti mengakui keesaan-Nya, tetapi juga percaya Allah akan memilih yang terbaik untuk si pemohon. Dia tidak akan menyia-nyiakan doanya itu. Hanya saja boleh jadi Allah memperlakukannya seperti perlakuan seorang ayah kepada anaknya. Sekali memberi sesuai permintaannya, di kali lain diberinya yang lain dan lebih baik dari yang dimintanya, tetapi tidak jarang pula Allah tidak mengabulkan (menolak) permintaannya namun memberinya sesuatu yang lebih baik di masa mendatang. Kalau tidak di dunia, maka di akhirat kelak. Bukankah ayah yang baik tidak memberi sesuatu yang merugikan anaknya walau sang anak mendesak? Allah mengetahui dan kamu sekalian tidak mengetahui. Demikian penegasan al-Qur’an (QS. Ali Imran [3]: 66), dan karena itu pula Rasul saw bersabda: ”Berdoalah kepada Allah disertai dengan keyakinan bahwa Allah tidak menerima doa dari kalbu yang lalai lagi lengah” (HR. Abu Daud dan at-Tirmidzi melalui Salman).
Al-Qur’an dan sunnah memerintahkan kita berdoa untuk saudara-saudara kita seiman yang telah mendahului kita. Ini bukan saja dalam bentuk shalat gaib yang pada hakikatnya adalah doa untuk yang meninggal dan yang ditinggal, tetapi juga memberi contoh-contoh doa yang sebaiknya diucapkan buat mereka.
Sahabat-sahabat Nabi saw tidak jarang mencetuskan ucapan-ucapan yang berupa doa dan zikir yang mengagumkan. Bukan hanya kita manusia biasa, bahkan Rasulullah saw dan para malaikat pun terkagum-kagum. Imam an-Nasai dan at-Tirmidzi meriwayatkan, sahabat Nabi saw Rif’at bin Rafi, menceritakan, satu ketika ia shalat di belakang Rasulullah Saw, tiba-tiba dia bersin lantas mengucapkan: ”Al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi kama yuhibbu wa yardha” (segala puji bagi Allah, pujian yang banyak lagi diberkati sebagaimana disukai lagi diridhai Allah). Selesai shalat, Nabi saw bertanya: ”Siapa yang berucap tadi?” Tidak seorang pun menjawab, sehingga Nabi saw bertanya tiga kali. Ketika itu—kata Rif’at melanjutkan ceritanya—barulah aku mengaku kalau aku yang mengucapkannya. Nabi saw bersabda: ”Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman tangan-Nya, tiga puluh sekian malaikat berpacu untuk mengantar ucapan itu ke langit.” Demikian, terlihat doa yang dicetuskan seseorang—walau bukan dari ayat al-Qur’an atau teks yang diajarkan Nabi saw—dapat merupakan doa yang sangat baik dan menimbulkan kekaguman Rasul saw dan pada malaikat.
Atas dasar itu, banyak ulam yang menyusun doa-doa dengan bahasa mereka. Ada juga yang menghimpun sekian banyak ayat al-Qur’an dan doa-doa Nabi saw (hizb) untuk mereka baca pada saat-saat tertentu. Wird al-Lathif yang dibaca di pagi hari, atau Ratib al-Haddad yang dibaca di malam hari adalah kumpulan doa-doa yang kesemuanya bersumber dari ayat-ayat al-Qur’an serta hadis-hadis shahih.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI