Lagu Agnes "Allah Peduli" Dicekal di Malaysia

Namun masalahnya adalah apakah kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja? Apakah umat lain tidak boleh menyebut Tuhan yang juga mereka sembah dengan kata “Allah”? Apakah pandangan semacam ini ada presedennya dalam sejarah Islam? Kenapa pendapat seperti itu muncul?


Tahun yang lalu, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen memakai kata “Allah”, sebab menurutnya kata itu adalah khusus milik umat Islam. Selain umat Islam dilarang menggunakan kata “Allah” sebagai sebutan untuk Tuhan mereka. Alasannya, pemakaian kata Allah oleh pihak non-Muslim dikhawatirkan bisa membingungkan dan “menipu” umat Islam. Akibat dari kebijaksanaan ini, salah satu lagu Ages Monica, Allah Peduli, dilarang beredar di Malaysia oleh Majelis Agama Islam Selangor (MAIS) Malaysia. Bahkan Pengurus Majlis Agama Islam Selangor (MAIS), Mohamad Adzib Mohd Isa, mengatakan, larangan itu dikenakan kepada siapa pun yang menyanyikan lagu itu di negara bagian Selangor, demikian media massa Malaysia, Sabtu (14/3).

MAIS bertekad menegakkan hukum kepada siapapun yang menggunakan kata Allah sebagai pengganti kata tuhan bagi pemeluk agama non Islam. "Penyidikan akan dilakukan oleh pegawai yang berwenang dan jika terbukti bersalah, maka tertuduh akan didenda 1.000 ringgit Malaysia (Rp3,2 juta)," kata Mohamad Adzib.
(www.jakartapress.com) (www.kapanlagi.com)

Sumber dari kantor berita Bernama Malaysia menyatakan:

MAIS bertekad menegakkan hukum kepada siapapun yang menggunakan kata Allah sebagai pengganti kata tuhan bagi pemeluk agama non Islam. "Penyidikan akan dilakukan oleh pegawai yang berwenang dan jika terbukti bersalah, maka tertuduh akan didenda 1.000 ringgit Malaysia (Rp3,2 juta)," kata Mohamad Adzib.
(www.jakartapress.com) (www.kapanlagi.com)
Sumber dari kantor berita Bernama Malaysia menyatakan:
“MAIS Mahu Lagu Agnes Monica Diharamkan”

SHAH ALAM, 13 Mac (Bernama)
Majlis Agama Islam Selangor (MAIS) mahu agar tindakan diambil mengharamkan sebuah lagu Indonesia berjudul “Allah Peduli” kerana liriknya antara lain menyebut “..sebab Allah Yesusku mengerti.”

Pengerusi Mais Datuk Mohamad Adzib Mohd Isa berkata walaupun beliau belum pernah mendengar lagu itu, tindakan mengharamkannya wajar diambil memandangkan ia menyentuh sensitiviti yang membabitkan soal agama.

“Kita umat Islam dalam perakuan kepercayaan kepada Allah yang maksudnya tiada tuhan yang disembah melainkan Allah dan Nabi Muhammad itu pesuruh Allah, jelas mengakui Allah itu Esa, maka larangan penggunaan Allah oleh agama selain Islam adalah untuk mengelak kekeliruan di kalangan orang Islam,” katanya kepada pemberita di sini Jumaat.

Beliau diminta mengulas mengenai lagu berkenaan nyanyian penyanyi Indonesia, Agnes Monica. Dalam lagu berkenaan, perkataan Allah diulang beberapa kali manakala perkataan ’sebab Allah Yesus ku mengerti’ kedengaran pada bahagian akhir lagu selama tiga minit 40 saat itu.

“Ada sesetengah dari kita yang tidak faham dengan kandungan lirik dan membuta tuli ikut menyanyi. Lirik ini secara senyap memesong keimanan dan akidah,” kata Mohamad Adzib.

Beliau berkata Mais akan mengambil tindakan mengharamkan lagu itu serta menarik semua edaran album yang mengandungi lagu berkenaan sebaik kajian dan penelitian dibuat.

“Kita minta pihak yang berkenaan di peringkat kerajaan pusat turut memantau isu lirik lagu ini dan mengambil langkah sewajarnya demi memelihara kesucian agama Islam,” katanya.”

Lirik lagu yang dimaksud adalah sebagai berikut:

ALLAH PEDULI

Banyak perkara yang tak dapat ku mengerti
Mengapakah harus terjadi
Di dalam kehidupan ini
Suatu perkara yang ku simpan dalam hati
Tiada satupun kan terjadi tanpa Allah perduli

Allah mengerti
Allah peduli
Segala persoalan yg kita hadapi
Tak akan pernah di biarkannya ku bergumul sendiri
Sbab Allah mengerti

Allah mengerti
Allah peduli
Segala persoalan yang kita hadapi
Tak akan pernah di biarkannya ku bergumul sendiri
Sbab Allah Yesus ku mengerti
(safril.wordpress.com)

Masalahnya adalah apakah kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja? Apakah umat lain tidak boleh menyebut Tuhan yang juga mereka sembah dengan kata “Allah”? Apakah pandangan semacam ini ada presedennya dalam sejarah Islam? Kenapa pendapat seperti itu muncul?

Dalam sejarah sejak masa pra-Islam, masyarakat Arab sendiri sudah memakai nama Allah sebagai sebutan untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Dalam Quran sendiri, bahkan berkali-kali dapat ditemui sejumlah ayat di mana disebutkan bahwa orang-orang Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam, telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka (baca QS 29:61, 31:25, 39:37, 43:87). Dengan kata lain, kata Allah sudah ada jauh sebelum Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad lahir di tanah Arab.

Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di kawasan jazirah Arab dan sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Para penulis Kristen dan Yahudi juga memakai kata yang sama sejak dulu hingga sekarang. Seorang filosof Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di Spanyol, yaitu Musa ibn Maimun (atau dikenal di dunia Latin sebagai Maimonides [1135-1204]) menulis risalah terkenal, Dalalat al-Ha’irin (Petunjuk Bagi Orang-Orang Yang Bingung). Kalau kita baca buku itu, kita akan jumpai bahwa kata Allah selalu ia pakai untuk menyebut Tuhan.

Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Ayat pertama yang terkenal dalam Kitab Kejadian diterjemahkan dalam bahasa Arab sebagai berikut: Fi al-bad’i khalaqa Allahu al-samawati wa al-ard (baca Al-Kitab al-Muqaddas edisi The Bible Society in Lebanon). Dalam terjemahan versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), ayat itu berbunyi: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi”.

Tak seorangpun sarjana Islam yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka, entah pada masa klasik atau modern, yang keberatan terhadap praktek yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun itu. Tak seorang pun ulama Muslim yang hidup sezaman dengan Maimonides yang memprotes penggunaan kata Allah dalam buku dia di atas.

Polemik antara Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak masa awal Islam, dan tak pernah kita jumpai seorang “mutakallim” atau teolog Muslim yang terlibat perdebatan dengan teolog Kristen atau Yahudi karena memperebutkan kepemilikan atas kata Allah. (Survei terbaik tentang sejarah polemik Islam-Kristen sejak masa awal Islam hingga abad ke-4 H/10 M adalah buku karangan Abdul Majid Al-Sharafi, “Al-Fikr al-Islami fi al-Radd ‘Ala al-Nashara“, 2007).

Dalam perspektif historis, pandangan sejumlah ulama Malaysia yang kemudian diresmikan oleh pemerintahnya, jelas sangat aneh dan janggal sebab sama sekali tak ada presedennya. Dipandang dari luar Islam, pendapat ulama Malaysia itu juga bisa menjadi bahan olok-olok bagi Islam. Sebab, pandangan semacam itu tiada lain kecuali memperlihatkan cara berpikir yang sempit di kalangan sebagian ulama. Jika para ulama di Malaysia itu mau merunut sejarah ke belakang, kata Allah itu pun juga bukan “asli” milik umat Islam. Kata itu sudah dipakai jauh sebelum Islam datang. Dengan kata lain, umat Islam saat itu juga meminjam kata tersebut dari orang lain.

Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama yang lahir dari rahim yang sama, yaitu dari tradisi Ibrahim. Islam banyak sekali mewarisi tradisi dan ajaran dari kedua agama itu. Karena asal-usul yang sama, dengan sendirinya sudah lumrah jika terjadi proses pinjam-meminjam antara ketiga agama itu. Selama berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi antara ketiga tradisi agama Ibrahimiah tersebut. Tradisi Kristiani, misalnya, mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan Islam, terutama dalam tradisi pietisme atau mistik (baca, misalnya, buku karangan Tarif Khalidi, “The Muslim Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature“, 2001).

Quran sendiri banyak meminjam dari tradisi lain, termasuk dalam konteks istilah-istilah yang berkaitan dengan peribadatan. Hampir semua istilah-istilah ritual yang ada dalam Islam, seperti salat (sembahyang), saum (puasa), hajj, tawaf (mengelilingi ka’bah), ruku’ (membungkuk pada saat salat) dsb., sudah dipakai jauh sebelum Islam oleh masyarakat Arab.

Dengan kata lain, proses pinjam-meminjam ini sudah berlangsung sejak awal kelahiran Islam. Pandangan ulama Malaysia itu seolah-olah mengandaikan bahwa semua hal yang ada dalam Islam, terutama istilah-istilah yang berkenaan dengan doktrin Islam, adalah “asli” milik umat Islam, bukan pinjaman dari umat lain. Sebagaimana sudah saya tunjukkan, pandangan semacam itu salah sama sekali.

JIKA demikian, bagaimana kita menjelaskan pendapat yang janggal dari Malaysia itu? Saya kira, salah satu penjelasan yang sederhana adalah melihat masalah ini dari sudut dinamika internal dalam tubuh umat Islam sendiri sejak beberapa dekade terakhir. Sebagaimana kita lihat di berbagai belahan dunia Islam manapun, ada gejala luas yang ditandai oleh mengerasnya identitas dalam tubuh umat. Di mana-mana, kita melihat suatu dorongan yang kuat untuk menetapkan batas yang jelas antara Islam dan non-Islam. Kekaburan batas antara kedua hal itu dipandang sebagai ancaman terhadap identitas umat Islam.

Penegasan bahwa kata “Allah” hanyalah milik umat Islam saja adalah bagian dari manifestasi kecenderungan semacam itu. Pada momen-momen di mana suatu masyarakat sedang merasa diancam dari luar, biasanya dorongan untuk mencari identitas yang otentik makin kuat. Inilah tampaknya yang terjadi juga pada umat Islam sekarang di beberapa tempat. Kalau kita telaah psikologi umat Islam saat ini, tampak sekali adanya perasaan terancam dari pihak luar. Teori konspirasi yang melihat dunia sebagai arena yang dimanipulasi oleh “kllik” tertentu yang hendak menghancurkan Islam mudah sekali dipercaya oleh umat. Teori semacam ini mudah mendapatkan pasar persis karena bisa memberikan justifikasi pada perasaan terancam itu.

Keinginan untuk memiliki identitas yang otentik dan “beda” jelas alamiah belaka dalam semua masyarakat. Akan tetapi, terjemahan keinginan itu dalam dunia sehar-hari bisa mengambil berbagai bentuk. Ada bentuk yang sehat dan wajar, tetapi juga ada bentuk yang sama sekali tak masuk akal bahkan lucu dan menggelikan. Pandangan ulama Malaysia yang kemudian didukung oleh pemerintah negeri itu untuk melarang umat Kristen memakai istilah “Allah” adalah salah satu contoh yang tak masuk akal itu. Sebagaimana saya sebutkan di muka, secara historis, pandangan semacam ini sama sekali tak ada presedennya. Selain itu, proses saling meminjam antara Islam, Kristen dan Yahudi sudah berlangsung dari dulu.

Bayangkan saja, jika suatu saat ada kelompok Yahudi yang berpikiran sama seperti ulama Malaysia itu, lalu menuntut agar umat Islam tidak ikut-ikutan merujuk kepada nabi-nabi Israel sebelum Muhammad — apakah tidak runyam jadinya. Orang Yahudi bisa saja mengatakan bahwa sebagian besar nabi yang disebut dalam Quran adalah milik bangsa Yahudi, dan karena itu umat Islam tak boleh ikut-ikutan menyebut mereka dalam buku-buku Islam. Sudah tentu, kita tak menghendaki situasi yang “lucu” dan ekstrem seperti itu benar-benar terjadi.

Selama ini umat Islam mengeluh karena umat lain memiliki pandangan yang negatif tentang Islam, dan karena itu mereka berusaha sekuat mungkin agar citra negatif tentang agama mereka itu dihilangkan. Masalahnya adalah bahwa sebagian umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka langkah terbaik adalah memulai dari “dalam” tubuh umat Islam sendiri. Yaitu dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal.

Tak ada gunanya umat Islam melakukan usaha untuk mengoreksi citra Islam, sementara mereka sendiri memproduksi terus-menerus hal-hal yang janggal dan tak masuk akal.

Comments

  1. liberal lagi...fuihhhhh, sdh sesat menyesatkan

    ReplyDelete
  2. Buat kamu yang bersembunyi di balik "nama" Anonim. Bila kau tak setuju, utarakanlah. Bantahlah dg cara yang baik (wajadilhum billati hiya ahsan). Gak perlu menghakimi pihak lain dengan tuduhan "sesat-menyesatkan". Itu bukan cara terhormat bagi orang muslim yang masih menghargai akal anugerah Tuhannya. Sudah bukan jamannya lagi cara jahiliyah sedemikian dipakai utk menilai pikiran orang lain hanya karena berbeda dgmu. Allahu akbar!

    ReplyDelete
  3. Allahu akbar...seorang tholibul ilmi seperti anda yang anti wahabi...pelajari dulu tentang wahabi baru ngomong anti wahabi jangan2 yang nte fitnah sebagai wahabi adalam islam yang nabi dan para sahabat praktekkan..Allohu akbar
    Analogi apa hak polisi lalu lintas menilang pengendara yang tidak pake helm....karena polisi lalin tau undang2 nya dan hukumnya, sekarang kalo anda mengatakan sesat padahal sudah jelas kesesatannya menurut jumhur ulama yang sudah di sepakati...terus gimana?Ulama2 yang memahami apa itu sunnah bukan ulama lulusan chicago:((

    ReplyDelete
  4. Allahu Akbar!
    Kadang-kadang pekikannya sama tapi gaungnya berbeza. Namun apapun kenyataannya siapapun sejatinya tetap sama, berasal dari yang Satu dan berjuang demi yang Satu.

    Sebenarnya, pekikan takbir itu adalah pengucapan yang lahir dari firman Allah untuk memuji Dhat-Nya, iaitu keagungan-Nya. Takbir adalah wujud firman Allah itu sendiri. Oleh para wali diibaratkan seperti pelita dan sinarnya. Suara yang terdengar itu sebenarnya suara Tuhan sendiri melalui mulut hamba-Nya. Hamba hanyalah dian, sedangkan Tuhan adalah api yang meneranginya. Takbir yang muncul dari firman Allah itulah yang tak akan lekang oleh zaman. Tak berubah, tak akan mati, dan tak akan sakit. Takbir yang sejati menyatakan kebesaran Allah dari af'āl Allah sendiri.

    Jadi, takbir yang sebenarnya itu hasil penghayatan diri terhadap sifat Allah Jalla Jalaluh, bukan keluar dari perasaan emosi. Dan, tentu saja hal yang demikian ini telah dilakukan oleh Nabi. Sehingga sifat memuja yang sesungguhnya itu merupakan sifat terpujinya Tuhan yang ada pada diri manusia itu sendiri. Oleh itu, tak akan bermakna pekikan takbir bila bukan hasil dari penghayatan dan kesedaran yang paling dalam. Ucapan takbir harus muncul dari hati sanubari terdalam. Dari kedamaian, Islam.

    ReplyDelete
  5. Pak Gun, Analogi ntm benar, kerana analogi syariat memang demikian. Sufi pun tidak menyalahkan anda, dia sadar pendekatan anda berbeda
    Tapi ingat, Tuhan bukan seperti polisi yang hanya sekedar menonjolkan watak sangarnya, Tuhan selain bersifat Jalal juga Jamal. Kadang-kadang kita terjebak pada satu sudut pandang Jalal saja, padahal sisi Jamal Allah adalah cinta dan keindahan. Dan dari sinilah para sufi mendekati Tuhan. Bagi sufi, Tuhan bukan seperti polisi tetapi Zat yang menaburkan cinta dan kasih. Sufi tidak takut kepd neraka juga tidak mengharap surga, krn keindahan wajah Tuhan mengatasi segala kemewahan surga.
    Jadi harap dimaklumi mas Gun, Tuhan tidak seperti polisi

    ReplyDelete
  6. tetapi kata Allah dalam Islam dan Kristen hanya beda pengucapan saja.

    ReplyDelete
  7. padahal di Malaysia yang beragama Kristen minoritas.

    ReplyDelete
  8. Saya sependapat. Saya selaku Non muslim, sangat berterima kasih akan posting ini. Kita lebih baik fokus sungguh-sungguh menjalankan yang sesuai dengan pengajaran kitab suci yang sudah jelas kita yakini semua bertujuan baik di mata Allah..
    terima kasih. Salam

    Parulian Simarmata

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)