Syatahat: Ekspresi Verbal Pengalaman Spiritual Sufi
Pengalaman batin para sufi kadang-kadang dianggap bercanggah dengan apa yang sudah lumrah dalam pandangan umum, perkara yang sering mengundang kontroversi dari para sufi ini adalah syatahat-syatahat yang keluar pada saat mereka mengalami ekstase spritual.
Umumnya, syatahat itu muncul apabila batin sufi sampai kepada pengalaman tertinggi, iaitu persatuan dengan Tuhan, sehingga ia tidak lagi berada dalam peringkat kesedaran biasa, tetapi merupakan kesedaran supra-manusiawi, di mana kesedaran manusia terserap ke dalam kesedaran ketuhanan.
Problema yang dialami oleh para sufi apabila kesedarannya telah malampaui level kemanusiaan adalah ketidakmampuan memformulasikan pengalamannya yang terdalam secara tepat oleh sebab keterbatasan sarana pengungkapannya, sehingga ungkapan-ungkapan yang lahir dari pengalaman batinnya menjadi sulit dan dianggap menyesatkan bagi kalangan awam.
Kendala utama dalam memformulasikan pengalaman rohani, kemungkinan boleh juga disebabkan tidak bekerjanya pikiran secara seimbang dalam memahami pengalaman batin, untuk itulah Ibn ‘Arabi cuba memadukan pendekatan tasawuf dan falsafah dengan harapan boleh menerjemahkan bahasa batin bagi mengungkap eksistensi Tuhan, meskipun perkara ini tak kurang rumitnya serta mengandung kontroversi.
Pendekatan yang digunakan untuk memahami pengalaman tasawuf, khususnya dalam konteks kebersatuan dengan Tuhan, tergantung pada jenis pengetahuannya. Menurut William Chittick, Ibn ‘Arabi membagi dua macam dasar pengetahuan iaitu, pengetahuan yang diperoleh melalui kemampuan rasional dan pengetahuan yang diperoleh melalui praktek spritual yang biasanya disebut ma’rifah. Jenis pengetahuan yang kedua ini boleh juga disebut pengetahuan dengan penyingkapan (kasyf), atau juga dekat dengan istilah-istilah seperti dzauq, fath, basyirah, shuhud dan mushāhadah.
Pendekatan yang diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi tidak jauh berbeza dengan pendekatan para sufi sebelumnya, iaitu sama-sama menekankan pendekatan kasyfi, hanya saja yang membezakan Ibn ‘Arabi dengan para sufi lainnya adalah ia mampu memanfaatkan basic falsafahnya untuk menjabarkan pengalaman mistisnya, sehingga apa yang mungkin untuk dideskripsikan sejauh itu boleh dipahami dan ditangkap maknanya oleh pikiran.
Upaya mendeskripsikan pengalaman tasawuf bukanlah hal yang mudah tanpa bantuan nalar aktif, tidak menghairankan jika aliran tasawuf Ibn ‘Arabi selalu berusaha untuk menghidupkan daya imajinasi dalam menggambarkan pengalaman mistis, khususnya tentang Tuhan dalam pengertian yang secara simultan mengarah pada transendensi dan imanensi-Nya. Meskipun upaya penggambaran itu dilakukan secara samar-samar, akan tetapi paling tidak, boleh memberitahukan kepada kita tentang adanya perwujudan Ilahi yang menyelubungi esensi-Nya. Pendekatan yang dilakukan Ibn ‘Arabi tidak lain merupakan bentuk pemindahan “gambaran” ketuhanan dalam visi batin (penyaksian) sebagai salah satu cara untuk mendekatkan Tuhan, yang tidak hanya bertumpu pada pemikiran semata, tetapi jauh pada peringkat kedalaman samudera batin yang tiada berhingga.
Menurut Mehdi Ha’iri Yazdi, kecemerlangan Ibn ‘Arabi dalam mentransfer pengalaman batinnya menjadi sebuah kebenaran tasawuf tidak terlepas dari kepiawaiannya menggunakan metode irfan, yang ia sendiri sebagai pelopornya. Dalam konteks ini Ha’iri Yazdi memahami irfan sebagai ilmu bahasa kesedaran mistis.
Pendekatan irfan yang dikemukakan Ibn ‘Arabi dibedakan dengan metode pengetahuan intelektual biasa. Menurut Chittick, dalam Futuhat, Ibn ‘Arabi memperkenalkan tiga klasifikasi pendekatan pengetahuan. Pertama, pengetahuan intelektual (‘Ilm al-Aql, The Science of reason). Iaitu diperoleh melalui pendekatan investigatif serta bersifat demonstratif. Pengetahuan jenis ini boleh merujuk pada objek empiris atau objek yang sudah dikenal oleh akal.
Kedua, pengetahuan tentang kesedaran akan keadaan-keadaan batin (The Science of States, Ahwal). Jenis pengetahuan ini lebih menekankan pada kemampuan merasa oleh sebab itulah tidak ada jalan untuk mengkomunikasikan keadaan-keadaan yang sudah melampaui batas-batas nalar selain merasakan sendiri jenis “keadaan-keadaan” tersebut. Sehubungan dengan jenis pengetahuan model yang kedua ini, akal tidak boleh dijadikan acuan untuk membuktikan kebenaran “keadaan-keadaan” dalam penyaksian batin. Secara sederhana dicontohkan seperti rasa manis madu atau pahitnya sari cendana, yang tidak boleh “mengalami” manis dan pahit itu seperti apa, bukan untuk menghadirkan wujud manis dan pahit dalam bentuk kongkritnya yang bersifat bendawi.
Dan ketiga, pengetahuan tentang yang gaib (knowledge is the Sciences of the mysteries. ‘ilm al-asrar), pengetahuan model ini bercorak intelektual transenden, bentuk mengetahui lebih tergantung pada pencerahan yang bersumber dari cahaya Ilahiah atau pancaran ruh suci kedalam pikiran. Pengetahuan model ini hanya ada atau dimiliki oleh mereka yang mencapai maqām tertinggi seperti para Nabi ataupun orang-orang suci.
Jenis pengetahuan model ketiga (‘ilm al-asrar) lebih mendapatkan prioriti dalam pendekatan Ibn ‘Arabi untuk memperoleh pemahaman tentang Tuhan melaui visi batin. Menurut Ha’iri Yazdi pengetahuan intelektual transenden (‘ilm al-asrar) merupakan kebalikan pengetahuan representasional fenomenal yang berlaku bagi objek-objek lahir yang boleh teramati oleh deria manusia. Sedangkan pengetahuan transenden merupakan pengetahuan tentang dunia yang ghaib, yang pada level-level tertentu tak terkatakan, kerana nalar dan bahasa tak mampu menjangkau objek-objek batin yang asing bagi pikiran kerana terbiasa dengan objek-objek lahir, dengan kata lain objek-objek batin tanpa campur tangan nalar dan bahasa.
Meskipun demikian bukan bererti nalar dan bahasa terkesampingkan dalam upaya berpertisipasi pada wilayah batin, hanya saja bagi Ibn ‘Arabi pendekatan kasyfi lebih diutamakan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ha’iri Yazdi tentang peranan akal dalam relasi pandangan tasawuf Ibn ‘Arabi sebagai berikut:
Tetapi, akal boleh, dan punya kemampuan untuk, begitu keyakinan Ibn ‘Arabi, mengintrospeksi dan merumuskan kembali pengetahuan ini dan membawanya ke dalam dunia fenomena. Manakala akal telah mengambil langkah ini dengan cermat dan menyusun kembali serta menerjemahkan pengetahuan yang tidak bia diterangkan ke dalam kerangka bentuk pengetahuan secara fenomenal representasional, maka ia akan menjadi pengetahuan intelektual biasa yang, seperti halnya pengetahuan kita yang lain, bersifat konseptual dan biasa dipahami, dan karenanya, boleh dibicarakan dalam bahasa sehari-hari dengan mudah. Kerana itu, kemampuan akallah kata Ibn ‘Arabi yang boleh melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang gaib ke pengetahuan intekelektual dunia fenomena seperti itu.
Jelaslah bahawa peranan akal tetap memiliki kedudukan penting dalam rangka menjembatani atau mengkomunikasikan pengalaman di dunia gaib menurut cara pandang yang boleh diterapkan pada realitas empiris. Penggunaan akal dalam konteks ini adalah, berupaya melihat celah-celah mana saja yang penting untuk diterjemahkan dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dunia gaib ke dalam pernyataan-pernyataan, dengan jalan meminjam berbagai terminologi yang umumnya sudah dikenal. Penerjemahan tasawuf via akal adalah dalam rangka menciptakan keseimbangan kesedaran yang bersifat relasional antara fakultas intelektual dan ketajaman intuisi, sehingga memungkinkan transeksistensiasi dari pengetahuan tasawuf melalui kahadiran ke pengetahuan fenomenal melalui representasi.
Rangkaian selanjutnya dalam konteks pendekatan tasawuf Ibn ‘Arabi adalah menyangkut sarana atau instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat Ilahiah. Pada umumnya dalam tradisi tasawuf dikenal apa yang disebut sebagai instrumen batin. Menurut Nicholson, kaum sufi membezakan tiga jenis organ sebagai alat komunikasi rohaniah iaitu hati (qalbu), roh (ruh) dan jiwa terdalam (sirr), masing-masing organ itu memiliki fungsinya sendiri-sendiri.
Hati (qalbu) untuk mengetahui Tuhan, roh (ruh) untuk mencintai-Nya, bagian jiwa terdasar (sirr) untuk merenungi-Nya.
Berdasarkan fungsinya, maka hati merupakan instrumen penting untuk mengetahui realitas Ilahiah. Hati dalam pengertian ini bukanlah yang bersifat jasmaniah (yang terdiri dari daging dan darah), walaupun demikian ia memiliki jalinan misterius dengan hati yang melekat pada jasmani manusia.
Sehubungan dengan gambaran tentang hati, menurut Purwadaksi, Ibn ‘Arabi ‘Arabi mengumpamakannya seperti cermin berkilau, dan pada suatu saat boleh berubah kabur, untuk itulah, hati setiap seorang perlu dibersihkan atau disucikan melalui ibadah.
Perumpamaan hati seperti cermin berkilau memiliki kesamaan dengan pendapatnya Al-Ghazali, bahawa layar batin itu seperti kaca yang jernih dan dengan kejernihannya mampu menangkap rahasia-rahasia tersembunyi.
Melalui kejernihan hati itulah tuntunan berupa ilham Tuhan menyertai hamba-Nya. Dalam konteks ini menurut Schimmel, Ibn ‘Arabi menegaskan bahawa dalam menulis masterpiece-nya yang terkenal iaitu, Futuhat al-Makkiyyah, tidak ada sehuruf pun yang tergores selain dalam bimbingan ilham Tuhan.
Pada level batin yang lebih tinggi, hati tidak hanya dapat menerima ilham Tuhan saja, tetapi melalui peringkat kejernihannya sanggup menyaksikan tajalliy Tuhan ( Tuhan hadir dalam visi batin ), dimana tabir atau selubung yang menghalangi “pandangan” batin terangkat, tak ada realitas lain selain realitas ketuhanan. Menurut Nurcholish Majid mengungkapkan bahawa ketika realitas alam gaib disingkapkan, semua tampak jalas, tak ada beda antara mata melek dan terpejam, penyaksian tidak lagi tergantung pada mata lahir, inilah yang dinamakan Kashf.
Menurut para sufi, bahawa pengalaman tertinggi sufi adalah bersatunya manusia dengan Tuhan. Dalam visi sufi wujud “keadaan bersatu” dapat berbentuk macam-macam konsep, iaitu: ittihād, hulul, wahdah al-syuhud, al-isyraq dan wujūdiyah.
Problema yang dialami oleh para sufi apabila kesedarannya telah malampaui level kemanusiaan adalah ketidakmampuan memformulasikan pengalamannya yang terdalam secara tepat oleh sebab keterbatasan sarana pengungkapannya, sehingga ungkapan-ungkapan yang lahir dari pengalaman batinnya menjadi sulit dan dianggap menyesatkan bagi kalangan awam.
Kendala utama dalam memformulasikan pengalaman rohani, kemungkinan boleh juga disebabkan tidak bekerjanya pikiran secara seimbang dalam memahami pengalaman batin, untuk itulah Ibn ‘Arabi cuba memadukan pendekatan tasawuf dan falsafah dengan harapan boleh menerjemahkan bahasa batin bagi mengungkap eksistensi Tuhan, meskipun perkara ini tak kurang rumitnya serta mengandung kontroversi.
Pendekatan yang digunakan untuk memahami pengalaman tasawuf, khususnya dalam konteks kebersatuan dengan Tuhan, tergantung pada jenis pengetahuannya. Menurut William Chittick, Ibn ‘Arabi membagi dua macam dasar pengetahuan iaitu, pengetahuan yang diperoleh melalui kemampuan rasional dan pengetahuan yang diperoleh melalui praktek spritual yang biasanya disebut ma’rifah. Jenis pengetahuan yang kedua ini boleh juga disebut pengetahuan dengan penyingkapan (kasyf), atau juga dekat dengan istilah-istilah seperti dzauq, fath, basyirah, shuhud dan mushāhadah.
Pendekatan yang diperkenalkan oleh Ibn ‘Arabi tidak jauh berbeza dengan pendekatan para sufi sebelumnya, iaitu sama-sama menekankan pendekatan kasyfi, hanya saja yang membezakan Ibn ‘Arabi dengan para sufi lainnya adalah ia mampu memanfaatkan basic falsafahnya untuk menjabarkan pengalaman mistisnya, sehingga apa yang mungkin untuk dideskripsikan sejauh itu boleh dipahami dan ditangkap maknanya oleh pikiran.
Upaya mendeskripsikan pengalaman tasawuf bukanlah hal yang mudah tanpa bantuan nalar aktif, tidak menghairankan jika aliran tasawuf Ibn ‘Arabi selalu berusaha untuk menghidupkan daya imajinasi dalam menggambarkan pengalaman mistis, khususnya tentang Tuhan dalam pengertian yang secara simultan mengarah pada transendensi dan imanensi-Nya. Meskipun upaya penggambaran itu dilakukan secara samar-samar, akan tetapi paling tidak, boleh memberitahukan kepada kita tentang adanya perwujudan Ilahi yang menyelubungi esensi-Nya. Pendekatan yang dilakukan Ibn ‘Arabi tidak lain merupakan bentuk pemindahan “gambaran” ketuhanan dalam visi batin (penyaksian) sebagai salah satu cara untuk mendekatkan Tuhan, yang tidak hanya bertumpu pada pemikiran semata, tetapi jauh pada peringkat kedalaman samudera batin yang tiada berhingga.
Menurut Mehdi Ha’iri Yazdi, kecemerlangan Ibn ‘Arabi dalam mentransfer pengalaman batinnya menjadi sebuah kebenaran tasawuf tidak terlepas dari kepiawaiannya menggunakan metode irfan, yang ia sendiri sebagai pelopornya. Dalam konteks ini Ha’iri Yazdi memahami irfan sebagai ilmu bahasa kesedaran mistis.
Pendekatan irfan yang dikemukakan Ibn ‘Arabi dibedakan dengan metode pengetahuan intelektual biasa. Menurut Chittick, dalam Futuhat, Ibn ‘Arabi memperkenalkan tiga klasifikasi pendekatan pengetahuan. Pertama, pengetahuan intelektual (‘Ilm al-Aql, The Science of reason). Iaitu diperoleh melalui pendekatan investigatif serta bersifat demonstratif. Pengetahuan jenis ini boleh merujuk pada objek empiris atau objek yang sudah dikenal oleh akal.
Kedua, pengetahuan tentang kesedaran akan keadaan-keadaan batin (The Science of States, Ahwal). Jenis pengetahuan ini lebih menekankan pada kemampuan merasa oleh sebab itulah tidak ada jalan untuk mengkomunikasikan keadaan-keadaan yang sudah melampaui batas-batas nalar selain merasakan sendiri jenis “keadaan-keadaan” tersebut. Sehubungan dengan jenis pengetahuan model yang kedua ini, akal tidak boleh dijadikan acuan untuk membuktikan kebenaran “keadaan-keadaan” dalam penyaksian batin. Secara sederhana dicontohkan seperti rasa manis madu atau pahitnya sari cendana, yang tidak boleh “mengalami” manis dan pahit itu seperti apa, bukan untuk menghadirkan wujud manis dan pahit dalam bentuk kongkritnya yang bersifat bendawi.
Dan ketiga, pengetahuan tentang yang gaib (knowledge is the Sciences of the mysteries. ‘ilm al-asrar), pengetahuan model ini bercorak intelektual transenden, bentuk mengetahui lebih tergantung pada pencerahan yang bersumber dari cahaya Ilahiah atau pancaran ruh suci kedalam pikiran. Pengetahuan model ini hanya ada atau dimiliki oleh mereka yang mencapai maqām tertinggi seperti para Nabi ataupun orang-orang suci.
Jenis pengetahuan model ketiga (‘ilm al-asrar) lebih mendapatkan prioriti dalam pendekatan Ibn ‘Arabi untuk memperoleh pemahaman tentang Tuhan melaui visi batin. Menurut Ha’iri Yazdi pengetahuan intelektual transenden (‘ilm al-asrar) merupakan kebalikan pengetahuan representasional fenomenal yang berlaku bagi objek-objek lahir yang boleh teramati oleh deria manusia. Sedangkan pengetahuan transenden merupakan pengetahuan tentang dunia yang ghaib, yang pada level-level tertentu tak terkatakan, kerana nalar dan bahasa tak mampu menjangkau objek-objek batin yang asing bagi pikiran kerana terbiasa dengan objek-objek lahir, dengan kata lain objek-objek batin tanpa campur tangan nalar dan bahasa.
Meskipun demikian bukan bererti nalar dan bahasa terkesampingkan dalam upaya berpertisipasi pada wilayah batin, hanya saja bagi Ibn ‘Arabi pendekatan kasyfi lebih diutamakan. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ha’iri Yazdi tentang peranan akal dalam relasi pandangan tasawuf Ibn ‘Arabi sebagai berikut:
Tetapi, akal boleh, dan punya kemampuan untuk, begitu keyakinan Ibn ‘Arabi, mengintrospeksi dan merumuskan kembali pengetahuan ini dan membawanya ke dalam dunia fenomena. Manakala akal telah mengambil langkah ini dengan cermat dan menyusun kembali serta menerjemahkan pengetahuan yang tidak bia diterangkan ke dalam kerangka bentuk pengetahuan secara fenomenal representasional, maka ia akan menjadi pengetahuan intelektual biasa yang, seperti halnya pengetahuan kita yang lain, bersifat konseptual dan biasa dipahami, dan karenanya, boleh dibicarakan dalam bahasa sehari-hari dengan mudah. Kerana itu, kemampuan akallah kata Ibn ‘Arabi yang boleh melakukan transisi dari pengetahuan tentang yang gaib ke pengetahuan intekelektual dunia fenomena seperti itu.
Jelaslah bahawa peranan akal tetap memiliki kedudukan penting dalam rangka menjembatani atau mengkomunikasikan pengalaman di dunia gaib menurut cara pandang yang boleh diterapkan pada realitas empiris. Penggunaan akal dalam konteks ini adalah, berupaya melihat celah-celah mana saja yang penting untuk diterjemahkan dari pengalaman-pengalaman yang diperoleh di dunia gaib ke dalam pernyataan-pernyataan, dengan jalan meminjam berbagai terminologi yang umumnya sudah dikenal. Penerjemahan tasawuf via akal adalah dalam rangka menciptakan keseimbangan kesedaran yang bersifat relasional antara fakultas intelektual dan ketajaman intuisi, sehingga memungkinkan transeksistensiasi dari pengetahuan tasawuf melalui kahadiran ke pengetahuan fenomenal melalui representasi.
Rangkaian selanjutnya dalam konteks pendekatan tasawuf Ibn ‘Arabi adalah menyangkut sarana atau instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat Ilahiah. Pada umumnya dalam tradisi tasawuf dikenal apa yang disebut sebagai instrumen batin. Menurut Nicholson, kaum sufi membezakan tiga jenis organ sebagai alat komunikasi rohaniah iaitu hati (qalbu), roh (ruh) dan jiwa terdalam (sirr), masing-masing organ itu memiliki fungsinya sendiri-sendiri.
Hati (qalbu) untuk mengetahui Tuhan, roh (ruh) untuk mencintai-Nya, bagian jiwa terdasar (sirr) untuk merenungi-Nya.
Berdasarkan fungsinya, maka hati merupakan instrumen penting untuk mengetahui realitas Ilahiah. Hati dalam pengertian ini bukanlah yang bersifat jasmaniah (yang terdiri dari daging dan darah), walaupun demikian ia memiliki jalinan misterius dengan hati yang melekat pada jasmani manusia.
Sehubungan dengan gambaran tentang hati, menurut Purwadaksi, Ibn ‘Arabi ‘Arabi mengumpamakannya seperti cermin berkilau, dan pada suatu saat boleh berubah kabur, untuk itulah, hati setiap seorang perlu dibersihkan atau disucikan melalui ibadah.
Perumpamaan hati seperti cermin berkilau memiliki kesamaan dengan pendapatnya Al-Ghazali, bahawa layar batin itu seperti kaca yang jernih dan dengan kejernihannya mampu menangkap rahasia-rahasia tersembunyi.
Melalui kejernihan hati itulah tuntunan berupa ilham Tuhan menyertai hamba-Nya. Dalam konteks ini menurut Schimmel, Ibn ‘Arabi menegaskan bahawa dalam menulis masterpiece-nya yang terkenal iaitu, Futuhat al-Makkiyyah, tidak ada sehuruf pun yang tergores selain dalam bimbingan ilham Tuhan.
Pada level batin yang lebih tinggi, hati tidak hanya dapat menerima ilham Tuhan saja, tetapi melalui peringkat kejernihannya sanggup menyaksikan tajalliy Tuhan ( Tuhan hadir dalam visi batin ), dimana tabir atau selubung yang menghalangi “pandangan” batin terangkat, tak ada realitas lain selain realitas ketuhanan. Menurut Nurcholish Majid mengungkapkan bahawa ketika realitas alam gaib disingkapkan, semua tampak jalas, tak ada beda antara mata melek dan terpejam, penyaksian tidak lagi tergantung pada mata lahir, inilah yang dinamakan Kashf.
Menurut para sufi, bahawa pengalaman tertinggi sufi adalah bersatunya manusia dengan Tuhan. Dalam visi sufi wujud “keadaan bersatu” dapat berbentuk macam-macam konsep, iaitu: ittihād, hulul, wahdah al-syuhud, al-isyraq dan wujūdiyah.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI