Antara Sunnah dan Bid'ah
Sunnah dapat diartikan sebagai jalan hidup, kebiasaan baik atau kebiasaan buruk. Sunnah Nabi adalah kebiasaan dalam peri kehidupan Nabi yang senantiasa membuat kebajikan. Kita bisa mengetahui sunnah Nabi dari pemahaman ke atas hadis dan atau akhbar dan cerita sirah nabawiyyah. Jika suatu perbuatan itu disebut sebagai sunnah nabi tentu yang dimaksud adalah tindakan Nabi. Sunnah Nabi selalu bernilai shahih, berbeda dengan hadis karena ia memiliki tingkatan-tingkatan: shahih, hasan, dhaif, dll.
Sunnah manusia ada 2, yaitu sunnah hasanah dan sunnah sayyi'ah. Sunnah hasanah adalah kebiasaan perilaku baik, sedangkan sunnah sayyi'ah adalah kebiasaan perilaku buruk. Standart baik atau buruk adalah bersesuaian atau tidak dengan al-Qur'an. Apabila sejalan dengan pesan Qur'an dinamakan sunnah hasanah atau sunnah baik, dan apabila berlawanan dinamakan dengan sunnah sayyi'ah atau sunnah yang buruk.
Manakala bid'ah adalah sesuatu yang diadakan, dipaksakan untuk ada padahal tidak sejalan dengan sunnah Nabi dan misi al-Qur'an. Artinya, sesuatu yang baru diadakan itu tidak dalam rangka penyempurnaan akhlak mulia dan juga tidak mengemban misi perdamaian dan keselamatan (islam), bahkan tidak bisa menjadi cahaya penerang bagi menunjukkan jalan manusia menyempurnakan kualitas dirinya menjadi peribadi yang berakhlaq seperti akhlaq Tuhan, yaitu dengan memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan dalam hidup ini. Apabila bukan tujuan mulia ini yang diinginkan maka apapun tindakannya, apapun perbuatan yang dilakukan adalah bid'ah. Sedangkan setiap bid'ah mengarah kepada mewujudkan sifat-sifat tercela, malah membawa ke arah kesengsaraan dan menyesatkan karena jauh dari sifat-sifat mulia dan keselamatan.
Setiap sunnah hasanah atau tindakan baik adalah sunnah Nabi. Dan tindakan Nabi adalah contoh bagaimana beliau memanifestasikan nilai-nilai moral dan pesan perdamaian dan keselamatan itu dalam setiap inci kehidupan. Nah, kita dikatakan mengikuti sunnah Nabi apabila senantiasa menempuh jalam kebaikan yang telah digariskan oleh al-Qur'an. Sedangkan caranya dengan meniru contoh yang ada pada tindakan Rasul. Jika tidak ada contohnya maka kita boleh berijtihad. Di sini berijtihad disebut itba' sunnah Rasulillah. Jadi, para mujtahid tidak lain adalah para pengikut sunnah rasulillah.
Berijtihad berarti menciptakan sunnah hasanah yang belum dicontohkan praktiknya oleh Nabi. Bukan dalam bidang hokum fikih saja, tetapi juga dalam pemikiran akidah, ibadah dan muamalah (politik, social, ekonomi), dan lain-lain. Ilmu tasawuf antara hasil ijtihad para pengikut sunnah rasul dalam bidang pemikiran. Tujuan tasawuf adalah menegakkan nilai-nilai moral, akhlak mulia, mengejawantahkan sifat-sifat ketuhanan dalam kehidupan ini secara optimal. Para sufi berpikir dengan kuat untuk menemukan caranya yang paling tepat, sehingga ditemukanlah jalan makrifatullah.
Jalan makrifatullah ditempuh dalam rangka agar manusia dalam kehidupannya selalu diliputi oleh sifat-sifat ketuhanan, yaitu akhlaq al-karimah. Caranya, pertama-tama manusia harus mengenal dulu siapa sang pemilik dan sekaligus sumber sifat-sifat baik itu? Perkara ini penting untuk diketahui supaya manusia bisa menyambungkan dirinya kepada sumber kebaikan yang tidak akan pernah kehabisan materinya. Bahkan, manusia harus menjadi bagian dari kebaikan itu sendiri dengan cara mengenalnya, mengakrapinya, dan selalu bergaul dengannya hingga menyatu dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya. Selalu berada dalam kebaikan membuatkan manusia menjadi baik, bahkan menjadi kebaikan itu sendiri. Manusia yang seperti inilah yang mampu menjadi rahmatan lil alamin, menjadi rahmat bagi setiap alam. Di manapun ia berada selalu memunculkan suasana cinta kasih, keselamatan, dan kedamaian. Inilah jalan sufi.
Jalan tasawuf adalah sunnah hasanah sebagai hasil ijtihad umat Rasulullah yang ingin selalu berpegang teguh kepada seunnah Rasulillah, yaitu mengemban misi perdamaian.
Contoh sunnah yang lain adalah upaya para sahabat dalam rangka penulisan kembali dan pembukuan hadis. Mulanya, Nabi melarang penulisan hadis karena khawatir akan bercampur dengan tulisan al-Qur'an yang memang Nabi menyuruh untuk menulisnya. Kata Nabi, La taktubu 'anni wa man kataba 'anni ghayr al-qur'an falyamhuh, jangan kalian tulis sesuatu dariku selain al-Qur'an, barangsiapa yang terlanjur menulisnya maka hapuslah. Selain itu, ada pula hadis Abu Said al-Khudriy, dia pernah minta kebenaran dari Nabi agar diperbolehkan menulis ucapan-ucapannya, tetapi Nabi melarangnya. Juga pernah pada suatu hari Abu Hurairah dan rekannya tengah menulis hadis, ketika Rasul mengetahuinya beliau berkata: Kitabun ghayru kitabillah, atadrun? Tulisan selain al-Qur'an? Apakah kalian tidak mengerti, bahwa ma dhalla al-umam qablakum illa bima katabu min al-kitab ma'a kitabillah, umat sebelum kalian tidak tersesat kecuali karena disebabkan oleh adanya tulisan yang dicampur dengan kitab Allah!!!
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa pada zaman Nabi penulisan hadis dilarang sehingga para sahabat sepeninggal beliau dan juga masa tabiin awal merasa enggan menulis hadis karena masih terkesan dengan larangan Nabi. Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 90-an H. Umar bin Abdul Aziz, seorang tabiin melakukan ijtihad setelah khawatir kehilangan contoh teladan Rasulillah dalam hidupnya, maka dilakukan upaya kodifikasi hadis, mengumpulkan kembali hadis-hadis yang berserakan untuk dihimpun dan ditulis semula menjadi buku hadis.
Tindakan ini, walaupun nampak melawan hadis Rasulillah, namun sebenarnya ia adalah sunnah, bahkan itba' sunnah rasulillah. Yaitu perilaku memberikan pedoman-pedoman dan rumus-rumus tindakan baik bagi umat manusia dalam kehidupannya. Sedangkan kekhawatiran Nabi berkaitan dengan bercampurnya firman Tuhan dengan sabda Rasul dapat dihindarkan karena hadis telah ditulis secara terpisah dari al-Qur'an, yaitu berupa kitab hadis dan mushaf.
Dalam bidang fikih, terdapat banyak ulama mujtahid yang mencetuskan pemikiran-pemikirannya yang baru karena dulu pada zaman Rasulillah belum ada kasusnya. Ilmu fikih, ilmu usul fikih dan lain-lain yang baru muncul jauh setelah masa Nabi, tidaklah boleh disebut sebagai bid'ah apabila ia bertujuan mulia, yaitu memberikan pedoman bagi manusia untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan mengemban misi keselamatan dan perdamaian. Begitulah semestinya hokum fikih ditegakkan, menjadi soko guru yang bisa mengontrol, memberi rambu-rambu, dan mengarahkan lalu lintas umat manusia yang berlalu lalang membawa misi perdamaian dan keluhuran budi. Apabila tidak, maka bid'ah namanya.
Bagi kita, apapun yang kita lakukan, asalkan membawa misi perdamaian, keselamatan (islam) dan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur maka itba' sunnah rasulillah namanya. Bukan bid'ah. Namun, apabila bukan misi keselamatan dan malah menampilkan budi pekerti yang buruk menjadi tujuannya, maka bid'ah namanya. Sedangkan bid'ah itu tempatnya di dalam neraka, yaitu tempat yang jauh dari Tuhan.
Manakala bid'ah adalah sesuatu yang diadakan, dipaksakan untuk ada padahal tidak sejalan dengan sunnah Nabi dan misi al-Qur'an. Artinya, sesuatu yang baru diadakan itu tidak dalam rangka penyempurnaan akhlak mulia dan juga tidak mengemban misi perdamaian dan keselamatan (islam), bahkan tidak bisa menjadi cahaya penerang bagi menunjukkan jalan manusia menyempurnakan kualitas dirinya menjadi peribadi yang berakhlaq seperti akhlaq Tuhan, yaitu dengan memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan dalam hidup ini. Apabila bukan tujuan mulia ini yang diinginkan maka apapun tindakannya, apapun perbuatan yang dilakukan adalah bid'ah. Sedangkan setiap bid'ah mengarah kepada mewujudkan sifat-sifat tercela, malah membawa ke arah kesengsaraan dan menyesatkan karena jauh dari sifat-sifat mulia dan keselamatan.
Setiap sunnah hasanah atau tindakan baik adalah sunnah Nabi. Dan tindakan Nabi adalah contoh bagaimana beliau memanifestasikan nilai-nilai moral dan pesan perdamaian dan keselamatan itu dalam setiap inci kehidupan. Nah, kita dikatakan mengikuti sunnah Nabi apabila senantiasa menempuh jalam kebaikan yang telah digariskan oleh al-Qur'an. Sedangkan caranya dengan meniru contoh yang ada pada tindakan Rasul. Jika tidak ada contohnya maka kita boleh berijtihad. Di sini berijtihad disebut itba' sunnah Rasulillah. Jadi, para mujtahid tidak lain adalah para pengikut sunnah rasulillah.
Berijtihad berarti menciptakan sunnah hasanah yang belum dicontohkan praktiknya oleh Nabi. Bukan dalam bidang hokum fikih saja, tetapi juga dalam pemikiran akidah, ibadah dan muamalah (politik, social, ekonomi), dan lain-lain. Ilmu tasawuf antara hasil ijtihad para pengikut sunnah rasul dalam bidang pemikiran. Tujuan tasawuf adalah menegakkan nilai-nilai moral, akhlak mulia, mengejawantahkan sifat-sifat ketuhanan dalam kehidupan ini secara optimal. Para sufi berpikir dengan kuat untuk menemukan caranya yang paling tepat, sehingga ditemukanlah jalan makrifatullah.
Jalan makrifatullah ditempuh dalam rangka agar manusia dalam kehidupannya selalu diliputi oleh sifat-sifat ketuhanan, yaitu akhlaq al-karimah. Caranya, pertama-tama manusia harus mengenal dulu siapa sang pemilik dan sekaligus sumber sifat-sifat baik itu? Perkara ini penting untuk diketahui supaya manusia bisa menyambungkan dirinya kepada sumber kebaikan yang tidak akan pernah kehabisan materinya. Bahkan, manusia harus menjadi bagian dari kebaikan itu sendiri dengan cara mengenalnya, mengakrapinya, dan selalu bergaul dengannya hingga menyatu dalam setiap tarikan dan hembusan nafasnya. Selalu berada dalam kebaikan membuatkan manusia menjadi baik, bahkan menjadi kebaikan itu sendiri. Manusia yang seperti inilah yang mampu menjadi rahmatan lil alamin, menjadi rahmat bagi setiap alam. Di manapun ia berada selalu memunculkan suasana cinta kasih, keselamatan, dan kedamaian. Inilah jalan sufi.
Jalan tasawuf adalah sunnah hasanah sebagai hasil ijtihad umat Rasulullah yang ingin selalu berpegang teguh kepada seunnah Rasulillah, yaitu mengemban misi perdamaian.
Contoh sunnah yang lain adalah upaya para sahabat dalam rangka penulisan kembali dan pembukuan hadis. Mulanya, Nabi melarang penulisan hadis karena khawatir akan bercampur dengan tulisan al-Qur'an yang memang Nabi menyuruh untuk menulisnya. Kata Nabi, La taktubu 'anni wa man kataba 'anni ghayr al-qur'an falyamhuh, jangan kalian tulis sesuatu dariku selain al-Qur'an, barangsiapa yang terlanjur menulisnya maka hapuslah. Selain itu, ada pula hadis Abu Said al-Khudriy, dia pernah minta kebenaran dari Nabi agar diperbolehkan menulis ucapan-ucapannya, tetapi Nabi melarangnya. Juga pernah pada suatu hari Abu Hurairah dan rekannya tengah menulis hadis, ketika Rasul mengetahuinya beliau berkata: Kitabun ghayru kitabillah, atadrun? Tulisan selain al-Qur'an? Apakah kalian tidak mengerti, bahwa ma dhalla al-umam qablakum illa bima katabu min al-kitab ma'a kitabillah, umat sebelum kalian tidak tersesat kecuali karena disebabkan oleh adanya tulisan yang dicampur dengan kitab Allah!!!
Dari uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa pada zaman Nabi penulisan hadis dilarang sehingga para sahabat sepeninggal beliau dan juga masa tabiin awal merasa enggan menulis hadis karena masih terkesan dengan larangan Nabi. Hingga pada akhirnya, sekitar tahun 90-an H. Umar bin Abdul Aziz, seorang tabiin melakukan ijtihad setelah khawatir kehilangan contoh teladan Rasulillah dalam hidupnya, maka dilakukan upaya kodifikasi hadis, mengumpulkan kembali hadis-hadis yang berserakan untuk dihimpun dan ditulis semula menjadi buku hadis.
Tindakan ini, walaupun nampak melawan hadis Rasulillah, namun sebenarnya ia adalah sunnah, bahkan itba' sunnah rasulillah. Yaitu perilaku memberikan pedoman-pedoman dan rumus-rumus tindakan baik bagi umat manusia dalam kehidupannya. Sedangkan kekhawatiran Nabi berkaitan dengan bercampurnya firman Tuhan dengan sabda Rasul dapat dihindarkan karena hadis telah ditulis secara terpisah dari al-Qur'an, yaitu berupa kitab hadis dan mushaf.
Dalam bidang fikih, terdapat banyak ulama mujtahid yang mencetuskan pemikiran-pemikirannya yang baru karena dulu pada zaman Rasulillah belum ada kasusnya. Ilmu fikih, ilmu usul fikih dan lain-lain yang baru muncul jauh setelah masa Nabi, tidaklah boleh disebut sebagai bid'ah apabila ia bertujuan mulia, yaitu memberikan pedoman bagi manusia untuk menyempurnakan akhlak yang mulia dan mengemban misi keselamatan dan perdamaian. Begitulah semestinya hokum fikih ditegakkan, menjadi soko guru yang bisa mengontrol, memberi rambu-rambu, dan mengarahkan lalu lintas umat manusia yang berlalu lalang membawa misi perdamaian dan keluhuran budi. Apabila tidak, maka bid'ah namanya.
Bagi kita, apapun yang kita lakukan, asalkan membawa misi perdamaian, keselamatan (islam) dan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur maka itba' sunnah rasulillah namanya. Bukan bid'ah. Namun, apabila bukan misi keselamatan dan malah menampilkan budi pekerti yang buruk menjadi tujuannya, maka bid'ah namanya. Sedangkan bid'ah itu tempatnya di dalam neraka, yaitu tempat yang jauh dari Tuhan.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI