Eksistensi Nur Muhammad

Nur Muhammad sebagai makhluk, oleh sebagian ahli dikatakan memiliki dua sifat, yaitu qadim dan sekaligus huduth atau baru, sehingga nampak sebagai sesuatu yang kontradiktif. Bahkan, secara akal zahiriyah, logika ini tidak bisa diterima, karena menimbulkan pemahaman adanya dua yang qadim atau ta'addud al-qudama' yang tidak mungkin berlaku. Karena, yang qadim mestilah hanya satu yaitu Tuhan saja.


Sebelum menyelami lebih dalam pembahasan ini, ada baiknya sebagai pengantar pembaca memahami dulu konsep Nur Muhammad. Sekilas info silakan klik di sini.

Sebenarnya tidaklah susah untuk mencerna apakah Nur Muhammad itu qadim atau baharu. Yang jelas Nur Muhammad telah ada sejak zaman azali, yaitu sejak sebelum alam raya dan makhluk penghuninya diciptakan. Nur Muhammad telah ada sebagai penyebab terciptanya seluruh alam. Namun, ia baru dikenal setelah adanya akal pikiran manusia. Konsep Nur Muhammad dizahirkan sebagai sarana untuk memahami siapa sebenarnya Tuhan dan makhluk-Nya, apa hubungan antara Tuhan dengan makhluk, dan bagaimana cara menjalin hubungan antara keduanya.

Perlu ditegaskan di sini bahwa perkara qadim dan huduth (baharu) adalah tertakluk kepada adanya ruang dan waktu. Padahal kewujudan Nur Muhammad telah ada sebelum adanya ruang dan waktu. Namun, tidak bererti Nur Muhammad wujud bersama-sama dengan wujudnya Tuhan. Ia wujud sejurus setelah Tuhan berkehendak untuk mengenal diri-Nya sendiri, yaitu pada martabat wahdah, martabat kedua dalam konsep Martabat Tujuh. Nur Muhammad belum ada pada martabat pertama, yaitu martabat ahadiyah. Karena pada martabat ahadiyah, Tuhan masih berupa zat misterius atau ghayb al-ghayb, sendiri tanpa nama dan sifat. Tuhan maha qadim, Tuhan maha azali, tiada yang menyerupai-Nya dan tidak dapat diperkirakan dan tidak pula terkirakan.

Kalau dikatakan Nur Muhammad itu ada sejak azali, maka boleh diibaratkan seperti terbitnya matahari beserta sinarnya. Matahari diibaratkan sebagai Tuhan sedangkan sinar matahari diibaratkan sebagai Nur Muhammad. Matahari dan sinarnya muncul secara beriringan. Zat matahari yang mula-mula muncul kemudian terbitlah sinarnya. Analogi ini agak susah untuk dicerna, tetapi, setidaknya boleh disepakati bahwa sinar matahari tidak mungkin muncul sebelum muncul zat matahari. Sedangkan zat matahari boleh jadi muncul tanpa memancarkan sinarnya, yaitu dalam pandangan orang yang buta mata zahirnya. Kita pun demikian dalam memandang wujud Tuhan. Apabila Nur Tuhan terhijab, terhalang, dari pandangan mata hati kita, kita pun tidak mampu mengenal Tuhan secara utuh. Bukan berarti Tuhan tidak ada, tetapi mata hati kita yang tidak mampu menangkap Nur-Nya. Mata hati kita telah buta.

Kita dilarang meyakini ada dua yang qadim. Nur Muhammad adalah qadim tetapi Tuhan Maha Qadim. Qadim dengan Maha Qadim itu berbeda, sama bedanya atara pencipta dengan Maha Pencipta. Manusia adalah pencipta tetapi bukan maha pencipta, karena yang Maha Pencipta hanyalah Tuhan. Demikianlah pandangan hakikat. Berbeda dengan pandangan zahir yang tertakluk pada akal empiris. Oleh karenanya, apabila persoalan hakikat dipahami dengan kaca mata zahir bisa membahayakan akidah tauhid golongan awam. Keyakinan awam bahwa hanya ada satu yang qadim yaitu Allah saja adalah benar. Pandangan sufi bahawa Nur Muhammad adalah qadim juga tidak bisa disalahkan karena pada pandangan hakikatnya ia tidak lebih qadim daripada Allah. Allah-lah yang Maha qadim. Wallah a'alm bi al-shawab.

Pandangan ahli tasawuf jelas berbeda dengan pandangan ilmu kalam. Pandangan sufi bahwa Allah Esa dan Pencipta setara dengan pandangan teolog bahwa Allah Maha Esa dan Maha Pencipta. Tuhan sang Pencipta jelas berbeda posisinya dengan makhluk-Nya.

Menurut kacamata teolog, manusia sebagai sesuatu yang huduth (baru) tidak bisa bertemu dengan Tuhan yang qadim. Dari paradigma inilah di kalangan sufi ada gagasan tentang Nur Muhammad sebagai medium "rasional" yang bisa mempertemukan manusia dengan Tuhannya. Nur Muhammad dalam diri manusia menjilma sebagai ruh, sedangkan ruh atau nyawa adalah hakikat jati diri manusia. Ia berasal dari Tuhan, wa nafakhtu fihi min ruhii.

Nyawa atau ruh adalah hakikat diri kita. Ia berasal dari pancaran Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah perwujudan sifat-sifat Tuhan yang langsung memancar dari Zat-Nya. Adanya sifat melekat pada adanya zat. Tidak ada sifat bila tidak ada zat. Zat menyebabkan adanya sifat. Wujud sifat tertakluk kepada wujud zat, dan hanya wujud zat Allah taala yang nyata dan benar, sedangkan wujud sifat dan apa yang memanifest dari sifat hanyalah bayangan yang wujudnya semu. Untuk menuju sumber bayangan itu jangan terpukau kepada wujud bayangan, tetapi ikutilah sinarnya maka akan sampai kepada sumbernya. Dan ini semua mampu dilakukan oleh basirah kita yang berada di dalam diri. Basirah memiliki daya yang amat kuat mengalahkan basor kita.



Comments

  1. Setelah membaca tulisan mengenai Nur Muhammad (NM), muncul pertanyaan di benak sya bang..? siapa yg menciptakan sesuatu itu, apakah terjadi karena pancaran NM, atau NM yang mencptakan..sedangkan Allah mengucapkan, merancang, sang punya ide dan konsep. seorang arsitek biasanya punya ide, gambar dan rancangan, tetapi yg menjadikan rumah bukanlah arsitek, tetapi tukang-tukangnya (Utusan, mohon penjelasannya bang..??

    ReplyDelete
  2. Kang Kolis menyampaikan jutaan terimakasih krn anda mahu berbagi di blog ini.

    Saudaraku Anonim,
    Konsep Nur Muhammad dalam tasawuf dapat juga disebut sebagai kosmologi sufistik, menyatakan bahwa segala sesuatu selain Allah diwujudkan oleh Allah melalui Nur Muhammad. Nur bersifat immateri, ia bukanlah cahaya seperti yang kita bayangkan, tapi istilah Nur dipakai sekedar untuk memudahkan pemahaman bahwa wujud alam beserta isinya sebagai bias dari wujud Tuhan. Bias wujud Tuhan itulah yang menjadi hakikat, intipati bagi segala sesuatu yang kelihatan ada di alam dunia ini.

    Makhluk tercipta bukan karena tidak sengaja. Tuhan berfirman dalam hadis qudsi: "Mula-mula Aku adalah harta yang tersembunyi, maka Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk, maka dengan itu mereka mengenal Aku". Dalam paradigma Nur Muhammad (NM), Tuhan mewujudkan makhluk melalui taqdir, qudrah, dan iradah-Nya. Sedangkan bagaimana makhluk ini tercipta, sebagian kalangan sufi mencoba memahaminya dengan sebuah teori yang disebut dengan teori Martabat Tujuh atau tujuh peringkat penciptaan.

    Pemikiran tentang wujud sebagai bias wujud Tuhan melahirkan pemahaman kesatuan wujud atau wahdat al-wujud, yaitu pemahaman bahwa pada hakikatnya wujud yang ada ini hanya satu saja yaitu wujud Tuhan saja. Tuhan adalah wujud yang haqq sedangkan wujud makhluk ciptaan-Nya hanyalah wujud yang semu (lahwun wa la'bun), wujud makhluk bersifat nisbi seperti wujud bayang-bayang bagi suatu benda. Wujud bayang-bayang memang ada tetapi bukan wujud yang mandiri karena keberadaannya tergantung kepada wujud benda yang mempunyai bayang-bayang. Apabila hilang benda itu, hilang pula bayang-bayang, dan apabila mewujud benda itu tidak harus wujud bayang-bayangnya. Benda bisa wujud tanpa bayang-banyang, tetapi bayang-bayang tidak mungkin mewujud tanpa benda yang memiliki bayang-bayang itu.

    Demikianlah, makhluk bagaikan bayang-bayang, tidak memiliki wujud yang sebenar, tetapi nyata. Kenyataannya, makhluk memiliki berbagai ragam bentuk dan rupa mencerminkan begitulah hakikatnya Tuhan yang memiliki sifat wajib dan mustahil sekaligus. Nah sifat-sifat wajib dan mustahil Tuhan inilah yang Nampak oleh kita sebagai alam ciptaan-Nya

    Dalam pandangan paradigma NM, dalam proses penciptaan alam raya yang plural ini, Tuhan bukan seperti insinyur yang ide-ide kreatifnya dilaksanakan oleh para tukang, karena di sini berlaku pemahaman bahwa Tuhan adalah dalang dan makhluk adalah wayang. Tidak ada pemeran pengganti dalang. Gerak makhluk tergantung kepada gerak Tuhan, kehidupan makhluk tertakluk kepada qudrah dan iradah Tuhan. Tuhan melepaskan taqdirnya berupa dua kutub plus dan minus agar menjadi lebih dinamis. Sebagian sufi memahami "kutub plus" sebagai daya malaikat sedangkan "kutub minus" sebagai daya nafsu syaitan. Pasangan kedua-dua kutub kemudian boleh dipahami sebagai konsep hokum-hukum Tuhan atau taqdir dan dalam perjalanan taqdir Tuhan itulah muncul pencipta-pencipta kecil seperti manusia dengan berbagai hasil karyanya. Berlakunya hukum-hukum Tuhan tidak mengakibatkan ”terbebasnya” Tuhan dari perbuatan dan kebijaksanaan-Nya.

    Quraisy Syihab mengatakan: Apakah Anda menduga Allah seperti pabrik yang memproduksi ”jam” kemudian membiarkannya berjalan secara otomatis di tangan Anda? Jangan menduga demikian! Ada sunnatullah (hukum-hukum Allah) yang mengatur alam raya dan ada juga ’inayatullah (pertolongan Allah) yang tidak kalah dari sunnah-Nya.

    Pemahaman ini memang sulit untuk diikuti kecuali setelah menyelam lebih dalam ke lautan makrifatullah dan itulah yang dipercayai oleh pengikut tasawuf wahdat al-wujud.

    Demikian yang bisa saya sampaikan, mohon dikoreksi jika khilaf. Wallah a'lam.

    ReplyDelete
  3. Terima kasih atas penjelasannya...Allah telah menciptakan NM, Malaikat, Iblis, termasuk Adam dan Hawa..Prosesnya melalui kosmologi atau pancaran sampai ke karyanya yg terkecil manusia..Allah melepaskan takdirnya..lalu bagaimana proses terciptanya malaikat melalui NM.?? bukankah di katakan bahwa NM yang mewujudkan, bahasa lain dari mengadakan. pesanya adalah NM diciptakan Tuhan, Malaikat diwujudkan NM. NM menciptakan, sedangkan segala sesuatunya sudah ada di NM yang diciptakan Allah tadi, mohon penjelasan kang.

    ReplyDelete
  4. Assalamu'alaikum Wr. Wb..mohon penjelasannya
    Apakah Allah itu adalah Tuhan yang menciptakan Nur Muhammad itu atau Nur Muhammad itu ada dengan kehendaknya sendiri dari nur Muhammad tersebut
    sehingga Allah adalah hanya nama bagi Nur Muhammad yang telah Zahir kedunia dan memuji dirinya dengan Allah,Allah...Artinya adalah Allah adalah sebuah nama bagi Nur Muhammad yang telah zahir ke dunia yang selalu memuji dirinya Allah atau Hu Allah? mohon petunjuk..

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)