Kemahakuasaan Allah: an ihtajaba bila hijab
Saudaraku...
Kebahagiaan dunia terwujud apabila hati kita bersukacita karena akan mendapatkan sesuatu yang selama ini kita idam-idamkan. Puncak kebahagiaan muncul apabila sesuatu itu telah nyata di depan mata, menjadi milik kita.
Kebahagiaan dunia terwujud apabila hati kita bersukacita karena akan mendapatkan sesuatu yang selama ini kita idam-idamkan. Puncak kebahagiaan muncul apabila sesuatu itu telah nyata di depan mata, menjadi milik kita.
Kebahagiaan akhirat yang disebut surga juga demikian adanya. Yaitu perasaan sukacita karena telah bersanding dengan Zat yang selama ini kita cari, yaitu Tuhan yang Maha Kasih, Maha Agung, Maha Sempurna, dan Maha Perkasa.
Posisi Tuhan yang teramat dekat memungkinkan kita bisa memandang-Nya secara langsung. Dan, inilah kenikmatan surga yang paling tinggi. Suasana hati yang tenteram dan damai karena terliputi oleh sifat kasih dan sayang-Nya. Sifat dan Zat Tuhan mengatasi segala sesuatu selainnya, sehingga apabila hati kita telah terpikat ke dalam liputan rahman dan rahim-Nya, membuat mata kita buta untuk memandang selain-Nya.
Jika Surga adalah keadaan dekat kapada Tuhan, neraka adalah keadaan sebaliknya, yaitu jauh dari Tuhan. Keadaan yang jauh dari asal-usul menyebabkan hati kita tersiksa. Semakin merasa jauh dari Tuhan semakin berat penderitaan, apalagi sampai terhijab dari Nur Tuhan. Itulah neraka yang daya panasnya digambarkan mampu mendidihkan ubun-ubun kita, menyayat-nyayat hati, meremukkan tulang belulang. Jiwa kita menjerit, nyali tertekan, berlari tak tentu arah, menabrak, membentur, dan hancur sendiri. Inilah derita neraka yang kapan saja bisa berlaku apabila hati kita jauh dari Tuhan, apalagi terhijab dari-Nya.
Di antara surga dan neraka ada alam dunia. Yaitu wujud zahir kita dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Pada hakikatnya, mula-mula diri kita bersemayam di dalam surga, dekat sekali dengan Zat Tuhan. Namun, kemudian Tuhan dengan ke-Maha Kuasaan-Nya mentaqdirkan moyang kita, Adam, terlempar dari sisi-Nya dan tercampakkan ke dunia fana ini. Posisi alam dunia yang berada di antara surga dan neraka menyusahkan kita sebagai anak Adam untuk menentukan pilihan tepat, karena sungguhpun surga dan neraka itu masih tetap ada, namun tidak nampak lagi wujudnya. Wujudnya yang nyata terhijab oleh sesuatu yang bersifat semu. Wujud alam dunia ini semu, tidak nyata. Namun, sesuatu yang semu justru bisa menjadi hijab bagi sesuatu yang nyata (an ihtajaba bila hijab).
Kita tidak bisa melihat bentuk matahari. Padahal, tidak ada sesuatu yang menghijab mata kita. Tapi, justru sesuatu yang tidak ada itu malah menjadi hijab itu sendiri. Buktinya, mata telanjang tidak mampu memandang matahari karena terlalu kuat sinarnya, tapi apabila dihijab dengan selembar kain atau kaca hitam, baru bisa nampak bentuk matahari itu walaupun tidak secara sempurna. Itulah alam raya ini, wujudnya yang semu bisa melalaikan kita, sehingga mata hati kita terhijab dari wujud Tuhan. Mata yang di dalam hati akan mampu melihat wujud Tuhan hanya dengan cara mengurangi daya pengaruh alam dunia yang semu.
Apabila hati telah terbebas dari hijab duniawi, mata hati akan memancarkan daya basiroh yang daya pandang amat tajam. Basiroh wujudnya seperti cahaya (al-nuraniy). Dengan daya cahaya hati nurani inilah kita bisa menangkap keagungan Cahaya langit dan bumi, Cahaya maha Cahaya dalam wujudnya yang sempurna.
Posisi Tuhan yang teramat dekat memungkinkan kita bisa memandang-Nya secara langsung. Dan, inilah kenikmatan surga yang paling tinggi. Suasana hati yang tenteram dan damai karena terliputi oleh sifat kasih dan sayang-Nya. Sifat dan Zat Tuhan mengatasi segala sesuatu selainnya, sehingga apabila hati kita telah terpikat ke dalam liputan rahman dan rahim-Nya, membuat mata kita buta untuk memandang selain-Nya.
Jika Surga adalah keadaan dekat kapada Tuhan, neraka adalah keadaan sebaliknya, yaitu jauh dari Tuhan. Keadaan yang jauh dari asal-usul menyebabkan hati kita tersiksa. Semakin merasa jauh dari Tuhan semakin berat penderitaan, apalagi sampai terhijab dari Nur Tuhan. Itulah neraka yang daya panasnya digambarkan mampu mendidihkan ubun-ubun kita, menyayat-nyayat hati, meremukkan tulang belulang. Jiwa kita menjerit, nyali tertekan, berlari tak tentu arah, menabrak, membentur, dan hancur sendiri. Inilah derita neraka yang kapan saja bisa berlaku apabila hati kita jauh dari Tuhan, apalagi terhijab dari-Nya.
Di antara surga dan neraka ada alam dunia. Yaitu wujud zahir kita dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan. Pada hakikatnya, mula-mula diri kita bersemayam di dalam surga, dekat sekali dengan Zat Tuhan. Namun, kemudian Tuhan dengan ke-Maha Kuasaan-Nya mentaqdirkan moyang kita, Adam, terlempar dari sisi-Nya dan tercampakkan ke dunia fana ini. Posisi alam dunia yang berada di antara surga dan neraka menyusahkan kita sebagai anak Adam untuk menentukan pilihan tepat, karena sungguhpun surga dan neraka itu masih tetap ada, namun tidak nampak lagi wujudnya. Wujudnya yang nyata terhijab oleh sesuatu yang bersifat semu. Wujud alam dunia ini semu, tidak nyata. Namun, sesuatu yang semu justru bisa menjadi hijab bagi sesuatu yang nyata (an ihtajaba bila hijab).
Kita tidak bisa melihat bentuk matahari. Padahal, tidak ada sesuatu yang menghijab mata kita. Tapi, justru sesuatu yang tidak ada itu malah menjadi hijab itu sendiri. Buktinya, mata telanjang tidak mampu memandang matahari karena terlalu kuat sinarnya, tapi apabila dihijab dengan selembar kain atau kaca hitam, baru bisa nampak bentuk matahari itu walaupun tidak secara sempurna. Itulah alam raya ini, wujudnya yang semu bisa melalaikan kita, sehingga mata hati kita terhijab dari wujud Tuhan. Mata yang di dalam hati akan mampu melihat wujud Tuhan hanya dengan cara mengurangi daya pengaruh alam dunia yang semu.
Apabila hati telah terbebas dari hijab duniawi, mata hati akan memancarkan daya basiroh yang daya pandang amat tajam. Basiroh wujudnya seperti cahaya (al-nuraniy). Dengan daya cahaya hati nurani inilah kita bisa menangkap keagungan Cahaya langit dan bumi, Cahaya maha Cahaya dalam wujudnya yang sempurna.
salam,,
ReplyDeletetulisan yang bagus bangat, makasih.