Orang Sufi Menyembah Ka'bah?

Judul di atas, seringkali dijadikan ejekan oleh orang yang tidak sepaham dengan sufi tentang konsep tawhid al-wujud. Antara tuduhan yang dilontarkan adalah sufi telah melakukan syirik karena telah menyembah Ka'bah. (Lihat, Abdulfatah Haron Ibrahim, Allah antara Tasawuf dengan Akidah, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2008)


Sebenarnya menanggapi tuduhan semacam itu hanya membuang-buang energi saja, karena sebuah pemikiran tidak akan pernah bertemu jika landasan berpikirnya atau paradigma yang digunakannya berbeda. Jadi, sebenarnya tidak perlu ada penjelasan untuk maksud pembelaan. Tetapi membiarkan dakwaan salah bergulir secara apa adanya malah menyesatkan. Lagi pula silaturrahmi intelektual dalam bentuk polemik semoga dapat memperkaya wawasan.

Mengawali gagasannya, Haron dalam bukunya mencoba menguraikan tentang Kaabah dan kiblat berdasarkan beberapa ayat al-Qur'an. Beliau menjelaskan, bahwa orang Islam bukan menyembah kaabah, tapi menyembah Allah. Dalil yang digunakan adalah apabila shalat, orang Islam membaca doa iftitah yang artinya: "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah sekali-kali termasuk orang-orang yang mensyirikkan Tuhan. Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan pencipta semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya: dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri."

Kata Abdulfatah Haron, dalam doa iftitah di atas, titik penekanannya ada pada kalimat yang berwarna merah. Sedangkan sufi katanya tidak begitu, jika dikatakan sufi shalatnya menyembah kaabah tidaklah salah (hlm. 6) karena katanya, bagi sufi penganut aliran wahdat al-wujud "Allah adalah segala-galanya" termasuk Ka'bah dianggapnya sebagai Allah. Tuduhan begini dapat dimaklumi karena Haron memahaminya menurut logika pantheisme. Haron telah mempersamakan antara ajaran tasawuf tawhid al-wujud dengan pantheisme. Padahal sangat berbeda antara kedua-duanya. Haron menganggap doktrin-doktrin ittihad, hulul, dan semisalnya menghilangkan perbedaan antara khaliq dengan makhluq atau mencampuradukkan antara kedua-duanya. Padahal, jika sedikit saja mahu berpikir secara arif dan irfani, boleh dipahami bahwa doktrin-doktrin ini sama sekali tidak menghilangkan perbedaan atau menyamakan antara khaliq dengan makhluq. Justru yang ingin ditekankan adalah betapa dekatnya Tuhan dengan makhluq-Nya tanpa menghilangkan perbedaan antara kedua-duanya. Dengan kata lain, doktrin-doktrin ini sangat menekankan imanensi Tuhan tanpa mengurangi transendensi-Nya.

Setuju dengan Titus Burckhardt, dalan bukunya An Introduction to Sufism, pemakaian istilah pantheisme untuk melabeli doktrin pengalaman spiritual sufi haruslah ditolak. Kerana, dalam tasawuf, Tuhan berbeda dengan alam, sekalipun alam adalah penampakan diri Tuhan dan mustahil berada di luar atau di samping-Nya. Menurut pandangan Burckhardt, pantheisme menghilangkan perbedaan antara Tuhan dan alam, sedangkan tasawuf mengakui perbedaan antara kedua-duanya; pantheisme tidak memberikan tempat bagi transendensi Tuhan, seangkan tasawuf memuktamadkannya. Kerana itu, ia keberatan menerima penamaan doktrin pengalaman spiritual tasawuf dengan pantheisme.

Mir Valiuddin pula dalam bukunya The Quranic Sufism membantah tuduhan bahawa tasawuf merupakan suatu taraf pantheisme. Ia menunjukkan bahawa tasawuf tetap mempertahankan perbedaan antara Tuhan dan alam. Hubungan yang berlaku antara Tuhan dengan alam adalah antara Yang Esa dengan yang banyak, antara Khaliq dan makhluq, antara Ilah dan ma'luh, dan antara Malik dan mamluk. Intinya, tasawuf menyatakan manusia tidak dapat menjadi Tuhan. Menurut Nicholson, selama transendensi Tuhan masih diakui, setegas-tegas apapun pernyataan tentang imanensi-Nya tidak bererti pantheisme.

Bagi sufi, jangankan menyembah Ka'bah, menyembah Allah pun adalah kesalahan yang fatal, karena Allah hanyalah sekedar nama bagi zat Tuhan. Sufi tidak menyembah nama Tuhan, tetapi menyembah zat Tuhan yang mempunyai nama Allah. Dan, Ka'bah itu hanyalah kiblat syar'i, sedangkan hakikatnya hati orang yang shalat tetap menghadap wajah Tuhan yang tidak tinggal di dalam Ka'bah.

Satu hal yang penulis rasa perlu diluruskan adalah apabila Haron dalam doa iftitah shalat menyangka titik penekanannya pada kalimat Allah, Tuhan pencipta semesta alam, maksudnya, shalat orang Islam itu hanya untuk menyembah Allah Tuhan pencipta semesta alam. Titik. Jika hanya setakat kalimat ini yang ditekankan, maka tidak berbeda dengan kaum musyrikin quraisy jahiliyah, karena apabila mereka ditanya, mereka pun mengaku menyembah Allah Tuhan pencipta alam.

Nampaknya, Haron perlu belajar masalah tawhid dan sikap percaya atau beriman kepada Allah, karena pandangannya mengesankan bahwa bertawhid cukuplah dengan beriman atau percaya kepada Allah sebagaimana ditekankan dalam doa iftitahnya. Padahal al-Qur'an menceritakan bahwa orang-orang musyrik di Mekah yang memusuhi Rasulullah dahulu itu pun adalah kaum yang benar-benar percaya kepada Allah. (Lihat Q.S. al-Ankabut [29]: 63); (al-Zukhruf [43]: 9); Luqman [31]: 25). Antaranya sebagai berikut:

"Dan sungguh jika kau (Muhammad) tanyakan kepada mereka, siapa yang menciptakan seluruh langit dan bumi? Pastilah mereka akan menjawab, Allah. Katakana: Apakah telah kamu renungkan sesuatu (berhala) yang kamu seru (sembah) selain Allah itu? Jika Allah menghendaki bahaya atasku, apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu melepaskan bahaya-Nya? Dan jika Dia menghendaki rahmat untukku, apakah mereka (berhala-berhala) itu mampu menahan rahmat-Nya?! Katakan (Muhammad): Cukuplah bagiku Allah (saja); kepada-Nyalah bertawakkal mereka yang (mahu) bertawakkal."

Firman Tuhan yang merupakan penuturan tentang kaum kafir itu dengan jelas membawa kita kepada kesimpulan bahwa tawhid tidak cukup dan tidak hanya berarti percaya kepada Allah saja, tetapi mencakup pula pengertian yang benar tentang siapa Allah yang kita percayai itu dan bagaimana kita bersikap kepada-nya.

Orang-orang Arab sebelum Islam itu sudah percaya kepada Allah. Mereka juga percaya bahwa Allah lah yang menciptakan alam raya (seluruh) langit dan bumi. Meski begitu, mereka tidak dapat dinamakan kaum beriman dan karenanya, juga tidak disebut kaum bertawhid (al-muwahhidun). Sebaliknya, mereka disebut orang yang mempersekutukan Tuhan (al-musyrikun, penganut paham syirik), karena tidak mengesakan Tuhan secara total. Mereka bukan orang yang "hanifan musliman".

Sesungguhnya, titik penekanan yang benar dalam doa iftitah adalah pernyatan beriman dan menyembah yang hanya semata-mata kepada Allah "secara hanif" dan pernyataan bahwa "aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik". Hanif lawan daripada musyrik. Dikatakan hanif apabila penyembah dalam shalatnya telah tidak punya persepsi apa-apa selain zat Tuhan semata-mata. Tidak ada sesuatu benda apapun yang haq yang wajib disembah kecuali Tuhan Allah, Tidak ada yang mawjud kecuali hanya Tuhan Allah. Wujud selain Tuhan Allah tidak nyata dan hanya semu, wujud yang haq hanyalah milik Allah. Dan, beginilah I'tikad tawhid para sufi, apalagi mereka yang telah masuk ke dalam lautan tawhid al-wujud. Sufi, jauh lebih tinggi kesadaran tawhidnya apabila dibandingkan dengan seorang Abdulfatah Haron Ibrahim yang tidak segan-segan mengata sebagian sufi sebagai kafir dan musyrik. Wallahu a'lam bi al-shawab.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)