Wahdatul Wujud dalam Perspektif Sufi
Wahdatul wujud perspektif sufi tidak sama dengan filosuf dan orientalis. Menurut filosuf, wahdatul wujud adalah pemahaman bahwa Allah itu adalah alam dan setiap yang wujud ini adalah mazhar kepada hakikat-Nya yang umum (kulliyah). (Lihat, Abd al-Mun'im al-Hifni, Al-Mu'jam al-Falsafi, Dar al-Syarqiyyah, Kairo: 1990, hlm. 380. Jamil Saliba, Al-Mu'jam al-Falsafi, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut: 1973, jilid 2, hlm. 569-570.
Wahdatul wujud perspektif sufi tidak sama dengan filosuf dan orientalis. Menurut filosuf, wahdatul wujud adalah pemahaman bahwa Allah itu adalah alam dan setiap yang wujud ini adalah mazhar kepada hakikat-Nya yang umum (kulliyah). (Lihat, Abd al-Mun'im al-Hifni, al-Mu'jam al-Falsafi, Dar al-Syarqiyyah, Kairo: 1990, hlm. 380. Jamil Saliba, al-Mu'jam al-Falsafi, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut: 1973, jilid 2, hlm. 569-570.
Manakala wahdatul wujud menurut sufi lahir dari pengamatan mereka yang berterusan terhadap segala tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat-nikmat-Nya sehingga ia merasai keagungan Allah dan kebesaran-Nya di dalam alam ini. Ia adalah cetusan perasaan seseorang salik yang dihasilkan dari penghayatannya terhadap tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t. Di dalam proses mujahadah ini hamba akan sampai ke tahap tenggelam menerusi shuhudnya kepada yang banyak dalam kesatuan (syuhudul kathrah fi al-wahdah), shuhudnya kepada kesatuan dalam yang banyak (syuhudul wahdah fi al-kathrah), atau shuhudnya kepada kesatuan dalam kesatuan (syuhudul wahdah fi al-wahdah). Ibn Arabi berkata dalam Fusus al-Hikam (1946: 24) yang maksudnya: Ahli tahqiq melihat yang banyak dalam kesatuan, sebagaimana ia meyakini bahwa kandaungan nama-nama Tuhan walaupun hakikatnya bermacam-macam dan banyak, sesungguhnya ia adalah satu hakikat ('ayn). Jadi yang banyak ini dapat ditaakulkan dalam satu hakikat, sehingga dalam tajalli yang banyak itu dapat dishuhudkan dalam hakikat yang satu.
Namun situasi yang dihadapi oleh golongan sufi ini amat sukar untuk digambarkan dengan kata-kata. Ibn Arabi telah menggambarkan keadaan ini di dalam Al-Futuhat, (1998: jilid 2: 216) beliau mengatakan yang maksudnya: Persoalan ini (dhauq dan penghayatan) amat sukar dijelaskan karena ia tidak mampu untuk diluahkan dengan kata-kata, begitu juga ia tidak mampu digambarkan karena ia cepat hilang dan hokum-hukumnya yang bertentangan, ia seumpama firman Allah s.w.t. "Sesungguhnya engkau tidak melontar" Ia menafikan, "sewaktu engkau melontar" Ia mengistbatkan.
Oleh itu, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa wahdatul wujud dalam perspektif sufi adalah hasil dari proses suluk, mujahadah, dan penghayaran (mu'ayashah) mereka untuk sampai kepada makrifatullah, sehinggalah mereka sampai kepada tahap fana yaitu hamba tidak lagi merasai kewujudan kehendaknya di dalam kehendak Allah Taala.
Perlu disampaikan di sini bahwa tidak seorang sufi pun yang mendakwa Tuhan boleh bersatu dengan alam, karena wahdah menurut sufi ialah dari sudut pandang dhawq yang dikenali sebagai wahdatus syuhud.
Wahdatul wujud perspektif sufi tidak sama dengan filosuf dan orientalis. Menurut filosuf, wahdatul wujud adalah pemahaman bahwa Allah itu adalah alam dan setiap yang wujud ini adalah mazhar kepada hakikat-Nya yang umum (kulliyah). (Lihat, Abd al-Mun'im al-Hifni, al-Mu'jam al-Falsafi, Dar al-Syarqiyyah, Kairo: 1990, hlm. 380. Jamil Saliba, al-Mu'jam al-Falsafi, Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut: 1973, jilid 2, hlm. 569-570.
Manakala wahdatul wujud menurut sufi lahir dari pengamatan mereka yang berterusan terhadap segala tanda-tanda kebesaran Allah dan nikmat-nikmat-Nya sehingga ia merasai keagungan Allah dan kebesaran-Nya di dalam alam ini. Ia adalah cetusan perasaan seseorang salik yang dihasilkan dari penghayatannya terhadap tanda-tanda kebesaran Allah s.w.t. Di dalam proses mujahadah ini hamba akan sampai ke tahap tenggelam menerusi shuhudnya kepada yang banyak dalam kesatuan (syuhudul kathrah fi al-wahdah), shuhudnya kepada kesatuan dalam yang banyak (syuhudul wahdah fi al-kathrah), atau shuhudnya kepada kesatuan dalam kesatuan (syuhudul wahdah fi al-wahdah). Ibn Arabi berkata dalam Fusus al-Hikam (1946: 24) yang maksudnya: Ahli tahqiq melihat yang banyak dalam kesatuan, sebagaimana ia meyakini bahwa kandaungan nama-nama Tuhan walaupun hakikatnya bermacam-macam dan banyak, sesungguhnya ia adalah satu hakikat ('ayn). Jadi yang banyak ini dapat ditaakulkan dalam satu hakikat, sehingga dalam tajalli yang banyak itu dapat dishuhudkan dalam hakikat yang satu.
Namun situasi yang dihadapi oleh golongan sufi ini amat sukar untuk digambarkan dengan kata-kata. Ibn Arabi telah menggambarkan keadaan ini di dalam Al-Futuhat, (1998: jilid 2: 216) beliau mengatakan yang maksudnya: Persoalan ini (dhauq dan penghayatan) amat sukar dijelaskan karena ia tidak mampu untuk diluahkan dengan kata-kata, begitu juga ia tidak mampu digambarkan karena ia cepat hilang dan hokum-hukumnya yang bertentangan, ia seumpama firman Allah s.w.t. "Sesungguhnya engkau tidak melontar" Ia menafikan, "sewaktu engkau melontar" Ia mengistbatkan.
Oleh itu, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa wahdatul wujud dalam perspektif sufi adalah hasil dari proses suluk, mujahadah, dan penghayaran (mu'ayashah) mereka untuk sampai kepada makrifatullah, sehinggalah mereka sampai kepada tahap fana yaitu hamba tidak lagi merasai kewujudan kehendaknya di dalam kehendak Allah Taala.
Perlu disampaikan di sini bahwa tidak seorang sufi pun yang mendakwa Tuhan boleh bersatu dengan alam, karena wahdah menurut sufi ialah dari sudut pandang dhawq yang dikenali sebagai wahdatus syuhud.
assalamualaikum sdr kang kolis... dan semoga sdr didalam rahmat Allah SWT.
ReplyDeleteNampaknya tulisan sdr yang diatas pada pengamatan saya masih amat jauh dari maksud Wahdatul Wujud yang sebenarnya dan tiada kena-mengena dengan kefahaman sufi dari aliran Tasawuf Muntahi.
Bicara Wahdatul Wujud sebenarnya terkandung didalam ruang lingkup Tawhid Zat sementara tulisan sdr lebih cenderung kepada ruang lingkup Tawhid Sifat. Dalam dunia Tasawuf maka disana terdapat dua aliran yang besar iaitu Wahdatul Wujud (aliran Ibnu al Arabi) dan Wahdatul Syuhud (aliran Ahmad Sir Hindi). Maka yang sebenarnya tulisan sdr ini sepatutnya diberi judul Wahdatul Syuhud Dalam Perspektif Sufi. Sdr kena tahu membezakan terlebih dahulu antara ma'rifah Tawhid Sifat dan ma'rifah Tawhid Zat.
Tentang dhawq pula sebenarnya sdr telah salah faham dengan tulisan Ibnu Arabi didalam kitabnya. Sebenarnya pengalaman dhawq itu boleh diterjemahkan dengan ilmu tetapi untuk cuba menterjemahkan 'rasa'nya itulah yang mustahil.
sekian, wa ilalliqo'.
Terimakasih
ReplyDelete