Firasat Wali

Dalam literatus agama, kita menemukan uraian yang dikenal dengan nama firasat, yakni "pandangan mata hati". Agamawan berpendapat bahwa firasat ada dua macam. Ada yang dapat diperoleh melalui indicator, pengalaman dan pengamatan terhadap perilaku manusia. Sementara ilmuwan mengartikannya sebagai "seni memprediksi sesuatu melalui pengamatan wajah atau tingkah laku". Firasat yang kedua adalah yang muncul tanpa upaya manusia, tetapi firasat yang pertama adalah pengetahuan yang dicampakkan Tuhan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.


Orang yang beriman adalah antara yang dikehendaki Allah untuk diberi firasat, yaitu kepekaan indera hati dalam memandang apa yang terjadi di sebalik kejadian yang akan berlaku. Dalam tradisi tasawuf dikenal ada seorang yang telah tinggi kedudukannya di hadapan Allah, yaitu orang yang bertaqwa. Di antara mereka telah dianugerahi ketajaman mata hati sehingga firasatnya selalu tepat. Kita mesti menaruh perhatian terhadap orang seperti ini. Mereka adalah orang-orang yang keimananya telah sampai pada taraf yang betul, yaitu hanifan musliman. Hanif lawan daripada musyrik. Dikatakan hanif apabila kesadaran imannya meniadakan persepsi apa-apa selain zat Tuhan semata-mata. Tidak ada sesuatu benda apapun yang haq yang wajib disembah kecuali Allah, Tidak ada yang mawjud kecuali hanya Allah. Selain Allah tidak ada, karena wujud hanyalah milik Allah. Dan, beginilah I'tikad tawhid para wali, mereka telah masuk ke dalam lautan tawhid al-wujud.

Allah memperingatkan dalam al-Qur'an: "Hati-hatilah terhadap firasat seorang mukmin, karena dia memandang dengan cahaya Tuhan" (H.R. Tirmidzi melalui Abu Sa‛id al-Khudri)
اتقوا فراسة المؤمن فإنه ينظر بنور الله (رواه الترمذى عن أبى سعيد الخدري)

Wali adalah orang-orang terpilih. Mereka semua merupakan orang-orang yang amat dekat hubungannya dengan Tuhan. Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa susah. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa bertaqwa kepada Allah. Allah berfirman:

الا ان اولياء الله لاخوف عليهم ولاهم يحزنون الذين امنوا وكانوا يتقون

“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tiadalah mereka merasa takut dan tiada pula mereka susah. Mereka itu adalah orang-orang yang beriman dan senantiasa bertaqwa kepada Allah.

Martabat wali merupakan anugerah Allah s.w.t. kepada manusia yang telah memiliki peringkat tauhid yang tinggi kepada Allah, memiliki sifat-sfat khas seperti diterangkan ayat 62 Sūrah Yunus di atas, yaitu tidak takut, tidak merasa susah, beriman dan bertaqwa kepada Allah.

Seorang wali adalah orang yang arif billah, Tuhan meleburkan dirinya dan kekal bersama-Nya. Lebur binasa adalah akhir perjalanan menuju Allah, sementara kekekalan adalah awal perjalanan bersama Allah. Perjalanan wali menggapai Allah tidaklah berakhir kecuali setelah menempuh padang semesta wujud (badiyat al-wujūd) dengan mengekalkan kejujuran. Sedangkan perjalanan wali bersama Allah dapat terealisasi setelah mencapai derajat totaliti lebur kebinasaan, sehingga Allah kemudian berkenan memberikan kepadanya ‘wujud anugerah’ dan diri (zat yang suci dari kekotoran (hadas)). Para wali adalah mereka yang telah ridha meninggalkan kekayaan alam dunia ini yang berarti telah menyingkirkan hijab yang mendindinginya dari Tuhan.

"Maka barangsiapa ridha meninggalkan kekayaan Allah di dalam dunia ini zat mengarahkan imannya dengan makrifat, maka af‛āl Allāh namanya dan barangsiapa ridha menyudahi kehendaknya daripada kurnia Allah dengan tulus makrifatnya siddiq namanya. Maka sampailah makrifatnya dan pendengarannya dan penciumannya dan pengrasanya dan fi’ilnya. Maka putuslah makrifat orang itu dan di sanalah pertemuan Tuhan dengan hambanya dan inilah yang beroleh rahsia Allah."

Perolehan tertinggi orang yang telah mengenal diri dan menghayati hakikat diri makrifatullah adalah tersingkapnya rahsia Allah, iaitu apabila telah berlaku perjumpaan antara Tuhan dengan hamba-Nya. Di sini Tuhan mendengar melalui pendengarannya, melihat melalui penglihatannya, merasa melalui perasaannya, dan seterusnya.

Dengan demikian, wali adalah orang yang: 1) memiliki kesedaran dalam diri bahwa hidayah Allah merupakan nikmat yang tidak ternilai oleh sesuatu apapun, 2) memiliki kesedaran untuk mengamalkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari, sehingga ilmu tidak hanya sekadar teori, tetapi ia bersifat aktif dan dinamis yang boleh membuahkan amal kebajikan, 3) terbentengi dirinya dari pengaruh atau godaan yang dapat melalaikannya dalam mengamalkan ilmu, 4) istiqamah dalam menegakkan kebenaran, 5) memiliki kemampuan Intishār ‘āthār al-haqq (اثر الحق انتشار), ialah kemampuan untuk berbuat kebenaran sehingga bekas-bekas perbuatan benar itu tersebar kepada orang lain, 6) sentiasa menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dalam diri dengan melaksanakan hukum Allah di atas segala-galanya.

Sampai di sini kiranya kita dapat mengerti kenapa firasat wali mesti kita ambil berat.

Firasat adalah datangnya dari Allah. Oleh para wali diibaratkan seperti pelita dan sinarnya. Terhadap setiap kejadian yang berlaku itu sebenarnya Tuhan telah menetapkannya. Rahasia penetapan Tuhan diungkapkan kepada para kekasih-Nya yaitu para rasul, nabi dan wali. Mereka berperan sebagai dian, sedangkan Tuhan adalah api yang meneranginya. Firasat yang muncul dari informasi Tuhan itulah yang pasti berlakunya. Tak berubah, tak akan meleset, selalu tepat.

Umar bin Khatab r.a. adalah antara orang-orang mukmin yang dianugerahi firasat yang begitu tajam. Sekian banyak "ramalan-ramalan" bahkan katakanlah firasat beliau yang tepat. Misalnya, ada seorang yang beliau tanyai namanya, nama keluarga dan sukunya. Yang ditanya menjawab dengan kata-kata yang melukiskan panas dan api. Mendengar jawapan-jawapannya Sayyidina Umar r.a. berkata kepadanya: "segeralah kembali karena keluargamu terbakar!". Beliau juga menyampaikan bahwa dia bermimpi bahwa seekor ayam jantan mematuknya dua kali, lalu beliau menafsirkannya bahwa beliau akan dibunuh oleh seorang non Arab. Apa yang beliau sampaikan sesuai dengan kenyataan.

Akhirnya, dapat ditegaskan lagi bahwa semua ini tidaklah bermakna, kecuali tentang kehadiran Allah terlibat di dalamnya, menyertai manusia baik saat sadar maupun tidak, terjaga atau tidur, dalam kehidupan dunia ini dan sesudah kematiannya.

Wallahu a'lam bi al-shawab.

Comments

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)