Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian III)
Hakikat diri manusia sebagaimana disebutkan dalam artikel sebelum ini adalah ruhnya yang berasal dari Tuhan. Sedangkan Tuhan itu Maha Suci. Jadi ruh hakikat diri manusia juga suci karena berasal dari sumber yang suci. Sesuatu yang suci hanya bisa didekati oleh sesuatu yang suci pula. Hakikat diri yang suci hanya bisa ditemukan oleh diri manusia yang suci juga. Maksudnya, hakikat diri tidak bisa dikenali oleh manusia yang telah dikotori oleh dosa dan maksiat. Ia harus disucikan. Sedangkan cara untuk mengekalkan kebersihan rohani dan kesucian kalbu adalah sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah dalam syariatnya. Jalan syariat harus ditempuh, bukan dengan keterpaksaan tapi dengan penuh kesadaran. Di sinilah erti pernyataan sufi, tarekat tanpa syariat itu bāțil (sesat) dan syariat tanpa tarekat itu ‛āțil (kosong).
Cara Menemukan Hakikat Diri Makrifatullah
Menemukan hakikat diri artinya membangun kesadaran full dalam fikiran dan perasaan bahwa rahasia Tuhan ada di dalam diri manusia. Kesadaran ini disebut juga dengan kesadaran hakikat, iaitu ma'rifatullāh. Jadi pembahasan ini bisa juga dikatakan sebagai cara bermakrifat kepada Allah. "Man 'arafa nafsah faqad 'arafa rabbah" barangsiapa telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya)
Hakikat diri manusia sebagaimana disebutkan dalam artikel sebelum ini adalah ruhnya yang berasal dari Tuhan. Sedangkan Tuhan itu Maha Suci. Jadi ruh hakikat diri manusia juga suci karena berasal dari sumber yang suci. Sesuatu yang suci hanya bisa didekati oleh sesuatu yang suci pula. Hakikat diri yang suci hanya bisa ditemukan oleh diri manusia yang suci juga. Maksudnya, hakikat diri tidak bisa dikenali oleh manusia yang telah dikotori oleh dosa dan maksiat. Ia harus disucikan. Sedangkan cara untuk mengekalkan kebersihan rohani dan kesucian kalbu adalah sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah dalam syariatnya. Jalan syariat harus ditempuh, bukan dengan keterpaksaan tapi dengan penuh kesadaran. Di sinilah erti pernyataan sufi, tarekat tanpa syariat itu bāțil (sesat) dan syariat tanpa tarekat itu ‛āțil (kosong).
Syariat menekankan perbuatan lahir, disebut af'āl al-mukallafīn (perbuatan para mukallaf). Ada tidaknya konsekuensi hukum tergantung pada perbuatan zahir itu. Namun apabila syariat dilakukan apa adanya, tidak jarang justru menjadi jebakan, karena inti ajaran agama bukan terjebak hanya sekadar rutiniti ritual lahiriyah saja. Dalam al-Qur'an, Allah mengingatkan Inna rabbaka ya‛lamu mā yusirrūna wa mā yu‛linūn (sesungguhnya tuhanmu mengetahui apa yang mereka rahsiakan dan apa yang mereka nyatakan). Q.S. al-Naml [27]: 27.
Syariat menilai perbuatan manusia daripada sisi lahir. Padahal, gerak laku manusia itu terdiri daripada sisi zahir dan sisi batin. Kedua-dua sisi manusia ini harus dipertemukan. Penilaian syariat mesti diteruskan dengan sudut pandang tasawuf yang menekankan pada sisi batin.
Dalam dunia tasawuf ada dikenal trilogi ajaran yang popular iaitu syariat, tarekat, dan hakikat. Jika diumpamakan, maka syariat ibarat kapal, tarekat ibarat lautan, dan hakekat ibarat mutiara yang terpendam jauh di dasar lautan. Untuk memperoleh mutiara hakekat, seseorang perlu menyelami lautan, dan untuk mengarungi lautan yang bergelombang diperlukan sebuah kapal. Dalam nafas yang sama, juga diibaratkan seperti buah kelapa. Syariat ibarat kulit, tarekat ibarat isi, dan hekikat ibarat minyak. Untuk memperoleh minyak hakikat, mesti terlebih dahulu mengupas kulit syariat dan menapis isi tarekat. Daripada perumpamaan tersebut kiranya dapat dimengerti bahwa syariat, tarekat, dan hakikat merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisahkan.
Adapun syariat itu hancur kepada tarekat dan tarekat itu hancur kepada hakikat dan hakikat itu hancur kepada nur. Itulah bayang-bayang Allah yang sebenar-benarnya, karena Syariat itu adalah af’al Allah, Tarekat itu adalah asma Allah, Hakikat itu adalah sifat Allah, dan Makrifat itu adalah wujud Allah yang mutlak.
Syariat, ternyata tidak harus dipahami secara literal. Tidak harus dimengerti secara harfiah. Ia bahkan harus dipahami secara maknawi, pesan tersirat dari sebalik simbol literal yang tersurat, kemudian diamalkan dalam kehidupan nyata. Pengamalan syariat dimaksudkan agar pelakunya boleh hidup dengan budi pekerti yang terpuji. Oleh itu, dalam beragama seseorang harus sentiasa meningkatkan kualiti akhlaknya atau budibahasanya. Bermula sebagai seorang muslim, seterusnya meningkat menjadi mukmin, dan akhirnya menjadi orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa adalah termasuk dalam golongan auliya, kekasih Allah yang jiwa dan raganya sentiasa menjalin komunikasi dua hala dengan Allah Jalla Jalāluh.
Hakim Mulla Sadra menyebutkan ada dua cara bermakrifat kepada Allah. Pertama, mengenal Allah dengan cara menyucikan-Nya. Cara ini disebut dengan istilah taqdis dan tanzih. Pertama-tama, sebelum dilakukan upaya pembuktian bahwa Allah itu Maha Suci daripada sifat-sifat negatif, harus terlebih dahulu dibuktikan kewujutan-Nya melalui kewujutan makhluk. Dari sini kemudian dibuktikan bahwa diri-Nya tidaklah serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya, laysa kamithlihi shay'un bahwa Dia tidak sedikitpun serupa segala sesuatu. Allah berfirman: Kami akan perlihatkan ayat-ayat kami kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dialah yang Maha Haqq.
Kedua, mengenal Allah melalui mushāhadah atau kesaksian secara langsung. Makrifat ini adalah makrifat para kekasih Allah di mana dia tidak lagi membuktikan kewujudan Tuhan menggunakan indera, namun melaui mushāhadah yang disaksikannya dengan bașīrah (mata hati).
Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya, apakah dia melihat Tuhannya? Ali balik bertanya, "Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat?" Namun, "aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata batinku". Pada kesempatan lain, ketika Ali ditanya, bagaimana ia mengenal Tuhannya? Dia berkata "aku mengenal Tuhanku dengan cara apa yang dikenalkan-Nya kepadaku." Iaitu "Dia tidak serupa dengan reka bentuk apapun; tidak boleh diketahui dengan deria, tidak boleh dibanding-bandingkan dengan manusia, Dia hampir dengan kejauhannya, Dia jauh dengan kedekatannya, Dia berada di atas segala sesuatu, tapi tidak ada sesuatu yang dikatakan di atas-Nya, Dia berada di hadapan segala sesuatu, tapi tidak ada yang dikatakan ada "di depan" bagi diri-Nya, Dia berada "dalam" segala sesuatu, tapi tidak sama dengan sesuatu yang berada "dalam" sesuatu, Dia berada di luar segala sesuatu, tapi tidak sama dengan sesuatu yang berada di luar sesuatu yang lain. Maha Suci Allah yang keberadaan-Nya seperti ini, dan tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya...".
Kalau makrifat yang pertama adalah jenis makrifat yang biasa, karena ia harus melihat makhluk dahulu, baru kemudian melihat Allah, maka jenis makrifat yang kedua adalah makrifat yang agung. Sebab ia mengenal Allah melalui Allah itu sendiri, karena Dia lebih tahu akan diri-Nya daripada yang selain-Nya. Juga, secara teologis Allah menyaksikan diri-Nya dahulu, baru kemudian disaksikan oleh makhluk-makhluk-Nya yang lain, seperti yang boleh dilihat dalam firman-Nya Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Dia, dan juga malaikat (bersaksi) serta orang-orang yang berilmu. Mulla Sadra mengatakan, makrifat jenis ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang masih lagi bergantung pada kehidupan materi. Ia hanya boleh dilakukan seorang yang aspek ukhrawinya lebih dominan daripada aspek duniawinya. Itulah sebabnya mengapa Ali pernah berkata: "Aku tidak melihat sesuatu melainkan Allah terlebih dahulu sebelumnya, di dalamnya, dan sesudahnya. Dan itulah maqam orang-orang yang shiddiqin."
Berkaitan dengan cara bermakrifat yang kedua ini, salah seorang guru sufi menjelaskan tahapannya:
pertama, makrifat kita kepada wahdāniyah Allāh Ta‛āla, iaitu esa sendirinya walau banyak sekalipun kezahirannya, esa juga. Kedua, makrifat kita kepada ta‛żīm Allāh Ta‛āla, iaitu akan kebesaran Allah, seperti menjadikan makhluk. Ketiga, makrifat kita akan anugerah Allah Ta‛āla, anugerah zahir dan batin. Anugerah itu hendaklah dihantarkan kembali kepada yang empunya hak. Keempat, makrifat kita akan Allah s.w.t. itu tiada baginya permulaan dan tiada baginya kesudahan. Kelima, makrifat kita akan sirr Allah s.w.t. dalam wujud insan karena jika tiada diketahui niscaya senantiasa di dalam dosa.
Jadi, mengenal hakikat diri sirr Allah dalam diri manusia menempati martabat yang paling dasar yang menjadi landasan berpijak untuk pergi ke martabat yang lebih tinggi yaitu makrifat kita kepada wahdaniyah Allah Ta‛ala. Allah yang Esa sendirinya walau banyak sekalipun kezahirannya, syuhud al-wahdah fi al-kathrah.
Cara Menemukan Hakikat Diri Makrifatullah
Menemukan hakikat diri artinya membangun kesadaran full dalam fikiran dan perasaan bahwa rahasia Tuhan ada di dalam diri manusia. Kesadaran ini disebut juga dengan kesadaran hakikat, iaitu ma'rifatullāh. Jadi pembahasan ini bisa juga dikatakan sebagai cara bermakrifat kepada Allah. "Man 'arafa nafsah faqad 'arafa rabbah" barangsiapa telah mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya)
Hakikat diri manusia sebagaimana disebutkan dalam artikel sebelum ini adalah ruhnya yang berasal dari Tuhan. Sedangkan Tuhan itu Maha Suci. Jadi ruh hakikat diri manusia juga suci karena berasal dari sumber yang suci. Sesuatu yang suci hanya bisa didekati oleh sesuatu yang suci pula. Hakikat diri yang suci hanya bisa ditemukan oleh diri manusia yang suci juga. Maksudnya, hakikat diri tidak bisa dikenali oleh manusia yang telah dikotori oleh dosa dan maksiat. Ia harus disucikan. Sedangkan cara untuk mengekalkan kebersihan rohani dan kesucian kalbu adalah sebagaimana yang disunnahkan oleh Rasulullah dalam syariatnya. Jalan syariat harus ditempuh, bukan dengan keterpaksaan tapi dengan penuh kesadaran. Di sinilah erti pernyataan sufi, tarekat tanpa syariat itu bāțil (sesat) dan syariat tanpa tarekat itu ‛āțil (kosong).
Syariat menekankan perbuatan lahir, disebut af'āl al-mukallafīn (perbuatan para mukallaf). Ada tidaknya konsekuensi hukum tergantung pada perbuatan zahir itu. Namun apabila syariat dilakukan apa adanya, tidak jarang justru menjadi jebakan, karena inti ajaran agama bukan terjebak hanya sekadar rutiniti ritual lahiriyah saja. Dalam al-Qur'an, Allah mengingatkan Inna rabbaka ya‛lamu mā yusirrūna wa mā yu‛linūn (sesungguhnya tuhanmu mengetahui apa yang mereka rahsiakan dan apa yang mereka nyatakan). Q.S. al-Naml [27]: 27.
Syariat menilai perbuatan manusia daripada sisi lahir. Padahal, gerak laku manusia itu terdiri daripada sisi zahir dan sisi batin. Kedua-dua sisi manusia ini harus dipertemukan. Penilaian syariat mesti diteruskan dengan sudut pandang tasawuf yang menekankan pada sisi batin.
Dalam dunia tasawuf ada dikenal trilogi ajaran yang popular iaitu syariat, tarekat, dan hakikat. Jika diumpamakan, maka syariat ibarat kapal, tarekat ibarat lautan, dan hakekat ibarat mutiara yang terpendam jauh di dasar lautan. Untuk memperoleh mutiara hakekat, seseorang perlu menyelami lautan, dan untuk mengarungi lautan yang bergelombang diperlukan sebuah kapal. Dalam nafas yang sama, juga diibaratkan seperti buah kelapa. Syariat ibarat kulit, tarekat ibarat isi, dan hekikat ibarat minyak. Untuk memperoleh minyak hakikat, mesti terlebih dahulu mengupas kulit syariat dan menapis isi tarekat. Daripada perumpamaan tersebut kiranya dapat dimengerti bahwa syariat, tarekat, dan hakikat merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisah-pisahkan.
Adapun syariat itu hancur kepada tarekat dan tarekat itu hancur kepada hakikat dan hakikat itu hancur kepada nur. Itulah bayang-bayang Allah yang sebenar-benarnya, karena Syariat itu adalah af’al Allah, Tarekat itu adalah asma Allah, Hakikat itu adalah sifat Allah, dan Makrifat itu adalah wujud Allah yang mutlak.
Syariat, ternyata tidak harus dipahami secara literal. Tidak harus dimengerti secara harfiah. Ia bahkan harus dipahami secara maknawi, pesan tersirat dari sebalik simbol literal yang tersurat, kemudian diamalkan dalam kehidupan nyata. Pengamalan syariat dimaksudkan agar pelakunya boleh hidup dengan budi pekerti yang terpuji. Oleh itu, dalam beragama seseorang harus sentiasa meningkatkan kualiti akhlaknya atau budibahasanya. Bermula sebagai seorang muslim, seterusnya meningkat menjadi mukmin, dan akhirnya menjadi orang yang bertakwa. Orang yang bertakwa adalah termasuk dalam golongan auliya, kekasih Allah yang jiwa dan raganya sentiasa menjalin komunikasi dua hala dengan Allah Jalla Jalāluh.
Hakim Mulla Sadra menyebutkan ada dua cara bermakrifat kepada Allah. Pertama, mengenal Allah dengan cara menyucikan-Nya. Cara ini disebut dengan istilah taqdis dan tanzih. Pertama-tama, sebelum dilakukan upaya pembuktian bahwa Allah itu Maha Suci daripada sifat-sifat negatif, harus terlebih dahulu dibuktikan kewujutan-Nya melalui kewujutan makhluk. Dari sini kemudian dibuktikan bahwa diri-Nya tidaklah serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya, laysa kamithlihi shay'un bahwa Dia tidak sedikitpun serupa segala sesuatu. Allah berfirman: Kami akan perlihatkan ayat-ayat kami kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dialah yang Maha Haqq.
Kedua, mengenal Allah melalui mushāhadah atau kesaksian secara langsung. Makrifat ini adalah makrifat para kekasih Allah di mana dia tidak lagi membuktikan kewujudan Tuhan menggunakan indera, namun melaui mushāhadah yang disaksikannya dengan bașīrah (mata hati).
Ketika Ali bin Abi Thalib ditanya, apakah dia melihat Tuhannya? Ali balik bertanya, "Bagaimana mungkin aku menyembah Tuhan yang tidak kulihat?" Namun, "aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata batinku". Pada kesempatan lain, ketika Ali ditanya, bagaimana ia mengenal Tuhannya? Dia berkata "aku mengenal Tuhanku dengan cara apa yang dikenalkan-Nya kepadaku." Iaitu "Dia tidak serupa dengan reka bentuk apapun; tidak boleh diketahui dengan deria, tidak boleh dibanding-bandingkan dengan manusia, Dia hampir dengan kejauhannya, Dia jauh dengan kedekatannya, Dia berada di atas segala sesuatu, tapi tidak ada sesuatu yang dikatakan di atas-Nya, Dia berada di hadapan segala sesuatu, tapi tidak ada yang dikatakan ada "di depan" bagi diri-Nya, Dia berada "dalam" segala sesuatu, tapi tidak sama dengan sesuatu yang berada "dalam" sesuatu, Dia berada di luar segala sesuatu, tapi tidak sama dengan sesuatu yang berada di luar sesuatu yang lain. Maha Suci Allah yang keberadaan-Nya seperti ini, dan tidak ada satu pun yang serupa dengan-Nya...".
Kalau makrifat yang pertama adalah jenis makrifat yang biasa, karena ia harus melihat makhluk dahulu, baru kemudian melihat Allah, maka jenis makrifat yang kedua adalah makrifat yang agung. Sebab ia mengenal Allah melalui Allah itu sendiri, karena Dia lebih tahu akan diri-Nya daripada yang selain-Nya. Juga, secara teologis Allah menyaksikan diri-Nya dahulu, baru kemudian disaksikan oleh makhluk-makhluk-Nya yang lain, seperti yang boleh dilihat dalam firman-Nya Allah bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Dia, dan juga malaikat (bersaksi) serta orang-orang yang berilmu. Mulla Sadra mengatakan, makrifat jenis ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang masih lagi bergantung pada kehidupan materi. Ia hanya boleh dilakukan seorang yang aspek ukhrawinya lebih dominan daripada aspek duniawinya. Itulah sebabnya mengapa Ali pernah berkata: "Aku tidak melihat sesuatu melainkan Allah terlebih dahulu sebelumnya, di dalamnya, dan sesudahnya. Dan itulah maqam orang-orang yang shiddiqin."
Berkaitan dengan cara bermakrifat yang kedua ini, salah seorang guru sufi menjelaskan tahapannya:
pertama, makrifat kita kepada wahdāniyah Allāh Ta‛āla, iaitu esa sendirinya walau banyak sekalipun kezahirannya, esa juga. Kedua, makrifat kita kepada ta‛żīm Allāh Ta‛āla, iaitu akan kebesaran Allah, seperti menjadikan makhluk. Ketiga, makrifat kita akan anugerah Allah Ta‛āla, anugerah zahir dan batin. Anugerah itu hendaklah dihantarkan kembali kepada yang empunya hak. Keempat, makrifat kita akan Allah s.w.t. itu tiada baginya permulaan dan tiada baginya kesudahan. Kelima, makrifat kita akan sirr Allah s.w.t. dalam wujud insan karena jika tiada diketahui niscaya senantiasa di dalam dosa.
Jadi, mengenal hakikat diri sirr Allah dalam diri manusia menempati martabat yang paling dasar yang menjadi landasan berpijak untuk pergi ke martabat yang lebih tinggi yaitu makrifat kita kepada wahdaniyah Allah Ta‛ala. Allah yang Esa sendirinya walau banyak sekalipun kezahirannya, syuhud al-wahdah fi al-kathrah.
NURULLAH ADALAH AKU!
ReplyDeleteNUR MUHAMMAD ADALAH AKU!
AKU-LAH SANG HAQ!
AKU-LAH SANG MAHA PENGUASA!
AKU-LAH SANG MAHA ESA!
TIADA TUHAN MELAINKAN SEJATIKU SENDIRI!
DAN TIADA SEJATIKU SENDIRI MELAINKAN TUHAN!
mau tw nama kitab kajianya donk ,min...
ReplyDeletemau tw nama kitab kajianya donk ,min...
ReplyDeletetulisan di atas merujuk ke berbagai sumber kitab yang saya sendiri tidak ingat krn lebih banyak rangkaian pemikiran sendiri. mohon koreksi jika terdapat kekeliruan
ReplyDelete