Peringkat Perjalanan Diri Mengenal Tuhan

Perjalanan menuju Allah adalah perjalanan yang panjang melalui martabat yang berperingkat. Makrifat kepada Allah bukanlah dicapai semata-mata karena telah melakukan ibadah secara teratur, akan tetapi memerlukan kemampuan rohaniyah yang tinggi dan luar biasa untuk sampai kepadanya. Oleh itu, seorang hamba dalam makrifatnya memerlukan kewaspadaan agar tidak terkecoh oleh pandangan lahiriyah dan segala tingkah laku ibadah yang membawa fitnah.


Martabat makrifat itu sememangnya boleh dikata berperingkat agar dalam menitinya jangan sampai seorang hamba berhenti pada satu martabat saja karena tujuan yang dikehendaki bukanlah di situ, melainkan yang ada di hadapannya lagi. Kemampuan seorang hamba menjangkau hala tuju di hadapannya tertakluk kepada kejayaannya melalui cubaan yang sangat sulit. Di sini Allah melalui malaikat-Nya menuntun salik dengan seruan halus yang boleh didengar oleh hatinya "jangan berhenti, bukan itu yang kau tuju, tujuanmu berada di depanmu, maka jangan berhenti sehingga sampai kepada hakikat yang engkau cari".

Selain seruan halus yang didengarnya, maka dipertontonkan pula pada pandangannya keindahan ciptaan Allah yang beraneka ragam. Penglihatan duniawi yang sangat menakjubkan, sedangkan orang yang menilai terkagum-kagum oleh tontonan tersebut. Penglihatan yang dialami oleh hamba yang mekrifat akan terpengaruh. Ia akan melihat masalah dunia dan rohani seperti suatu yang sangat hebat. Ada kebesaran, rizki, pertunjukan, kehebatan, dan lain-lain yang boleh menundukkan orang lain yang melihatnya. Misalnya dapat berjalan di atas air, mampu mengetahui apa yang bakal terjadi, dan atau perkara luar biasa lainnya.

Apabila seorang salik dalam makrifatnya terpedaya oleh pemandangannya sebagaimana tadi, maka ia akan diturunkan derajatnya ke peringkat makrifat yang lebih rendah, padahal ia hampir saja sampai pada yang dituju, iaitu Allah yang telah berada lebih dekat daripada urat lehernya sendiri. Di sini perlu adanya kesadaran yang tinggi bahwa segala sesuatu itu hanyalah milik Allah. Setiap kejadian yang berlaku dan mempesonakan pandangan mata itu tidak ada kecuali Allah yang mengadakan. Salik harus betul-betul menyedari bahwa tubuh manusia, gerak tubuh, ruh, dan segala-galanya yang manusia miliki itu hanyalah milik Allah belaka. Oleh itu, langkah-langkah yang harus dilakukan apabila menempuh jalan makrifat, adalah sebagai berikut:

pertama, haibat, ertinya hairan akan hidayah Allah Ta‛āla. Kedua, berjinak-jinakan, ertinya selalu karam di dalam mushāhadah, murāqabah, dan tawajjuh. Ketiga, malu, ertinya ditiliknya akan kebesaran Allah s.w.t. itu sertanya hadir. Dirasakannya bahasa segala yang ada pada dirinya itu adalah dengan keridhaan Allah s.w.t. dan kesemuanya yang ada pada dirinya itu adalah hak Allah Ta‛āla. Jism al-insān wa nafsuh wa qalbuh wa rūhuh wa sam‛uh wa bașaruh wa lisānuh wa yadāh wa rijluh wa kullu dhālik ażharat lahū nafsī binafsih lā huwa illā Anā wa lā Anā ghairuh. Ertinya, adapun tubuh manusia itu dan nafsunya dan hatinya dan ruhnya dan pendengarnya, dan penglihatannya, dan lidahnya dan tanganya dan kakinya dan yang lainnya itu aku nyatakan bagi diriku dengan dirinya dan tiada insan itu lain dari pada aku dan tiada aku lain daripadanya. Demikianlah haqq Allāh s.w.t. itu ada beserta kita, sebagaimana firman Allah Ta‛āla: wahuwa ma‛akum aynamā kuntum wa fī anfusikum afalā tubșirūn. Ertinya, dan dia Allah beserta kamu di mana saja kamu berada, dan dia ada di dalam dirimu kenapa kamu tiada melihat akan dia. Juga firman Allah yang ertinya: Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri.

Adapun makrifat kita kepada zat Allah itu ialah seperti kata Syeikh Ahmad Wali Sembilan: tiada buih melainkan ombak dan tiada ombak melainkan laut dan tiada laut melainkan air. Maka dengan misal ini kita pandang tiada buih tiada ombak tiada laut melainkan wujud air semuanya. Inilah ibarat zikir لااله الاالله lā ilāha illā Allāh. Maksudnya tiada yang mawjūd di dunia akhirat hanya Allah.

Adapun rahsia nyawa, hati, dan tubuh, maka rahsia itu terbuat di dalam tubuh dan tersembunyi di dalam nyawa. Rahsia hati, nyawa, dan tubuh ketiganya itu mawjūd daripada diri kita. Maka inilah misal kita pandang badan menunjukkan nyawa. Kita pandang nyawa menunjukkan rahsia dan manusia itu terdiri daripada nyawa dan badan. Inilah yang menerima rahsia, seperti kata al-insān sirrī wa Anā sirruh ertinya: Insan itu rahsia-Ku dan Aku rahsianya. Inilah yang bernama diri yang menerima kesempurnaan zat Tuhan.

Syahdan bermula, Muhammad itu adalah sifat wahdah dan Tuhan itu satu jua, maka inilah hakikat kita yang sebenar-benarnya. Adapun mengenal diri itu jika tiada diketahui akan asal diri dan hakikatnya, maka tiada sah pengenalannya, karena hakikat itu satu jua, meskipun banyak sekalipun kezhahirannya tetapi satu jua. Seperti kata ‛ārif bi Allāh: zat dengan yang empunya zat satu jua, sifat dengan yang empunya sifat satu jua, asma dengan yang empunya asma satu jua, af‛āl dengan yang empunya af‛āl satu jua. Dan yang empunya itu tajalliy pada diri kita, sebagaimana isyarat hadis qudsi: Al-insān sirrī wa sirrī șifatī wa șifatī lā ghair, ertinya: Manusia itu rahsia-Ku dan rahsia itu sifat-ku dan sifat-Ku itu tiada lain daripada Zat-Ku.

Jadi pahamnya bahwa tiada lagi mempunyai diri, hanya Allah yang ada, dan inilah maknanya Ihrām, ertinya tiada tahu lagi akan dirinya dan Tuhannya, umpama seperti besi pijar dengan api tiada kelihatan lagi besinya, yang kelihatan hanyalah api saja ertinya yang ada hanyalah wujud Allah s.w.t. saja, maka sampailah kepada baqā' bi Allāh, ertinya kekal dengan Allah adanya.

Bermula jika orang bertanya bagaimana makrifat nabi Muhammad itu? Maka engkau katakan bahwa Nabi Muhammad itu tiada bermakrifat, karena sekutu dengan Tuhannya, maka yang bernama illā Allāh itu Muhammad jua sebab yang bernama illā Allāh itu Muhammad. Adapun aku di dalam Muhammad dan Muhammad di dalam Rasūlullāh jua ertinya pesuruh Allah. Dan tatkala Allah ghaib sendirian maka ia bernama Kunhizat.

Adapun yang bernama Muhammad itu Allah dan yang bernama Allah itu Muhammad jua. Maka ia mesra pada wujud kita ini. Maka barangsiapa ridha meninggalkan kekayaan Allah di dalam dunia ini, zat mengarahkan imannya dengan makrifat, maka af‛āl Allāh namanya dan barangsiapa ridha menyudahi kehendaknya daripada kurnia Allah dengan tulus makrifatnya șiddīq namanya. Maka sampailah makrifatnya dan pendengarannya dan penciumannya dan pengrasanya dan fi‛l-nya. Maka putuslah makrifat orang itu dan di sanalah pertemuan Tuhan dengan hambanya dan inilah yang beroleh rahsia Allah.

Barangsiapa tahu akan pendengaran Allah, penglihatan Allah, pengrasa Allah, pengenalan Allah dan sebagainya maka dengan makrifatnya itu ia tetap bersekutu dengan Allah dan tiada berhakikat lagi, maka ia jadi kafir. Orang yang sudah sempurna makrifatnya maka orang itu akan merasakan nikmat surga dan tatkala makrifatnya lenyap maka akan ada terang tiada terhingga lagi ke atas dan ke bawah, ke kanan atau ke kiri, ke hadapan atau ke belakang, tiada berkesudahan. Dan tatkala ada berdiri seperti alif di dalam terang itu maka dialah Tuhan, ia dinamai alif Istighnā, karena ia kuasa berdiri sendirian.

Jika makrifat kita itu berpandang-pandangan suatu barang umpamanya dengan suatu cahaya dan cahaya itu kita katakan Allah Ta‛āla, maka jadi kafir kata ini. Dan dikatakannya pula bahwa pada hukum ruh itu tempatnya Allah, maka kata ini kafir jua. Kata orang yang tahu hakikat Esa ”siapa yang menyerupakan akan dia maka kafir”. Tetapi kalau yang dimaksud bahwa segala sesuatu itu pada hakikatnya Allah dan tanda Allah jua, maka kata ini ”benar”. Tetapi jika mengatakan bahwa segala sesuatu itu bukan tanda dari Allah maka itu kafir jua, karena sudah mengetahui akan maksud hakikat karena Allah itu tiada hubung menghubungi dan tiada lihat melihat dan Tuhan menjadikan hamba dan bukan hamba yang menjadikan Tuhan. Dan tiada hakikat menghakikatkan dan tiada sebut menyebut. Maka carilah jalan ini kepada guru yang mengetahui maksudnya, yang Esa tiada diesakan oleh hati. Seperti hadis qudsi yang berbunyi: Ukhruj ‛an al-nafs wa al-ajsām thumma ukhruj ‛an al-amr wa al-hukm fa tașil ilayya. Ertinya: keluar engkau dari nafsumu dan hatimu dan nyawamu tubuhmu hingga keluar engkau daripada amar dan hukum-ku maka sampailah engkau kepada-Ku.

Maka jika masih ada bernafsu, berhati, bernyawa, bertubuh, dan mengerjakan suruhan dan menerima hukumnya niscaya belum engkau bertemu dan belum engkau sampai kepada Allah. Maka syukur perkataan ini, dan kata setengah ulama ”hendaklah kita membunuh nafsu kita supaya tiada bersyarikat Allah dengan hamba.

Ada hadis yang menerangkan bahwa segala sesuatu di dalam raya ini berasal dari Nur Muhammad. Hadis ini dan juga pernyataan Ahli sufi yang berkaitan dengannya sebenarnya sebuah peringatan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini, baik yang berupa langit dan bumi, haiwan dan tumbuh-tumbuhan, asal-usulnya sama dengan manusia dan jiwanya. Semuanya berasal dari Nur Muhammad, cahaya yang terpuji. Tak ada yang muncul dari akar yang lain. Pengetahuan ini harus diyakini dengan penuh kesadaran dalam hati dan dimanifestasikan dalam praktik amaliah sehari-hari. Komuniti Abulung menggelarnya dengan mushāhadah Nur Muhammad.

Sufi menyatakan, apabila pengetahuan akan hakikat diri dan asal kejadian diri Nur Muhammad ini telah disadari melalui jalan mushāhadah Nur Muhammad maka sempurna makrifatnya kepada Allah dan dengan demikian telah dianggap benar jalan agamanya, karena hatinya tidak pernah mati, cahaya Tuhan selalu menyinari dan menghidupkannya. Cahaya Allah menerangi hati manusia yang mengetahui dan menyedari akan hakikat kebenaran. Hati yang tercerahkan oleh sinar ilahiyah tidak pernah redup dan selamanya akan bersinar, seperti matahari menyinari rembulan yang menyinarkan cahaya sepanjang malam. Cahaya itu memberi ketenangan dan keteduhan di hati. Cahaya dari Allah yang melesap masuk ke dalam hati, memantulkan penawar ke dalam jiwa manusia sehingga bertambah akrab dengan kebenaran.

Apabila seorang hamba telah dibukakan pintu makrifatnya maka ia akan mendapatkan ketenangan berupa kenikmatan sinaran rohani yang berlimpah-limpah. Cahaya cinta dan kasih sayang yang membuatkan seorang hamba semakin dekat kepada sumbernya, bahkan masuk dan bermandikan cahaya itu. Cahaya Allah akan memenuhi seluruh lapisan dalam rongga dada, selama manusia berkehendak dan mencari untuk menemukan-Nya.

Cahaya Allah yang berupa sifat-sifat Allah yang suci dan mulia menumbuhkan ketenangan yang sangat diperlukan oleh jiwa yang resah dan gelisah. Ia akan menjadi sakīnah dan muțmainnah setelah mendapat sifat yang menerangi kehidupannya zahir dan batin. Jiwa yang tenang akan tumbuh menjadi kekuatan dan keteguhan dalam mempertahankan hidup suci di dalam ketaatan.



Comments

  1. Alhamdulillah, Kang Kholil, mungkin sudah saatnya untuk lebih transparan dalam mendorong sahabat kita yang lain untuk memahami bagaimana proes pengenalan DIRI SEJATI melalui ubudiyah zikrullah. hal ini diharapkan dapat memberikan pencerahan setidaknya menjadi rambu2 untuk membedakan antara Nafsu (Ego) dan DIRI SEJATI, wallahua'lam

    ReplyDelete

Post a Comment

TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI

Popular posts from this blog

Simbol Alif Lām Lām Hā' dalam Ilmu Shuhud

Menyadari Sir Allah dalam Diri

Mengenal Hakikat Diri Manusia (Bagian II)