Tinggalkan badan, Jumpai Ana di Dasar Hatimu
Tuan Guru sufi mengatakan yang maksudnya: "Lenyapkan badan jasad kekalkan hati, masuklah melalui pintu-pintunya di dalam dirimu, dari hati menyelinaplah ke biliknya yang lebih dalam menuju ruh, bersama ruh terbanglah lebih tinggi ke alam nur, dari nur hakikat diri terus melesatlah ke puncaknya yang paling tinggi menjumpai Ana, tinggallah sendiri bersama Ana di dalam liputannya". Innanii Ana Allah la Ilaha illa Ana.
Manusia sebagai hamba tercipta dari saripati tanah, "min sulalat min thin". Manusia adalah putra bumi, dari tanahnya ia tumbuh dan berkembang, dari tanahnya pula ia terbentuk, dan dari tanahnya ia hidup. Tidak terdapat satu unsur pun dalam jasmani manusia yang tidak memiliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi, kecuali rahsia yang sangat halus, yaitu yang ditiupkan oleh Allah kepadanya dari Ruh-Nya, dan dengan ruh itulah manusia menjadi unik dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Pusat ruh adalah hati. Dalam bahasa Arab disebut "qalbu" (kalbu). Ia adalah organ tubuh manusia yang menjadi pusat peredaran darah dan terletak di rongga dada sebelah atas. Namun, dalam saat yang sama kata tersebut juga digunakan dalam arti perasaan. Dalam bahasa kita pun kita sering berkata: "jantung hati" dalam arti "pusat perasaan". Rasul s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya dalam jasad ada suatu mudhghah, apabila baik, baiklah seluruh jasad, dan apabila rusak, rusaklah seluruh jasad. Ia adalah kalbu" (H.R. Bukhari).
Jika Anda memahami kata "kalbu" di sini sebagai organ tubuh manusia, maka tidaklah salah, itu pun tepat. Namun, agaknya bukan itu yang dimaksud Rasulullah s.a.w., tetapi yang beliau maksud adalah pusat rasa, yakni kepekaan. Seseorang yang hilang kepekaannya, maka dia tidak segan melakukan segala macam keburukan. Orang yang kehilangan perasaan pekanya akan kehilangan pula rasa kasihnya terhadap kaum lemah, karena kasih adalah kepekaan hati melihat ketidakberdayaan, lalu mendorong si peka untuk menanggulangi sedapat mungkin ketidakberdayaan itu. Kepekaan selalu membawa kebaikan. Sifat inilah yang melahirkan budi pekerti yang luhur serta mengantar kepada keindahan.
Kata Quraish Shihab dalam bukunya "Dia dimana-mana". Begitu pentingnya hati bagi manusia. Hati mampu berfungsi hanyalah apabila dipandu oleh sesuatu yang telah ditiupkan Allah ke dalamnya, yaitu ruh atau roh. Oleh itu, hati dapat menjadi wadah sekaligus menjadi alat untuk meraih pengetahuan. Dan, orang yang kalbunya hanya menjadi wadah lagi sempit akan cepat tersinggung, juga tidak memiliki pengetahuan kecuali sedikit, dan itupun diperolehnya dari luar, seperti kolam yang harus diisi air dari luar. Berbeda dengan orang yang kalbunya seperti sumur atau perigi. Ia menjadi wadah sekaligus alat meraih pengetahuan. Bukankah sumur memiliki mata air dan sekaligus menampungnya? Air yang bersumber dari mata air jauh lebih jernih daripada yang bersumber dari luar. Maukah Anda menjadikan kalbu Anda sumur? Hilangkan kedengkian, keangkuhan, dan aneka kedurhakaan dari dalamnya, seperti halnya penggali sumur mengangkat tanah dan bebatuan sampai dia menemukan mata air yang jernih.
Kebeningan hati bersumber dari daya sesuatu yang telah ditiupkan oleh Allah ke dalamnya. Daya itulah yang membuatkan malaikat memberi penghormatan kepada manusia. Dialah yang dilukiskan oleh Allah pada firman-Nya: "wa idha sawwaytuhu wa nafakhtu fihi min ruhi faqa‛u lahu sajidin", yang artinya, maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadian (fisik) nya, dan telah meniupkan ke dalamnya sebahagian dari ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (Q.S. al-Hijr [15]: 29)
Kata Quraish Shihab pula, manusia sebenarnya merasakan adanya sesuatu pada dirinya, sesuatu yang bebas dari ikatan waktu dan tempat, yang aktif pada saat jaga dan tidurnya serta dapat menerima aneka gambar dalam mimpi serta khayalan dalam saat sadarnya walau tanpa dia mengusahakan kehadirannya,.. khayalan menyangkut masa lalu yang sangat jauh atau masa yang akan datang. Apakah gerangan sesuatu itu? Apakah hakikatnya? Itu adalah ruh, yang hingga kini walau diakui wujudnya, namun hakikatnya masih remang-remang.
Memang, para ulama dan filosof berbeda pendapat tentang apakah yang dinamai ruh dan apa hakikatnya. Apakah dia materi atau non materi. Apakah dia nyawa atau spirit, atau selainnya. Kalau Anda bertanya kepada pakar al-Qur'an, boleh jadi jawapan mereka pun membingungkan Anda, karena al-Qur'an menggunakan kata ruh dalam berbagai-bagai makna. Sekali dsalam arti "wahyu-wahyu ilahi", di kali lain dalam arti "malaikat yang membawa wahyu kepada para nabi", yakni malaikat Jibril. Di kali ketiga ia bermakna "spirit", dan kali keempat ia dipahami dalam arti "nyawa" atau sumber hidup yang bila berpisah dengan jasad hilanglah potensi gerak, tahu, dan rasa sesuatu itu. Yang pasti adalah, al-Qur'an tidak menjelaskan hakikat ruh, boleh jadi karena ajaran agama, termasuk tuntunan al-Qur'an ditujukan kepada seluruh manusia—lelaki dan perempuan, tua muda, yang pandai dan yang bodoh, yang kolot maupun yang modern, yang hidup di kota besar dan di daerah terpencil—dan karena itu, perkara-perkara yang sulit, susah dijangkau oleh mereka yang terbatas kemampuannya, tidak lagi disinggung oleh al-Qur'an atau agama, agar tidak membingungkan mareka. Namun, boleh jadi sesuatu yang tidak terjawab di masa silam bisa terjawab di masa sekarang atau nanti dengan terjadinya lebih banyak perubahan yang membuatkan ilmuwan memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat ruh.
Agak menarik adalah apa yang diuraikan oleh seorang filosuf Mesir kontemporer, Zaki Najib Mahmud menyangkut uraian Ibnu Sina (980-1037 M) yang merupakan pakar tasawuf, sekaligus sastrawan, musisi dan dokter yang karya-karyanya dipelajari hingga kini: "Ruh, pada mulanya hidup di suatu alam yang maha tinggi. Ia turun, bukan terpaksa jatuh seperti batu, lalu hinggap pada jasad sesuatu. Ia turun ketika itu bagaikan seekor burung merpati yang terbang tinggi lalu bertengger di satu dahan. Burung merpati adalah sejenis burung yang sangat jinak dan damai dan sangat tulus dalam berkicau atau 'menangis'. Ruh yang jinak itu menangis saat menyadari bahwa ia telah hinggap di satu tempat dan menjauhkannya dari alam tempat tinggalnya semula di alam yang amat tinggi—alam ruh—yang bebas dari ketercampuran bahkan kekotoran alam materi".
"Dia (ruh) menyertai Anda di mana Anda berada, tidak berpisah dengan Anda kecuali saat Anda bukan Anda lagi. Dia sangat dekat dengan Anda bahkan dialah Anda. Dia mengalir pada darah Anda, bergerak di setiap anggota tubuh Anda. Namun demikian, ia enggan dilihat dan sangat sulit untuk dikenal. Jika Anda bermaksud melihatnya, ia menyelubungi dirinya dengan tabir yang tebal, sehingga cahaya mata tidak mampu menembusnya. Mengapa demikian? Itu karena dia mengingat masa lalunya, saat ia berada di alam suci yang tinggi, sehingga saat Anda bermaksud melihatnya dia merasa bahwa ia begitu mulia sehingga tidak dilihat oleh mata kepala yang bersifat materi itu. Tetapi wahai kawan, jangan berputus asa. Ada jalan untuk mengenalnya, tetapi tidak melalui mata kepala, atau semua indra. Lihatlah dengan mata akal, Anda akan melihatnya dengan jelas, ketika itu dia menyingkap tabir yang menyelimuti dirinya, karena memang tabir itu dipakainya hanya karena keengganan dilihat oleh mata kepala, dia merasa demikian anggun untuk diperhadapkan dengan alam materi yang penuh kekotoran."
Sungguhpun demikian, ruh merasa berat meninggalkan jasad jasmani karena kata Ibnu Sina, "Dia merasa bahwa jasad tempat dia berada, dapat digunakannya sebagai alat untuk lahirnya kebajikan dan keutamaan. Dalam kehidupan di alam yang tinggi itu, ia tidak mengenal sifat-sifat terpuji dan positif, dan kini ia melihat bahwa dengan indra, dapat tercapai budi pekerti yang luhur serta pengetahuan yang dalam. Ia tadinya—di dalamnya di sana—tidak mengetahui hal ini. Ia baru tahu setelah berhubungan dengan jasad, dan karena itulah maka ia enggan berpisah dengan jasad Anda." Penjelasan serupa silakan lihat dalam postingan sebelum ini tentang "Kemahakuasaan Allah: an ihtajaba bila hijab".
Datu sufi menjelaskan:
"bahawa yang sebenar-benarnya diri itu ruh, tatkala ruh itu masuk pada tubuh nyawa namanya, tatkala ia keluar-masuk nafas namanya dan tatkala ia berkehendak pada sesuatu ikhtiar namanya, dan tatkala ia ingin akan sesuatu nafsu namanya, tatkala ia ingat akan sesuatu ‘arif namanya dan tatkala ia percaya akan sesuatu iman namanya dan tatkala ia dapat memperbuat sesuatu akal amanya dan pohon akal itu ialah ilmu. inilah sebenar-benarnya diri dan pada diri itulah zhahir Tuhan seperti dalil yang berbunyi: Man ‛arafa nafsah faqad ‛arafa rabbah, ertinya: Barang siapa mengenal dirinya maka sesungguhnya mengenal ia akan Tuhannya."
Sufi juga menyatakan: "Syahdan, bermula sebenar-benarnya diri itu nyawa, sebenar-benar nyawa itu Nur Muhammad dan Nur Muhammad itu adalah sifat iaitu sifat hayat (حباة) bukan sifat hayyun (حيى) tetapi tiada lain." (Baca uraian tentang mengenal hakikat diri dalam blog ini)
Jadi ruh adalah nyawa bagi kita, sedangkan di dalam nyawa itu ada Nur, yaitu Nur Muhammad. Sedangkan Nur Muhammad adalah manifestasi dari wujud Tuhan di alam dunia ini. Nyawa kita adalah hakikat diri kita yang disebut Ana.
Akhirnya, setelah menyelami secara lebih dalam sedikit uraian di atas, maka kita semakin mengerti makna kalimat, "Tinggalkanlah badan jasad untuk menjumpai hati di dalamnya, dari hati pergilah lebih jauh menuju ruh, dari ruh terbanglah lebih tinggi lagi memasuki nur, dari nur hakikat diri terus melesatlah ke puncaknya yang paling tinggi menjumpai Ana, tinggallah sendiri bersama Ana di dalam liputannya".
Datu menguraikan perjalanan menjumpai Ana dalam tahapan-tahapan sebagai berikut: pertama, haibat, ertinya hairan akan hidayah Allah Ta‛āla. Kedua, berjinak-jinakan, ertinya selalu karam di dalam mushāhadah, murāqabah, dan tawajjuh. Ketiga, malu, ertinya ditiliknya akan kebesaran Allah s.w.t. itu sertanya hadir. Dirasakannya bahasa segala yang ada pada dirinya itu adalah dengan keridhaan Allah s.w.t. dan kesemuanya yang ada pada dirinya itu adalah hak Allah Ta‛āla. Jism al-insān wa nafsuh wa qalbuh wa rūhuh wa sam‛uh wa bașaruh wa lisānuh wa yadāh wa rijluh wa kullu dhālik ażharat lahū nafsī binafsih lā huwa illā Anā wa lā Anā ghairuh. Ertinya, adapun tubuh manusia itu dan nafsunya dan hatinya dan ruhnya dan pendengarnya, dan penglihatannya, dan lidahnya dan tanganya dan kakinya dan yang lainnya itu aku nyatakan bagi diriku dengan dirinya dan tiada insan itu lain dari pada Aku dan tiada Aku lain daripadanya. Demikianlah haqq Allāh s.w.t. itu ada beserta kita, sebagaimana firman Allah Ta‛āla: wahuwa ma‛akum aynamā kuntum wa fī anfusikum afalā tubșirūn. Ertinya, dan dia Allah beserta kamu di mana saja kamu berada, dan dia ada di dalam dirimu kenapa kamu tiada melihat akan dia. Juga firman Allah yang ertinya: Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri."
Wallahu a'lam bi al-shawab.
Manusia sebagai hamba tercipta dari saripati tanah, "min sulalat min thin". Manusia adalah putra bumi, dari tanahnya ia tumbuh dan berkembang, dari tanahnya pula ia terbentuk, dan dari tanahnya ia hidup. Tidak terdapat satu unsur pun dalam jasmani manusia yang tidak memiliki persamaan dengan unsur-unsur yang terdapat dalam bumi, kecuali rahsia yang sangat halus, yaitu yang ditiupkan oleh Allah kepadanya dari Ruh-Nya, dan dengan ruh itulah manusia menjadi unik dibandingkan dengan makhluk yang lain.
Pusat ruh adalah hati. Dalam bahasa Arab disebut "qalbu" (kalbu). Ia adalah organ tubuh manusia yang menjadi pusat peredaran darah dan terletak di rongga dada sebelah atas. Namun, dalam saat yang sama kata tersebut juga digunakan dalam arti perasaan. Dalam bahasa kita pun kita sering berkata: "jantung hati" dalam arti "pusat perasaan". Rasul s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya dalam jasad ada suatu mudhghah, apabila baik, baiklah seluruh jasad, dan apabila rusak, rusaklah seluruh jasad. Ia adalah kalbu" (H.R. Bukhari).
Jika Anda memahami kata "kalbu" di sini sebagai organ tubuh manusia, maka tidaklah salah, itu pun tepat. Namun, agaknya bukan itu yang dimaksud Rasulullah s.a.w., tetapi yang beliau maksud adalah pusat rasa, yakni kepekaan. Seseorang yang hilang kepekaannya, maka dia tidak segan melakukan segala macam keburukan. Orang yang kehilangan perasaan pekanya akan kehilangan pula rasa kasihnya terhadap kaum lemah, karena kasih adalah kepekaan hati melihat ketidakberdayaan, lalu mendorong si peka untuk menanggulangi sedapat mungkin ketidakberdayaan itu. Kepekaan selalu membawa kebaikan. Sifat inilah yang melahirkan budi pekerti yang luhur serta mengantar kepada keindahan.
Kata Quraish Shihab dalam bukunya "Dia dimana-mana". Begitu pentingnya hati bagi manusia. Hati mampu berfungsi hanyalah apabila dipandu oleh sesuatu yang telah ditiupkan Allah ke dalamnya, yaitu ruh atau roh. Oleh itu, hati dapat menjadi wadah sekaligus menjadi alat untuk meraih pengetahuan. Dan, orang yang kalbunya hanya menjadi wadah lagi sempit akan cepat tersinggung, juga tidak memiliki pengetahuan kecuali sedikit, dan itupun diperolehnya dari luar, seperti kolam yang harus diisi air dari luar. Berbeda dengan orang yang kalbunya seperti sumur atau perigi. Ia menjadi wadah sekaligus alat meraih pengetahuan. Bukankah sumur memiliki mata air dan sekaligus menampungnya? Air yang bersumber dari mata air jauh lebih jernih daripada yang bersumber dari luar. Maukah Anda menjadikan kalbu Anda sumur? Hilangkan kedengkian, keangkuhan, dan aneka kedurhakaan dari dalamnya, seperti halnya penggali sumur mengangkat tanah dan bebatuan sampai dia menemukan mata air yang jernih.
Kebeningan hati bersumber dari daya sesuatu yang telah ditiupkan oleh Allah ke dalamnya. Daya itulah yang membuatkan malaikat memberi penghormatan kepada manusia. Dialah yang dilukiskan oleh Allah pada firman-Nya: "wa idha sawwaytuhu wa nafakhtu fihi min ruhi faqa‛u lahu sajidin", yang artinya, maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadian (fisik) nya, dan telah meniupkan ke dalamnya sebahagian dari ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud." (Q.S. al-Hijr [15]: 29)
Kata Quraish Shihab pula, manusia sebenarnya merasakan adanya sesuatu pada dirinya, sesuatu yang bebas dari ikatan waktu dan tempat, yang aktif pada saat jaga dan tidurnya serta dapat menerima aneka gambar dalam mimpi serta khayalan dalam saat sadarnya walau tanpa dia mengusahakan kehadirannya,.. khayalan menyangkut masa lalu yang sangat jauh atau masa yang akan datang. Apakah gerangan sesuatu itu? Apakah hakikatnya? Itu adalah ruh, yang hingga kini walau diakui wujudnya, namun hakikatnya masih remang-remang.
Memang, para ulama dan filosof berbeda pendapat tentang apakah yang dinamai ruh dan apa hakikatnya. Apakah dia materi atau non materi. Apakah dia nyawa atau spirit, atau selainnya. Kalau Anda bertanya kepada pakar al-Qur'an, boleh jadi jawapan mereka pun membingungkan Anda, karena al-Qur'an menggunakan kata ruh dalam berbagai-bagai makna. Sekali dsalam arti "wahyu-wahyu ilahi", di kali lain dalam arti "malaikat yang membawa wahyu kepada para nabi", yakni malaikat Jibril. Di kali ketiga ia bermakna "spirit", dan kali keempat ia dipahami dalam arti "nyawa" atau sumber hidup yang bila berpisah dengan jasad hilanglah potensi gerak, tahu, dan rasa sesuatu itu. Yang pasti adalah, al-Qur'an tidak menjelaskan hakikat ruh, boleh jadi karena ajaran agama, termasuk tuntunan al-Qur'an ditujukan kepada seluruh manusia—lelaki dan perempuan, tua muda, yang pandai dan yang bodoh, yang kolot maupun yang modern, yang hidup di kota besar dan di daerah terpencil—dan karena itu, perkara-perkara yang sulit, susah dijangkau oleh mereka yang terbatas kemampuannya, tidak lagi disinggung oleh al-Qur'an atau agama, agar tidak membingungkan mareka. Namun, boleh jadi sesuatu yang tidak terjawab di masa silam bisa terjawab di masa sekarang atau nanti dengan terjadinya lebih banyak perubahan yang membuatkan ilmuwan memiliki kemampuan untuk mengungkap sebagian dari hakikat ruh.
Agak menarik adalah apa yang diuraikan oleh seorang filosuf Mesir kontemporer, Zaki Najib Mahmud menyangkut uraian Ibnu Sina (980-1037 M) yang merupakan pakar tasawuf, sekaligus sastrawan, musisi dan dokter yang karya-karyanya dipelajari hingga kini: "Ruh, pada mulanya hidup di suatu alam yang maha tinggi. Ia turun, bukan terpaksa jatuh seperti batu, lalu hinggap pada jasad sesuatu. Ia turun ketika itu bagaikan seekor burung merpati yang terbang tinggi lalu bertengger di satu dahan. Burung merpati adalah sejenis burung yang sangat jinak dan damai dan sangat tulus dalam berkicau atau 'menangis'. Ruh yang jinak itu menangis saat menyadari bahwa ia telah hinggap di satu tempat dan menjauhkannya dari alam tempat tinggalnya semula di alam yang amat tinggi—alam ruh—yang bebas dari ketercampuran bahkan kekotoran alam materi".
"Dia (ruh) menyertai Anda di mana Anda berada, tidak berpisah dengan Anda kecuali saat Anda bukan Anda lagi. Dia sangat dekat dengan Anda bahkan dialah Anda. Dia mengalir pada darah Anda, bergerak di setiap anggota tubuh Anda. Namun demikian, ia enggan dilihat dan sangat sulit untuk dikenal. Jika Anda bermaksud melihatnya, ia menyelubungi dirinya dengan tabir yang tebal, sehingga cahaya mata tidak mampu menembusnya. Mengapa demikian? Itu karena dia mengingat masa lalunya, saat ia berada di alam suci yang tinggi, sehingga saat Anda bermaksud melihatnya dia merasa bahwa ia begitu mulia sehingga tidak dilihat oleh mata kepala yang bersifat materi itu. Tetapi wahai kawan, jangan berputus asa. Ada jalan untuk mengenalnya, tetapi tidak melalui mata kepala, atau semua indra. Lihatlah dengan mata akal, Anda akan melihatnya dengan jelas, ketika itu dia menyingkap tabir yang menyelimuti dirinya, karena memang tabir itu dipakainya hanya karena keengganan dilihat oleh mata kepala, dia merasa demikian anggun untuk diperhadapkan dengan alam materi yang penuh kekotoran."
Sungguhpun demikian, ruh merasa berat meninggalkan jasad jasmani karena kata Ibnu Sina, "Dia merasa bahwa jasad tempat dia berada, dapat digunakannya sebagai alat untuk lahirnya kebajikan dan keutamaan. Dalam kehidupan di alam yang tinggi itu, ia tidak mengenal sifat-sifat terpuji dan positif, dan kini ia melihat bahwa dengan indra, dapat tercapai budi pekerti yang luhur serta pengetahuan yang dalam. Ia tadinya—di dalamnya di sana—tidak mengetahui hal ini. Ia baru tahu setelah berhubungan dengan jasad, dan karena itulah maka ia enggan berpisah dengan jasad Anda." Penjelasan serupa silakan lihat dalam postingan sebelum ini tentang "Kemahakuasaan Allah: an ihtajaba bila hijab".
Datu sufi menjelaskan:
"bahawa yang sebenar-benarnya diri itu ruh, tatkala ruh itu masuk pada tubuh nyawa namanya, tatkala ia keluar-masuk nafas namanya dan tatkala ia berkehendak pada sesuatu ikhtiar namanya, dan tatkala ia ingin akan sesuatu nafsu namanya, tatkala ia ingat akan sesuatu ‘arif namanya dan tatkala ia percaya akan sesuatu iman namanya dan tatkala ia dapat memperbuat sesuatu akal amanya dan pohon akal itu ialah ilmu. inilah sebenar-benarnya diri dan pada diri itulah zhahir Tuhan seperti dalil yang berbunyi: Man ‛arafa nafsah faqad ‛arafa rabbah, ertinya: Barang siapa mengenal dirinya maka sesungguhnya mengenal ia akan Tuhannya."
Sufi juga menyatakan: "Syahdan, bermula sebenar-benarnya diri itu nyawa, sebenar-benar nyawa itu Nur Muhammad dan Nur Muhammad itu adalah sifat iaitu sifat hayat (حباة) bukan sifat hayyun (حيى) tetapi tiada lain." (Baca uraian tentang mengenal hakikat diri dalam blog ini)
Jadi ruh adalah nyawa bagi kita, sedangkan di dalam nyawa itu ada Nur, yaitu Nur Muhammad. Sedangkan Nur Muhammad adalah manifestasi dari wujud Tuhan di alam dunia ini. Nyawa kita adalah hakikat diri kita yang disebut Ana.
Akhirnya, setelah menyelami secara lebih dalam sedikit uraian di atas, maka kita semakin mengerti makna kalimat, "Tinggalkanlah badan jasad untuk menjumpai hati di dalamnya, dari hati pergilah lebih jauh menuju ruh, dari ruh terbanglah lebih tinggi lagi memasuki nur, dari nur hakikat diri terus melesatlah ke puncaknya yang paling tinggi menjumpai Ana, tinggallah sendiri bersama Ana di dalam liputannya".
Datu menguraikan perjalanan menjumpai Ana dalam tahapan-tahapan sebagai berikut: pertama, haibat, ertinya hairan akan hidayah Allah Ta‛āla. Kedua, berjinak-jinakan, ertinya selalu karam di dalam mushāhadah, murāqabah, dan tawajjuh. Ketiga, malu, ertinya ditiliknya akan kebesaran Allah s.w.t. itu sertanya hadir. Dirasakannya bahasa segala yang ada pada dirinya itu adalah dengan keridhaan Allah s.w.t. dan kesemuanya yang ada pada dirinya itu adalah hak Allah Ta‛āla. Jism al-insān wa nafsuh wa qalbuh wa rūhuh wa sam‛uh wa bașaruh wa lisānuh wa yadāh wa rijluh wa kullu dhālik ażharat lahū nafsī binafsih lā huwa illā Anā wa lā Anā ghairuh. Ertinya, adapun tubuh manusia itu dan nafsunya dan hatinya dan ruhnya dan pendengarnya, dan penglihatannya, dan lidahnya dan tanganya dan kakinya dan yang lainnya itu aku nyatakan bagi diriku dengan dirinya dan tiada insan itu lain dari pada Aku dan tiada Aku lain daripadanya. Demikianlah haqq Allāh s.w.t. itu ada beserta kita, sebagaimana firman Allah Ta‛āla: wahuwa ma‛akum aynamā kuntum wa fī anfusikum afalā tubșirūn. Ertinya, dan dia Allah beserta kamu di mana saja kamu berada, dan dia ada di dalam dirimu kenapa kamu tiada melihat akan dia. Juga firman Allah yang ertinya: Aku lebih dekat kepadamu daripada urat lehermu sendiri."
Wallahu a'lam bi al-shawab.
Comments
Post a Comment
TERIMAKASIH ANDA ANDA TELAH BUAT KOMENTAR DI SINI