Dhikir, zikir, dzikir
Kegiatan berdhikir sebenarnya ialah kegiatan mengisi atau menuangi pikiran dan hati dengan kata-kata suci. Pada mulanya kata-kata suci tersebut diucapkan dengan suara jelas, pelan-pelan. Dengan cara ini pelbagai gangguan suara dari luar akan terhalangi. Kemudian ditingkatkan dengan ucapan dalam hati untuk membuang ilusi dan delusi. Setelah berkali-kali dilakukan, baru dhikir menghasilkan efek positifnya, yaitu ketenangan batin pelakunya seperti yang diinformasikan dalam ujung ayat 27 dan ayat 28 pada surah al-Ra’d [13]: "Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan, dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali kepada (jalan)-Nya., yaitu orang-orang yang beriman dan tenteram hati mereka berdhikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdhikir kepada Allah hati menjadi tenteram".
Allah berfirman: “Dan berdhikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkannya kepadamu”. Dan dalam Q.S [29]:45 pula diterangkan bahawa nilai dhikir itu lebih besar daripada segala ibadah. Hal ini dapat dipahami kerana kesedaran manusia akan Tuhannya tumbuh dari dhikir, bahkan pencerahan pun dicapai melalui dhikir. Justeru Nabi Muhammad sendiri selalu berdhikir selama bulan Ramadhan, beberapa kali dilakukan di gua Hirā', sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul.
Dhikir merupakan satu bentuk hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan. Manusia berdhikir kepada Tuhan dan Tuhan pun berdhikir kepada manusia. Al-Qur’an Sūrah al-Baqarah menyatakan: "Berdhikirlah kepada-Ku, niscaya Aku berdhikir kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan kalian mengingkari-Ku". Dhikir merupakan sebuah cara untuk menyegerakan proses menghilangkan kualiti-kualiti rendah manusia dan menukarnya dengan kualiti-kualiti yang tinggi, iaitu berakhlak dengan akhlak Tuhan, dan memadamkan ego individual sehingga tidak ada lagi kesan "aku". Dari sinilah titik dimulakannya samudera ketiadaan atau fanā'. Oleh itu, boleh dikata dhikir merupakan sarana untuk menyatu dengan Tuhan yang Maha Esa.
Kegiatan berdhikir sebenarnya ialah kegiatan mengisi atau menuangi pikiran dan hati dengan kata-kata suci. Pada mulanya kata-kata suci tersebut diucapkan dengan suara jelas, pelan-pelan. Dengan cara ini pelbagai gangguan suara dari luar akan terhalangi. Kemudian ditingkatkan dengan ucapan dalam hati untuk membuang ilusi dan delusi. Setelah berkali-kali dilakukan, baru dhikir menghasilkan efek positifnya, yaitu ketenangan batin pelakunya seperti yang diinformasikan dalam ujung ayat 27 dan ayat 28 pada surah al-Ra’d [13]: "Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan, dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali kepada (jalan)-Nya., yaitu orang-orang yang beriman dan tenteram hati mereka berdhikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdhikir kepada Allah hati menjadi tenteram".
Apabila ilusi dan delusi, khayalan dan angan-angan, telah lenyap dari batin pe-dhikir maka berikutnya kalam suci atau kalimat tayyibah, lā ilāha illā Allāh, yang mengisinya. Kalimat yang mula-mula diucapkan dalam batin ini akhirnya mengalir sendiri bersama tarikan dan hembusan nafas. Selanjutnya memasuki alam yang kosong dari pelbagai angan-angan dan persepsi pikiran. Sekaligus memasuki alam kekekalan dalam kesejatian diri.
Dalam keadaan diri yang kekal berada dalam kesejatiannya inilah pelaku dhikir terbuka pintu batinnya. Apabila pintu batin telah terbuka maka "diri" atau "aku" bisa keluar dari belenggu dan penjara fisik. Pada tahap inilah di hadapan diri pedhikir akan terpampang jalan kebenaran. Fu'ad-nya terbuka, maka ia akan melihat sesuatu sebagaimana adanya, penglihatannya tidak melampaui dan tidak pula menyimpang dari apa yang sebenarnya berlaku, dari apa yang sebenarnya dilihat. Situasi dan kondisi demikianlah yang dilukiskan oleh al-Qur’an surah al-Najm: Penglihatannya tidaklah menyimpang dan tidak pula melampaui. Sungguh ia telah melihat ayat-ayat yang besar dari Tuhannya.
Di dalam al-Qur’an terdapat kata yadhdhakkar seakar kata dengan dhikir, tetapi mempunyai arti "mempelajari", "mengambil pelajaran" atau "memerhatikan". Jika yang digunakan itu makna "memerhatikan" maka artinya tetap sama dengan kata dhikir. Dalam kata dhikir, yang diperhatikan adalah Allah atau "Yang Ghaib", sedangkan dalam kata yadhdhakkar tumpuannya lebih banyak untuk memerhatikan alam. Dengan demikian, memerhatikan alam semesta juga merupakan dhikir. Asalkan dengan kesadaran bahwa alam adalah bukti kemahakuasaan Tuhan.
Sebenarnya, dalam berdhikir pun yang perlu diperhatikan adalah alam juga. Kerana manusia tidak sanggup memerhatikan Allah secara langsung. Allah adalah ghaib, tidak boleh diindera. Oleh karena itu, agar boleh memerhatikan-Nya perlu menggunakan sarana yang dapat diperhatikan, misalnya kalimat-kalimat suci (kalimat tayyibah) lā ilāha illā Allāh. Dalam dhikir yang dituju adalah pengalaman batin, sifatnya experimenced, rasa yang dialami, bukan empiris. Sesuatu yang empiris boleh diamati melalui percobaan atau experiment. Hasil yang dirasakah oleh orang yang berdhikir sulit untuk disampaikan dengan kata-kata kepada orang lain. Jadi, pengalaman dari pe-dhikir tidak dapat diamati secara empiris.
Dhikir merupakan satu bentuk hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan. Manusia berdhikir kepada Tuhan dan Tuhan pun berdhikir kepada manusia. Al-Qur’an Sūrah al-Baqarah menyatakan: "Berdhikirlah kepada-Ku, niscaya Aku berdhikir kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku, dan jangan kalian mengingkari-Ku". Dhikir merupakan sebuah cara untuk menyegerakan proses menghilangkan kualiti-kualiti rendah manusia dan menukarnya dengan kualiti-kualiti yang tinggi, iaitu berakhlak dengan akhlak Tuhan, dan memadamkan ego individual sehingga tidak ada lagi kesan "aku". Dari sinilah titik dimulakannya samudera ketiadaan atau fanā'. Oleh itu, boleh dikata dhikir merupakan sarana untuk menyatu dengan Tuhan yang Maha Esa.
Kegiatan berdhikir sebenarnya ialah kegiatan mengisi atau menuangi pikiran dan hati dengan kata-kata suci. Pada mulanya kata-kata suci tersebut diucapkan dengan suara jelas, pelan-pelan. Dengan cara ini pelbagai gangguan suara dari luar akan terhalangi. Kemudian ditingkatkan dengan ucapan dalam hati untuk membuang ilusi dan delusi. Setelah berkali-kali dilakukan, baru dhikir menghasilkan efek positifnya, yaitu ketenangan batin pelakunya seperti yang diinformasikan dalam ujung ayat 27 dan ayat 28 pada surah al-Ra’d [13]: "Sesungguhnya Allah menyesatkan orang yang menghendaki kesesatan, dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali kepada (jalan)-Nya., yaitu orang-orang yang beriman dan tenteram hati mereka berdhikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdhikir kepada Allah hati menjadi tenteram".
Apabila ilusi dan delusi, khayalan dan angan-angan, telah lenyap dari batin pe-dhikir maka berikutnya kalam suci atau kalimat tayyibah, lā ilāha illā Allāh, yang mengisinya. Kalimat yang mula-mula diucapkan dalam batin ini akhirnya mengalir sendiri bersama tarikan dan hembusan nafas. Selanjutnya memasuki alam yang kosong dari pelbagai angan-angan dan persepsi pikiran. Sekaligus memasuki alam kekekalan dalam kesejatian diri.
Dalam keadaan diri yang kekal berada dalam kesejatiannya inilah pelaku dhikir terbuka pintu batinnya. Apabila pintu batin telah terbuka maka "diri" atau "aku" bisa keluar dari belenggu dan penjara fisik. Pada tahap inilah di hadapan diri pedhikir akan terpampang jalan kebenaran. Fu'ad-nya terbuka, maka ia akan melihat sesuatu sebagaimana adanya, penglihatannya tidak melampaui dan tidak pula menyimpang dari apa yang sebenarnya berlaku, dari apa yang sebenarnya dilihat. Situasi dan kondisi demikianlah yang dilukiskan oleh al-Qur’an surah al-Najm: Penglihatannya tidaklah menyimpang dan tidak pula melampaui. Sungguh ia telah melihat ayat-ayat yang besar dari Tuhannya.
Di dalam al-Qur’an terdapat kata yadhdhakkar seakar kata dengan dhikir, tetapi mempunyai arti "mempelajari", "mengambil pelajaran" atau "memerhatikan". Jika yang digunakan itu makna "memerhatikan" maka artinya tetap sama dengan kata dhikir. Dalam kata dhikir, yang diperhatikan adalah Allah atau "Yang Ghaib", sedangkan dalam kata yadhdhakkar tumpuannya lebih banyak untuk memerhatikan alam. Dengan demikian, memerhatikan alam semesta juga merupakan dhikir. Asalkan dengan kesadaran bahwa alam adalah bukti kemahakuasaan Tuhan.
Sebenarnya, dalam berdhikir pun yang perlu diperhatikan adalah alam juga. Kerana manusia tidak sanggup memerhatikan Allah secara langsung. Allah adalah ghaib, tidak boleh diindera. Oleh karena itu, agar boleh memerhatikan-Nya perlu menggunakan sarana yang dapat diperhatikan, misalnya kalimat-kalimat suci (kalimat tayyibah) lā ilāha illā Allāh. Dalam dhikir yang dituju adalah pengalaman batin, sifatnya experimenced, rasa yang dialami, bukan empiris. Sesuatu yang empiris boleh diamati melalui percobaan atau experiment. Hasil yang dirasakah oleh orang yang berdhikir sulit untuk disampaikan dengan kata-kata kepada orang lain. Jadi, pengalaman dari pe-dhikir tidak dapat diamati secara empiris.
Alhamdulillah, Kang Kholis, rasanya perlu ditambahkan cara2 (pelaksanaan) memahami "proses" perjalanan dalam zikir bathin, setidaknya dapat dijadikan sebagai rambu2 untuk membedakan antara Diri Sejati dgn Nafsu (Ego), wallahua'lam
ReplyDeleteDari tahapan "tahalli" semoga bisa berlanjut ke "takhalli" untuk kemudian mencapai puncaknya'..."tajalli"...amin
ReplyDeleteterimakasih banyak sdr anonim atas saran dan nasihatnya. terlebih terimakasih jika saudara berkenan menambah tulisan di atas. maturnuhun, terimakasih sodaraku...
ReplyDelete